1. Malapetaka

Cie cie cie. Siapa yang senang karena aku update cerita fenomenal ini?

Cerita ini sempat booming di aplikasi sebelah, tapi sayangnya ada sebagian orang yang nggak suka dan ngomong ini cerita porno. Mungkin itulah asal mula kenapa aku dapat lebel jadi penulis porno. Hahaha.

Mungkin terkesan membela diri, tapi buat yang udah baca pasti sepakat: Velia dan Lucas pantas untuk mendapatkan hati para pembaca.

Ngomong-ngomong, Lucas adalah hero terpemes yang aku punya. Fansnya bejubel dan nggak kaleng-kaleng deh. Jadi selagi nunggu aku open PO untuk novel cetak SEXY ROMANCE, silakan kalian baca lagi.

Oh ya. Hampir lupa. Ini untuk jadwal aku bulan Januari. Khusus untuk SEXY ROMANCE dan TEST DRIVE, silakan baca selagi on going. Soalnya sehari setelah tamat bakal langsung aku unpublish.

***

"Kembali di Sapa Metro, saya Lania Tunjung. Saudara, kecelakaan beruntun yang melibatkan rombongan tunangan terjadi di tol Jagorawi dini hari tadi. Lima orang tewas, satu orang mengalami luka bakar serius, dan belasan orang luka-luka dalam kecelakaan ini."

Di hari Minggu ketika langit belum terlalu terik disinari matahari, satu berita kecelakaan besar tersiar ke seluruh penjuru. Satu insiden berdarah memaksa para tim medis, pihak kepolisian, serta kesatuan pemadam kebakaran bergotong-royong menyelamatkan para korban yang berjatuhan.

"Tepatnya di kilometer sepuluh Ciracas Jakarta Timur, kecelakaan besar ini melibatkan setidaknya delapan kendaraan. Terdiri dari kendaraan pengangkut dan pribadi. Diduga pengemudi truk kontainer yang mengantuk serta kendaraan yang tidak memenuhi syarat laik jalan menjadi pemicu dalam kejadian nahas ini."

Itu bukan hanya sekadar kejadian nahas. Alih-alih tak ubah kiamat bagi korban yang mengalami. Menyisakan pemandangan yang amat menyayat hati di lorong rumah sakit.

Seorang wanita berbalut kebaya elegan bewarna kuning pastel, histeris. Tubuh dan pakaiannya bernoda darah. Dandanan berantakan. Pun air mata mengalir membasahi kedua pipi.

Seorang perawat yang bertugas menghampirinya. Merengkuh dan mengajaknya untuk duduk. Berusaha untuk menenangkannya, tapi tak berguna. Orang tuanya meninggal sementara sang tunangan berada dalam keadaan kritis. Dunianya hancur. Tak ada lagi yang tersisa.

*

"Kapan Herry bangun, Dok?"

Pertanyaan itu layaknya rutinitas yang selalu Sriyanti dapatkan tatkala selesai menjelaskan perkembangan sang pasien yang bernama Herry Mahardika pada walinya. Seorang wanita muda nan cantik jelita yang telah menginjak angka dua puluh sembilan tahun.

Memang tidak banyak hal pribadi yang Sriyanti ketahui mengenai gadis berkulit putih bersih dan berambut hitam panjang berkilau itu. Namun, ia lantas tahu beberapa hal berkat informasi yang berembus dari mulut ke mulut,.

Velia Angelica namanya. Secantik namanya, ia persis seorang bidadari. Lantaran bukan hanya kulit putih bersih dan rambut berkilau yang menjadi daya pikat, alih-alih semua yang ada pada dirinya.

Tubuh gadis itu ramping dan berlekuk pada tempat seharusnya. Hidung mancung, bibir merah, dan bulu mata lentik dinaungi alis lebat. Siapa pun yang melihatnya pasti akan sepakat pada satu kesimpulan. Yaitu, ia benar-benar cantik.

