10. Perubahan

Velia nyaris tak bisa menahan kantuk ketika mobil akhirnya berhenti melaju. Ia yang hampir saja tertidur sontak merasa segar kembali dan berpaling. Mereka tiba di satu gedung menjulang yang terlihat amat megah.

"Ayo."

Suara Lucas terdengar bertepatan dengan pintu mobil yang terbuka. Mereka turun dan segera masuk.

Ada satpam yang menyambut kedatangan mereka. Ia tersenyum dan menyapa. Sayangnya tak mendapat balasan serupa dari Lucas. Pun demikian pula dengan yang resepsionis alami. Nyatanya pria itu hanya memberi satu anggukan singkat dengan langkah yang terus tertuju pada lift.

Lift membawa Lucas dan Velia meninggalkan lobi. Melewati lantai demi lantai, perjalanan itu diselimuti keheningan.

Tak butuh waktu lama untuk pintu lift membuka. Lucas dan Velia tiba di lantai yang dituju, lalu mereka menyusuri koridor.

Hanya ada satu pintu yang berada di lantai itu. Satu-satunya tempat yang menjadi tujuan mereka dan Lucas berkata.

"Ingat sandi ini, Ve."

Velia mengerjap. Sedikit bingung, tapi refleks ia mengingat deretan angka yang Lucas masukkan di kunci pintu.

Pintu terbuka. Mereka masuk dan pemandangan yang menyambut membuat langkah Velia berhenti.

Mata Velia menjelajah. Ia mengamati keadaan sekitar dan rasa penasaran yang terpupuk sedari tadi menunjukkan wujud.

"Apa ini, Luc?"

Lucas menghampiri Velia. "Apa? Maksudmu?"

Berpaling dan melihat pria itu, Velia menjelaskan maksudnya. "Ini bukan hotel."

Itu memang bukan hotel seperti dugaan Velia ketika Lucas menjemputnya. Melainkan adalah apartemen mewah yang menjadi tujuan mereka kala itu.

"Tentu saja bukan."

Menggeleng samar, Lucas mengikis jarak dan berhenti tepat di hadapan Velia. Tangannya terulur demi meraih pinggang wanita itu.

Velia tak menolak. Ia biarkan tubuhnya tertarik ke dalam rengkuhan Lucas.

"Aku tidak ingin bersusah payah harus lapor masuk setiap kali ingin bertemu denganmu. Itu tidak efisien sama sekali."

Tidak. Itu belum menjawab kebingungan Velia sama sekali.

"Lalu?"

Tangan Lucas kembali bergerak. Dalam bentuk sekilas belaian yang ia berikan di lekuk pinggang Velia.

"Semula kupikir, aku bisa datang ke rumahmu dan setelahnya aku langsung pulang. Hanya saja ..."

Lucas membuang napas panjang. Ia tatap Velia dengan sorot menyerah, sedikit bergidik.

"... tempat tinggalmu begitu mengerikan."

Cukup sampai di sana dan Velia paham. Alhasil tak aneh rasanya bila Lucas menyiapkan semua.

"Jadi kuputuskan untuk memberimu apartemen ini."

Tak ayal, ucapan Lucas membuat Velia syok.

"Apa?"

Lucas menyeringai. Keterkejutan Velia menarik perhatiannya. Tangannya naik dan lantas mengusap pipi Velia, tepat di rona merah yang muncul.

"Sudah kukatakan, Ve. Kita tidak bisa setiap saat pergi ke hotel dan aku tidak berniat sedikit pun mengunjungimu di kontrakan itu. Jadi inilah jalan tengahnya."

Terdengar masuk akal dan logis, dua hal yang menjadi ciri Lucas. Namun, Velia justru melihat sebaliknya.

Velia tidak bodoh. Tak sulit baginya untuk menebak bahwa apartemen itu bukanlah hunian harga murah. Terlebih dengan semua yang ada di dalam, tentu saja dugaannya benar.

Bernama The Istana, menurut kabar yang beredar ini adalah apartemen termahal yang berlokasi di Jakarta Pusat. Harganya tinggi dan ditaksir memiliki nilai setara dengan satu unit rumah subsidi di Pulau Jawa untuk tiap meter perseginya.

