59. Tindakan

Tak ada suara yang terdengar. Bahkan semilir angin yang berembus terasa tak menimbulkan jejak sedikit pun. Semua sunyi dan senyap, tetapi tanpa kesan dingin yang timbul, melainkan justru kehangatan, sesuatu yang jelas hanya mampu dirasakan oleh Andreas dan Vlora.

Menit demi menit terlewati. Andreas mengangkat tangan dan meraih tangan Vlora yang mengobati luka di wajahnya. Digenggamnya jemari Vlora dengan penuh kelembutan dan jadilah tatapan Vlora yang berpindah pada matanya.

Dua pasang mata bertemu. Mereka saling menatap satu sama lain. Sesaat, mereka sama-sama tak bicara. Lalu Andreas berusaha menelan getir dan memberanikan diri.

"Vlo—"

"Semua akan baik-baik saja, Reas," potong Vlora cepat sebelum Andreas tuntas bicara. Ia tersenyum tipis. "Kita pasti bisa melaluinya."

Andreas menarik udara dalam-dalam. Panas menjalari dadanya dan udara tak ubah tengah membuatnya berkobar. Namun, ketika dilihatnya bening mata Vlora maka bara itu tergantikan oleh sesak kepedihan. Hatinya bagai diremas, menyakitkan sekali.

"Terima kasih, Vlo."

Andreas menyadari bahwa ia sangat beruntung memiliki Vlora. Entah apa yang akan terjadi bila Vlora tidak datang di waktu yang tepat. Vlora menenangkannya dan alih-alih meniup api kemarahan itu untuk semakin berkobar, Vlora justru meredakannya. Vlora menyelamatkannya dari pengambilan keputusan yang salah. Ia nyaris melakukan hal fatal yang bisa menjerumuskannya.

Vlora sisihkan kapas dan obat luka. Ia beringsut dan mendekat pada Andreas. Diistirahatkannya kepala di dada Andreas. Mata memejam dan ia nikmati debar jantung Andreas, rasanya damai dan menenangkan. Jadilah ia bertanya-tanya pada diri sendiri, sejak kapan degup jantung Andreas menjadi simfoni indah di telinganya? Terdengar begitu merdu dan ia tak bisa membayangkan bila kehilangannya. Beruntung, ia menemukan Andreas sebelum semua terlambat.

Tangan Andreas naik. Direngkuhnya Vlora. Lantas kedamaian membungkus mereka berdua.

"Semua yang telah kau lakukan selama ini sudah tepat, Sayang. Jadi kau jangan sampai merusaknya."

Andreas turut memejamkan mata. Diremasnya lengan atas Vlora demi menguatkan hatinya sendiri. Di titik itu, ia benar-benar merasa tak berguna menjadi seorang pria. Ia gagal melindungi istri dan juga anaknya.

"Jangan kau rusak semuanya, Sayang."

Vlora tenggelamkan diri dalam rengkuhan Andreas. Ia hadapi kenyataan bahwa rasa kehilangan telah berulang kali menghampirinya. Hidup yang harus dijalaninya berlumurkan tragedi, dari kehilangan orang tua dan saudara. Lebih menyakitkan lagi, ia harus merelakan buah hati yang baru saja ia ketahui kehadirannya. Jadi ia tak bisa membayangkan bila ia harus kehilangan Andreas pula. Mungkin, ia benar-benar akan hidup dalam kematian.

"Karena aku tak akan bisa menikmati tidur tanpa pelukanmu."

*

Andreas tak membutuhkan waktu lama untuk kembali menegakkan tubuh. Punggung tegap dan wajah terangkat, ia siap menghadapi semua. Ia abaikan beberapa luka dan memar di badannya, lalu menjejakkan kaki di Progun bersama dengan Frans.

Petugas keamanan mencegat mereka. Agaknya para karyawan di sana belum mengetahui situasi dan masih menaati perintah Jonas terdahulu.

Frans maju dan segera bertindak. Ia berikan isyarat pada sekumpulan pria bersetelan hitam dengan tubuh besar tinggi yang telah disewa. Mereka balik menahan petugas keamanan dan membuka jalan.

Andreas masuk. Diabaikannya sorot penasaran setiap karyawan, lalu menuju ke lift. Tempat yang dituju olehnya sudah pasti adalah ruang direktur utama. Ketika ia sampai di sana, ia berkata pada Alan.

"Singkirkan semua barang-barang Jonas dari sini."

Alan mengangguk. "Baik, Pak."