Memiliki pembawaan lemah lembut, Velia seharusnya menjadi seorang wanita yang berbahagia berkat perayaan ulang tahun dan tunangan yang digelar pada malam yang sama.

Itu harusnya menjadi hari sempurna. Menjalani usia baru dengan status baru pula. Dikelilingi orang tua, kekasih, dan keluarga tercinta. Sayangnya semua tidak seperti yang dibayangkan. Kecelakaan maut merampas semua.

Tak hanya kehilangan kedua orang tua, Velia juga kehilangan kedua calon mertua. Pun ditambah dengan keadaan sang tunangan yang terjebak dalam kondisi koma. Sendirian, wanita itu harus berjuang berbulan-bulan dalam harapan yang tak sepenuhnya bisa ia pegang.

Sriyanti menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha memasang ekspresi profesional dalam mimik tenang dan teduh.

"Saya tidak bisa memastikan, tapi setidaknya keadaan Herry kembali stabil untuk saat ini."

Velia bergeming. Nyaris yakin seratus persen bahwa perkataan Sriyanti sama persis dengan kata-kata yang diucapkan pada konsultasi sebelumnya. Tidak ada beda.

Delapan bulan. Selama delapan bulan aku hanya mendengar hal yang sama. Sampai kapan aku harus mendengar ketidakpastian ini?

Harapan memang masih tumbuh di hati Velia. Ia yakin Herry akan segera bangun, tapi entah kapan. Harapan kian terdesak oleh kemungkinan buruk yang terpupuk hari demi hari. Bagaimana bila Herry tidak akan pernah bangun lagi?

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan, melainkan keadaan Herry yang kerap menunjukkan syok menjadi pemicunya. Ia menimbulkan ketakutan untuk kemungkinan buruk yang bisa terjadi kapan saja.

"Ini memang tidak bisa menjadi jaminan dan pasien sebaiknya harus dioperasi lagi dalam waktu dekat. Keadaan koma selama berbulan-bulan mengakibatkan ginjal pasien dalam situasi yang tidak menguntungkan. Secepatnya harus segera ditangani."

Perawatan yang menyelamatkan nyawa Herry bukan berarti tanpa efek samping. Ginjalnya menjadi rentan lantaran obat-obatan yang kerap digunakan.

Harapan Velia kian kerdil. Ketakutan selalu berhasil menggoyahkan keyakinan. Ia membisu. Bergeming dan hanya bisa berdoa tatkala pandangannya melewati kaca bening itu.

Velia berdiri di luar ruangan dan melihat keadaan sang tunangan. Herry masih berbaring di ranjang perawatan, bertahan hidup dengan bantuan alat-alat medis.

Tak ada lagi senyum bahagia. Tak ada lagi tawa sukacita. Semua menghilang tergantikan duka lara.

Hari-hari Velia sekarang penuh air mata. Ia menderita. Tertekan secara psikis dan finansial. Seorang diri berjuang menyelamatkan hidup sang kekasih.

Tidak mudah dan murah. Herry menderita luka bakar nyaris mencapai empat puluh persen. Ia terpaksa menjalani operasi berulang kali dan tak memberi Velia banyak pilihan, kecuali menjual satu persatu harta benda berharga.

Bagi Velia itu tidak penting. Setidaknya operasi berhasil menyelamatkan Herry walau dengan satu kekecewaan yang menyertai. Ia jatuh koma, alih-alih siuman.

Velia menunggu Herry bangun kembali. Namun, makin lama ia makin kehilangan pegangan. Terhimpit dalam kekalutan dan kesedihan, Velia kian tak berdaya tatkala menyadari bahwa ia tak lagi memiliki apa-apa.

Tanpa orang tua, keluarga, dan harta benda. Lebih parah lagi Velia terpaksa berutang dalam jumlah tak sedikit. Entah itu pada kantor, teman kerja hingga rentenir. Satu hal yang tak mampu ia hindari ketika perawatan Herry membutuhkan biaya besar sementara tak ada lagi hartanya yang tersisa.

