6. Jawaban
Untuk kategori pria seperti Andreas—bagi Vlora, ia adalah pria yang cenderung urakan dan terkesan nakal, pilihan Westlife sebagai teman berkendara pulang kala itu jelas adalah hal yang cukup mengejutkan untuk Vlora. Bisa dikatakan bertolakbelakang dengan tampilan luar Andreas.
Empat puluh menit berlalu. Andreas mengarahkan mobil ke satu kawasan gedung apartemen. Tidak terlalu mewah untuk standar orang sekelas Andreas, tapi bukan berarti berada di golongan bawah. Ia tahu, penghasilan Vlora sebagai tangan kanan Lucas tentu sangat mampu memenuhi kebutuhan dan gaya hidup. Terutama pemenuhan kebetuhan akan tempat tinggal berkualitas.
Andreas menghentikan laju mobil di sisi gedung, alih-alih di depan pelataran. Ia berpaling dan mendapati Vlora melepas sabuk pengaman. Untuk itu, ia segera bertindak dengan menahan Vlora.
"Kau tidak ingin mengundangku ke unitmu?" tanya Andreas seraya melepas sabuk pengaman dengan satu tangan sementara tangan yang lain tetap menahan Vlora. "Sekadar teh mungkin. Kurasa itu sopan santun yang biasa dilakukan oleh wanita dan pria yang baru saja selesai berkencan."
Vlora tersenyum tipis. "Maaf, Pak. Ini nyaris pukul setengah sebelas malam. Saya harus segera beristirahat agar besok bisa pergi ke kantor tepat waktu."
Tiba-tiba mata Vlora menyipit. Kesan tak yakin menaungi ekspresinya sedetik kemudian.
"Jangan katakan kalau ini bisa menjadi duri dalam lamaran Bapak. Karena kalau ya, tentu saja ini adalah hal yang sangat disayangkan mengingat betapa diplomatisnya lamaran Bapak tadi."
"Maksudmu?"
Menarik napas sejenak, Vlora melepaskan tangan Andreas yang menahannya. Ia tak berniat turun saat itu, melainkan justru mengubah sedikit posisi duduknya. Agar ia dapat menatap Andreas dengan lebih leluasa.
"Saya memiliki jadwal tak tertulis untuk semua kegiatan, Pak. Tidur di pukul sebelas malam dan bangun di pukul setengah lima pagi. Menurut pemikiran saya, Bapak tentu orang yang lebih aktif di malam hari."
Andreas paham dan lantas senyum mengembang di wajah tampannya. "Menurutmu kebiasaan yang berbeda ini akan menjadi rintangan dalam rumah tangga kita nanti?"
Kata kita terasa mengganjal di indra pendengaran Vlora, tapi tak urung juga ia mengangguk sekali.
"Aku yakin itu hanya disebabkan karena aku jarang aktif di siang hari. Ketika kita menikah, kurasa kebiasaan itu akan hilang seiring waktu dan tentu saja ..."
Untai senyum Andreas mengalami sedikit perubahan. Garis lengkung itu berubah sedikit miring dan ekspresinya tampak menggoda.
"... aku bisa pastikan ada satu dua hal yang bisa kita lakukan sebelum jam sebelas malam. Sesuatu yang bisa membuat aku kelelahan dan tidur cepat."
Vlora terlalu pintar untuk mengetahui makna tersirat dari ucapan Andreas. Pun walau ia adalah wanita logis, tapi bukan berarti ia tidak memiliki perasaan. Nyatanya kata-kata Andreas mampu membuat jantungnya seolah tak berdetak lagi.
Wajah Vlora mengeras sementara di mata Andreas, ekspresinya tampak datar saja. Layaknya Vlora tak merasa terganggu dengan perkataannya. Vlora dengan begitu ahli mencoba untuk menjaga mimik mukanya agar tak terbaca. Salah satu hal lainnya yang menarik Andreas.
Tak bisa ditebak.
"Terlepas dari itu semua," lanjut Andreas setelah menarik napas sekali. "Aku akan tetap menunggu jawabanmu. Besok pagi."
"Besok pagi?"
Andreas berdecak. Pun menggeleng sekali dengan entengnya. "Kau pintar, Vlo. Kau tak mungkin harus menggunakan semua rumus untuk memberikanku jawaban. Jadi besok aku menginginkan jawabanku. Untuk itu aku harap kau merenungkan semua perkataanku malam ini."
"Saya akan mendapatkan rumah tangga yang tak akan bisa ditawarkan oleh pria lain padamu," ujar Vlora mengulang perkataan Andreas. "Benar?"
Kilat puas memenuhi sorot Andreas. Ia takjub dengan tepatnya Vlora mengulang semua perkataannya.
