56. Tragedi

Trigger Warning! Kalau dirasa agak-agak gimana, skip saja sampe ke akhir cerita.

*

Satu ketukan halus terdengar dan sesaat kemudian, Dino masuk bersama dengan seorang pelayan wanita. Mereka menyajikan sarapan sementara Vlora duduk bersantai.

"Apa Andreas ada meminta Bapak untuk memanggil dokter?"

Dino mengangguk. "Ya, Nyonya. Mungkin sekitar sejam lagi dokter akan datang."

"Kupikir tak perlu memanggil dokter. Jadi tolong batalkan saja."

"Tak perlu memanggil dokter?" ulang Dino meyakinkan. "Apa tidak sebaiknya Nyonya diperiksa? Saya rasa Tuan khawatir akan kesehatan Nyonya."

"Aku tidak apa-apa dan hanya sedikit lelah. Semua akan baik-baik saja setelah istirahat."

Dino tampak ragu, tetapi ia tak bisa membantah. Ia pun mengangguk seraya berkata.

"Baiklah, Nyonya. Saya permisi dan kalau ada yang Nyonya butuhkan, silakan panggil saya."

"Terima kasih dan ..." Vlora menjeda sejenak ucapannya seraya berpindah pada pelayan wanita yang berdiri di belakang Dino. "... aku ingin kau tetap di sini."

Dino keluar sementara pelayan wanita tetap di sana. Vlora menunggu hingga pintu kamar benar-benar tertutup sebelum akhirnya ia berkata.

"Aku ingin kau membeli alat tes kehamilan."

Mata pelayan membesar dan ia mengangguk.

"Ingat, jangan hanya membeli satu."

"Baik, Nyonya."

Selang waktu berlalu. Vlora beranjak ke kamar mandi dengan tiga buah alat tes kehamilan. Dihirupnya udara sedalam mungkin dan mulailah ia melakukan pengujian tersebut.

Jantung berdebar dengan ketukan tak biasa. Vlora berusaha menenangkan diri ketika harapan dan kecemasan bercampur menjadi satu. Lalu dua garis itu pun mulai menunjukkan wujud secara perlahan.

Vlora termangu untuk sejenak. Ia tak bergerak sedikit pun seolah butuh waktu untuk mencerna hal tersebut. Lalu matanya berkedip sekali, tetapi hasilnya tak berubah.

Emosi dengan cepat timbul dan menyelimuti Vlora. Kehangatan menyeruak di dada dan menimbulkan kedamaian yang tak pernah dirasa sebelumnya. Ia bahagia, tetapi sebisa mungkin mencoba untuk tetap tenang.

"Aku harus benar-benar meyakinkannya terlebih dahulu."

Jadilah Vlora melakukan dua pengujian lagi. Ditunggunya dengan penuh kesabaran sementara jantung terus berdebar kencang. Ia menunggu dan sesaat kemudian, matanya pun terpejam.

Jantung Vlora seperti tak berdetak lagi. Ada beragam emosi yang timbul dan selama ini tak pernah dirasakan olehnya. Ia yakin itu adalah kebahagiaan, tetapi mengapa matanya terasa panas?

Vlora buru-buru membuang napas demi menenangkan diri dari serbuan kebahagiaan. Ia keluar dari kamar mandi dengan membawa serta ketiga buah alat tes kehamilan tersebut dan segera meraih ponsel.

Kontak Andreas muncul di layar, tetapi Vlora justru segera mengakhiri panggilan itu sebelum tersambungkan. Sesuatu melintas di benak hingga membuat ia termenung sejenak.

Andreas pasti akan pulang ke rumah dengan perasaan senang. Rencananya berjalan dengan lancar dan Vlora bisa menebak bahwa para pemegang saham mayoritas pasti telah mendesak satu tanggal untuk mengadakan rapat dengan agenda pergantian direktur utama Progun.

Jadi bukankah ide yang bagus kalau aku memberikan kabar ini sebagai kebahagiaan penutup sebelum tidur?

Senyum Vlora mengembang sempurna. Pucat wajahnya jadi tak ada apa-apanya dibandingkan dengan semringah yang terpancar di sana. Matanya berbinar-binar dan sekarang kesabarannya benar-benar tengah diuji.

Vlora tidak sabar memberi tahu Andreas mengenai kebahagiaan itu, tetapi ia harus menunggu. Ia tak akan mengabarkan berita itu melalui telepon. Mereka harus duduk bersama sehingga ia bisa menatap mata Andreas dan ....