Malang tak lagi mampu mewakili keadaan Velia. Ia bukan hanya sendirian, alih-alih mati di dalam kehidupan. Ironis, terkadang ia bertanya.

Mengapa malam itu aku tak turut mati pula?

*

Velia tahu bahwa ia tak bisa mati sekarang. Setidaknya hari ini.

Mengeluarkan tanda pengenal di leher dengan terburu-buru, Velia melewati pemindai otomatis. Ia bergegas membelah lautan manusia dan masuk ke lift.

Tiba di lantai tiga, lift berhenti bergerak. Pintu membuka dan Velia bergegas keluar dengan kepanikan yang semakin menjadi-jadi.

Sial! Sekarang sudah hampir jam dua siang.

Velia menggigit bibir bawah. Ia merutuki keteledoran yang terjadi berulang kali. Namun, ia bisa apa? Kabar Herry yang kembali mengalami syok membuatnya pergi ke rumah sakit tanpa berpikir dua kali.

Berlari, Velia segera menuju ruang departemennya. Ia masuk dan langsung bertemu Metta Utami—rekan kerja serta teman terbaik yang pernah dimiliki.

Kerap membantu secara moril ataupun ekonomi, Metta terus menyemangati Velia di saat terburuk. Pun hanya ia yang selalu mendengarkan keluh kesah Velia selama ini.

"Ya ampun, Ve!" seru Metta histeris menyambut kedatangan Velia. "Ayo! Rapat akan segera dimulai lima belas menit lagi."

Metta menyerahkan setumpuk map pada Velia. Ia berkata.

"Semua sudah aku susun sesuai dengan urutan presentasi Pak Rino. Sekarang kau cepat pergi ke Ruang Rapat 2. Jangan sampai terlambat."

Tangan Velia yang gemetaran memeluk map-map dengan erat. Ia mengangguk seraya meneguk ludah.

"Terima kasih banyak, Met."

Velia bergegas pergi. Ia tergopoh-gopoh menyusuri lorong dan langsung menekan angka tiga puluh di tombol lift.

Nyaris sepuluh menit waktu yang Velia butuhkan untuk sampai di Ruang Rapat 2. Seorang karyawati tampak akan menutup pintu ruangan itu. Velia panik dan berlari seraya mengucapkan permisi.

"Sebentar."

Velia mendorong pintu sehingga kembali membuka. Tak peduli larangan yang didapat, ia segera masuk. Langkah terburu-buru dan membuatnya menabrak seseorang yang baru saja masuk beberapa detik sebelum dirinya.

Telak dan tak terhindari, dahi Velia membentur punggung lebar pria itu. Langkah terhenti dan map lepas dari tangannya.

Bunyi benturan dan kesiap terdengar. Pun suara map yang mendarat berserakan di lantai. Kejadian itu sontak membuat semua peserta rapat tersentak di tempat duduk masing-masing.

Velia buru-buru turun. Berniat untuk segera mengumpulkan kembali map tersebut, tapi ia tertegun tatkala mendengar pertanyaan-pertanyaan bernada khawatir.

"Bapak tidak apa-apa?"

"Bagaimana keadaan Bapak?"

Velia bisa menerka lewat selintas dengar. Pria yang ditabraknya pasti bukan orang sembarangan. Lihat saja. Semua orang bangkit dari duduk dan beranjak menuju mereka.

"Ya Tuhan. Bisa-bisanya kau."

"Ini karyawan bagian mana?"

Tudingan membuat Velia gemetaran. Ia bergegas berdiri seraya memegang map kuat-kuat. Bersiap menerima kemarahan ketika suara lain terdengar.

"Maaf, Pak. Ini karyawan dari Departemen Pengembangan dan Perencanaan."

Velia menunduk, sedikit melirik ke sebelah dan mendapati pimpinan departemennya yang bernama Rino Muharji tampak bicara. Pria berusia lima puluh tiga tahun itu mendelik ke arahnya. Bicara tanpa suara, Rino berkata.

"Cepat minta maaf pada beliau."

