55. Fakta

Tak seperti biasanya mendapati Andreas bangun lebih cepat ketimbang Vlora mengingat itu adalah hari kerja. Dilihatnya Vlora masih berbaring di sebelahnya ketika ia membuka mata. Niat untuk membangunkan Vlora ada, tetapi ia urungkan. Ia putuskan untuk membiarkan Vlora tidur lebih lama dan membangunkannya nanti setelah ia selesai mandi.

Walau demikian Andreas tak sepenuhnya yakin. Ia tebak Vlora pastilah sudah bangun ketika ia selesai mandi nanti, tetapi ia kecele.

Andreas selesai mandi dan anehnya Vlora masih tidur. Jadilah ia hampiri Vlora dengan keheranan yang membuat dahinya berkerut. Sepertinya selama pernikahan mereka, baru kali inilah ia melihat Vlora bangun terlambat. Vlora dan sifat disiplinnya sudah berhasil membuatnya takjub.

"Vlo."

Andreas duduk di tepi tempat tidur. Berniat untuk membangunkan, ia justru merasakan keanehan pada tubuh Vlora. Suhu Vlora terasa lebih hangat dari biasanya.

Demam?

Andreas meraba dahi Vlora dan sepertinya ia memang tidak salah merasa. Vlora memang panas, bukan karena ia yang baru saja selesai mandi.

Lenguhan samar Vlora menarik perhatian Andreas. Matanya membuka secara perlahan dan yang dilihatnya pertama kali adalah Andreas.

"Kau sakit."

Vlora menarik napas dalam-dalam dan tak membantah perkataan Andreas sama sekali, ia mengangguk.

"Belakangan ini aku memang merasa mudah letih dan sepertinya sekarang aku benar-benar sakit."

Andreas membelai tangan Vlora dengan lembut seolah khawatir sentuhannya bisa memperparah demam tersebut. Di matanya, rasa khawatir terpancar dengan nyata.

"Kalau begitu kau harus beristirahat di rumah. Jangan ke kantor selama kau belum sembuh dan kalau kau berniat untuk membantah, tenang saja. Aku akan menghubungi Lucas."

Vlora tersenyum geli, sekilas ia mengerjap dengan ekspresi manja. "Terima kasih. Sebenarnya itulah yang aku inginkan, beristirahat. Untungnya, aku memiliki suami yang memiliki hubungan dekat dengan dirut perusahaan."

Respons Vlora membuat Andreas menyipitkan mata. Ia sedikit menarik diri seolah butuh jarak secukupnya untuk bisa benar-benar melihat Vlora dengan lebih saksama.

"Kau tidak seperti biasa. Kupikir kau akan mendebatku dan malah bersikeras untuk tetap kerja."

"Oh, Reas. Kau ada-ada saja," tukas Vlora seraya tertawa kecil. "Lagi pula aku tak akan bisa mendebatku sementara aku sendiri sedang sakit. Jadi lebih baik aku sembuh terlebih dahulu dan nanti baru kita berdebat lagi."

"Bisa-bisanya kau bersemangat ingin sembuh karena ingin berdebat denganku."

Vlora kembali tertawa dan Andreas hanya geleng-geleng, setidaknya sikap Vlora menunjukkan bahwa itu hanyalah demam biasa, agaknya tidak berbahaya dan hanya kurang istirahat saja.

"Baiklah kalau begitu. Sepertinya sekarang aku harus bersiap dulu."

Kala itu Vlora baru menyadari bahwa Andreas telah mandi walau belum berpakaian. Ia masih mengenakan handuk dan itu membuat Vlora penasaran akan sesuatu.

"Kau akan pergi lagi?"

Andreas bangkit, tetapi tak langsung beranjak. "Ya, ada beberapa hal yang harus aku urus hari ini. Jadi maaf karena aku tak bisa menemani mungkin sampai sore nanti."

"Tak apa. Justru seperrtinya itu adalah hal bagus. Aku bisa tidur seharian tanpa diganggu."

"Tepat sekali dan ah! Aku nyaris melupakan sesuatu."

