15. Pertimbangan
Memang adalah hal wajar bila Velia bangun dengan tubuh letih. Semenjak ia masuk menyerahkan hidup pada Lucas, praktis tak ada tidur yang benar-benar menyegarkan untuknya. Terlebih dengan yang semalam. Tatkala ia justru mengalami mimpi buruk yang amat mengerikan.
Bukan hanya tubuh Velia yang terasa letih, melainkan jiwanya pun terguncang. Nyatanya cumbuan Lucas memang berhasil membuat ia tertidur. Sayang, tak cukup ampuh untuk mengusir bayang mengerikan itu dari benaknya ketika bangun.
"Luc?"
Bangkit dan menahan selimut di dada, lagi-lagi Velia tak menemukan Lucas di sampingnya. Ia melihat jam dan mendapati bahwa kala itu masih pagi.
Velia mengenakan gaun tidurnya dan turun dari ranjang. Ia mencari keberadaan Lucas sampai langkah membawanya ke dapur.
"Kau sudah bangun?"
Lucas sudah rapi. Lengkap dengan kemeja putih dan dasi. Ia tampak segar ketika menyiapkan sarapan.
"Sudah," angguk Velia salah tingkah. "K-kau menyiapkan sarapan."
"Hanya roti isi. Bukan hal sulit."
Lucas melepas celemek dan menyajikan dua piring roti isi di meja makan. Ia menatap Velia seolah tengah menunggu.
"Kau tak ingin sarapan?"
Velia tergugu. "Y-ya."
Bila dipikir-pikir, ini bukanlah kali pertama Velia duduk bersama Lucas untuk menikmati sarapan. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa suasana canggung masih menyelimuti Velia.
Lucas menyadari sikap Velia. Ia mendeham dan melegakan tenggorokan dengan segelas air putih. Setelahnya ia bertanya demi mencairkan suasana.
"Bagaimana keadaan orang tuamu?"
Velia membeku dengan pertanyaan yang tiba-tiba Lucas layangkan. Kunyahannya berhenti dan ia menatap Lucas dengan sorot yang tak mampu diartikan.
"Mengapa?" tanya Lucas dengan dahi yang samar mengerut. "Apa aku menanyakan sesuatu yang salah?"
Tentu tidak salah karena Lucas tidak mengetahuinya. Namun, bagi Velia itu adalah pertanyaan yang amat tak terduga. Setelah mimpi buruk mengganggu tidur, ada hal lain yang membuat perasaannya tak nyaman.
Kepala Velia menunduk. Ia hindari mata Lucas ketika menjawab.
"Orang tuaku sudah meninggal."
Bukan hanya sarapan Velia yang terjeda, melainkan Lucas pula. Wajah pria itu berubah dengan syok yang berpijar di mata.
"Sudah meninggal?"
Velia mengangguk tanpa mengangkat sedikit pun wajahnya. "Mungkin sekitar sembilan bulan yang lalu."
Itu memberi penjelasan untuk sekelumit keheranan Lucas. Mungkin sedikit banyak hal tersebut yang menyebabkan Velia butuh uang dalam jumlah banyak.
"Maafkan aku."
Lucas meminta maaf seraya pindah ke sebelah Velia. Ia meraih jemarinya dan tatapan Velia refleks terangkat.
"Tak apa. Itu sudah lama berlalu."
Tidak semudah itu. Walau Velia mengatakannya dengan senyum, tapi Lucas bisa menangkap kesedihannya. Bukan hanya di cahaya matanya yang redup, melainkan hampa di suaranya pula.
"Jadi selama ini kau tinggal sendiri?"
Velia kembali mengangguk. "Aku tinggal sendiri dan menjalani semuanya sendiri."
Lucas memang tak tahu pasti apa yang Velia maksud dengan semuanya. Namun, ia bisa menangkap semua berat yang tersirat dalam ucapan tersebut.
"Maafkan aku."
Kali ini bukan hanya meremas jemari Velia, melainkan Lucas pun menariknya ke dalam pelukan. Velia tak menolak. Ia justru memejamkan mata tatkala usapan lembut menyapa punggung.