Wajah Velia terangkat seketika. Ia melihat Rino dengan jantung berdegup panik.

Rasa takut hadir dan tak mampu Velia bendung. Sadar bahwa tak punya pilihan, ia pun beringsut. Kepala kembali tertunduk dan tak berani melihat pada wajah di hadapannya.

"Saya minta maaf, Pak. Saya tidak sengaja menabrak Bapak."

Pria itu mendeham singkat. Lalu ia bertanya dengan suara berat.

"Siapa kau?"

Terus menunduk, Velia mengerjap sekali. Dahi mengernyit lantaran kesan tak asing yang dirasa. Suara itu terdengar familier dan membuatnya meremang.

"Velia, Pak."

"V-Velia?"

Velia mengangguk. "Velia Angelica."

"Velia Angelica."

Lagi, ada hal aneh yang Velia rasakan tatkala pria itu menyebut nama lengkapnya. Namun, rasa takut membuatnya benar-benar bergeming. Rasa penasaran dan dorongan untuk sedikit melihat, kalah.

Velia membeku. Kian membeku ketika suara itu kembali bicara.

"Selesai rapat, kau segera ke ruangan saya."

Di sebelah Velia, Rino memucat. Kekhawatiran hadir dan mendorongnya untuk berusaha menahan sang pimpinan. Ia perlu menjernihkan masalah tersebut dengan kemungkinan buruk yang bisa terjadi padanya dan departemennya.

"Pak, saya—"

Sang atasan keburu melangkah. Pun seorang wanita cantik yang sedari tadi berdiri di dekatnya mengulurkan tangan, melarang Rino yang berniat untuk menyusul.

Rino ketar-ketir mendapati isyarat penolakan. Ia beralih pada wanita itu dan memohon.

"Bu Vlora, ini kesalahan Velia pribadi. Bukan departemen kami. Saya harap ini tidak berimbas pada yang lain."

Denandia Vlora—sang sekretaris—tersenyum tipis. "Rapat akan segera dimulai, Pak. Silakan kembali ke tempat Bapak."

Rino tak bisa berbuat apa-apa. Tubuh panas dingin dan sebagai ganti, ia berbalik pada Velia ketika peserta rapat beranjak kembali ke kursi masing-masing.

"Kau, Velia. Kalau kau sampai mengakibatkan masalah untuk departemen kita, awas saja! Aku akan mengajukan namamu ke HRD untuk dipecat bulan ini! Aku tidak main-main dengan ucapanku!"

Velia meneguk ludah. "Pak, saya tidak sengaja. Saya benar-benar minta maaf."

"Sengaja atau tidak," desis Rino seraya menuding. "Itu tidak penting. Yang penting di sini adalah apakah tindakanmu membuat departemenku terkena masalah atau tidak."

Mengusap wajah dengan kasar, Rino menggertakkan rahang. Matanya menyorotkan kesal dan marah tak terbendung.

"Kau harus ingat! Jangan sampai kau datang terlambat ke ruang beliau! Minta maaf dengan baik! Bahkan kalau beliau memintamu untuk terjun dari lantai atas sekali pun kau harus melakukannya!"

"Pak—"

Rino menggeleng. Ia potong ucapan Velia tatkala ketakutan semakin menjadi-jadi. Itu jelas bukan tanpa alasan.

"Semua orang tahu bagaimana sifat Dirut kita yang sekarang. Tidak cocok dengan keinginan dan menyinggung perasaannya bisa berakibat fatal. Pak Lucas Ferdinand tidak akan segan-segan memecat siapa pun yang menurutnya tidak kompeten. Aku lebih baik kehilanganmu daripada departemenku yang kena imbas!"

Velia tertegun. Satu nama yang diucapkan Rino membuat tubuhnya menegang dalam kesan yang tak enak.

P-Pak Lucas Ferdinand?

Mata Velia membulat. Refleks, ia bertanya.

"S-siapa Dirut kita, Pak? Siapa nama beliau?"