Oh, Tuhan. Aku harus bersabar. Aku harus tenang. Waktu akan berlalu dengan cepat.

Sayangnya diri Vlora bertindak di luar kendali. Bahkan otaknya dengan amat sengaja mulai berimajinasi. Jadilah ia membayangkan malam telah datang dan ia akan menyambut kepulangan Andreas. Ia akan menarik Andreas, lalu memberi tahu kabar bahagia tersebut.

Vlora jadi bertanya-tanya, akan seperti apakah raut wajah Andreas? Ia yakin Andreas akan bahagia, sama bahagia seperti dirinya sekarang, tetapi imajinasinya terbatas untuk mengkhayalkan ekspresi bahagia Andreas.

Ketukan membuyarkan lamunan kebahagiaan Vlora. Ditaruhnya ketiga alat tes kehamilan itu di atas nakas, lalu ia beranjak seraya berkata.

"Masuk."

Dino masuk. Ia hampiri Vlora yang duduk dengan tenang di sofa, lalu berkata. "Maaf mengganggu istirahatnya, Nyonya. Ada Pak Jonas datang."

Nama Jonas berhasil melenyapkan ekspresi bahagia Vlora, sekarang ia malah tampak bingung dengan sedikit syok. Ia sama sekali tidak mengira bila ada masanya Jonas akan datang ke rumah mereka tanpa undangan.

"Ada perlu apa dia datang ke sini?"

"Beliau ingin bertemu dengan Tuan dan walaupun saya sudah mengatakan kalau Tuan tidak ada di rumah, beliau tetap tidak percaya. Beliau justru memaksa untuk masuk ke ruang kerja Tuan."

"Ruang kerja?"

Dino mengangguk. "Beliau mengatakan akan menunggu Tuan pulang."

Mata Vlora membesar. Kedatangan Jonas saja sudah memberikan perasaan tidak enak untuknya, apalagi ketika ia mengetahui di mana Jonas berada.

"Tidak perlu mengantarkan minum. Aku akan segera menyuruhnya pergi."

Dino mengangguk dan membiarkan Vlora beranjak terlebih dahulu. Keduanya keluar dengan tujuan yang berbeda. Sementara Vlora segera menuju ruang kerja Andreas maka Dino pun memutuskan untuk menghubungi Andreas.

Vlora masuk dan matanya langsung menemukan Jonas yang tengah berdiri di depan rak buku, tampak melihat-lihat buku di sana. Kedatangannya menarik perhatian Jonas dan ia pun berkata tanpa tedeng aling-aling.

"Kupikir Pak Dino sudah mengatakan padamu kalau suamiku tidak berada di rumah."

Jonas mendeham seraya melihat kedatangan Vlora. Penampilan Vlora yang santai dalam balutan gaun rumahan membuatnya sedikit pangling, tampak berbeda.

"Vlora. Kupikir kau sedang di kantor dan Andreas ada di rumah. Bukankah biasanya begitu? Kau bekerja dan dia berberes rumah. Oh, apakah semuanya sekarang sudah kembali ke kodrat yang seharusnya?"

Vlora tampak berekspresi datar seperti kesehariannya. Perkataan Jonas tak cukup mampu untuk mengusiknya, justru sebaliknya.

"Bukankah seharusnya kau berdoa agar kodrat kami tidak berubah?"

Justru air muka Jonas yang berubah karena pertanyaan Vlora. Mimik mencemooh yang sempat tercetak di wajahnya seketika hilang, terlebih karena Vlora pun lanjut bicara.

"Atau sebaliknya? Kau sudah mempersiapkan diri kalau-kalau suamiku akan bekerja kembali dalam waktu dekat?"

Jonas mendengkus dalam emosi yang mulai memercik. "Kau sama persis seperti Andreas. Kalian sama-sama suka bermimpi di siang bolong."

"Kami memang suka bermimpi, tetapi setidaknya bukan bermimpi untuk merebut hak orang lain."

Jonas tak bisa mengabaikan sindiran Vlora begitu saja. Namun, Vlora lanjut bicara sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun.

"Aku harap kau tidak tersinggung, tetapi selaku Nyonya rumah ini, aku tidak menginginkan tamu pria di saat suamiku tidak ada. Jadi apa kau bisa pergi saat ini juga?"

"A-apa?" tanya Jonas tak percaya. Ditatapnya Vlora dengan syok, ia benar-benar tidak mengira kalau Vlora tak cukup hanya dengan menyindirnya secara terang-terangan. Bahkan Vlora pun tak segan-segan untuk mengusirnya. "Kau mengusirku?"