Vlora bisa menangkap perubahan kilat di mata Andreas. "Ada apa?"

"Sepertinya suamimu akan mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat."

Perubahan itu berhasil menulari Vlora. Ia jadi tersenyum dan tak segan-segan untuk meluapkan kegembiraannya walau tak melupakan ciri khasnya.

"Itu adalah kabar yang sangat bagus. Akhirnya suamiku memiliki pekerjaan juga."

Andreas putuskan untuk tidak menanggapi gurauan Vlora. Betapapun menyenangkannya bermain kata-kata dengan Vlora, ia tak akan abai dengan agenda yang telah menunggunya seharian itu. Jadilah ia beranjak ke ruang ganti dan bersiap.

Sesaat berlalu dan Andreas tak butuh waktu lama untuk siap dalam penampilan rapi. Dibalut setelan resmi, ia hampiri Vlora yang ternyata masih bermalas-malasan di tempat tidur. Tadi, ia sempat mengira kalau Vlora akan memulai hari sepeninggalnya berpakaian, mungkin misalnya ke kamar mandi untuk sekadar mencuci muka, tetapi ternyata tidak. Vlora masih betah di atas tempat tidur tanpa melakukan sesuatu yang berarti dan itu menyadarkannya bahwa Vlora tetaplah manusia biasa yang sesekali memang butuh waktu untuk sekadar bersantai.

"Aku akan pergi sebentar lagi. Nanti aku akan menyuruh Pak Dino untuk memanggil dokter dan menyiapkan sarapanmu."

Vlora mengangguk dan memejamkan mata sekilas ketika Andreas bicara seraya mendekati wajahnya, lalu mencium keningnya.

"Beristirahatlah dan cepat sembuh. Aku akan langsung pulang setelah pekerjaanku hari ini selesai."

Setelahnya Andreas pergi. Tinggallah Vlora seorang diri di kamar. Ia menarik napas dalam-dalam dan untuk sesaat, ia masih terpaku pada pintu yang menutup.

Vlora bangkit. Disibaknya selimut dan kaki menyentuh lantai, lalu sesuatu membuatnya tertegun mendadak. Niat untuk ke kamar mandi sirna tatkala sesuatu melintas di benaknya. Jadilah ia tatap jam dinding seraya bertanya pada diri sendiri.

Tanggal berapa sekarang?

*

Tiba di hotel, Andreas dapati Frans telah menunggu kedatangannya. Jadi ketika mobil yang membawanya berhenti tepat di depan pelataran hotel maka Frans dengan sigap membukakan pintu untuknya.

Andreas turun dengan kaki yang memijak mantap. Dirapikannya kancing jas, lalu bertanya. "Bagaimana semuanya?"

"Sudah siap, Pak. Semua pemegang saham mayoritas sudah berkumpul tanpa terkecuali."

"Bagus," ujar Andreas seraya melangkah. Di belakang, Frans mengikutinya. "Lalu bagaimana dengan Alex?"

"Sesuai dengan perintah Bapak sebelumnya. Saya sudah menemui Alex kemarin dan semuanya sudah saya kumpulkan."

Andreas tersenyum tipis dengan sekilas ingatan yang sempat melintas di benaknya, berhubungan dengan percakapan antara ia dan Alex beberapa hari yang lalu.

"Aku akan menyerahkan semua hal yang berkaitan dengan Jonas, tetapi aku menginginkan satu hal."

"Katakan itu."

"Aku ingin perlindungan total."

"Tentu saja. Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku selalu melindungi orang-orangku."

Tampaknya semua berjalan sesuai rencana. Andreas berhasil menangani Alex dan sekarang tinggal meyakinkan beberapa pemegang saham yang masih dilanda kebimbingan, apakah mereka harus berada di pihak putra kesayangan sang ayah atau cucu kesayangan sang nenek?

Andreas dan Frans segera menuju ke ruang pertemuan. Mereka masuk dan semua pembicaraan yang terjadi sontak terhenti. Semua mata menatap pada mereka, lalu Andreas tersenyum tanpa lupa menyapa.