"Seharusnya kita bertemu lebih cepat," ujar Lucas. "Aku sungguh tak mengetahui apa yang terjadi padamu selama ini."
Senyum sendu terulas di wajah Velia. Ia menggeleng pelan. Sedikit, ia pun menyuruk di dada Lucas.
"Tidak, Luc," lirih Velia. "Kita selalu bertemu di waktu yang tepat."
Memang, Velia tak ingin. Sayangnya ia bisa melihat kenyataan.
"Di saat aku membutuhkanmu."
*
Pemandangan serupa terjadi di ruang kerja Lucas pagi itu. Ada Andreas tengah duduk menunggu dirinya dengan ditemani secangkir kopi.
"Selamat pagi," sapa Andreas dengan dahi mengernyit. "Kurang sehat?"
Lucas menaruh tas dan duduk bersama Andreas. Ia hanya menggeleng sekali sebagai jawaban.
Mungkin hanya kurang tidur. Demikianlah pikir Andreas tatkala mendapati keadaan Lucas yang tak biasa. Terkesan lesu dan cenderung kurang bersemangat.
"Sepertinya kau terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini. Sekali-kali kau harus liburan."
Melayangkan komentar seraya kembali menyesap kopi, Andreas sama sekali tidak mengantisipasi perkataan Lucas selanjutnya. Kembali, ia tersedak.
"Orang tua Velia telah meninggal."
Andreas buru-buru menaruh cangkir di tatakan dan menarik dua lembar tisu. Untuk sesaat, ia masih berjuang meredam batuk.
"A-apa kau bilang? Orang tua Velia telah meninggal?"
Lucas mengangguk. Sekilas, ia membuang napas panjang.
"Maaf," ujar Andreas seraya mengelap mulut. "Aku tidak tahu."
"Aku pun tidak tahu sebelumnya. Aku baru mengetahuinya tadi. Beberapa saat yang lalu saat kami sarapan."
Hening sesaat. Jelas sekali bahwa itu bukanlah topik tepat untuk membuka pembicaraan.
"Aku tidak tahu kalau selama ini dia hidup seorang diri."
Andreas mendeham sejenak. Ekspresi wajahnya menyiratkan ketidaksetujuan dengan ucapan Lucas.
"Secara harfiah, dia tidak hidup seorang diri lagi."
Lucas mengangkat wajah. Sorot matanya membuat Andreas cengar-cengir. Ia buru-buru membela diri.
"Hei! Kau sendiri yang mengatakannya beberapa hari lalu. Velia ada di tempat tidurmu. Itu artinya dia sekarang hidup bersamamu bukan?"
Tangan Andreas bertepuk sekali. Ia nyaris melewatkan sesuatu.
"Barusan," lanjut Andreas penuh semangat. "Barusan kau mengatakan kalian sarapan. Sekarang kalian tinggal bersama dan Velia tidak hidup seorang diri lagi."
Lucas memutuskan untuk tak mendebat kesimpulan Andreas. Terlebih karena sejurus kemudian Andreas justru menudingnya dengan satu pertanyaan.
"Jadi apa bisa dikatakan bahwa kalian kembali bersama?"
Lucas menyerah. Ia bangkit seraya balas menuding.
"Aku tidak pernah mengira kalau kau secerewet ini, Reas. Duduk lima menit bersamamu persis seperti 30 menit bersama para wartawan."
Tawa Andreas pecah. Wajah gusar Lucas membuatnya geli. Ia tak heran bila pria itu memilih beranjak ke meja kerja ketimbang tetap di sofa bersamanya. Namun, bukan berarti itu mampu menghentikan rasa ingin tahu Andreas.
"Kau sudah memutuskan apa yang akan kau lakukan pada Velia?"
Lucas meraih satu map di atas meja dan berpaling. "Maksudmu?"
"Kau tahu maksudku."
Andreas turut berdiri. Kali ini ia berlagak seperti wartawan yang tak akan membiarkan narasumbernya kabur. Ia hampiri Lucas yang telah duduk di balik meja kerja.