Vlora mengangguk. "Jelas saja aku mengusirmu. Kau dan suamiku tidak berada dalam hubungan yang akrab, justru sebaliknya. Jadi aku harap kau jangan sampai menyetuh sedikit pun barang Andreas di sini. Kalau kau memang ingin bertemu Andreas maka tunggulah kepulangannya di teras."

Jonas beranjak dari rak buku seraya geleng-geleng. Vlora melihatnya dengan penuh waspada, ia merasa Jonas tak akan melakukan perkataannya dan itu terbukti. Alih-alih keluar, Jonas justru memilih untuk duduk di sofa.

"Kutebak kau tidak paham bahasa manusia."

Jonas tertawa hingga kepalanya terangkat. Satu kakinya diangkat dan didaratkan di atas kaki yang lain. Ia bersandar dengan sikap santai yang disengaja untuk menyulut Vlora.

Kesabaran Vlora tengah diuji sehingga ia pun menghirup udara sedalam mungkin. Ia tenangkan diri dengan kesadaran penuh bahwa keadaannya hari itu sedang tidak baik. Tubuhnya letih dan itu sedikit banyak mempengaruhi psikisnya.

Vlora melangkah dan menuju pada sofa yang berada tepat di hadapan Jonas, lalu berdiri di belakang sofa tersebut. "Apa kau tidak memiliki sesuatu untuk dikerjakan selain bertamu ke rumah orang di jam yang tidak tepat? Aku benar-benar tidak suka kau ada di sini."

"Sesuatu untuk dikerjakan?" tanya Jonas dengan sisa-sisa tawa yang menyertai. Ia berdecih dengan kesan merendahkan. "Mengapa? Bukankah lebih bagus kalau aku seperti ini? Jadi suamimu semakin banyak memiliki alasan untuk memprovokasi orang-orang?"

"Memprovokasi orang-orang?"

Sesaat, Vlora tak lanjut bicara. Alih-alih dipandanginya saja Jonas dengan tatapan penuh selidik. Kalau dipikir-pikir lagi maka ia pun merasa sedikit aneh. Kedatangan Jonas sangat mendadak dan ia jadi bertanya-tanya, apakah hal tersebut ada hubungannya dengan agenda Andreas hari itu?

"Suamimu itu ..."

Vlora mengerjap sekali. Ia sisihkan sejenak dugaan tersebut dari benaknya. Kembali, dilihatnya Jonas yang lanjut bicara.

"... memang punya hobi yang unik. Selalu suka berbuat kekacauan."

Jonas mengucapkan tiap katanya dengan penuh penekanan. Setelahnya, ia mengatupkan mulut rapat-rapat. Wajah tampak mengeras dan napasnya berubah jadi menderu. Tak salah lagi, sesuatu memang terjadi padanya dan itu jelas berhubungan dengan Andreas.

Birawa menghubungi Jonas beberapa saat yang lalu. Diberitahunya situasi terkini yang tengah memanas, termasuk di dalamnya adalah desakan para pemegang saham mayoritas untuk melakukan pergantian direktur utama Progun dalam waktu dekat. Suara mereka bulat dan tak ada yang bisa mereka lakukan sekarang.

Jadilah Jonas tak bisa berpikir jernih. Ditinggalkannya rapat yang tengah berjalan dan langsung saja ia mengendarai mobil ke rumah Andreas. Emosi mendorongnya untuk menghajar Andreas secepat mungkin, tetapi ia justru bertemu dengan Vlora yang berhasil semakin menyulutnya dengan kata-kata.

"Semua kacau karena kau yang tidak sadar diri. Andreas justru ingin memperbaiki semua kekacauan yang telah kau buat. Jadi kuberikan saran untukmu, sudahi semuanya sebelum kau mengacaukan dirimu sendiri."

"Kau dan Andreas memang adalah pasangan serasi. Kau hanyalah orang luar dan lagak bicaramu sudah sangat angkuh, persis suamimu itu."

"Tak perlu menjadi orang lama untuk mengetahui tentang semua yang terjadi di sini," ujar Vlora frontal tanpa memedulikan tatapan Jonas yang kian menajam padanya. "Jadi untuk yang kedua kali, aku harap kau segera meninggalkan rumah ini sebelum aku memanggil satpam untuk menyeretmu keluar."

"Menyeretku keluar?"

Vlora yakin tak perlu mengulang perkataannya. Jadilah ia diam saja dan hanya balas menatap Jonas tanpa gentar sama sekali.

Jonas berdecih seraya menunjuk-nunjuk Vlora. "Kau seperti duplikat Andreas. Satu-satunya yang kalian pikirkan adalah mencari cara untuk mendepakku."

