9. Pertemuan

"Kau sudah merencanakan ini semua, Reas?"

Tudingan Birawa menerbitkan seringai Andreas. Pria itu mengangkat gelas dan meneguk isinya dengan sikap santai, seolah ia sedang menikmati pertunjukan opera kelas internasional.

"Tentu saja aku memang sudah merencanakannya," jawab Andreas entang. Ia beralih pada Vlora di sebelahnya. Tangan terulur dan ia meremas jemari lentik itu dengan lembut. "Mustahil aku tidak memikirkan kemungkinan kalau Papa akan menolak Vlora. Aku tidak mau mengambil risiko dan Papa tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Semua sudah terlambat."

Andreas tidak melebih-lebihkan yang dikatakan. Pun berkenaan dengan ketidakberdayaan Birawa sekarang, tentulah karena hanya butuh hitungan waktu tak lama untuk berita menghebohkan itu untuk tersiar ke penjuru negeri. Tak perlu menunggu sampai koran tercetak dan tersebar besok pagi, bahkan media elektronik yang berbasiskan internet akan mulai bekerja seperti yang diharapkan.

Ekspresi senang menghiasi wajah tampan Andreas. Hanya dengan membayangkannya saja ia sudah sesenang itu, apalagi nanti ketika ia pulang dari acara dan mengabsen satu persatu situs berita? Agaknya ia akan tidur dengan perasaan melayang-layang malam itu.

Andreas mengekspresikan rasa senang dalam dalam bentuk satu kecupan di punggung tangan Vlora. Wanita itu menahan napas dan bertahan agar tidak melihat respon orang tua Andreas yang pasti saja melihat mereka saat itu.

"Mama tahu?"

Andreas melepaskan tangan Vlora dengan penuh kehati-hatian. Pandangannya lantas berpindah pada sang ibu yang berada di seberang meja.

"Vlora ini adalah sekretaris Lucas. Bisa dikatakan tangan kanannya."

Ashmita tak sempat merespon ketika suara Birawa langsung terdengar sedetik kemudian.

"Lucas?"

Andreas melirik pada Birawa. Ayahnya terlihat syok.

"Orang sudah merebut tender hotel Dewata Deluxe di Bali dulu dari Jonas?"

Andreas tertawa. "Itu tender miliaran rupiah pertama yang gagal Jonas dapatkan. Ah! Aku baru ingat kalau saat itu Jonas hampir menghilangkan setengah pemegang saham karena bakat terpendamnya." Ia berdecak sekilas dan mengangguk penuh arti. "Memang memenuhi harapan dan perkiraan semua orang."

"Itu semua gara-gara Lucas. Kau jelas tahu itu, Reas."

"Tentu saja itu gara-gara Lucas. Padahal asal Papa tahu saja. Dia baru delapan bulan memegang FD Realty. Untungnya sekarang Lucas memilih memegang Greatech. Bayangkan saja kalau dia memang berniat bersaing dengan Jonas. Pasti Jonas akan jadi pengangguran."

Semakin merah kelamlah wajah Birawa. Pun tak hanya itu, tangannya yang berada di tas meja tampak mengepal kuat. Agaknya kesabarannya yang tak seberapa semakin terancam.

Birawa menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba untuk menekan emosi dengan satu pemikiran yang memenuhi kepala. Bukan hanya sengaja menyulut dengan awak media yang didatangkan tiba-tiba, Andreas pun tak lupa mengatur skenario agar mereka berempat bisa duduk di satu meja yang sama.

"Bagaimana bisa kau berteman dengan musuh dari saudaramu sendiri, Reas?"

"Aku dan Jonas tidak pernah saling menganggap saudara," tukas Andreas langsung. "Bahkan kami sudah saling menganggap musuh satu sama lain dan musuh dari musuhku, tentu saja adalah temanku."

Birawa memutuskan untuk mengatupkan mulut rapat-rapat. Ia putuskan tak lagi membalas perkataan Andreas karena khawatir bukan kata-kata yang akan diucapkannya, melainkan sumpah serapah.

