8. Permulaan

Andreas tiba tepat waktu sesuai dengan janjinya tempo hari. Setelah mendapatkan akses, ia menaiki lift dan menuju lantai di mana unit Vlora berada. Langkahnya berhenti di pintu bernomor 1801.

Bel ditekan. Andreas menunggu tak lama. Mungkin hanya lima detik dan pintu membuka. Lalu ia tertegun.

Andreas tidak akan menampik bahwa sudah terlalu banyak wanita cantik yang dikenalnya. Sudah tak terhitung jari tangan dan kaki.

Pun begitu pula bahwa Andreas tidak akan menampik bahwa apa yang dilihatnya malam itu adalah keseksian yang tak pernah ia bayangkan. Sempurna dan benar-benar tanpa cela.

Andreas tertegun, sedetik. Lalu bibirnya melengkung dalam senyum penuh ketakjuban.

"Kau benar-benar menakjubkan."

Apakah perkataan seorang pemain bisa dipercaya? Untuk Vlora sendiri itu adalah pertaruhan. Untungnya ia tidak berniat untuk berjudi pada hal yang tak penting sama sekali. Ia memang menakjubkan atau tidak, sama sekali tak ada urusannya dengan Andreas.

Pujian Andreas tak akan berdampak apa pun untuk Vlora. Pun apa yang ditampilkan olehnya saat itu sama sekali tidak dalam rangka untuk membuat takjub Andreas.

"Terima kasih, tapi aku harap kau tidak berpikir berlebihan," ujar Vlora tenang. Ia menambahkan. "Aku melakukannya karena aku ingin."

Andreas mengerjap dan menatap Vlora. "Tentu saja. Aku sama sekali tidak berpikir sedikit pun kalau kau sedang berusaha untuk membuatku kagum. Sayangnya itu adalah hal yang tak bisa kita antisipasi."

Bila Vlora sedikit saja meragukan kejujuran Andreas maka ia bisa mengingat kilat asing yang sempat berpijar di mata pria itu tadi. Singkat, tapi jelas. Pun ekspresi wajahnya sempat berubah walau hanya untuk sepersekian detik yang amat singkat. Tadi itu adalah reaksi yang sering disebut orang-orang dengan istilah terpana.

Andreas jelas akan mengaku dengan senang hati. Ia benar-benar terpana dan itu bukan tanpa sebab. Alih-alih karena begitu banyaknya sebab yang membuat ia sempat tak bisa berkata-kata untuk sesaat.

Selama ini Andreas kerap bertemu Vlora dalam suasana formal. Memang mereka tidak ada interaksi resmi apa pun, tapi lokasi dan waktu memaksa mereka untuk berhadapan satu sama lain dalam balutan setelan kerja. Jelas berbeda untuk yang kali ini.

Adalah sepotong gaun bermodel duyung yang membalut tubuh berlekuk nan tinggi Vlora. Bahan mewah nan mengkilap itu membungkus pas badannya dan memiliki bagian melebar dari lutut ke bawah.

Gaun itu bermodel halter neckline tanpa lengan. Potongannya feminin, tapi sukses memberikan kesan tegas yang tepat sekali untuk wanita seperti Vlora.

Satu poin berikutnya yang berhasil menggelitik mata Andreas. Yaitu, belahan tinggi yang memamerkan jenjang kaki Vlora.

Keseluruhannya ditutup oleh efek sekuin yang membuat Vlora tak ubah permata berkilau di malam hari. Permata bewarna merah membara.

"Kita pergi sekarang?"

Andreas mengangguk dan tak berapa lama kemudian, keduanya sudah berada di mobil dan membaur di jalanan.

Ada waktu yang tersedia. Kesempatan yang tepat. Tak hanya mengisi kekosongan masa perjalanan, tapi juga merupakan pemberitahuan yang Andreas cukup berhak didapat Vlora.

"Keluargaku bukan tipe keluarga cemara. Jadi harap maklum kalau nanti tak ada sapa hangat atau sekadar lelucon receh untuk mendekatkan diri. Semoga kau bisa beradaptasi dengan mudah."

Andreas melirik sekilas dan mendapati tatapan Vlora bahkan tak berkedip untuk perkataannya. Matanya tertuju lurus ke depan. Ia tampak tenang dengan pergerakan samar di dada, tanda bahwa ia menghirup udara dalam-dalam sebagai reaksi.

"Kau beruntung. Aku punya daya adaptasi yang lumayan tinggi untuk berbagai situasi. Bukan masalah bagiku."

Andreas mengangguk penuh irama. "Sudah kuduga. Kau memang pilihan paling tepat."

"Karena daya adaptasiku tinggi?"

"Bukan, tapi karena kau memang memenuhi semua kriteria yang aku inginkan," ujar Andreas seraya membuang napas. Ada satu hal yang perlu dipastikannya. "Kutebak kau bukanlah tipe wanita yang akan merelakan miliknya diambil orang."

