58. Amarah
Vlora bergerak-gerak dengan gelisah. Lirihan dan lenguhan meluncur silih berganti dari mulurnya. Ia gelisah dan membuat Ningsih beserta Ashmita dan Vian langsung sigap menghampiri.
"Vlo."
"Vlora."
Ashmita memegang Vlora. Dibangunkannya sang menantu dengan penuh kelembutan dan tak lama kemudian, mata Vlora pun membuka dengan nyalang dan tampak waspada.
"Reas."
Ashmita menenangkan Vlora. "Vlora."
Vlora menoleh. Dilihatnya satu persatu mereka yang ada di sana, tetapi ia sadari bahwa tak ada Andreas.
"Mama, di mana Reas?"
Vian mendekat dan membantu Vlora untuk bangkit. Lalu ia beranjak untuk menyiapkan segelas air putih.
"Andreas pulang sebentar, tetapi ia akan segera ke sini."
Vian memberikan minum pada Vlora. Kala itu barulah ia menyadari tenggorokannya amat kering. Jadilah tak butuh waktu lama untuk ia menandaskan isi gelas tersebut.
"Kau istirahat saja, Vlo," ujar Ningsih dengan wajah teduh. "Oma pasti akan membangunkanmu kalau Andreas datang nanti."
Gamang, Vlora menggeleng. Matanya mengerjap tak ubah orang linglung. "Tidak. Aku akan menunggu Andreas."
Mereka menarik napas dalam-dalam. Ketiganya mengerti bahwa memang hanya Andreas yang paling dibutuhkan oleh Vlora.
Untuk itu mereka pun hanya bisa maklum. Mereka temani Vlora dan berusaha untuk menghibur kegelisahannya.
"Apa kau ingin makan sesuatu, Kak? Mungkin buah?"
Vlora menolak tawaran Vian dengan satu gelengan. "Tidak."
Tak ada lagi yang Vlora katakan. Ia diam dan demikian pula yang lain. Agaknya memang tak akan ada yang bisa menenangkannya, selain Andreas.
"Mengapa Andreas sangat lama?"
"Tenanglah, Vlo. Andreas pasti akan segera datang."
Vlora berpaling dan melihat pada Ningsih yang menjawab pertanyaannya. "Ini sudah lama, Oma. Sebenarnya Andreas pergi ke mana?"
"Andreas hanya pulang ke rumah. Sebentar lagi dia pasti akan kembali."
Sayangnya, jawaban itu tak cukup untuk Vlora. Ia terus-menerus melihat pada jam dinding dan pintu secara bergantian. Ia benar-benar tak tenang hingga akhirnya ia memanggil Frans.
Frans mendekat. Vlora berkata.
"Hubungi Andreas. Suruh dia untuk datang sekarang juga."
Frans mengangguk. Dihubunginya Andreas, tetapi ....
"Tidak diangkat, Bu."
Bola mata Vlora bergerak liar. Jantungnya berdegup kencang dengan ritme yang menggelisahkan. Panik membias di wajah dan kakinya bergerak meninggalkan ranjang perawatan, berniat ingin turun.
"Vlora," cegah Ashmita. Ditahannya Vlora agar tak turun dari ranjang perawatan. "Kau ingin ke mana? Kau harus beristirahat, Sayang."
Vlora menggeleng berulang kali dengan sorot mata yang tak fokus. "Frans, antar aku menemui Andreas."
"Vlora, tenang. Andreas akan segera datang. Kau hanya perlu menunggu sebentar lagi."
Ningsih membantu Ashmita. Mereka sama-sama menahan Vlora, mencoba untuk menenangkannya.
Namun, tidak berguna. Vlora tetap bersikeras untuk turun. Pada Frans, ia menatap dengan penuh ketakutan. Pun dengan tekad tak terbantahkan.
"Aku bilang antar aku untuk menemui Andreas!"
Vlora menjerit. Ia histeris dan tak lagi bisa untuk ditenangkan.
*
"Aku akan pergi, Na."