"Ternyata kau bukan hanya tak bisa mendengar, melainkan cara berpikirmu pun mengalami kesalahan. Seharusnya kau menyadari kalau tidak ada satu orang pun yang ingin mendepakmu seandainya kau tidak pernah mengusik milik orang. Kau ...."

Ucapan Vlora terputus. Ia mengerjap dan pundaknya tampak naik ketika menghirup napas. Ditahannya sejenak udara di dada, dirasakannya gemuruh di sana, dan ia mencoba untuk meredamnya.

"Kau selalu berpikir untuk merebut apa pun yang bukan hakmu. Kau serakah, Jonas. Kau tamak dan kau melupakan sesuatu, pada akhirnya kau justru akan kehilangan semuanya."

Ada yang berbeda dari perkataan Vlora kali ini. Pun bukan hanya dari kata-katanya, melainkan dari emosi yang terasa turut menyertainya. Jonas bisa merasakan itu sehingga matanya menyipit dan ia menatap Vlora dengan sedikit keanehan.

Ada apa dengannya?

Sekilas mendengar, ucapan Vlora senada dengan ucapan-ucapannya sebelumnya. Namun, Jonas menemukan kejanggalannya. Suara dan tubuh Vlora tampak bergetar, dilihatnya jemari Vlora yang gemetaran di atas sofa. Selain itu napas Vlora pun berubah jadi terengah. Pun yang terpenting adalah sorot mata Vlora, ada pancaran kemarahan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Emosi itu terasa pribadi. Itu bukan seperti Vlora yang tengah meluapkan kemarahan untuk apa yang telah Jonas lakukan pada Andreas, bukan sama sekali. Sikapnya memberikan indikasi seolah-olah amarah itu adalah miliknya, seperti ia yang telah memendam murka selama ini.

"Aku tak pernah menemui orang yang setamak dirimu, Jonas. Kau halalkan berbagai cara untuk merebut milik orang lain dan aku berharap kau tidak terkejut ketika kau kehilangan semuanya. Andreas akan membuat kau jatuh sejatuhnya."

Untuk beberapa alasan yang tak dimengerti, Jonas hanya bisa terdiam mendengar perkataan Vlora. Emosi itu benar-benar terasa nyata sehingga ia tak kesulitan sama sekali untuk menangkapnya. Jadilah ia tertegun untuk sejenak sebelum akhirnya ia berhasil mengenyahkan perasaan tak enak itu, lalu berdecak.

"Kau pasti merasa kalau peluang Andreas untuk menyingkirkanku sudah sangat besar sehingga kau berani berkata seperti itu."

Pertama kalinya, Vlora menarik kedua sudut bibir dan membentuk senyuman penuh arti, tetapi tanpa kesan ramah sama sekali. "Kalau peluang Andreas tidak besar maka kurasa kau tidak akan sampai mengikuti emosimu untuk datang ke sini. Benar begitu bukan?"

Jonas tertohok. Bukan hanya karena pertanyaan tersebut, melainkan senyum dan sorot mata Vlora pun berhasil menciptakan kombinasi yang tak menyenangkan.

Namun, Jonas tak mungkin gentar. Apalagi hanya karena seorang wanita. Jadilah ia besarkan rasa percaya diri, lalu membalas. "Tak peduli seberapa besar peluang Andreas, pada akhirnya tetap aku yang akan memiliki semuanya."

"Kuharap kalimat itu bisa menenangkan dirimu sendiri."

Jonas menggeram. "Kau."

"Karena aku yakin, sebenarnya kau pun sudah menyadari kalau situasimu saat ini benar-benar sulit, nyaris tak akan tertolong lagi."

Agaknya Vlora pun tak mengenal kata gentar sehingga ia tak berpikir dua kali untuk terus mendesak kewarasan Jonas. Dilihatnya ekspresi Jonas dan ia menyadari bahwa ada kesenangan tersendiri yang tercipta, lantas ia pun memutuskan untuk meluapkan semua gumpalan yang bergumul di dada.

"Andreas akan menghancurkanmu."

Tangan Jonas terkepal kuat. Matanya menatap tajam pada Vlora, lalu ia bicara dengan suara serak. "Jaga ucapanmu, Vlora."

Vlora justru melakukan sebaliknya. Ia tuntaskan semua karena desakan hati yang tak mampu ditepis. Wajah Jonas yang perlahan memerah memberikan ia kesenangan tersendiri yang tak pernah dirasakan sebelumnya.