"Ah! Kau bahkan mengingat setiap katanya tanpa ada beda sama sekali. Jadi aku harap kau mengambil keputusan yang tepat, Vlo. Aku yakin kau tahu kalau kesempatan tak akan pernah datang dua kali. Tak akan ada pria yang bisa menawarkan hal seperti ini padamu."
Tatapan Andreas menajam. Ia memaku Vlora dan bicara dengan suara yang lebih rendah, terkesan ingin mempengaruhi.
"Hanya aku, Vlo. Hanya aku."
Vlora mengangguk dalam senyum tipis. "Tentu saja. Saya akan mempertimbangkannya dengan masak-masak. Bapak tak perlu khawatir."
"Satu hal sebelum kau keluar dari mobilku, ada yang harus aku katakan."
"Apa?"
Sedetik setelah satu kata tanya itu meluncur dari lidah Vlora, Andreas mendekat. Tubuh Vlora menegang, tapi ia tak beranjak ketika sadar bahwa Andreas mendekatinya bukan dalam maksud untuk menciumnya. Alih-alih untuk mengambil tempat di sisi wajahnya. Tepat di telinga dan lalu Andreas berbisik.
"Pria lain mungkin senang melihat wanita di bawah mereka, tapi percayalah, Sayang. Aku suka kalau kau di atasku."
Sebagai penutup, Andreas melabuhkan seringainya dalam bentuk kecupan singkat di pipi Vlora.
*
Vlora baru saja keluar dari kamar mandi. Ia keramas dan membersihkan diri dengan kucuran air hangat. Letih dan pegal yang sempat menggelayuti di beberapa titik, hilang.
Sehelai gaun tidur berbahan satin membalut tubuh Vlora sesaat kemudian. Ia duduk di meja rias dan mengeringkan rambut. Tatapan lurus mengarah pada pantulan wajahnya di cermin.
Vlora jatuh dalam perenungan. Ia memikirkan setiap perkataan Andreas dan semuanya. Lantas sesuatu melintas di benaknya. Seperti suara Andreas, tapi mungkin juga suara batinnya sendiri.
Kesempatan tak akan pernah datang dua kali.
Vlora membuang napas panjang. Pengering rambut mendarat di meja rias dan ia berpindah pada sisir. Ia merapikan rambut bergelombangnya sejenak sebelum beranjak tidur.
Terpisah jarak, ada seorang pria yang bersenandung riang seraya masuk ke unit apartemen. Ia melepas jas dengan santai dan melemparnya ke sembarang arah. Tujuannya, tentu saja adalah bar.
Gelas kristal keluar. Beberapa balok es batu mengisinya. Kemudian disusul oleh alkohol.
Andreas menyesap minuman dengan seringai di wajah. Seraya memainkan gelas di tangan, ia bergumam rendah.
"Aku yakin kau akan menerima tawaranku, Vlo. Aku yakin sekali."
Andreas menandaskan isi gelas dalam satu tegukan besar. Gelas kosong mendarat di bar dan ia mengeluarkan ponsel, menghubungi Frans.
"Selamat malam, Pak."
Andreas memutar kursi. Ia membelakangi bar dan menyandarkan punggung dengan santai.
"Selamat malam juga, Frans. Aku ingin tahu apa ada perkembangan terbaru dari Jonas? Apa yang sedang dia lakukan saat ini?"
"Sepanjang yang saya tahu, sekarang beliau sedang fokus dengan penawaran pembangunan apartemen Marlion Deluxe."
Andreas mengangguk berulang kali. "Bukankah itu apartemen yang semula akan aku kerjakan?"
"Benar sekali, Pak. Sepertinya Tuan Besar mengalihkan padanya karena Bapak yang tidak berada di Singapura selama enam bulan belakangan ini."
Dehaman Andreas terdengar untuk beberapa saat. Ekspresinya tampak mencemooh.
"Memang itulah untungnya kalau punya beberapa anak dari istri yang berbeda. Akan selalu ada cadangan. Bukan hal yang aneh sama sekali."
"Menurus saya, mungkin sebaiknya Bapak berusaha mengambil alih proyek ini. Bagaimanapun juga ini akan berperan penting untuk penilaian Tuan Besar terhadap calon penerus selanjutnya."
Andreas terkekeh. "Seperti Papa akan melihat hal pekerjaanku saja. Kau jelas tau siapa pemenangnya bahkan sebelum semua dimulai. Jadi aku tak ingin menghabiskan waktu dan tenaga untuk hal yang sia-sia."
Frans diam. Untuk apa yang dikatakan Andreas, sang asisten pribadi tak bisa merespon apa-apa lantaran kebenaran tersebut.
