54. Terbuka

Vlora sedikit mengangkat tubuh sesaat kemudian. Ia bertahan pada dada Andreas, lalu ditatapnya Andreas. Ia tak mengatakan apa-apa, melainkan mencium bibir Andreas dengan penuh kelembutan.

Mata mereka memejam dengan kompak. Keduanya meresapi momen dan ketika ciuman berakhir, Vlora tersenyum.

"Sebenarnya tadi aku sempat mempertanyakan kegunaan kursi malas di sini."

Andreas turut tersenyum dengan sudut bibir yang berkedut geli. Dibelainya pipi Vlora dan ia bertanya.

"Sekarang?"

"Sekarang aku tahu kalau ternyata kursi malas memiliki fungsi lain, selain untuk bermalas-malasan."

Senyum geli Andreas berubah jadi kekehan. Lalu dibawanya tubuh Vlora dalam gendongan ketika diputuskannya untuk beranjak dari sana.

Kedua kaki Vlora melingkari pinggang Andreas. Tangannya mengalung di leher Andreas. Bersama-sama, mereka menuju tempat tidur yang telah melambai-lambai.

*

Tiada hari tanpa merasa gelisah, demikianlah yang dirasakan oleh Jonas. Setiap ia bangun di pagi hari maka yang dilakukannya adalah segera meraih ponsel. Diperiksanya nilai saham dan berita terkini, apalagi bila itu menyangkut mengenai nama para pemegang saham mayoritas.

Birawa memang telah meyakinkan Jonas maka tak sewajarnya ia tak tenang. Lagi pula selama ini Birawa selalu bisa menenangkan gejolak yang terjadi di perusahaan.

Sayangnya perasaan tak tenang Jonas sepaket dengan insting yang tak bisa didamaikan. Alarm peringatannya seolah terus bersiaga untuk setiap kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Keadaan damai yang akhir-akhir ini tercipta pun seakan tak bisa berbuat apa-apa untuk meredam resahnya.

"Bukankah ini aneh? Mengapa semua justru baik-baik saja? Apakah para pemegang saham sialan itu tidak lagi mendesak pergantian direktur utama?"

Pertanyaan tersebut terus mengusik Jonas. Nahasnya, pun disuarakan secara tanpa sadar ketika Alan mendatanginya dengan sebuah proposal yang harus ditinjau.

Alan tertegun. Dilihatnya Jonas dan ia sadari bahwa pikiran sang bos sedang tidak berada di tempat. Namun, bukan berarti ia tak akan menanggapi pertanyaan tersebut.

"Saya berpikir mungkin ini karena akhirnya mereka mulai menyadari kinerja Bapak yang sebenarnya. Lagi pula kegagalan presentasi sekali bukan berarti bisa membuat mereka lupa akan prestasi Bapak selama ini."

Jonas tersentak, lalu fokus matanya kembali. Ia melihat Alan dengan kerutan di dahi, bertanya di dalam hati, dari kapan ada Alan di ruangannya?

Map di tangan Alan menarik perhatian Jonas. Tentulah benda tersebut yang menjadi alasan keberadaan Alan di ruangannya. Jadi ia mendeham seraya mengulurkan tangan. Alan menyerahkan proposal tersebut, lalu ia bertanya dengan eksrpesi tak yakin.

"Menurutmu begitu?"

Alan tersenyum sopan. "Tentu saja, Pak. Bukankah jelas sekali kalau Bapak lebih unggul ketimbang Pak Andreas?"

Kali ini Jonas tak mengatakan apa-apa. Ditatapnya Alan tanpa menjawab pertanyaan tersebut dengan keanehan yang terasa, mengapa pertanyaan bernada positif itu justru membuat keresahannya semakin menjadi-jadi?

*

Andreas menyesap teh hangat dengan nikmat. Gesturnya tampak santai seperti biasa, tetapi justru berbanding terbalik dengan sikap lawan bicaranya yang terlihat sama sekali tak tenang.

"Aku yakin, sebagai orang pintar maka kau pasti sudah mengambil keputusanmu."

Cangkir teh kembali ke atas tatakan. Andreas membuang napas panjang dan menyandarkan punggung di kursi, lalu menatap lawan bicaranya dengan ekspresi penuh arti.

"Karena kalau tidak maka tentu saja kau tidak akan menghubungi hari ini."

Di luar dugaan Andreas, ternyata Alex membutuhkan waktu lebih lama hingga akhirnya memutuskan untuk menghubunginya. Nyaris seminggu dan itu membuat ia sedikit memuji Alex walau hanya di dalam hati, ternyata Alex lumayan memikirkan Jonas.

Terlihat jelas di wajah Alex. Terlepas dari keputusannya yang telah menghubungi Alex, nyatanya ia masih merasakan bimbang. Berulang kali, ia pun terus bertanya pada diri sendiri.

Apakah ini adalah pilihan tepat?

Alex ingat benar kejadian dulu di mana rencana yang telah disusun olehnya dan Jonas untuk menghancurkan Andreas justru berbalik menyerang mereka sendiri. Parahnya adalah Jonas pun menudingnya sebagai penyebab kegagalan tersebut. Semua kesalahan dilimpahkan padanya.

Jadilah kesal Alex hadir walau ia tak bisa menyuarakannya dengan lantang di depan Jonas. Ia sudah bekerja keras dan melakukan semua yang Jonas inginkan selama ini, tetapi justru kemarahan dan tudingan yang didapatkannya. Jelas saja, ia tak terima dengan perlakukan Jonas.