The Istana memanfaatkan keunggulannya yang berada di pusat kegiatan perekonomian. Bukan hanya berdekatan dengan perkantoran, melainkan juga pusat perbelanjaan, bisnis, dan pemerintahan.

Berkenaan dengan fasilitas, The Istana pun tak main-main. Mereka jelas paham bahwa kenyamanan dan keamanan penghuni adalah hal paling utama. Alhasil semua diberikan dengan begitu memuaskan.

Lift pribadi, kolam renang—dalam dan luar ruangan, akses langsung ke pusat perbelanjaan, dan sistem keamanan 24 jam adalah sedikit dari fasilitas yang tersedia. Begitu pula dengan privasi yang menjadi prioritas utama mereka, dijaga dengan amat baik.

Pun berkaitan dengan tuntutan naluri konsumtif, The Istana tak lupa meyediakan perawatan spa khas Indonesia, restoran, dan taman penyejuk mata. Semua sudah diatur dan diperhatikan dengan amat saksama sehingga kehidupan di sana mendapat jaminan kepuasan.

"Kau tak mungkin serius."

Lirihan Velia menerbitkan kerutan samar di dahi Lucas. Ia membalas dengan satu pertanyaan telak.

"Apa aku pernah tak serius? Kapan aku pernah main-main?"

Velia diam dalam jawaban valid yang diketahui. Yaitu, tak pernah.

"Kau gila, Luc."

Sudut bibir Lucas berkedut dalam rasa geli. "Mengapa gila? Ini adalah keputusan wajar. Ah! Satu lagi, aku nyaris lupa memberitahukanmu. Kau tak perlu lagi tinggal di kontrakan itu."

"M-maksudmu, aku tinggal di sini?"

"Benar," angguk Lucas. "Bagaimana? Apa kau menyukai tempat ini?"

Velia tak mampu menjawab. Lidah kelu dan ia butuh setidaknya lima detik untuk mampu bicara. Itu pun adalah pertanyaan yang ia lontarkan. Berikut dengan sorot bingung di sepasang matanya.

"Mengapa kau lakukan ini, Luc?"

Lucas balas menatap Velia. "Aku melakukannya karena aku mau. Ehm kau tidak berpikir bahwa aku melakukannya karena aku masih mencintaimu bukan?"

Tak hanya tatapan Lucas, melainkan pertanyaan itu pun sukses membuat Velia menahan napas di dada. Ia membeku. Namun, belum begitu membeku sampai Lucas menggeleng dengan ekspresi geli.

"Tentu saja tidak."

Jantung Velia seperti tak berdetak lagi. Merah di pipinya semakin menjadi-jadi. Terkesan kelam dalam malu yang tak terperi.

"Aku hanya ingin merawat milikku."

Ada kepuasan memancar dari mata Lucas. Terkesan pongah dan justru merasa senang saat melihat ekspresi Velia.

"Suka atau tidak, kau sekarang sudah menjadi milikku," ujar Lucas dengan suara berat. Jarinya kembali bermain. Membelai pipi Velia dan mengusap anak rambutnya. "Aku selalu merawat semua yang kumiliki. Memeliharanya sebaik mungkin. Termasuk kau, Ve. Apalagi karena hargamu tak murah."

Bukan kali pertama Velia direndahkan. Pada satu titik di masa lalu, ia pernah mendapatkan lembaran uang dibanting tepat di wajah. Ia sempat berpikir bahwa itu adalah penghinaan yang paling menyakitkan. Ternyata tidak.

"Aku mengerti maksudmu."

Tubuh Velia berubah kaku. Lucas menyeringai dan tampak menikmatinya.

"Ayo," ajak Lucas kemudian seraya meraih tangan Velia. "Kau harus melihat tempat tinggalmu yang baru."

Lucas mengajak Velia berkeliling. Mereka melihat setiap ruangan dan sekalipun Velia tak suka dengan semua itu, nyatanya ia tak mampu menahan decak kagum.

"Aku ingat kalau kau suka memasak."

Adalah dapur yang benar-benar menarik kekaguman Velia. Tak bisa dipungkiri, semua fasilitas yang ada di sana berhasil membuat matanya membelalak.