Mata Nadine membesar. Ditatapnya Jonas yang tampak kusut dengan tak mengerti. Ternyata Jonas bukan hanya membuatnya bingung dengan datang mendadak di saat hari masih terlalu pagi, melainkan ucapannya juga.
"Apa maksudmu, Jon?"
Tangan Jonas naik, ditangkupnya pipi Nadine. Ia tak menjawab, melainkan justru mencium bibir Nadine dengan begitu dalam. Setelah ciuman itu berakhir maka pandangannya turun. Ia melihat perut Nadine seraya mengusapnya.
"Aku akan segera kembali. Selama itu, kuharap kau menjaga dirimu baik-baik."
Nadine syok. "Jon, kau tak bisa meninggalkanku sekarang. Kita harus menikah. Aku sedang mengandung anakmu."
Getir nyaris melemahkan hati Jonas, tetapi ia tak memiliki pilihan lain. Ia harus pergi secepatnya. Ia harus menjauh agar Nadine tidak turut terseret oleh masalah yang telah diperbuatnya.
"Aku akan segera kembali, Na. Aku benar-benar mencintaimu."
Namun, tidak ada ungkapan cinta yang mampu menenangkan wanita hamil mana pun bila ia tahu bahwa pria itu justru akan pergi meninggalkannya, termasuk Nadine. Ia menggeleng berulang kali. Bayang mengerikan membuat ia ketakutan, tak mungkin ia mau menjalani kehamilan tanpa status pernikahan. Ia tak akan membiarkan Jonas pergi.
"Kumohon, Jon. Kau jangan pergi."
Nadine berusaha menahan Jonas, tetapi keteguhan menyakitkan tampak nyata di wajah Jonas. Ia meringis, lalu melepaskan tangan Nadine.
"Maafkan aku, Na. Maafkan aku."
Nadine histeris. Jonas benar-benar pergi, tetapi ia tak akan membiarkan semua terjadi begitu saja. Jadilah ia susul Jonas.
Jonas membuka pintu unit apartemen. Ia keluar dan berniat untuk langsung menutup pintu, tetapi satu pemandangan membuat ia membeku.
Ada seorang pria yang baru saja keluar dari lift. Ia tampak berjalan dengan langkah gontai. Matanya kosong. Wajahnya tanpa ekspresi. Aura di sekitarnya mengirimkan hawa dingin yang mematikan.
"Andreas."
Tajam mata Andreas menatap pada Jonas. Ia tak berkedip sekali pun, seolah tengah membidik. Korneanya memerah, karena kesedihan dan juga amarah.
Jonas tersadarkan akan situasi tersebut ketika mendengar derap langkah di belakangnya. Ia berpaling dan berkata pada Nadine dengan panik.
"Masuk sekarang juga, Na. Kumohon, masuk."
Nadine ingin membantah. Ia berniat untuk bicara, tetapi yang keluar dari bibirnya adalah jeritan. Dilihatnya tubuh Jonas disentak paksa dan tinju langsung menghajar wajah Jonas.
Mata membelalak. Tangan naik dan menutup mulut. Syok membuat Nadine terguncang ketika menyaksikan kekerasan dengan mata kepalanya sendiri.
Jonas mengerang sakit. Ia terdesak oleh serbuan tinju yang terus Andreas layangkan.
"Bajingan kau, Jonas!"
Jonas mengangkat tangan. Ditangkisnya tinju yang mengincar rahangnya, tetapi Andreas dengan cepat mengganti serangannya. Kaki naik dan lutur Andreas mendarat di perut Jonas.
Tak cukup sampai di sana. Andreas manfaatkan kesempatan untuk mengangkat siku tinggi-tinggi, lalu ia menyiku punggung Jonas dengan sekuat tenaga.
Jonas terjatuh di lantai dan berusaha untuk bangkit. Diraihnya kaki Andreas dan ia mendorong tak tentu arah.
Andreas terjungkang. Jonas memanfaatkan kesempatan untuk segera bangkit. Ia mengusap perut demi meredakan rasa sakit, lalu tertawa.