Kedatangan Andreas dan orang-orangnya menimbulkan kehebohan. Jadi wajar saja bila berita itu langsung berembus ke telinga Birawa.

"Apa yang anak gila itu pikirkan?"

Birawa menggebrak meja. Ditatapnya sang sekretaris dengan mata nyalang.

"Lalu di mana Jonas? Mengapa bisa Andreas mengacak-acak ruangannya?"

Sang sekretaris meneguk ludah dengan rasa takut. "Pak Jonas tidak bisa dihubungi, Pak."

"Tidak bisa dihubungi?"

Sang sekretaris belum sempat menjawab ketika pintu ruangan terbuka. Birawa menoleh dan mendapati bahwa adalah sang ibu yang datang.

Ningsih berjalan dengan langkah mantap. Ia didampingi oleh seorang asisten pribadi dan pengacara.

"Mama—"

Tangan Ningsih terangkat. Dipotongnya ucapan Birawa. "Kau bukan lagi anakku, Birawa. Di hari kau menyakiti cucu dan menantuku maka di hari itu pula kau tidak pernah aku anggap sebagai anak."

Birawa mencoba untuk tetap tenang. Disabarkannya diri walau susah. Bagaimana mungkin Ningsih datang di waktu yang begitu tidak tepat? Saat ini ia tengah bingung dengan keadaan Jonas.

"Kau tahu, Birawa? Inilah hari yang aku tunggu selama ini. Hari di mana kau tidak bisa berbuat apa-apa lagi."

Birawa mengerutkan dahi. "Apa maksud Mama?"

Ningsih tak menjawab, melainkan ia memberikan isyarat pada asisten pribadi dan pengacaranya. Mereka mengangguk dan maju bergantian.

"Ini adalah gugatan cerai dari Bu Ashmita."

Bola mata Birawa membesar. "Gu-gugatan cerai?"

"Ya, Pak. Silakan dibaca."

Birawa menyambar surat tersebut. Dibacanya dengan cepat dan ketegangan mulai hadir, ia jadi gelisah.

Cerai? Bagaimana mungkin Ashmita ingin bercerai? Selama ini ia tak pernah ingin bercerai.

Namun, bukan itu satu-satunya yang menjadi perhatian Birawa. Alih-alih hal lainnya dan itulah yang kemudian dikatakan oleh asisten pribadi Ningsih.

"Para pemegang saham mengajukan tuntutan kolektif agar Anda segera meninggalkan jabatan Anda."

Ketakutan Birawa menjadi kenyataan. Ia sontak bangkit dengan wajah yang memucat, tak percaya.

"A-apa maksud ini semua?"

Ningsih mendengkus dengan ekspresi penuh kebencian. "Apa kau tidak mengerti? Ashmita ingin menceraikanmu dan aku tidak bisa tinggal diam dengan membiarkanmu terus menjadi presiden direktur, Birawa. Kau tentu ingat bukan untung dan rugi yang turut serta mengikat pernikahanmu dengan Ashmita?"

Birawa tak menjawab, tetapi ia tak akan lupa. Dalam hati, ia hanya bisa mengumpat. Ia benar-benar tak mengira kalau Ashmita akan bertindak sejauh ini. Lagi pula apa penyebabnya? Mengapa Ashmita bisa mengambil keputusan ekstrim itu sementara selama ini ia tetap bertahan dalam perselingkuhan yang telah Birawa lakukan?

"Perceraian kalian pasti akan membuat murka keluarga Kusumo dan Hardiyata pasti akan bertindak. Aku tidak akan membiarkan dua keluarga itu menyerang keluargaku. Aku tidak akan membiarkan yang lain menanggung sial akibat tindakanmu, Birawa. Jadi, sebelum kau membuat Cakra Group hancur bersamamu, lebih baik kau segera mengundurkan diri."

"Tidak," tolak Birawa menggeleng. Ia mengusap wajahnya yang mulai basah oleh keringat. "Itu tidak mungkin terjadi. Aku tidak akan pergi dari Cakra Group dan kami tidak akan bercerai."

"Hadapi kenyataan ini, Birawa. Kau telah kehilangan Ashmita dan sebentar lagi kau akan kehilangan semua. Untuk itu, kau harus tahu sesuatu. Aku adalah orang yang paling bersyukur ketika Ashmita memutuskan untuk menceraikanmu."

"Mama!"

Ningsih menjerit. "Diam! Aku bukan ibumu lagi!"

Ada kemarahan di suara Ningsih, tetapi yang lebih mendominasi adalah rasa pedih. Sungguh ia tak pernah mengira bahwa akan ada hari di mana ia bersitegang dengan putranya sendiri. Ia ingin menghindarinya, tetapi ia tak punya pilihan lain.