Lucas tahu itu. Ia tak akan pernah lupa bahwa Velia hobi memasak. Untuk itulah ia mewanti-wanti Vlora untuk menyiapkan dapur dengan sebaik mungkin.

Velia tidak akan tergoda dengan guci mahal atau lukisan antik di sana. Pun ia tak akan terkesima dengan aneka kristal yang menghiasi langit-langit. Namun, ruangan yang satu ini pasti tak akan gagal menarik perhatiannya.

Sadar atau tidak, Velia menarik diri dari Lucas. Kakinya punya kehendak sendiri. Ia melangkah dan menyusuri dapur dengan tatapan yang memindai.

Kulkas empat pintu, oven listrik, dan pemanggang, setidaknya itu adalah tiga benda yang langsung tertangkap mata Velia. Ia terus melangkah dan memuaskan naluri kewanitaannya akan aneka perlengkapan dapur. Lengkap, modern, dan memenuhi keinginan semua wanita.

Kembali, ada rasa puas yang memancar di mata Lucas. Namun, ini berbeda dengan yang sebelumnya. Ini bukan mengenyangkan ego, melainkan harga dirinya sebagai seorang pria.

Lucas mendekati Velia. Memeluknya dari belakang dan berbisik rendah di telinga.

"Aku menunggumu menggunakan semua perlengkapan di dapur ini."

Velia tertegun. Untuk sesaat, ia tak bisa bernapas. Perkataan Lucas menyentil sesuatu di dalam sana.

Ada sekelumit kenangan. Melibatkan kue cokelat dan sedikit penolakan. Namun, sedetik kemudian justru berganti dengan gelak penuh bahagia.

~

"Aku tidak tahu apakah memasak adalah hobi yang tepat atau sebaliknya. Sepertinya bersamamu membuatku tak pernah mengenal lapar lagi."

"Kau tahu? Aku suka melihatmu saat makan. Kau selalu tersenyum."

~

Velia menyentak kepala sekali. Bayangan itu hilang dan tergantikan kenyataan di depan mata.

"Kupikir ini melebihi perjanjian kita."

Tangan Lucas bermain-main di perut Velia. "Sudah kukatakan bahwa aku akan menjaga milikku. Ini wajar, Ve."

Rambut-rambut halus di tengkuk Velia meremang. Embusan napas Lucas membelai dan menciptakan kehangatan yang membuatnya tak tenang.

"Unit ini luas, tapi kau tak perlu melakukan apa-apa. Akan ada yang membersihkan dan mengurus semua keperluan kita. Satu-satunya yang boleh kau lakukan adalah memasak. Itu pun kalau kau ingin. Makanan adalah masalah gampang, kita bisa memesannya saja."

Cukup puas dengan dapur, Lucas mengajak Velia mengunjungi ruangan lain. Berikutnya adalah ruang kerja.

"Kupikir aku membutuhkannya bila aku menginap di sini."

Meninggalkan sejenak Velia demi mengambil sesuatu di laci meja kerja, Lucas kembali menghampiri dengan dua kartu. Ia menyerahkannya seraya berkata.

"Ambil ini dan pergunakan sesukamu."

Velia menatap keduanya dengan sorot tak percaya. "Luc?"

"Uang lima ratus juta akan dikirimkan ke rekeningmu besok, tapi tidak termasuk dengan dua kartu ini. Kau bisa menganggapnya sebagai pemberian cuma-cuma dariku. Pergunakan untuk merawat diri dan bersenang-senang. Kau tentu tahu bukan? Aku bukan kekasih yang kejam."

Untuk kesekian kali, Lucas membuat Velia tak bisa bicara. Ia hanya bisa melongo untuk semua yang Lucas lakukan.

"Jadi kuharap kau selalu ingat. Kau milikku, Ve. Jangan sampai ada pria lain yang menyentuhmu. Selain itu, kau sepatutnya mengerti apa yang harus kau lakukan."

Ada peringatan yang tersirat. Velia tak mungkin mengabaikannya.

"Kau tidak berpikir untuk menipuku bukan?" tanya Lucas tanpa menunggu jawaban Velia. "Mengambil uangku, tapi tak melayaniku dengan sebaik-baiknya?"

Velia memaksa diri mengangkat wajah. "T-tidak."