"Selamat pagi semuanya."

Rapat dimulai dengan dipimpin langsung oleh Ningsih. Ia tak berpanjang lebar dan langsung membidik inti dari rapat tersebut. Para pemegang saham saling pandang dan beberapa di antara mereka tampak menarik napas dalam-dalam.

"Aku yakin Birawa tidak akan senang dengan ini."

Salah satu komentar yang bernada keragu-raguan itu langsung disambar oleh Idras. Matanya tampak melotot seraya menunjuk entah ke mana.

"Seharusnya Birawa yang menjaga perasaan kita, bukan sebaliknya. Lagi pula ini demi kebaikan bersama. Apa kau tidak bisa melihat semua kekacauan yang Jonas lakukan? Oh, jangan bilang kau tak masalah dengan itu semua."

Andreas berusaha sekuat tenaga untuk tidak tergelak. Sebagai pemegang saham non keluarga terbesar, Idras memang terkenal tak bisa bersabar bila itu berurusan dengan uang. Ia menggebu-gebu dengan setiap strategi matang yang pastilah telah dipikirkan dengan matang.

"Lagi pula untuk apa kita mengkhawatirkan perasaan Birawa? Kita semua berkumpul di sini karena bisnis," lanjut Idras berapi-api, lalu ia memutar kursi dan melihat pada Ningsih. "Suara kita sudah bulat. Kita akan menuntut pertukaran dirut Progun dilakukan bulan ini juga. Jadi setelah rapat ini selesai, aku akan menemui Birawa. Biar aku yang bicara langsung dengannya."

Ningsih tersenyum. "Tentu saja. Kalau kau memang mau melakukannya, aku dan yang lainnya pasti akan sangat berterimakasih."

Pertemuan berakhir dan Idras membuktikan perkataannya. Ia segera menuju ke kantor Cakra Group tanpa lupa mengabarkan Birawa. Dalam perjalanan, ia menghubungi Birawa melalui sambungan telepon.

"Apa kau bilang? Kau ingin menemuiku? Ada urusan apa sehingga kau ingin bertemu denganku secara mendadak begini?"

Idras membuang napas panjang. Disandarkannya punggung di kursi penumpang seraya memperbaiki letak pinggang celananya yang sedikit membuat sesak. "Nanti kau akan tahu. Aku sudah di jalan menuju Cakra Group."

Sementara Idras dan para pemegang saham lainnya telah membubarkan diri, tidak demikian dengan Andreas dan Ningsih. Mereka menyempatkan diri untuk duduk bersama, lalu menikmati makan siang. Ada beberapa topik yang menjadi pembicaraan mereka sebelum akhirnya Andreas menangkap gelagat tak biasa Frans.

Andreas menangkap basah Frans yang berulang kali melihat ke arahnya. Sikapnya menunjukkan tanda-tanda bahwa ada yang ingin dikatakannya sehingga ia akan menunggu dengan setia sampai Andreas dan Ningsih tuntas menghabiskan waktu bersama.

Jadi ketika makan siang itu berakhir, Andreas berkata. "Aku akan tinggal sebentar lagi, Oma. Ada yang ingin aku diskusikan dengan Frans."

Ningsih mengangguk, lalu pergi bersama dengan asisten pribadinya. Ia melewati Frans dan membalas senyum ramah yang diterimanya.

"Apa yang ingin kau katakan?"

Andreas langsung melayangkan tanya ketika Frans menghampirinya, lalu duduk di hadapannya. Frans menjawab dengan satu anggukan singkat seraya memberikan sebuah amplop bewarna cokelat padanya.

Andreas menyambut amplop tersebut dan melihatnya sejenak, lalu kembali bertanya dengan kerutan di dahi. "Apa ini?"

"Silakan Bapak buka sendiri."

Bukan jawaban yang Andreas inginkan, tetapi rasa penasaran membuatnya melakukan saran Frans. Dibukanya amplop tersebut dan ia keluarkan dokumen di dalamnya, lalu matanya seketika membelalak tatkala adalah foto Vlora yang pertama kali dilihatnya.