Ningsih menyayangi Ashmita. Lagi pula ibu mertua mana yang tidak menyayangi menantu sepertinya? Di matanya, Ashmita adalah menantu sempurna. Ashmita tak memiliki kekurangan, terpelajar, dan selalu mencintai Birawa. Semua sudah lengkap dan ia mengira keluarga mereka akan bahagia selama-lamanya.

Ternyata, tidak. Menyedihkannya adalah Birawa yang merusak kebahagiaan itu. Jadi bisakah Ningsih terus mempercayakan semua yang dimilikinya pada Birawa yang bahkan tega mengkhianati istrinya sendiri?

Karena bisnis bukan hanya sekadar bisnis. Ada sejarah panjang di balik kokohnya nama Cakra Group yang telah berdiri sekian tahun lamanya. Ada perjuangan, kepercayaan, dan harapan banyak orang. Untuk itu, Ningsih beruntung telah mengambil keputusan yang tepat. Diikatnya Cakra Group dalam pernikahan Birawa dan Ashmita, dapatkan semuanya atau kehilangan semuanya.

"Aku tidak akan pernah sudi membiarkan tiap keringat dan air mata suamiku untuk dinikmati oleh gundikmu itu," ujar Ningsih seraya menggeleng berulang kali. Kabut mulai hadir di matanya, tetapi ia bertahan. "Aku tak rela kalau anak wanita itu yang menikmati semuanya. Mereka adalah manusia-manusia terkutuk yang tak memiliki hati."

Birawa tak bisa berkata apa-apa. Di antara terpaan rasa bingung dan khawatir, dilihatnya Ningsih dengan wajah tak mengerti. Seumur hidup, baru kali inilah ia melihat Ningsih marah dengan menggebu. Selama ini Ningsih selalu menghindari perdebatan dan meluapkan amarah secara membabi buta bukanlah sifatnya.

Pada kenyataannya Ningsih telah berada di ujung batas. Ia tabahkan hati mendengar aduan Ashmita selama ini. Ia tabahkan hati melihat Andreas dan Vian yang kehilangan kasih sayang di waktu kecil. Sekarang haruskah ia kembali menabahkan hati ketika Vlora keguguran karena Jonas?

Ningih meledak, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan Ashmita. Jadilah ia putuskan untuk membujuk Ashmita. Ia ingin Ashmita menceraikan Birawa dan mungkin ialah ibu kandung satu-satunya di dunia yang ingin melihat kehancuran putra kandungnya sendiri.

Di luar dugaan, Ashmita sendiri yang memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai. Penderitaan Vlora membuat ia meratapi diri. Seandainya saja ia bertindak dari dulu, mungkin semua tak akan terjadi. Mungkin Vlora akan baik-baik saja dan kandungannya akan tetap ada. Ia merasa berdosa untuk kemalangan yang menimpa keluarga Andreas.

"Jadi kuharap kau segera membereskan barang-barangmu dari sini, Birawa. Masamu telah usai dan aku tak ingin melihat wajahmu lagi. Kau sudah teramat kejam sehingga membuat kedua menantuku harus menderita."

Dua menantu? Ucapan Ningsih terdengar ganjil di telinga Birawa.

"Aku tidak akan pernah memaafkanmu."

Ningsih tuntaskan semua, lantas ia langsung keluar dari sana. Sang asisten pribadi dan kuasa hukum mengikutinya sehingga tinggallah Birawa yang bingung bersama dengan sekretarisnya.

Kepala Birawa terasa penuh. Belum lagi ia bisa mengetahui situasi Jonas dan Progun, kabar tak menyenangkan lainnya justru muncul. Terlebih lagi ini adalah hal yang paling tidak diantisipasinya.

Bagaimana mungkin Ashmita ingin bercerai? Mustahil!

Birawa putuskan untuk segera mencari tahu apa yang terjadi. Ia akan menghubungi Ashmita dan menuntut penjelasan. Semua akan dilakukannya agar perceraian tak akan terjadi. Bila perlu ia akan merayu dan mengumbar janji seolah-olah akan berubah, persis yang sering dilakukannya dulu.

Semua akan baik-baik saja, itulah yang diyakini oleh Birawa. Persis yang sudah-sudah, Ashmita pasti akan luluh. Ashmita sangat mencintainya, jadi pastilah akan melakukan apa pun untuknya. Bahkan dulu Ashmita pun tak memedulikan semua dan tetap memohon padanya agar tidak pergi walau perselingkuhan terus terjadi.