"Dengar. Dulu Velia pernah meninggalkanmu tanpa alasan sama sekali. Begitu mendadak dan tidak menghubungimu selama tujuh tahun. Sekarang setelah kau bertemu dengannya, apa kau tak penasaran dengan alasan mengapa dia meninggalkanmu?"
"Itu tak penting. Hal terpenting adalah dia sudah bersamaku lagi."
Andreas berdecak tak percaya. "Cinta memang membutakan matamu. Ingat, Luc. Kalau dia bisa meninggalkanmu sekali maka dia bisa melakukannya untuk yang kedua kali."
Terdengar logis dan masuk akal. Alhasil tak aneh bila Andreas sedikit merasa heran. Bagaimana bisa Lucas yang biasanya penuh pertimbangan justru abai untuk kemungkinan tersebut?
"Untuk itu aku akan memastikan Velia tak akan memiliki alasan meninggalkanku. Aku akan membuatnya bertahan padaku."
Ada tekad tersirat di sana. Janji yang tak perlu Andreas pertanyaan lagi.
"Maksudmu ..."
Walau demikian, Andreas tak mampu menahan keraguan dalam suaranya. Ia tak yakin, tapi siapa yang bisa menebak?
"... kau ingin menikahi Velia?"
Lucas menyeringai seraya melempar kembali map yang telah ia baca sekilas isinya. Ia balas pertanyaan Andreas dengan sorot tak terbaca.
"Apa salahnya menikahi Velia?"
Andreas kesulitan menemukan kata-kata. "Pernikahan bukan hal sederhana."
Memang bukan hal sederhana, tapi bagi Lucas itulah yang membuatnya terasa istimewa. Pernikahan akan mengikat mereka dan itu adalah satu-satunya jerat yang tak akan memberi kesempatan bagi Velia untuk kabur.
"Artinya kau akan mempertemukan Velia dengan keluargamu lagi?"
Bayang pernikahan menghilang seketika dari benak Lucas. Lebih dari ampuh, nyatanya pertanyaan Andreas kali ini membuat Lucas mengangkat wajah.
"Mengapa?" tanya Andreas santai. "Ada yang salah dengan pertanyaanku? Hal wajar bukan? Itulah yang orang-orang lakukan ketika akan menikah. Mempertemukan pasangan dengan orang tua."
Andreas sukses membuat Lucas tertegun. Untuk itu ia sedikit memperbaiki posisi duduk dan kembali berpendapat.
"Bukannya apa, tapi aku masih teringat jelas dengan kejadian lalu. Sepertinya bukan ide bagus."
Lucas membuang napas panjang. "Apa menurutmu orang tuaku masih tak menyukai Velia?"
"Aku tidak tahu."
Hanya itu yang bisa Andreas katakan. Ia tak berani berkomentar lebih jauh bila itu menyangkut orang tua dan keluarga.
"Oke. Sepertinya ini waktuku untuk pergi."
Andreas bangkit. Ia merapikan jas dan Lucas bertanya.
"Kau ingin ke mana?"
"Ke mana pun yang bisa membuatku senang," jawab Andreas sekenanya. "Terima kasih untuk kopi dan obrolan singkatnya."
Lucas tak mengatakan apa-apa lagi setelahnya. Ia hanya melihat kepergian sang sahabat. Andreas keluar dan berkat pintu yang belum tertutup sepenuhnya, ia sempat mendengar apa yang dikatakannya.
"Vlora, kopi yang enak. Kau mau membuat kopi di tempatku?"
Lucas hanya geleng-geleng. Agaknya Andreas memang berniat untuk mendekati sekretarisnya. Ia tak bisa berbuat apa-apa bila itu menyangkut kehidupan pribadi Vlora. Setidaknya ia yakin Vlora akan tetap bekerja secara profesional. Selain itu ada hal lain yang lebih penting untuk ia pikirkan.
Apa kali ini Mama dan Papa mau menerima Velia? Atau sebaliknya?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top