"Lalu aku akan menyaksikannya dengan senang hati."

Sebagai penutup, barulah Vlora memberikan senyum yang sesungguhnya. Senyum yang dimaksudnya untuk mewakili perasaan senang karena pada saat itu ada imajinasi yang langsung terbentuk di benaknya, Jonas benar-benar mengalami masa kehancurannya.

Jonas akan tersingkir. Orang-orang akan mengusirnya dari Progun dan tak ada yang bisa menolongnya. Jadilah ia pria buangan yang tak lagi memiliki harga diri. Ia akan menjalani hidup dalam penuh rasa rendah diri—anak selingkuhan yang ternyata tak memiliki kemampuan apa-apa, anak selingkuhan yang tak tahu balas budi, dan anak selingkuhan yang tak tahu diri.

Vlora tak sabar dalam penantian masa yang selama ini telah ditunggu. Tinggal sebentar lagi. Ia akan berdiri di samping Andreas dan mereka bersama-sama menyaksikan jatuhnya Jonas.

"Berani-beraninya kau wanita jalang."

Semua imajinasi menyenangkan itu buyar dari benak Vlora. Ia mengerjap dan fokus matanya yang sempat meredup berkat khayalan pun datang kembali. Dilihatnya Jonas yang sekarang menatapnya dengan sorot menusuk.

"Jonas."

Panas menjalar. Gemuruh semakin menggumul. Detak jantung semakin melaju cepat. Senyum dan kata-kata Vlora telah membakar amarah Jonas.

Jonas menahan napas dalam serbuan panas yang menjalari sekujur tubuh. Bara telah terbakar sehingga aura di sekitarnya berubah dan menimbulkan firasat tak enak untuk Vlora.

Bagaimana bisa seorang wanita seperti Vlora menyudutkan Jonas berulang kali? Pun ia tak segan-segan memandang rendah dan menjatuhkan dengan kata-kata.

Jonas tak terima. Sudahlah cukup ia terdesak berkat perlakuan Andreas. Ia tak akan membiarkan istri Andreas melakukan hal serupa padanya.

"Kau pikir karena kau adalah istri Andreas jadi kau bisa bicara seenaknya?" tanya Jonas seraya bangkit. Sebulir keringat mengalir di sisi rahang dan napasnya berubah jadi terengah. "Memangnya kau pikir siapa Andreas? Siapa kau? Seharusnya kau tahu, satu-satunya yang diandalkan oleh Andreas itu hanyalah kebanggaan karena terlahir dari istri sah. Selain itu?" Tawanya berderai dengan mimik mengejek. "Tidak ada."

Vlora menyadari bahwa Jonas mulai tampak berbeda. Emosi yang dirasakan Jonas semakin menjadi-jadi dan agaknya mulai mengaburkan akal sehatnya. Jadilah ia cukup bijak untuk tidak lanjut menyulut Jonas.

"Sesukamu saja, Jonas," ujar Vlora seraya beranjak. Sekilas, ia melihat ke arah pintu sebelum melangkah. "Kau boleh mengatakan apa pun yang kau mau, tetapi aku harap kau segera pergi. Aku permisi."

Jonas tak akan membiarkan Vlora pergi begitu saja. Jadi ketika dilihatnya Vlora menunjukkan tanda-tanda akan keluar, ia segera bertindak. Disambarnya tangan Vlora dan ia menggenggamnya dengan amat erat.

Langkah terhenti. Vlora memelototkan mata. "Jonas!"

"Apa kau kira kau bisa pergi begitu saja setelah puas mengataiku?" tanya Jonas seraya menyeringai. Ia ciptakan ekspresi yang berhasil membuat Vlora jadi ketar-ketir. "Tentu saja tidak, Vlora."

Vlora menghirup udara dalam upaya untuk tetap tenang. Ditariknya tangan, dicobanya untuk lepas dari genggaman Jonas, tetapi tak bisa. Jonas tak melepaskannya dan itu menimbulkan ketakutan yang membuat ia jadi meminta.

"Lepaskan aku, Jonas."

Sebaliknya, Jonas justru mendekati Vlora. "Tidak akan."

"Jonas."

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja setelah semua yang kau ucapkan, Vlo. Cuma karena bersuamikan Andreas, tetapi kau sudah merasa di atas angin. Kau harusnya mengerti dan paham situasi, sampai kapan pun, Andreas akan selalu berada di bawahku. Suamimu itu hanyalah pria tak berguna dan tak bisa berbuat apa-apa."