Sepertinya malam itu sudah cukup. Andreas mencukupkan leluconnya sampai di sana sebelum Birawa menghempaskan semua gelas dan membalik meja.

"Baiklah. Kurasa sekarang waktunya untuk mengenalkan Vlora pada yang lain," ujar Andreas seraya bangkit. Ia mengulurkan tangan pada Vlora seraya mengedarkan pandangan. "Aku belum melihat Vian. Di mana ia?"

Vian mungkin satu-satunya anggota keluarga yang sangat diharapkan Andreas malam itu. Paling tidak ia ingin melihat respons sang adik ketika bertemu dengan calon kakak iparnya.

"Kami permisi."

Vlora memberikan senyum sopan pada Birawa dan Ashmita, lalu mengikut langkah Andreas yang mengajaknya beranjak dari sana.

"Bagaimana? Apa daya adaptasimu berguna?"

Praktis Vlora tak mengatakan banyak hal selama di meja tadi. Ia lebih memilih diam seolah sedang meraba lingkungan yang akan segera ditempati.

"Kupikir lumayan berguna," jawab Vlora mengangguk. "Keluargamu berbeda dengan kebanyakan keluarga yang kuketahui. Cukup membuatku berdebar-debar."

Andreas melirik. "Adrenalinmu bergejolak?"

"Ya."

"Kau suka?"

Vlora membuang napas dengan ekspresi tak berdaya. "Cukup menantang."

"Aku tahu kalau kita memang akan cocok."

"Karena sebenarnya semua itu tidak lebih mendebarkan dibandingkan pemberitahuan mendadak tentang rencana menikah dalam waktu dekat."

"Kau keberatan?"

Vlora mengerjap. Sayangnya ia tak sempat menjawab ketika Andreas kembali bicara seraya menggamit tangannya.

"Bosmu ada di sini."

Vlora melihat ke arah mata Andreas memandang. Ada sepasang suami istri yang tengah berjalan ke arah mereka.

Keempatnya bertemu di tengah-tengah ruangan. Mereka saling berjabat tangan.

"Bagaimana keadaanmu, Ve?"

Velia Angelica yang nyaman berada dalam rengkuhan Lucas tersenyum. Kesan anggun dan menenangkan menguar hingga pertanyaan lama Andreas kembali merampung ke permukaan. Bagaimana mungkin wanita lemah lembut menjatuhkan hatinya pada pria seperti Lucas?

Andreas bukannya ingin mengatakan Lucas tak berperasaan. Hanya saja ia bisa melihat perbedaan di sini. Bila ia dan Vlora berdampingan karena persamaan maka lain lagi dengan Lucas dan Velia. Mereka saling terikat justru karena perbedaan.

"Sehat dan baik-baik saja."

Mungkin tidak sesehat dan sebaik-baik saja yang terlihat. Andreas tahu itu dari wajahnya yang terkesan menunduk sepanjang melangkah, seolah ingin menghindar dari bebeberapa pasang yang melihat dengan sorot penuh arti padanya. Ada iba, tak percaya, dan merendahkan.

Alhasil tak aneh bila Lucas tak melepas rengkuhannya. Ia seolah memastikan bahwa Velia merasa aman.

"Selamat malam, Vlo."

Suara lembut Velia menyapa Vlora. Untuk itu ia mendapatkan balasan yang tak kalah ramah.

"Selamat malam, Nyonya."

Sapa basa-basi berakhir. Pembicaraan berlanjut ketika Lucas menukas tanpa tedeng aling-aling sama sekali.

"Sepertinya aku melewatkan pertunjukan penting."

Andreas terkekeh. "Tenang saja. Kau akan mengetahuinya besok pagi atau mungkin sebentar lagi di media daring, kurasa."

"Kau benar-benar gila."

"Percayaah. Dibandingkan aku ..." Tangan Andreas terangkat dan berputar di udara sebagai isyarat untuk menunjuk semua undangan di pesta. "... orang-orang di pesta ini pasti sadar kalau orang tuaku lebih gila lagi."