"Ada apa denganmu, Reas? Mengapa kau datang dan langsung mengamuk? Apa aku melakukan sesuatu?"
Rahang Andreas mengeras. Ia bangkit tanpa mengatakan apa pun dan itu justru membuat Jonas kian terbahak.
"Ah, ini pasti ada hubungannya dengan Vlora. Benar begitu?" tanya Jonas dengan ekspresi yang membuat Andreas muak. "Mengapa kau harus marah? Bukankah selama ini kau selalu merendahkanku mengatakan kalau aku pasti akan menerima apa pun selagi itu bisa memenuhi penghidupan dan hasratku? Itulah yang aku lakukan. Aku ingin Vlora memenuhi hasratku."
"Jonas!"
Teriakan Andreas menggelegar. Ia maju dan tinjunya melayang. Buku-buku jarinya yang kuat melesak di hidung Jonas.
Bunyi retak terdengar dan membuat ngilu. Darah segar mengalir. Namun, itu belum cukup untuk meluapkan semua kemarahan yang menguasai Andreas.
Jonas berusaha mendorong Andreas, tetapi gagal. Andreas menyerbunya dengan cepat. Leher kemejanya dicengkeram dan ia didorong hingga punggungnya membentur dinding dengan amat kuat.
"Kau pikir kau bisa kabur, Jon? Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi?"
Berusaha melepaskan diri pun percuma. Jonas benar-benar terdesak dan tak bisa berbuat apa-apa.
Andreas menyeringai. "Tentu saja aku akan membiarkanmu pergi dan itu adalah nyawamu."
Tinju Andreas kembali menghajar Jonas. Ia terus meninju sementara Jonas mencoba melindungi diri sekaligus mencari celah untuk balas menyerang.
Kesempatan itu datang. Jonas menendang perut Andreas. Serangannya telak, tetapi Andreas seperti tak merasakan sakit apa pun.
Andreas kembali maju. Didorongnya Jonas hingga mereka berdua terjatuh di lantai lorong. Mereka bergumul dan Andreas menahan Jonas di bawah.
Satu tangan mencengkeram kemeja Jonas. Satu tangan lain terkepal dan meninju bertubi-tubi. Tak butuh waktu lama, darah segar semakin mengalir dan mengotori jari-jari tangannya.
Hidung Jonas patah. Sudut bibirnya pecah. Namun, Andreas belum selesai.
Jonas berusaha untuk melawan. Ia mencoba untuk meninju dan juga menendang dengan lutut, tetapi tak berguna sama sekali. Andreas benar-benar bergeming dan lanjut memukul tanpa henti.
"Aku tidak akan membiarkan kau bisa menyentuh milikku lagi, Jon," ujar Andreas bengis. Ia tak memedulikan keadaan Jonas yang telah tak berdaya, ia terus menghajar. "Tidak akan lagi."
Kemarahan menguasai Andreas. Gelap telah menutupi matanya. Jadilah ia berhenti meninju dan beralih mencekik Jonas.
Mata Andreas menyorotkan penghakiman. Di sana, tak ada belas kasih sedikit pun.
"Reas, jangan. Kumohon."
Nadine maju dengan bersimbah air mata. Ia meraih tangan Andreas dan mencoba untuk melepaskan cekikannya pada leher Jonas. Namun, Andreas langsung menepisnya bahkan tanpa berpaling sedikit pun.
Nadine terhempas. Jonas tak berdaya. Andreas kian membabi buta.
"Mati kau, Jonas."
Mulut Jonas membuka besar. Lidahnya terjulur dengan mata membelalak ngeri. Ia bergerak liar ketika berusaha untuk menghirup udara.
Sesak. Tersiksa. Jonas benar-benar menderita. Ia sengsara dengan kemungkinan menakutkan yang telah membayang di pelupuk mata. Pun agaknya akan menjadi hal paling ironis bila pemandangan terakhir yang dilihatnya dalam hidup adalah wajah Andreas, saudara satu ayah yang sekarang persis malaikat maut.