Vlora tak pedulikan semua perkataan Jonas, melainkan ia tetap berusaha melepaskan tangan dari genggaman Jonas. "Jonas, aku bilang, lepaskan aku."

"Satu-satunya yang bisa dilakukan oleh Andreas adalah merengek pada keluarganya," ujar Jonas dengan tawa yang menyertainya, sama sekali tak peduli dengan usaha Vlora untuk melepaskan diri. "Selain itu, tidak ada. Andreas itu lemah dan tak berdaya."

"Lepaskan aku, Jonas."

Jonas bergeming. Tawa berhenti. Sekarang dilihatnya baik-baik Vlora yang tengah berusaha menarik lepas tangan dari genggemannya.

"Apa kau butuh bukti, Vlo? Kalau Andreas memang adalah pria lemah dan tak berdaya? Kalau ia tak bisa berbuat apa-apa?"

Rontaan Vlora terhenti seketika. Ada yang berbeda dari nada suara dan juga cara Jonas bicara, terlebih lagi dengan tatapannya.

Setetes rasa dingin mendadak hadir. Wajah pucat Vlora yang sempat cerah beberapa saat lalu mulai menunjukkan diri kembali.

"Jo-Jonas. Apa yang kau—"

"Kau tadi mengatakan kalau aku selalu merebut apa pun yang bukan hakku bukan?"

Vlora menggeleng. "Jangan."

"Sepertinya kau benar."

"Jo-Jonas."

Perlahan, Jonas menarik tangan Vlora yang terus digenggamnya dengan kuat. Vlora mencoba untuk mundur dan menjauh, tetapi tak bisa. Langkahnya terseret dan Jonas meraih pinggangnya.

"Jadi sekarang sepertinya waktu yang tepat untukku merebut kau dari Andreas."

Vlora berontak. "Lepaskan aku!"

"Nanti. Tenang saja. Aku pasti akan melepaskanmu, tetapi nanti," tolak Jonas dengan bisikan yang tepat diucapkannya di telinga Vlora. "Aku pasti akan melepaskanmu setelah aku merebutmu dari Andreas."

"Kau gila, Jonas! Lepaskan aku!"

Jonas tertawa. Semakin ditariknya tubuh Vlora sehingga ia bisa merasakan dengan jelas rontaannya. "Sudah aku katakan, aku pasti akan melepaskanmu. Tentunya, nanti. Setelah aku merebutmu dari Andreas, tentu saja aku akan melepaskanmu. Kau tahu apa maksudmu bukan?"

Pertanyaan itu menghadirkan kemungkinan buruk yang langsung membuat Vlora meremang. Ketakutannya semakin menjadi-jadi dan ia mulai panik.

"Tolong!"

Tawa Jonas meledak. Ia melihat sekeliling dan berkata. "Teriaklah sepuasmu, tetapi tak akan ada yang akan mendengarnya."

Vlora menyadari hal tersebut. Seperti ruangan penting pada umumnya, ruang kerja Andreas memiliki kedap suara. Ia bisa saja berteriak sampai suaranya habis, tetapi itu sama sekali tak berguna.

"Aku peringatkan kau, Jonas. Lepaskan aku. Jangan pernah berrpikir untuk melakukan hal buruk padaku."

"Ssst! Jangan membuang-buang tenagamu untuk hal tak berguna, Vlo. Lagi pula aku memang berencana untuk melepaskanmu. Bagaimana kalau diawali dengan lepasnya pakaianmu?"

Vlora membeku. Ia menggeleng kaku. "Ja-jangan, Jonas."

"Aku akan dengan baik hati membuktikan perkataanmu. Aku memang suka merebut hak orang lain. Aku memang suka merebut milik orang lain. Apalagi kalau itu milik Andreas."

"Ja-jangan."

"Apa kau pernah membayangkannya? Kira-kira bagaimana perasaan Andreas bila melihat istri tercintanya tergeletak di lantai tanpa pakaian dan aku meninggalkannya begitu saja?"

Vlora tak lagi mendengarkan perkataan Jonas. Ia semakin memberontak dengan terpaan mual yang datang mendadak.

"Kumohon, Jonas. Lepaskan aku."

Gelak Jonas membahana. "Baiklah, kulepaskan tanganmu."

Namun, sebagai gantinya Jonas justru mendapatkan kesempatan untuk bisa merengkuh Vlora. Dipeluknya Vlora erat-erat dan rontaan yang didapat menjelma menjadi rangsangan yang membuat ia mengerang.

"Sejujurnya, aku penasaran. Bagaimana bisa playboy seperti Andreas menikahimu? Jadi katakan padaku. Bagaimana caramu memuaskan Andreas?"