Rino menatap Velia kesal. "Lucas," jawabnya. "Lucas Ferdinand."

Kembali mendengar nama yang sama untuk kedua kali membuat Velia menoleh ke seberang ruangan. Tatapannya tertuju pada meja besar yang terletak di tengah ruangan. Seorang pria duduk di sana dengan didampingi Vlora.

Velia tercekat. Sepasang mata itu menatapnya tanpa kedip sedari tadi.

Lucas?

*

Berdiri di depan pintu ruangan Lucas, Velia menahan napas. Dada bergemuruh dalam aneka perasaan yang tak mampu ia ungkapkan.

Velia gemetaran. Tubuh panas dingin dan jantung benar-benar kacau.

Tak akan lupa, tentulah alasan Velia berada di sana adalah memenuhi perintah pimpinan kantor. Namun, menemui sang Direktur Utama bukanlah hal mudah tatkala ia tahu siapa yang harus dihadapi.

Adalah Lucas Ferdinand. Seorang pria yang pernah menjadi bagian masa lalu paling menyakitkan untuk Velia. Seseorang yang membuatnya pergi sejauh mungkin demi memulai hidup baru. Bertahun-tahun telah berlalu, tapi mengapa mereka harus kembali bertemu?

Ironis, tapi Velia tak akan lupa bagaimana suara berat itu terdengar tak asing di telinganya. Tak berubah. Persis seperti dulu.

Pun tak hanya itu, melainkan semuanya. Velia bisa melihat dari keadaan Lucas sekarang dan membandingkannya dengan ingatan yang masih terekam di benak.

Lucas masih bertubuh tinggi dan besar. Sepasang mata tajamnya pun masih menyorotkan aura intimidasi. Pun rambut hitamnya yang lebat masih sekelam ingatan terakhir Velia.

Tak ada yang berubah dari pria itu sepintas Velia melihat, selain gurat-gurat kedewasaan yang mulai tampak di wajah. Menimbulkan kesan kuat dan gagah dalam waktu bersamaan.

Lucas adalah satu titik yang tak Velia harapkan, tapi telah tercatat di dalam lembaran masa lalunya. Terlahir dari keluarga terpandang nan kaya raya. Dianugerahi kepintaran dan juga ketampanan. Dikaruniai ketenangan dan aura dominansi yang mampu membuat gentar siapa pun lawan bicaranya. Alhasil tak aneh banyak wanita jatuh hati walau ia terkesan dingin dan menakutkan.

Mendekati Lucas adalah pertaruhan nyata. Antara dua pilihan, tertolak atau justru tersakiti. Ia layaknya dewa yang tak akan mudah disentuh oleh sembarang orang. Pun berada di sekitarnya merupakan kesepakatan tanpa kata-kata. Siap untuk merasakan lara yang bisa datang kapan saja. Velia sudah membuktikannya dan sekarang ia hanya bisa merutuk di benak.

Dari sekian banyak tempat bekerja, mengapa aku harus bekerja di sini?

Velia menarik napas dalam-dalam. Ia menguatkan diri demi menghadapi situasi. Tangannya naik dan mengetuk.

"Masuk."

Gemetar, Velia membuka pintu. Tatapannya langsung membentur Lucas. Ia diam, masuk, dan menutup pintu.

Kedatangan Velia membuat Lucas bangkit. Sama seperti Velia, ia pun diam. Hening menyelimuti dan yang mereka lakukan untuk beberapa saat adalah saling menatap.

Lucas tersadar. Ia beranjak. Perlahan menghampiri Velia yang berdiri mematung di depan pintu.

"Ve."

Velia meneguk ludah. Suara serak Lucas tatkala menyebut namanya membuat ingatannya tertarik ke belakang.

Persis. Lagi-lagi tak berubah. Begitulah cara Lucas memanggilnya.

L-Lucas.

Velia mengangkat wajah. Ia tatap Lucas dalam tanda tanya besar yang hadir di benak. Apakah itu benar-benar Lucas? Pria yang dulu pernah meninggalkan dirinya?