Tampak keras dan bengis. Andreas menyiratkan tak ada pengampunan untuk Jonas. Cekikannya mengerat dan menguat. Ia tak memberikan sedikit kesempatan pun untuk Jonas bisa bernapas.
"Mati!"
Andreas menggeram. Mata penuh amarahnya terlihat makin kejam ketika Jonas semakin tak berdaya. Ia semakin tersulut berkat penderitaan Jonas. Ia terlecut dan satu-satunya yang ingin dilakukannya adalah memutus napas Jonas, agar Jonas mati.
Jonas tak lagi bisa berbuat apa-apa. Tenaganya telah habis. Upaya untuk membebaskan diri tak berhasil. Ia hanya bisa pasrah dalam bayang ajal yang mulai menunjukkan diri.
"Reas."
Satu suara membuat Andreas tertegun. Terdengar samar, tetapi nyatanya mampu menembus hitam yang telah menggelapkan matanya. Jadilah kekuatannya menguap dan cekikannya di leher Jonas mulai mengendur.
"Reas."
Kepala Andreas terangkat. Mata mengerjap dan pandangannya terlempar pada dua orang yang berdiri di seberang lorong.
Fokus mata Andreas tertuju pada wajah cantik yang tampak pucat itu. "Vlo."
Vlora tersenyum lemah seraya berusaha menahan desakan air mata. Ia bicara dengan suara lirih, tetapi sangat jelas terdengar di telinga Andreas.
"Jangan, Reas. Kumohon, jangan lakukan itu."
Andreas menahan napas. Kali ini ia tak lagi mampu menahan kesedihan yang bersembunyi di balik kemarahannya. Semua perih dan nyeri itu menampakkan diri. Air matanya jatuh sementara Vlora masih tersenyum.
"Kumohon. Jangan biarkan Jonas merebut hal terakhir yang masih aku miliki. Jangan."
Andreas meringis dengan luka yang tersirat amat dalam. "Vlo."
Vlora tahu bukan hanya dirinya yang terluka, Andreas juga begitu. Jadi ia tegarkan diri. Ia kuatkan diri dan ia lawan kesedihan demi mempertahankan Andreas.
"Hanya kau yang tersisa di hidupku, Reas."
Andreas tertampar kenyataan. Vlora mengatakan sebuah kebenaran valid. Hanya dirinya yang dimiliki Vlora. Hanya dirinya.
"Jonas sudah merebut kedua orang tuaku, Reas. Dia sudah merebut adikku. Dia juga merebut anakku. Jadi kumohon, jangan biarkan dia merebutmu dariku. Aku tidak ingin kehilanganmu, Reas."
Andreas terpuruk. Rasa sesak menghimpitnya dari dua arah. Hasrat untuk membunuh Jonas dan akal sehat yang terus ingin bersama dengan Vlora bergejolak dengan sama kuatnya. Namun, ia menyadari hal tersebut. Membunuh Jonas berarti ia harus siap untuk meninggalkan Vlora.
Andreas tak akan sanggup. Terlebih lagi, ia tak ingin membiarkan Vlora seorang diri. Ia harus tetap berada di sisi Vlora. Ia harus menepati janjinya, ia akan menjaga dan membahagiakan Vlora.
Ada banyak mimpi yang telah mereka khayalkan. Ada banyak cita-cita yang ingin mereka wujudkan. Ada banyak kebahagiaan yang tengah menunggu untuk mereka ciptakan.
Andreas memejamkan mata. Ia biarkan air mata untuk kembali jatuh sementara tangannya melepaskan leher Jonas.
Andreas bangkit dengan lunglai. Ia abaikan Jonas dan Nadine, lalu menuju pada Vlora yang telah menunggunya.
Langkah terseok-seok. Andreas nyaris mengira kalau ia tak akan mampu mencapai Vlora.
Vlora menyambut Andreas. Tangannya naik dan menangkup wajah Andreas. Diberikannya senyum indah walau lukanya masih menganga dan berdarah.
"Jangan tinggalkan aku, Reas."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top