"Bagus. Setidaknya kau harus ingat siapa yang menolongmu."

Uang memang selalu penjadi pembeda. Keberadaannya memberikan kuasa.

Velia telah membuktikannya. Ia tak akan abai untuk menanamkan fakta di benak bahwa Lucas memiliki kuasa atas dirinya. Bahwa Lucas adalah pemiliknya.

Untuk itu seharusnya Lucas tak kaget ketika sepasang tangan Velia menangkup wajahnya. Pun seharusnya tak kaget ketika Velia menjinjit demi menyapu bibir Lucas dengan sekilas ciuman.

Seharusnya tak kaget. Namun, kenyataan justru sebaliknya.

Lucas mengerjap. Mata Velia perlahan membuka tepat di depan matanya.

"Aku akan selalu ingat."

Lucas butuh waktu setidaknya lima detik untuk menguasai diri. Ia membuang napas dan memaksa seulas seringai muncul di wajah.

"Ada satu ruangan yang belum aku tunjukkan."

Adalah kamar tidur yang menjadi akhir perjalanan Velia dan Lucas. Satu ruangan bernuansa elegan nan berkelas.

"Ini kamar kita."

Velia menahan napas. Lucas tak perlu menjelaskannya. Keberadaan tempat tidur di sana memberi jawaban untuk setiap pertanyaan.

Mengambil tempat di belakang Velia, Lucas menyibak rambut sepunggung Velia. Ia singkirkan helaian hitam nan legam itu demi memberikan keleluasaan yang Lucas inginkan. Berupa pemandangan garis jenjang di leher Velia.

Velia bergidik. Embusan napas Lucas terasa nyata di tengkuk. Ia menegang dalam antisipasi dan satu kecupan basah mendarat di sana.

Mata Lucas memejam. Tangannya turun seiring dengan penjelajahan bibir yang terus ia lakukan di sepanjang leher Velia.

Ujung hidung Lucas bermain. Menggoda dan menyusuri wangi di kulit Velia. Menghirup lembut aroma itu sedalam mungkin.

"Luc."

Tak mampu menahan, Velia mendesahkan nama Lucas. Dadanya naik turun tatkala tangan Lucas merayap di perut. Perlahan, tapi pasti. Jari-jari besar itu mengeluarkan tiap anak kancing dari lubangnya.

Napas Lucas memberat. Ia lepas kemeja itu dari tubuh Velia dan membuangnya ke sembarang arah.

Lucas mengusap pelan perut Velia. Merayap dan menyentuh dalam kesan yang membuat Velia meremang.

Pindah. Penjelajahan jemari Lucas menuju punggung Velia. Membidik kaitan yang ada di sana dan membebaskan payudara Velia dari penyangganya.

"Aku tidak ingin melihatmu mengenakan pakaian seperti itu lagi, Ve."

Velia menahan napas. Pun bergeming. Ia benar-benar tak berani bergerak ketika Lucas menarik tubuhnya.

Punggung Velia mendarat di dada Lucas. Tak ada peringatan diberi, Lucas menangkup payudara Velia. Ia meremas dan erangan Velia lolos begitu saja.

Lucas menggeram. Ia dorong tubuh Velia sehingga wanita itu berjalan dengan kaki gemetar. Mereka menuju pada satu ruangan di kamar. Berisi beberapa lemari pakaian dan menyimpan kebutuhan sandang mereka.

Berhenti di satu cermin berukuran besar, satu pemandangan yang terpantul langsung menyapa retina Lucas. Matanya menggelap dengan perhatian yang tertuju pada sepasang puting Velia.

Lucas menarik napas. Tangannya kembali bergerak dan kali ini menyasar pada rok selutut Velia. Berikut dengan celana dalamnya pula.

Mata Velia sontak terpejam. Tak kuasa melihat keadaannya yang berdiri di depan cermin dalam tampilan polos. Tanpa ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh.

"Aku suka melihat ini."

Sebaliknya, Lucas justru sangat menyukai keadaan Velia kala itu. Bukan hanya karena penampilan polosnya, melainkan jejak-jejak yang terpampang di kulitnya membuat dada Lucas bergemuruh.

"Juga ini."