Itu adalah kisah lama yang ingin Velia kubur dalam-dalam. Kenangan yang menyadarkannya bahwa tidak semua cerita cinta akan berakhir bahagia. Sebaliknya, bisa saja menghadirkan luka.

Lucas menghadirkan satu goresan dalam di hati Velia. Luka yang tak mudah untuk dilupakan. Ia butuh waktu bertahun-tahun untuk sembuh. Pun dengan perjuangan yang tak sedikit.

Semua seolah percuma sekarang. Tahun-tahun yang Velia lalui seakan tak berarti apa-apa tatkala mereka bertemu lagi.

Lucas tepat di hadapan Velia. Entah sadar atau tidak, ia mengulurkan tangan. Berniat untuk mengusap pipi Velia, tapi gadis itu menghindar samar. Tangan Lucas menyentuh udara kosong.

Menahan ringisan, Lucas menarik turun tangan. Pada akhirnya ia menunjuk sofa dan mendeham sejenak sebelum berkata.

"Duduk."

Velia mengangguk singkat sekali sebelum beranjak menuju sofa. Ia duduk dan mendapati Lucas memilih kursi di hadapannya.

"Apa kabarmu, Ve?"

Sejenak menahan napas di dada, Velia tertampar kenyataan. Sempat berharap bahwa Lucas sang direktur utama bukanlah Lucas yang dikenalnya, kenyataan di depan mata tak bisa dielak. Mereka adalah Lucas yang sama.

Bertahun-tahun mereka berpisah. Sekarang Velia tak tahu harus bersikap seperti apa pada pria itu. Tangan gemetaran dan ia hanya bisa menjawab singkat pertanyaan Lucas.

"Baik."

Lucas menarik napas sekilas. Menerima jawaban Velia dan ia menyambut dengan perkataan lain. "Selama ini aku selalu—"

"Saya minta maaf untuk kelalaian saya hari ini, Pak. Saya meminta maaf dengan tulus."

Velia memotong ucapan Lucas. Pria itu tertegun dalam upaya meresapi perkataan Velia barusan. Ada sesuatu yang mengganjal dari kata-katanya.

"Apa yang kau katakan tadi?" tanya Lucas ingin meyakinkan telinga tidak salah mendengar. "Bapak?"

Suara Lucas terdengar rendah, tapi percayalah bahwa Velia kian gemetaran. Ia tak berdaya dan tanpa sadar menundukkan sedikit pandangan.

"Iya, Bapak."

Lucas terdiam. Tak mengatakan apa-apa, ia hanya melihat Velia. Gadis itu menghindari tatapannya dan lanjut bicara dengan lirih.

"Bukankah sudah sewajarnya saya memanggil Bapak karena Anda adalah pimpinan di perusahaan ini?"

Akhirnya Velia tahu ia harus bersikap seperti apa pada Lucas. Ia menimbang sejenak dan yakin inilah jalan teraman. Seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Baik di masa lalu, masa sekarang, ataupun masa depan.

Lain lagi dengan Lucas. Pertanyaan Velia membuat jantungnya seakan berhenti berdetak. Ekspresinya menunjukkan ketidakpercayaan. Ia syok. Bagaimana mungkin Velia memanggilnya dengan sebutan 'Bapak'?

Lucas menatap Velia lekat. Tanpa sadar, tangannya naik dan mendarat di dada.

"Ve, ini aku."

Velia mengangguk. Ia meremas kedua tangan yang mulai berkeringat. "Saya tahu siapa Bapak. Bapak adalah pimpinan di sini."

"Bukan!" sergah Lucas dengan cepat. "Aku Lucas."

Sergahan Lucas menohok Velia. Pun tatapannya membuat Velia membeku. Velia nyaris tak bernapas andai kuku-kukunya tak menyakiti diri sendiri.

"Kau tak mungkin melupakanku, Ve. Tidak mungkin. Bapak? Bagaimana bisa kau memanggilku seperti itu?"