Andreas refleks membanting amplop tersebut di meja. Tatapannya berubah nyalang dan ia membentak.

"Apa maksudmu, Frans? Kau memata-matai istriku?"

Frans meneguk ludah dan menyadari bahwa sikap Andreas pada Vlora tak bisa dikatakan biasa-biasa saja. Refleksnya telah membuktikan semua.

"Tidak dengan maksud buruk, Pak. Saya hanya ingin memastikan Bu Vlora tidak akan menjadi musuh dalam selimut. Saya melakukan ini demi kebaikan Bapak."

Wajah Andreas mengeras dan untuk sesaat, dikatupkannya mulut rapat-rapat. "Vlora tidak akan pernah menjadi musuh dalam selimut. Dia tidak akan mengkhianatiku, Frans. Dia adalah istriku dan dia pantas untuk mendapatkan kepercayaanku."

Andreas tahu, logikanya selalu tak berjalan bila itu berhubungan dengan Vlora. Ia menyadarinya dan di satu sisi merasa wajar bila Frans mengambil tindakan demikian. Sayangnya, tidak. Hatinya berontak ketika mengetahui Frans memata-matai Vlora, tidak sepantasnya Frans melakukan hal tersebut. Itu sama saja dengan merendahkan Vlora. Ia tak terima dan—

"Saya tahu itu, Pak. Selain itu, saya juga yakin kalau Bu Vlora tidak akan pernah menjadi mengkhianati Bapak."

Emosi dan kemarahan Andreas terjeda. Sekarang kebingungan membuatnya menatap Frans dengan lekat. "Apa maksudmu?"

Frans tidak menjawab, melainkan hanya menatap amplop cokelat tersebut. Jadilah Andreas kembali meraih benda itu walau sekarang ia rasakan ketegangan mulai menjalari sekujur tubuhnya dengan perlahan.

Insting Andreas terbangun. Ia seperti tengah memberikan peringatan agar Andreas mempersiapkan diri. Untuk satu atau dua hal yang tak dimengerti, Andreas merasa takut.

Andreas tatapi amplop cokelat itu untuk sesaat. Menyedihkan, ia tak ubah tengah berharap agar mengetahui informasi yang berada di dalamnya tanpa benar-benar membuka isinya.

Tangan terulur. Udara dihirup sedalam mungkin. Andreas menguatkan diri ketika pada akhirnya kembali mengambil amplop cokelat tersebut dan mengeluarkan dokumen di dalamnya.

Dokumen pertama berisi biodata Vlora. Di sana, ada fotonya yang cantik dengan serangkaian keterangan yang menjelaskan kehidupannya selama ini. Pun termasuk dengan informasi yang menerangkan bahwa kedua orang tuanya meninggal di waktu yang sama. Alasannya pun persis dengan yang Vlora ceritakan padanya dulu, yaitu bunuh diri.

"Apakah Bapak masih ingat proyek pertama yang ditangani oleh Pak Jonas sepuluh tahun yang lalu?" tanya Frans seraya teringat sesuatu, lalu ia meralat. "Maksud saya, sebelas tahun yang lalu."

Andreas benar-benar tidak menyukai pembicaraannya dengan Frans sekarang, tetapi otaknya tetap bekerja. Ia berusaha mengingat.

Sebelas tahun yang lalu?

Mungkin saat itu Jonas masih berusia dua puluh empat atau dua puluh lima tahun. Usia yang masih terbilang muda, tetapi Andreas tak akan lupa betapa Birawa sangat percaya pada Jonas.

Birawa tengah senang-senangnya memperkenalkan Jonas pada semua rekan bisnis. Selain itu ia juga mulai membimbing Jonas untuk terjun ke dunia bisnis dan mengurusi beberapa hal di Cakra Group.

"Wisnutex."

Andreas tak akan lupa bahwa itu adalah perusahaan yang pertama kali dibuat hancur oleh Jonas. Ia mengetahui semua hal berkenaan dengan perusahaan tekstil tersebut karena Birawa sempat menawarkannya sebagai hadiah perjodohan antara ia dan Nadine.