Lucas menyentuh beberapa jejak bewarna merah keunguan yang menodai putih kulit Velia. Di leher, payudara, atau bahkan perut.

"Aku suka melihat setiap jejak yang aku tinggalkan di tubuhmu," lanjut Lucas dengan suara serak. "Bagaimana menurutmu?"

Velia memaksa diri untuk membuka mata. Pun sekuat tenaga untuk mengangguk. Ia telan getir yang ada dan menjawab.

"Itu terlihat bagus, Luc."

Lucas memalingkan wajah. Ia kecup kepala Velia dan membenamkan wajah di riak rambutnya.

"Benar, Ve. Benar. Seperti ini."

Lucas merengkuh perut Velia. Geramannya terdengar kembali. Makin berat. Kian berat. Namun, ia justru berkata.

"Aku ingin menghabiskan malam ini bersamamu, tapi ada pekerjaan yang harus kutuntaskan."

"Pekerjaan?"

Lucas mengangguk. Ia melepaskan tubuh Velia dan beranjak demi membuka satu pintu lemari.

"Setengah dari hari ini kuhabiskan bersamamu, Ve. Mau tak mau aku harus menggantinya malam ini."

Lucas meraih sehelai gaun tidur sementara Velia membelalak melihat isi di dalam lemari. Tak perlu menebak, semua pakaian wanita di dalam sana pasti untuk dirinya.

"Semua pakaian dan perlengkapan yang kau butuhkan sudah disiapkan Vlora. Bila ada yang kurang, katakan saja."

Mengangguk sekali, Velia mendapati Lucas mengenakan gaun tidur berbahan satin di tubuhnya.

Terasa halus dan begitu lembut. Bahannya yang mahal itu jatuh dengan amat apik di tubuh ramping Velia. Membungkusnya dengan kesan amat sempurna.

Lucas menarik diri. Menciptakan sedikit jarak yang ia butuhkan.

"Lihat? Kau sangat cantik."

Tak ingin, tapi nyatanya Velia pun terperangah dengan penampilannya. Ukurannya pas dan warnanya sangat cocok untuk kulit Velia.

"Terima kasih."

"Setimpal dengan apa yang aku dapatkan," lirih Lucas. "Sekarang sepertinya aku harus meninggalkanmu sejenak."

Velia melihat Lucas melalui pantulan cermin. "Kau akan langsung bekerja?"

"Ehm," deham Lucas seraya mengangguk sekilas. "Kau bisa beristirahat."

Lucas meninggalkan Velia setelah memberikan kecupan di kepala. Ia pergi dan untuk sesaat Velia hanya termenung di tempatnya berdiri.

Semenit berlalu. Velia membuang napas dengan rasa penasaran yang mendadak muncul. Ia membuka satu lemari dan kembali membelalak tatkala mendapati lagi-lagi adalah pakaian wanita yang memenuhinya.

Velia memandang berkeliling. Pada lemari kaca yang berisi tas dan sepatu mewah. Berikut dengan beragam perlengkapan wanita lainnya.

Tatapan Velia tertahan pada satu lemari lain. Berukuran sama besar dengan lemari pakaiannya, entah mengapa perasaan Velia tak tenang saat mendekatinya.

Pintu lemari terbuka. Pakaian pria mengisinya.

P-pakaian Lucas? Apa itu artinya Lucas akan tinggal di sini juga?

Jantung Velia berdebar dengan kesan takut. Kemungkinan itu menerbitkan keringat dingin di tengkuk, tapi ia berusaha menenangkan diri.

Tidak mungkin. Lucas adalah pria sibuk. Dia tak mungkin tinggal di sini. Mungkin ini hanya sekadar persiapan jika ia terpaksa bermalam.

Mencoba menyingkirkan kemungkinan tersebut dari benak, Velia meninggalkan ruang ganti. Ia menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhnya yang terasa lelah.

Velia menatap langit-langit. Pikirannya kosong dan semua kemewahan yang sekarang mengeliling membuatnya tersenyum getir.

Lucas tak akan melepaskanku lagi kali ini.

Ironis, tapi Velia harus bersiap dengan semua konsekuensi. Bayaran untuk pertolongan yang Lucas berikan.

Setidaknya Lucas telah menyelamatkanku.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top