Kali ini Vlora berpaling. Dahinya sedikit mengerut.

"Aku tak yakin paham maksudmu, tapi aku memiliki kecenderungan untuk membalas."

"Manis sekali. Aku tahu itu dan aku menyukainya."

Masih butuh sepuluh menit sebelum malam berpindah ke pukul tujuh. Pada saat itu mobil yang Andreas kendarai telah melewati gerbang rumahnya yang megah.

Vlora bergeming dengan mata yang sesekali melirik. Hanya untuk sekadar melihat betapa luasnya hunian yang dikenal dengan nama rumah besar Cakrawinata. Ternyata besar memang berarti besar.

Sepuluh menit yang tersisa praktis habis untuk mereka benar-benar tiba di pelataran rumah. Bukan hanya karena jarak, melainkan juga karena mereka harus cukup bersabar pada antrean kendaraan.

Dua orang petugas keamanan membuka pintu mobil bersamaan. Keduanya turun dan Andreas menyerahkan kunci mobil agar kendaraan beroda empat itu bisa diparkir.

Andreas mengulurkan tangan. Vlora menyambutnya. Bersama-sama, mereka melangkah memasuki kemeriahan.

"Kita temui orang tuaku dulu," bisik Andreas seraya melihat jam tangan. Ia mengedarkan pandangan dan menemukan keberadaan Frans. Sang asisten pribadi memberikan satu anggukan. "Sebentar lagi. Setelah Papa membuka pesta ini."

Vlora mengangguk tanpa mengabaikan sekilas gelagat tak biasa Andreas. Ia melihat ke arah mata Andreas sempat tertuju. Sayangnya sudah tak ada apa-apa di sana.

"Ayo."

Andreas mengajak Vlora untuk duduk di meja bundar yang khusus diperuntukkan bagi anggota keluarga. Seorang pelayan datang dan menyajikan minum untuk keduanya.

Mereka tak menunggu lama. Birawa sebagai kepala rumah tangga memanfaatkan waktunya dengan sebaik mungkin. Sepatah dua patah kata diucapkannya dan di telinga Andreas, itu tak ubah pidato basa-basi yang tak berguna.

Namun, tawa berderai. Para undangan menanggapi dan lagi-lagi bagi Andreas, itu hanya lantaran mereka sedang dalam tujuan menyanjung sang ayah. Ia tahu jelas, Birawa sangat suka dipuji.

Sesi acara bertukar. Waktu yang dinantikan oleh Andreas telah tiba. Ia meraih tangan Vlora.

Perhatian berpindah. Para undangan yang mulai menikmati pesta dengan beragam topik pembicaraan teralihkan oleh keberadaan sepasang anak manusia yang menyeruak di antara kemeriahan.

Baik Andreas maupun Vlora berjalan dalam langkah teratur dengan penuh percaya diri. Aura mereka tak biasa. Tak ubah magnet yang amat ampuh untuk menarik fokus semua mata.

"Siapa yang digandeng Andreas?"

"Entahlah. Aku baru melihatnya pertama kali ini."

"Wajahnya sedikit tak asing, tapi aku tak yakin melihatnya di mana."

Andreas menahan desakan diri untuk tidak tertawa. Bila ada satu atau dua orang yang familier dengan wajah Vlora maka tentulah mereka bertemu berkat Lucas.

Langkah berhenti. Mereka telah sampai di tujuan. Pada Birawa dan Ashmita yang terlihat beramah-tamah dengan undangan.

"Papa. Mama."

Undangan beranjak. Andreas segera menghampiri Birawa untuk bersalaman—hanya sekadar formalitas di depan publik. Namun, ia benar-benar tulus ketika memeluk Ashmita.

Ashmita melihat Vlora. Ingin bertanya, tapi Andreas lebih dulu bicara.

"Wanita yang aku bicarakan tempo hari, Ma. Namanya Vlora."

Vlora tersenyum dan bersalaman dengan Ashmita. Pembawaannya yang sopan membuat Ashmita mengangguk penuh arti. Sebaliknya dengan Birawa.

"Siapa dia?"

Andreas berpaling pada sang ayah. "Calon istriku, Pa. Beberapa hari yang lalu aku sudah melamarnya dan kami sepakat akan menikah dalam waktu dekat."

Ah! Satu hal yang terlewatkan oleh Vlora. Ia tidak tahu tentang rencana menikah dalam waktu dekat. Walau demikian ia dengan bijak menjaga ekspresi.

"Calon istrimu?" tanya Birawa tak percaya. Matanya melotot seolah lupa sedang ada acara apa saat itu. "Kau lupa kalau kau sudah dijodohkan dengan Nadine?"

Ashmita menahan napas. Ia meraih tangan suami dan mencoba untuk meredakan percikan emosinya.