Lucas hanya membuang napas seraya geleng-geleng kepala. Apalagi kemudian Andreas kembali bicara.

"Lagi pula kita semua memang gila. Hanya caranya saja yang berbeda."

Lucas tak butuh penjelasan lebih lanjut. Di waktu bersamaan, Vlora menggamit tangan Andreas. Ia berbisik di telinga pria itu.

"Aku ke toilet sebentar."

Andreas berpaling. "Perlu aku antar."

"Terima kasih, tapi tidak perlu."

Vlora permisi dan menuju toilet. Tak membutuhkan waktu lama, ia pun tak lupa untuk memerika riasannya.

Semua masih tampak rapi. Vlora segera keluar dan berniat untuk kembali ke tempat di mana seharusnya ia berada, tapi seorang wanita mengadang jalannya.

"Hai."

Hai?

Ekspresi Vlora terjaga ketika mendapati sapaan tak resmi menuju dirinya. Bahkan ketika uluran tangan menyusul sedetik kemudian. Berikut dengan seuntai senyum.

Vlora menyambut jabat tangan itu. "Vlora.

"Aku tahu siapa kau. Setidaknya tadi kau sudah diperkenalkan oleh tuan rumah."

Ah! Fakta yang terlupakan oleh Vlora. Agaknya tak ada seorang pun yang tidak mengenal dirinya sekarang. Itu semua jelas berkat ide cemerlang Andreas.

"Sayangnya kau pasti tidak mengenalku. Aku Nadine Mutia Kusumo."

Aku tahu kau.

Tentunya berkat perdebatan singkat antara Andreas dan Birawa. Vlora berulang kali mendengar nama Nadine disebut. Lalu apakah ini keberuntungan untuknya karena bisa bertemu secara langsung?

"Ah, Nadine."

Jabat tangan berakhir. Nadine yang malam itu mengenakan gaun hitam lanjut bicara.

"Ya dan aku adalah kekasih Andreas."

Dahi berkerut samar. Mulut terbuka sekilas. Sorot yang berpendar di mata Vlora bukanlah kaget atau syok, melainkan iba. Ekspresinya secara keseluruhan menunjukkan ketidakberdayaan untuk apa yang terjadi.

"Maafkan aku."

Respons Vlora tidak memenuhi harapan Nadine. Ia mengatakan itu jelas bukan untuk mendapatkan rasa kasihan. Satu-satunya yang diinginkannya adalah Vlora terguncang.

Nadine ingin melihat Vlora terkejut. Ia ingin melihat Vlora terpukul dan menangis karena baru menyadari bahwa calon suaminya memilih kekasih.

Semestinya demikian. Skenario yang biasanya terjadi memang begitu. Sayang yang Nadine dapatkan jauh dari harapan.

"Aku tidak pernah mengira kalau demi menikahiku, Andreas harus meninggalkanmu."

Agaknya situasi berbalik. Bukannya Vlora yang terguncang, alih-alih bola mata Nadine yang membesar. Tak hanya gagal membuat Vlora syok, sekarang malah dirinya sendiri yang terpukul.

"A-apa kau bilang?" tanya Nadine seraya mendengkus tak percaya. "Kau mengatakan kalau Andreas meninggalkanku?"

"Bukankah begitu?"

Nadine berhasil menguasai diri. Syok ditekan dan ia terkekeh rendah. Kedua tangannya naik bersedekap tatkala melangkah, mengikis jarak di antara mereka.

"Andreas tidak mungkin menikahimu. Kami sudah dijodohkan dan kau perlu tahu sesuatu. Jauh sebelum perjodohan itu, aku dan Andreas sudah berada dalam hubungan yang serius," bisik Nadine dengan penuh irama. Mata melirik dan sudut bibirnya naik demi tersenyum dengan kesan mencemooh. "Hubungan yang sangat serius untuk kategori seorang wanita dan pria."

"Sepanjang yang kuketahui, Andreas menolak perjodohan kalian."

Vlora balas melirik. Pun balas tersenyum.