Begitulah besarnya cinta Ashmita. Jadi, Birawa tenangkan diri. Semua kekacauan itu pastilah akan berakhir dan ia tak akan kehilangan apa pun.

Birawa mengambil ponsel. Ia ingin menelepon Ashmita, tetapi justru ada panggilan masuk dari Lastri. Diangkatnya panggilan tersebut dan isakan Lastri adalah hal pertama yang ia dengar.

"Mas. Jonas, Mas.

Seketika saja tubuh Birawa membeku.

*

Ada banyak hal yang akan dilakukan oleh Andreas dalam waktu dekat. Termasuk di dalamnya adalah mengadakan evaluasi besar-besaran, rapat internal, dan rapat pemegang saham. Namun, tentunya ia tak akan melewatkan perihal Jonas.

Panggilan tersambung. Andreas dengarkan penjelasan Frans dengan saksama.

"Saya sudah mengumpulkan sebanyak dua puluh lima orang pengacara yang tergabung untuk perkara kantor dan juga Bu Vlora."

Andreas menarik napas dalam-dalam. Bisa dirasakannya nada tak nyaman di suara Frans ketika menyinggung Vlora.

"Apa kau sudah mengantarnya ke rumah Mama?"

"Sudah, Pak."

Andreas menyadari bahwa ia tak bisa meninggalkan Vlora sendirian di situasi tersebut. Vlora tidak dalam keadaan baik-baik saja sementara ia harus segera memanfaatkan momentum yang ada. Jadilah ia putuskan supaya Vlora tinggal bersama Ashmita. Di sana, Vlora akan dijaga dengan sebaik mungkin dan ia tak perlu khawatir sama sekali. Lantas bagaimana dengan Birawa? Ia memang sengaja dan memiliki rencana sendiri.

"Jangan sampai ada satu bukti pun yang tertinggal, Frans. Aku ingin dia terkurung untuk waktu yang lama."

"Tentu, Pak. Saya akan mengusahakan yang terbaik."

"Satu hal yang paling penting. Semua yang berhubungan dengan Jonas juga harus mendapatkan balasan."

Berbicara mengenai balas-membalas, Andreas jelas tahu aturan mainnya. Ia tak akan melupakan sedikit pun mengenai hal yang harus diberikan ganjarannya, entah itu baik atau buruk. Jadilah tak aneh bila ada seseorang yang meringkuk ketakutan di unit apartemennya.

"Sialan! Jonas yang berbuat masalah, tetapi mengapa aku harus turut terlibat?!"

Penyebab ketakutan Alex adalah orang-orang dari kepolisian yang mendatanginya. Mereka telah menekan bel dari tadi, tetapi ia tak akan membuka pintu demi apa pun.

Alex terengah. Diambilnya ponsel dan ia segera menghubungi Andreas. Ia menunggu panggilan tersambung dengan kepanikan yang kian menjadi-jadi. Hanya ketika panggilannya diangkatlah sehingga ia bisa merasa setitik kelegaan.

"Halo, Alex."

Alex meneguk ludah. Dipegangnya ponsel dengan kedua tangan seolah takut ia akan menjatuhkannya. "Ka-kau. Apa maksudmu, Reas? Mengapa ada polisi datang ke tempatku?"

"Ehm. Kurasa untuk menangkapmu."

Jawaban santai Andreas membuat Alex seketika memelotot. "Apa maksudmu? Mengapa kau berkata seperti itu? Kau ingat bukan? Aku sudah membantumu, Reas. Aku sudah memberikan semua yang kau butuhkan. Sialan kau! Ka-kau mengatakan padaku kalau kau selalu melindungi orang-orangmu! Semua orang yang memihakmu! Kau melindungi temanmu!"

"Ah! Kau benar. Aku hampir melupakannya."

Alex berharap Andreas berubah pikiran walau sejujurnya nada suara Andreas terdengar memberikan indikasi yang sebaliknya. Perasaannya jadi semakin tak enak.

"Aku memang selalu melindungi temanku, tetapi setelah dipikir-pikir, sepertinya kau bukan temanku. Kau justru adalah teman Jonas, teman dari musuhku dan ...."

Perasaan tak enak Alex berubah menjadi kenyataan.

"... teman dari musuhku jelas adalah musuhku."

Sambungan terputus. Andreas mengakhiri panggilan tersebut secara sepihak. Alex menggeram dengan penuh kemarahan, tak ada yang bisa dilakukannya.

"Andreas!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top