Nyatanya bersikap adil adalah nyaris mustahil untuk dilakukan makhluk fana bernama manusia. Kecenderungan untuk condong ke salah satu pihak selalu menjadi naluri alamiah. Pun termasuk di dalamnya apabila seorang pria memiliki anak dari dua istri.
"Walau demikian kau tak perlu khawatir, Frans. Sekarang aku memang hanya ingin memantau sejauh mana Jonas bisa melangkah. Apa kau tahu? Ada hal penting yang aku pelajari selama enam bulan di Indonesia."
"Apa itu, Pak?"
"Jangan gegabah," jawab Andreas dengan penuh yakin. "Sesekali bertingkah seolah orang dungu yang tak tahu apa-apa, terkadang adalah taktik jitu. Kita biarkan mereka bergerak terlebih dahulu. Semakin dia mengira aku tak punya kuasa maka itu semakin bagus. Aku penasaran akan sekaget apa wajah Jonas nanti."
"Baik, Pak. Selain itu Nyonya Besar juga berpesan. Setibanya di Jakarta, beliau ingin langsung bertemu dengan calon istri Bapak."
Wajah Andreas langsung berubah rileks. Ia tersenyum lebar. "Ah! Tentu saja. Aku akan dengan senang hati mengenalkan wanitaku pada seluruh anggota keluarga. Kita harus benar-benar menyambut wanita istimewa ini. Pastikan pesta penyambutan nanti akan meriah."
Panggilan berakhir semenit kemudian. Andreas menaruh ponsel di bar dan lantas pikirannya kembali melayang pada Vlora.
"Vlora. Vlora."
Andreas melirihkan nama Vlora dengan penuh irama. Pun penuh makna. Dari keterpanaan hingga ketakjuban.
Tentu saja bukan hanya kecantikan wanita itu yang membuat Andreas nekat melamar Vlora. Karena bila harus jujur, sebenarnya Vlora tidak bisa menyaingi kecantikan para mantan kekasih Andreas.
Poin pentingnya di sini. Cara bicara, pembawaan, dan kepintaran Vlora lebih dari sangat sukses menghadirkan kecantikan-kecantikan yang tak mampu ditampik Andreas. Di matanya, Vlora benar-benar ... seksi.
"Kau harus berdiri tepat di sampingku, Vlo."
Andreas kembali mengisi gelas. Ia biarkan suhu minuman itu berangsur menurun dan memberikan sensasi dingin di lidah, lalu menjanjikan sesuatu pada diri sendiri.
"Aku akan menikahimu dengan cara apa pun."
Keteguhan hati Andreas terbukti keesokan harinya. Ia mendatangi gedung apartemen Vlora berbekal informasi yang dimiliki—wanita itu selalu bangun jam setengah lima pagi.
Andreas melangkah turun dari mobil. Pembawaannya santai dan langsung menemui seorang resepsionis pria yang berjaga di meja.
"Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
Andreas tersenyum ramah, sekilas. "Saya ingin menjemput Nona Vlora. Dia tinggal di unit berapa?"
Sang resepsionis baru saja akan menjawab pertanyaan ketika lift yang berada beberapa meter di belakang Andreas berhenti bergerak. Pintunya membuka dan menampilkan seorang wanita yang melangkah keluar. Resepsionis tersenyum seraya mengangkat tangan, menunjuk dengan sopan.
"Sepertinya itu Nona Vlora, Pak."
Andreas menoleh dan tatapan mereka beradu. Keberadaan Andreas yang tak terduga membuat bola mata Vlora membesar. Langkahnya yang semula anggun dan santai pun sontak berhenti.
"Terima kasih," ujar Andreas pada resepsionis sebelum beranjak. Ia segera mendekati Vlora. "Selamat pagi, Vlo."
Samar kerutan muncul di dahi Vlora. Ia menarik napas dan kembali berhasil menguasai diri sedetik kemudian. Lalu ia membalas sapaan itu.
"Selamat pagi juga, Reas."
Bukan hal aneh bila sedetik kemudian mata Andreas membola walau hanya sekilas. Nyatanya keterkejutan itu dengan cepat tergantikan oleh seringai senang.
"Aku tebak kau sudah mengambil keputusanmu dan ...," kata Andreas kian mendekat. "... kalau boleh menebak lebih lanjut, sepertinya keputusanmu adalah ya."
Jarak tak seberapa terkikis. Andreas cenderung menundukkan wajah tatkala membidik mata Vlora.
"Jadi jawabanmu?"
Sebaliknya, Vlora menengadahkan wajah. Ia sambut tatapan Andreas tanpa kedip ketika mengatakan satu kata.
"Ya."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top