"Bahkan Andreas sudah mengenalkanku pada orang tuanya. Di depan para wartawan."

Nadine tampak geram. Ia menarik napas dalam-dalam dan menyadari bahwa Vlora memang memiliki modal bagus untuk membalasnya. Walau demikian bukan berarti ia akan mundur. Tentu saja tidak.

"Kau pikir bisa merebut Andreas dariku? Jangan bermimpi. Itu jelas tidak mungkin."

"Dengar, Nadine. Aku sama sekali tidak ingin merebut Andreas dari siapa pun. Apa kau tahu? Dia yang selalu mendekatiku selama ini."

Nadine tertawa samar dengan maksud merendahkan. "Andreas mendekatimu? Kau pikir aku percaya?"

"Jangan percaya," tanda Vlora. Ia menggeleng sekali dan menatap Nadine tanpa kedip. "Jangan percaya agar kau bisa selalu berharap pada harapan kosongmu."

Mata Nadine terpejam dramatis. Lalu ketika membuka, ada pancaran emosi di sana.

Vlora tak ingin mengambil risiko. Ia putuskan untuk beranjak sebelum keadaan menjadi tak terkendali. Sebagai seorang wanita, ia tentu saja tahu hal gila apa yang bisa dilakukan oleh kaumnya ketika itu menyangkut cinta dan cemburu.

Kaki bergerak. Vlora siap pergi. Namun, Nadine justru mencekalnya.

"Dengar, Vlora. Aku tidak tahu apa yang telah kau lakukan pada Andreas, tapi aku yakin kalau dia akan kembali padaku," kata Nadine dengan penuh penekanan. Cekalannya pada tangan Vlora pun menguat, seolah turut mempertegas perkataannya. "Hubungan kami sudah berjalan beberapa tahun dan kau pasti tahu bukan? Aku sudah terlalu sering melayaninya di ranjang. Kami saling memadu kasih."

Vlora tertegun. Telinga mendengar dan matanya melihat pada cekalan Nadine. Pada saat itu, satu yang ia janjikan.

Kau sendiri yang akan melepaskan tanganmu.

Untuk itu Vlora kembali tersenyum dan menatap Nadine dengan sorot simpatik.

"Oh! Aku tak tahu kalau selama ini kau adalah pelayan Andreas di ranjang. Menyedihkan sekali."

"Menyedihkan?"

"Apa kau tahu sesuatu, Nadine?" tanya Vlora tanpa menunggu jawaban. "Hingga detik ini, Andreas belum pernah menelanjangiku. Bahkan dia tidak tahu tipe bra yang kupakai. Apa kau tahu apa itu artinya?"

Vlora tidak memberikan kesempatan Nadine untuk bicara. Lantaran bukanlah pertanyaan yang menjadi satu-satunya sikap Vlora, melainkan tindakannya pula.

Kali ini Vlora yang mengikis jarak di antara mereka. Ia mengambil posisi yang tepat sehingga bisa bicara dengan suara rendah, tapi tetap terdengar begitu jelas di telinga Nadine.

"Aku tak harus menjadi pelayan ranjang Andreas untuk menjadi wanita pilihannya. Jadi kau bisa bayangkan apa yang akan terjadi kalau aku sekali saja melayaninya di ranjang?"

Senyum Vlora berubah menjadi kuluman geli, lalu mendeham.

"Aku bertaruh kalau minggu depan kami sudah menikah."

Wajah Nadine membeku. "Kau terlalu percaya diri, Vlora."

"Memang, karena aku tahu nilai diriku."

Sindiran Nadine mendapatkan pengakuan Vlora. Bukan hanya melalui kata-kata, melainkan pembawaannya. Ia benar-benar menunjukkan rasa percaya diri yang disinggung Nadine.

"Berat untuk mengakuinya, tapi aku tak tahu entah Andreas yang pintar mengambil keuntungan atau kau yang terlalu bodoh untuk dirugikan. Mungkin Andreas adalah golongan pria yang tahu beda antara si pemuas nafsu dan sang calon ratu."