Lucas bangkit dan berpindah duduk. Ia tahan tangan Velia sehingga memupus kemungkinannya untuk menghindar.

Velia kaget, tentu saja. Namun, bukan hanya genggaman Lucas yang membuatnya terkejut. Alih-alih pelukan yang memerangkapnya sedetik kemudian.

Lucas menarik tubuh Velia. Merengkuhnya. Menenggelamkannya dalam pelukan yang mengukung.

"Luc!"

Refleks, Velia terkesiap menyebut nama pria itu. Kedua tangan Velia sontak naik. Mendarat di dada dan berusaha untuk mendorong Lucas. Ia memberontak, tapi Lucas bergeming. Ia tak bisa melepaskan diri.

"Aku tahu kau masih mengingatku, Ve. Aku tahu itu."

Velia tertegun. Menyebut nama Lucas adalah kesalahan terfatal yang tak seharusnya ia lakukan.

Mata Velia memejam. Tak berlama-lama merutuki kebodohan, ia memohon.

"Lepaskan aku."

Lucas mengabaikan permintaan Velia. Alih-alih pelukannya kian mengerat. "Aku benar-benar merindukanmu, Ve."

Kedua tangan Velia mengepal di dada Lucas. Rindu yang diucapkan Lucas mengacaukan perasaannya. Membuat berantakan semua pertahanan yang sudah dibangunnya sedari dulu.

"Luc, lepaskan aku."

Kembali memohon, Velia menarik napas dalam-dalam. Berharap agar dirinya bisa lebih tenang, tapi nahas. Udara yang dihirupnya turut serta membawa aroma tubuh Lucas. Wangi yang telah lama tak ia hidu sekarang menyentak-nyentak saraf penciuman. Menghantarkan beragam kenangan yang ingin dilupakan.

Lucas menggeleng di atas pundak Velia. "Aku tak akan melepaskanmu, Ve. Tak akan pernah lagi melepaskanmu."

Mata Velia memejam. Itulah upaya terakhir yang bisa ia lakukan demi menolak kenyataan.

"Luc, jangan perlakukanku seperti ini. Aku sudah melupakanmu. Aku mohon. Lepaskan aku."

Lucas membeku. Ia bergeming dengan satu kemungkinan di benak. Mungkin saja ia salah mendengar atau Velia salah berucap.

"Aku benar-benar telah melupakanmu."

Agaknya tidak. Untuk kesekian kali, Lucas mendengar hal serupa dari bibir Velia.

"Aku sudah melupakanmu dari dulu, Luc. Di antara kita sudah tak ada hubungan apa pun."

Getir timbul di pangkal tenggorokan Lucas. Rasanya pahit dan ia nyaris tak bisa bernapas.

"Ve."

"Kita hanya atasan dan bawahan, Luc. Aku mohon. Jangan lakukan ini padaku."

Velia putus asa. Tidak berharap banyak, tapi nyatanya pelukan Lucas mengendur. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan dan bergegas melepaskan diri.

"Semua yang terjadi di antara kita sudah berakhir, Luc. Aku sama sekali tidak ingin mengingatnya sedikit pun."

Lucas bergeming. Hanya bisa diam ketika Velia menatapnya kosong. Meringis samar, ia menggeleng.

"Apa kau bilang?"

Velia menguatkan hati. Berusaha untuk terus menatap Lucas tanpa kedip.

"Antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Semua telah berakhir. Sekarang kita tak lebih dari atasan dan bawahan. Untuk yang dulu pernah terjadi di antara kita, aku hanya menganggapnya masa lalu," ujar Velia seraya menarik napas. "Masa lalu yang tak ubahnya seperti malapetaka."

Lebih dari sekadar malapetaka. Velia tak akan pernah lupa betapa ia menderita karena cintanya pada Lucas.

Bayangan masa lalu muncul. Hadir dan berputar-putar di benak Velia. Menimbulkan kembali kesedihan yang membuatnya tersenyum sendu.

"Malapetaka yang ingin aku lupakan."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top