"Kau gila, Jonas. Lepaskan aku!"

Jonas mengabaikannya. "Setelah tanganmu, apa lagi yang harus aku lepaskan? Ah! Bagaimana dengan kancing gaunmu?"

"Tidak, Jonas."

Vlora meronta. Ia mendorong dada Jonas, tetapi tak berhasil. Jonas justru mendesak hingga punggungnya tertahan di dinding.

Tangan Jonas naik. Ia mengincar barisan kancing yang berjajar di dada gaun.

Perut semakin bergejolak. Napas Vlora berubah payah. Pandangannya mulai goyah, tetapi ia tak menyerah.

Jadilah Vlora menggigit bibir bawah kuat-kuat. Rasa sakit menyentak kesadaran dan kekuatan. Ia berusaha untuk tetap membuka mata, lalu kedua tangannya naik.

Vlora tak lagi mencoba untuk mendorong Jonas. Alih-alih ia incar pipi Jonas dengan kuku-kukunya yang panjang. Ia mencakar sekuat tenaga dan jerit kesakitan Jonas pun pecah.

Rengkuhan lepas. Vlora segera berlari ke pintu. Ia meraih daun pintu dan menekannya.

"Jangan harap kau bisa kabur jalang!"

Jonas tak tinggal diam. Ia menyusul Vlora dan berhasil menarik tangan Vlora untuk lepas dari daun pintu di waktu yang tepat.

"Kau tidak akan bisa kabur semudah itu!"

Vlora masih berusaha untuk menggapai daun pintu. "Lepaskan aku, Jonas!"

Jonas habis kesabaran. Semua perlakuan dan tindakan Vlora benar-benar telah membuat darahnya menggelegak dalam didihan amarah. Emosi dan hasrat pun saling tindih-menindih hingga membuat akal sehatnya benar-benar hilang.

"Diam kau! Dasar kau jalang murahan!"

Murka Jonas meledak dalam bentakan dan juga tamparan. Tangannya mendarat telak dan kuat di pipi Vlora.

Ringisan perih tertahan di tenggorokan Vlora. Tubuhnya terhempas dan seketika limbung. Keseimbangannya terancam sehingga ia buru-buru bertahan pada dinding.

Jonas meradang. Diusapnya pipi dan ia mendapati darah segar mengalir di sana. Jadilah ia semakin beringas. Ia semakin merasa tertantang dalam sulutan emosi dan juga harga diri.

"Mengapa kau ingin kabur? Apa kau tidak tahu kalau aku dan Andreas suka berbagi wanita?"

Vlora menyeret langkah. Ia tak bisa kabur dan satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah menjauhi Jonas sebisa mungkin.

"Itulah yang terjadi dan sekarang adalah giliranmu untuk kunikmati, Vlora."

Vlora menggeleng, tetapi Jonas membuktikan perkataannya. Ia mulai melepaskan pakaiannya. Dimulai dari jas yang dilempar ke sembarang arah, ia pun tak lupa untuk melepaskan dasinya.

"Tidak."

Jonas menyeringai. Dinikmatinya wajah takut Vlora. Ia semakin mendekat sembari melepaskan kancing kemejanya.

Vlora terus menjauh dalam hantaman rasa pusing yang membuat kepalanya berat. Matanya nyaris tak lagi bisa melihat dengan benar.

"Kumohon, Jonas. Jangan."

Permohonan Vlora justru melecut Jonas. Ia mengabaikannya dan malah langsung menghampiri Vlora yang kian lemah. Vlora benar-benar tak berdaya dalam terpaan pusing, mual, dan sakit. Vlora tak bisa berbuat banyak dan ia memanfaatkan hal tersebut.

Suara mengerikan terdengar ketika Jonas menarik lengan gaun Vlora. Cabikan pakaian itu dibuangnya asal sembari memaksa satu ciuman di bibir Vlora.

Vlora mengelak. Wajahnya berpaling dan geraman amarah Jonas mengisi indra pendengarannya.

Jonas tak menyerah. Tangan mulai menggerayangi sekujur tubuh Vlora dan ia mencari-cari kesempatan untuk mendapatkan yang diinginkannya.

"Berhenti, Jonas. Lepaskan aku!"

Vlora tetap berusaha. Dengan keadaannya yang kian melemah dan dalam bayang-bayang kemungkinan buruk yang akan terjadi, ia mencoba untuk tetap sadar. Ia paksa tubuhnya untuk tak pasrah. Ia tak boleh menyerah. Ia tak bisa putus asa karena bukan hanya dirinya yang terancam.