"Benar, Pak. Seperti yang Bapak ketahui, awalnya Wisnutex hanyalah akuisisi."

Frans belum mengatakan semua, tetapi jantung Andreas seolah tak berrdetak lagi di dalam sana.

"Jonas menipu pemilik Wisnutex. Dia mengambil alih Wisnutex, tetapi bukan untuk mengembangkannya."

Udara tercekat di tenggorokan, menolak untuk masuk. Pelan-pelan dada Andreas terasa sesak dan keringat dingin mulai bermunculan di dahi. Ia tak akan lupa bagaimana dirinya yang kerap mengasihani perusahaan tersebut.

"Dia menghancurkannya dan ...," lanjut Andreas dengan suara bergetar. Ditatapnya Frans dengan dugaan yang diharapkannya salah. "pemilik Wisnutex terdahulu adalah ...."

Andreas tak bisa lanjut bicara. Lidahnya mendadak saja kelu. Dingin tak ubah sulur-sulur tak kasat mata yang perlahan memeluknya. Ia menggigil dalam sekelumit doa yang meminta agar semua tidak seperti yang dipikirkannya.

"Harun Lazuardi," pungkas Frans. "Ayah dari Bu Vlora."

Andreas buru-buru melonggarkan ikatan dasi. Paru-parunya memberontak dalam sesak tak terbendung. Ia mengepalkan tangan ketika teringat jelas bahwa itulah nama yang disebut olehnya ketika menikahi Vlora. Namun, ia sama sekali tidak merasa ada yang aneh. Ia biasa-biasa saja. Bukan karena ia tak peduli, tetapi karena ia sama sekali tidak ada bayangan akan hal itu. Terlebih lagi peristiwa itu telah berlalu sepuluh tahun lamanya. Pun ia tak ada hubungannya sama sekali dengan kejadian tersebut. Jadilah wajar bila ia tak tahu sama sekali.

Dering ponsel mengejutkan Andreas. Ia mengerjap dan segera mengambil ponsel dari saku dalam jas. Dilihatnya bahwa panggilan tersebut berasal dari rumahnya.

Andreas berusaha untuk tenang. Sepertinya itu adalah Dino, mungkin saja ia ingin mengabarkan keadaan Vlora.

"Halo."

"Saya mohon maaf, tetapi di rumah ada Pak Jonas, Pak. Saya sudah berusaha menahannya dan mengatakan kalau Bapak tidak ada di rumah, tetapi beliau bersikeras untuk tetap masuk."

Andreas tertegun dengan perasaan tak enak. "Jo-Jonas?"

"Iya, Pak. Sekarang Bu Vlora menemui beliau di ruang kerja Bapak."

Wajah Andreas berubah jadi pucat. Jadilah ia segera bangkit dan berlari pergi dari sana. Tak ia hiraukan Frans yang lantas berseru memanggilnya.

"Pak!"

Kebingungan melanda Frans, tetapi ia cepat bertindak. Dibereskannya dokumen yang sempat dibaca oleh Andreas, lalu ia pun berlari keluar. Namun, ia tak menemukan keberadaan Andreas. Alih-alih ia mendapati sopir pribadi Andreas berdiri bengong di pelataran hotel.

"Di mana Pak Andreas?"

Marwan mengusap lengan atasnya seraya meringis tertahan. Frans melihatnya dan menebak bahwa penyebabnya pastilah Andreas. Ia dipaksa keluar oleh Andreas dari balik kemudi.

"Saya tidak tahu, tetapi sepertinya Pak Andreas sedang panik. Apa yang terjadi dengan Pak Andreas, Pak?"

Frans tidak menjawab, melainkan beranjak dan berkata. "Ikut aku."

Marwan mengangguk. Bersama-sama, mereka masuk ke mobil Frans dan menyusul Andreas. Agaknya mereka tak akan salah menebak, tentulah tujuan Andreas adalah rumah.