Bukan hanya wajah Nadine yang merah. Bahkan daun telinganya pun tampak seperti tengah melepuh tersiram air panas.

"Kalian sudah dijodohkan dan kau pun sudah menjadi pemuas nafsunya, tapi Andreas tetap tak ingin menikahimu?"

Vlora mendeham dengan penuh irama. Kali ini ia yang menatap Nadine yang sorot merendahkan.

"Harus kukatakan, Nadine. Kau benar-benar sial."

Bertepatan dengan itu, cekalan Nadine pada Vlora lepas. Tangannya jatuh dan menjuntai lemas di sisi tubuh. Persis seperti keinginan Vlora, Nadine sendiri yang melepaskan dirinya.

"Jadi kau tunggu saja undangan pernikahan kami dalam waktu dekat. Selain itu mengingat kau pernah menjadi pemuas nafsu Andreas, apakah bisa aku meminta rekomendasi lingerie yang Andreas suka? Kau bisa membantuku?"

Tentu saja bukan jawaban yang Vlora dapatkan. Alih-alih tatapan penuh kebencian dengan kedua tangan yang mengepal kuat.

Wajah cantik Nadine mengeras dengan penuh emosi. Mulutnya terkatup rapat. Agaknya ia masih sadar bahwa ia tak bisa menjambak Vlora di sana. Ia harus mempertahankan setitik harga diri yang masih tersisa.

"Kalau tak bisa membantuku, tak apa. Sepertinya itu kesempatan untukku dan Andreas agar bisa saling mengeksplorasi. Sepertinya itu akan jadi pengalaman yang menyenangkan."

Itulah penutup yang Vlora katakan. Ia memutar tubuh dan sesaat ekspresinya berubah ketika melirik Nadine untuk yang terakhir kali.

Vlora melangkah. Ia terus menjauh dari Nadine dan Andreas menghampirinya.

"Ada masalah?"

Andreas jelas sempat melihat dengan siapa Vlora sempat berbicara. Pun karena itulah ia berniat untuk menyusul Vlora walau terlambat.

Vlora menggeleng. "Tak ada masalah sedikit pun. Aku hanya merasa sedikit lapar."

Andreas putuskan untuk mencari tahu apa yang dibicarakan dua wanita itu nanti. Sekarang memang waktunya menikmati sajian.

"Ayo. Kita harus mencicipi hidangan utama."

Keduanya sama beranjak. Dalam posisi melangkah berdampingan, Andreas mendengar bisikan Vlora.

"Rengkuh aku. Letakkan tanganmu di pinggangku."

Sedetik Andreas melongo, tapi ia segera melakukan yang diminta Vlora di detik selanjutnya. Tangannya mendarat di atas lekuk bokong Vlora.

"Hanya seperti ini?" tanya Andreas dengan kilat menggoda. "Kupikir lebih bagus kalau lebih dari ini."

Alhasil Andreas benar-benar merengkuh pinggang Vlora hingga tubuh ramping itu menempel erat di tubuhnya. Vlora sedikit kaget dan seketika berpaling, tepat menyambut kecupan yang mendarat di pelipisnya dengan gestur begitu intim.

Sentuhan yang satu itu adalah sesuatu yang tak diduga Vlora. Namun, ia bereaksi dengan begitu alamiah. Matanya terpejam dengan satu tangan yang naik, mendarat di dada Andreas.

Kecupan Andreas berubah jadi senyum. Satu pujian menggema di benaknya.

Tidak pernah ingin kalah. Aku suka.

Andreas berpaling ke belakang. Matanya tertuju pada Nadine yang berdiri membeku. Ia memang tak tahu apa yang dibicarakan mereka. Walau demikian ia tak akan segan-segan untuk berterima kasih.

Ternyata kau ada gunanya Nadine.

Lantaran itu adalah kali pertama Vlora meminta direngkuh. Di depan umum. Di depan banyak mata. Agaknya sekarang gayung Andreas benar-benar sudah bersambut bukan?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top