"Mungkin Papa yang sebenarnya lupa kalau aku sudah menolak perjodohan itu."

"Menolak sementara kau jelas-jelas memiliki hubungan dengan Nadine selama ini? Kau jelas harus menikah dengan Nadine."

Seringai Andreas terbit. "Katakan padaku, Pa. Apa Papa menikahi setiap wanita yang memiliki hubungan dengan Papa?"

Vlora refleks berpaling. Agaknya ia sedikit tidak mengira kalau Andreas bisa menyerang senyata itu.

Maksud Vlora, ini adalah Birawa. Ayah kandung Andreas.

Sepertinya memang sesuai dugaanku.

"Menurut hematku, hubungan semalam dua malam tak lantas menjadi alasan sebuah pernikahan bisa terjadi."

Wajah Birawa mengeras. "Kau."

"Ah! Apa kita bisa melakukan perjanjian di sini? Kalaupun aku memang tetap harus menikahi Nadine, aku harap Papa juga mengizinkan aku untuk menikahi Vlora. Persis seperti yang Papa lakukan. Ehm aku penasaran apa yang akan dilakukan keluarga Haryono kalau aku mempoligami putrinya."

Dengan amat sengaja, Andreas tertawa walau tertahan. Ekspresinya geli melihat wajah Birawa yang sudah mengelam.

Birawa membuka mulut. Umpatan sudah berada di ujung lidah, tapi Ashmita menahan tangannya dan berbisik.

"Ada banyak orang di sini, Mas."

Birawa terpaksa menahan lidahnya. Semua umpatan dan sumpah serapah harus disimpan untuk sejenak.

"Jadi kita tidak perlu memikirkan skenario itu. Aku tidak ingin menikahi Nadine, tapi sebagai ganti ..."

Andreas berpaling dan menatap Vlora. Ia tersenyum seolah tengah memamerkan keindahan langka di dunia.

"... aku membawa calon menantu yang sangat menakjubkan."

Ashmita beranjak dan mendekati Andreas. "Reas, ini sepertinya bukan waktu tepat." Lalu ia beralih pada Vlora. "Tante harap kau tidak tersinggung, tapi sepertinya kita harus bicara lain waktu. Ada beberapa hal yang harus diluruskan."

Vlora ingin mengatakan rasa tak keberatannya, tapi yang terjadi sebaliknya. Andreas malah lebih dulu berkata.

"Aku pikir ini justru waktu yang paling tepat untuk kita berbahagia, Ma."

Perasaan Ashmita berubah tak enak. "Apa maksudmu, Reas?"

Andreas tak sempat menjawab pertanyaan ketika mendadak ada keriuhan asing yang tercipta. Tamu undangan sama menoleh, begitu pula dengan anggota keluarga. Mereka sama melihat pada pemandangan tak terduga di seberang ruangan. Tepat pada Frans yang tiba-tiba muncul bersama dengan orang-orang berkamera.

Wajah Birawa dan Ashmita memucat. Di tempat berbeda, Alwi tak bisa berbuat apa-apa. Sungguh tak ada yang mengira kalau Andreas akan bertindak sejauh itu.

"Jadi berita mengenai hubungan Andreas dan Nadine yang telah berakhir memang benar?"

"Apa itu artinya pernikahan pewaris grup Cakrawinata akan berlangsung dalam waktu dekat?"

Andreas tersenyum penuh rasa senang. Ia meraih tangan Vlora dengan begitu percaya diri, mengajaknya berdiri di sebelah. Sekilas, ia melirik dan mendapati bahwa secara tak sengaja mereka berempat berada dalam posisi tepat untuk menjadi objek petikan kamera.

Birawa tepat di sebelah Andreas. Sang putra merengkuhnya dan sedikit berpaling demi memberikan senyum penuh arti.

"Sepertinya memang begitu. Kami akan menikah dalam waktu dekat. Kalian tahu bukan? Para orang tua mulai mengeluhkan soal cucu."

Mereka yang tak tahu akan tertawa. Mereka yang tahu jelas meneguk ludah. Pada kenyataannya lebih banyak yang meneguk ludah ketimbang tertawa.

"Jadi isu kalau anda menolak perjodohan dengan Nadine memang benar adanya? Bukankah selama ini kalian menjalin hubungan?"

Andreas berdecak sekilas. "Kami hanya masa lalu. Hubungan kami sudah lama berakhir dan kemudian aku bertemu dengan seseorang yang membuat mataku tak bisa berpaling."

Fokus berpindah pada Vlora. Kamera membidik, tapi ia tetap tenang.

"Bukankah dia sangat menawan?"

Tatapan Andreas berbinar-binar. Kali ini ia meraih tubuh Vlora dan merengkuhnya. Satu pemikiran langsung membuatnya seolah terbang.

Dengan begini, tak akan ada yang bisa menentang pernikahanku dan Vlora.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top