Jadilah ketika Jonas mencium, Vlora membuka mulut. Ia tahan mual ketika Jonas melumat bibirnya, lalu ia menggigit sekuat tenaga.

Kesakitan Jonas menggaung di dalam mulut Vlora. Namun, Vlora tak berhenti. Ia terus menggigit sehingga terasa asin darah di lidahnya.

Ciuman terlepas di waktu yang tepat. Jonas mengerang kesakitan dan Vlora segera berlari.

Ini adalah kesempatan terakhir Vlora. Bila ia tertangkap lagi kali ini maka bisa dipastikan hidupnya akan benar-benar berakhir di tangan Jonas.

Kaki terasa berat. Namun, Vlora terus berusaha. Ia berlari dalam pacuan waktu yang membuat jantungnya berdetak sangat kencang.

"Jangan kabur kau jalang!"

Vlora berhasil membuka pintu dan berlari keluar. Ia memandang sekitar, mencari keberadaan siapa pun. "Pa-Pak."

Tenaga Vlora telah habis. Suaranya tak lagi mampu keluar. Ia tak bisa memanggil siapa pun dan satu-satunya yang bisa dilakukan adalah pergi sejauh mungkin.

Vlora menuju tangga. Ia memegang railing, tetapi langkahnya langsung terhenti ketika ada satu tangan kekar yang menahan pundaknya.

Ketakutan semakin menjadi-jadi. Vlora menoleh dan mendapati Jonas yang beringas. Ia tahu, kali ini Jonas pasti tak akan melepaskannya.

"Kau tak akan bisa kabur semudah itu jalang!"

Tangan Jonas di pundak Vlora menahan dengan semakin kuat. Namun, Vlora tak menyerah begitu saja. Satu hal yang ada di pikirannya, yaitu ia harus bisa melepaskan diri dari Jonas.

Vlora terus memaksakan diri. Ia menarik tubuh sekuat mungkin tanpa memedulikan apa pun. Ia abaikan semua tanpa menyadari bahwa kakinya menapak di anak tangga dengan pijakan yang tak semestinya.

Dasar gaun kembali robek. Namun, kali ini bukan karena Jonas yang menariknya. Alih-alih justru karena tubuh Vlora yang tak mampu bertahan ketika melawan gaya gravitasi.

Jonas membelalak. Tubuh Vlora melayang diiringi oleh jeritan panjang.

Vlora mendarat telak di barisan anak tangga. Ia berguling beberapa kali hingga jatuh tak bergerak lagi di atas lantai.

"Vlora!"

Vlora memejamkan mata. Sakit menghantam tubuhnya dengan amat kuat. Ia tak bisa bergerak dan hanya bisa meringis ketika ada sepasang tangan yang menyentuhnya.

"Jangan," rintih Vlora sakit. Ia berusaha menggeleng, tetapi tak bisa. "Jangan sentuh aku."

Namun, sepasang tangan itu masih bergerak di tubuh Vlora. Anehnya, justru diiringi oleh suara yang amat familier di telinga Vlora.

"Sayang."

Di dunia ini, hanya ada satu orang yang memanggil Vlora dengan panggilan selembut itu. Pun hanya ada satu orang yang menyentuhnya dengan kelembutan serupa.

Vlora berusaha membuka mata. Pandangannya kabur, tetapi ia tahu wajah itu. "Reas."

Andreas meneguk ludah. Diraihnya tubuh Vlora dengan amat hati-hati, tetapi Vlora tetap meringis.

"Aku akan membawamu ke rumah sakit, Sayang. Semua akan baik-baik saja."

Vlora tak kuasa. Mata kembali memejam dan rasa sakit menghentak dengan amat menakutkan.

Ringisan berubah menjadi jerit kesakitan. Andreas panik dan seketika berteriak memanggil kepala pelayannya.

Andreas merengkuh tubuh Vlora. Diperiksanya tubuh Vlora demi mencari lukanya. Namun, tiba-tiba saja Vlora meremas perut.

Jeritan Vlora berubah menjadi tangis. "Jangan. Kumohon, Tuhan."

Andreas tidak bisa menunggu. Diputuskannya untuk segera membawa Vlora ke rumah sakit. Jadi ia perbaiki posisi Vlora dan berniat untuk mengangkatnya. Namun, ia justru membeku ketika ada cairan bewarna merah yang pelan-pelan mengalir turun dari balik gaun Vlora, melintasi paha Vlora, dan kemudian menetes di lantai.

Darah.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top