*

Tenang dan santai adalah sifat Andreas. Ia tak pernah panik. Demi Tuhan! Ia adalah manusia yang tak pernah mengkhawatirkan hidup. Tak peduli masalah dan drama keluarga kerap mewarnai hari-harinya, ia tak pernah panik seperti ini. Tidak pernah sekali pun. Namun, inilah yang terjadi sekarang.

Seumur hidup, Andreas tidak pernah mengemudi seperti ini. Ia bukan hanya mengabaikan segala macam peraturan lalu lintas, melainkan juga mengemudi dengan tubuh gemetaran.

Mata Andreas memanas. Rutukan dan umpatan bermunculan di benaknya.

Seharusnya aku merasa aneh mengapa Vlora langsung menerima lamaranku! Seharusnya!

Andreas memukul kemudi. Ia menggeram dan ingatannya tertarik ke belakang, tepatnya di hari ia berbincang dengan Lucas.

"Mama tidak ingin melihat Jonas menikah lebih dulu ketimbang aku. Kau bisa menganggapnya sebagai persaingan istri tua dan muda."

Vlora mendekat. Ia menaruh cangkir kopi pertama di hadapan Lucas, lantas berpindah pada cangkir kedua yang akan diberikannya pada Andreas.

"Aku rasa ada gengsi tersendiri di antara mereka. Seisi dunia tahu kalau mereka tak pernah akur. Begitu juga dengan aku dan Jonas."

Tangan Vlora gemetar. Cangkir kopi nyaris lepas, tetapi beruntung Andreas sigap. Sayangnya tak urung juga air panas bewarna hitam itu beriak. Sedikit tumpah dan membasahi tangan Andreas.

"Astaga, Pak!"

Vlora kaget. Ia buru-buru menarik dua lembar tisu dan mengelap tangan Andreas.

"Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja."

Andreas kembali memukul kemudi berulang kali. Diumpatinya diri sendiri karena tidak menyadari hal tersebut.

Vlora adalah wanita yang sigap. Nyaris menjatuhkan cangkir kopi adalah hal mustahil untuknya. Hal itu tak akan terjadi bila tak ada sesuatu yang tiba-tiba mengejutkannya.

Perut Andreas mual. Dorongan untuk muntah membuat ia gelagapan hingga pandangan perlahan berubah jadi nanar, tak fokus.

Mungkin satu-satunya alasan mengapa Vlora menolakku adalah karena keluargaku, tetapi dia mendengar nama Jonas. Akhirnya dia mengetahui buruknya hubunganku dan Jonas sehingga dia pun menerima tawaran kencanku.

Bukan hanya itu. Benak Andreas tak berhenti membongkar semua ingatan yang selama ini tampak biasa-biasa saja. Sekarang disadarinya bahwa semua yang terjadi bukanlah kebetulan belaka, termasuk ketika ban mobil Vlora bocor.

"Jangan katakan kalau itu juga disengaja oleh Vlora."

"Bagus sekali. Ban mobil saya tahu kapan waktu paling tepat untuk bocor."

Suara Vlora menggema di benak Andreas. Ia pun tak lupa dengan ekspresi suntuk Vlora ketika menyiratkan tuduhan kepadanya, menganggap bahwa dirinya yang menjadi penyebab kebocoran pada ban mobilnya.

"Sialan!"

Andreas memukul kemudi bertubi-tubi. Diinjaknya pedal gas sedalam mungkin dengan kesimpulan yang paling tidak ingin ia akui.

"Vlora menerima lamaranku agar bisa membantuku."

Panas di mata Andreas telah berubah jadi merah. Jantungnya seolah tak berdetak lagi ketika ia menuntaskan kesimpulannya.

"Agar dendamnya pun terbalaskan."

Kesimpulan tersebut hanya butuh waktu singkat untuk menghadirkan ketakutan tak terperikan. Vlora sedang menemui Jonas dan itu bukanlah hal bagus.

"Kumohon, Tuhan. Kumohon."

*

bersambung ....

note: cerita ini tinggal 7 bab lagi. bentar lagi ending :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top