"Aku tak akan memprovokasimu lagi, Lex," lanjut Andreas dengan sorot tak terbaca. Dilihatnya wajah Alex dan tak sulit untuknya meraba emosi Alex. "Kau bisa menilai sendiri bagaimana situasi belakangan ini. Secara logika, kau pun pasti akan sependapat dengan perkataanku bukan? Jonas sudah tidak memiliki kesempatan lagi. Suara pemegang saham mayoritas bulat."

Alex tak menjawab. Lagi-lagi ia belum memutuskan untuk bicara apa pun terlepas dari ekspresinya yang justru telah menyuarakannya secara gamblang. Rahang mulai mengeras dan orang paling bodoh sekalipun bisa mengetahui kebenaran dari perkataan Andreas.

"Lagi pula untuk apa kau harus setia pada Jonas setelah apa yang dia lakukan padamu? Kulihat dia sama sekali tidak menghargai semua yang telah kau lakukan untuknya. Kau bekerja dengan orang yang salah, Lex."

Tatapan Alex tertuju lurus pada Andreas. Disadarinya dengan jelas bahwa itulah niat utama Andreas. Secara halus, Andreas mengajaknya untuk membelot.

Bimbang? Tentu saja. Itulah yang dirasakan oleh Alex selama berhari-hari. Ia jelas tahu pasti konsekuensi yang harus dihadapainya bila ia sampai berani mengkhianati kepercayaan Jonas, tetapi ....

"Angin Progun sudah berubah arah embusannya. Kau jangan pura-pura buta untuk harapan yang tak akan jadi kenyataan. Jadi apa lagi yang kau tunggu?"

"Apa yang kau inginkan?"

Andreas menyipitkan mata ketika pada akhirnya Alex merespons pembicaraan mereka. Pertanyaan tanpa tedeng aling-aling itu ditanggapinya dengan senyum miring yang menyiratkan ketenangan. Ia tampak terkendali dan itu justru membuat Alex jadi harap-harap cemas.

Diingatnya dengan benar, dulu adalah ia yang membantu Jonas sehingga Andreas terdepak dari Progun. Bisa dikatakan bahwa ia memiliki peran penting dalam perjalanan karier Jonas terlepas dari andil Birawa. Ia banyak melakukan hal kotor untuk Jonas dan ia yakin, Andreas pasti menginginkan hal serupa bila ia jadi berpindah haluan. Semua di dunia ini tak ada yang gratis, selalu ada bayarannya. Jadi apakah yang akan Andreas inginkan?

Senyum di wajah Andreas semakin melebar. Ditaruhnya satu tangan untuk beristirahat di atas meja, lalu dipujinya Alex.

"Kau memang orang cerdas, tak salah Jonas memilihmu. Jadi karena itulah aku tak ingin orang sepertimu memilih langkah yang keliru. Masa depanmu dipertaruhkan. Untuk itu aku bertanya, apakah kau tahu kalau aku memiliki salinan pajak Progun selama tiga tahun terakhir ini?"

Wajah Alex berubah seketika. Tak dapat ditutupinya syok yang dengan segera berubah menjadi kekhawatiran itu. Ia tampak tegang dan Andreas menggeleng sekali.

"Kau tak perlu khawatir. Kau tahu kalau musuhku yang sebenarnya bukanlah kau, melainkan Jonas. Jadi aku fokus pada tujuanku dan tidak akan mengusik hal lain yang tidak menjadi prioritasku," lanjut Andreas tenang. Sekilas, ia menarik napas. "Selain itu, aku juga bisa meyakinkanmu kalau aku selalu melindungi orang-orangku, semua yang memihakku. Aku selalu melindungi temanku."

"Ka-kau akan melindungiku?"

Ketegangan Alex belum berkurang tak peduli ucapan Andreas terkesan berusaha menenangkannya. Bila Andreas benar-benar memiliki salinan pajak Progun selama tiga tahun terakhir ini maka posisinya sangat terancam. Bukan saja kariernya yang berada di ujung tanduk, melainkan kebebasan hidupnya pula. Masuk penjara adalah hal paling masuk akal yang bisa terjadi padanya.

Lagi pula tak sulit untuk otak Alex membayangkan skenario terburuk yang bisa terjadi. Jonas pasti akan lepas tangan bila sesuatu terjadi padanya. Lebih parahnya Jonas pasti akan mengkambinghitamkannya untuk penyelewengan dana yang terjadi selama ini.

"Seperti yang kukatakan tadi, aku akan melindungi semua orang-orangku. Lagi pula aku tahu kalau kau menyimpan beberapa rahasia Jonas. Jadi aku menginginkannya semua, tanpa terkecuali."

Alex meneguk ludah. Di balik sikap santai Andreas, bisa dirasakannya keseriusan yang tak terbantahkan.

"Kau benar-benar ingin menyingkirkan Jonas?"

"Dengan amat sangat," jawab Andreas tegas. "Aku benar-benar ingin menyingkirkannya hingga dia tak lagi punya harga diri untuk melihat cahaya matahari dalam waktu lama."

Jawaban Andreas membuat Alex terdiam. Dihirupnya udara sedalam mungkin, lalu berusaha untuk berpikir dengan jernih.

Logis saja. Sesulit-sulitnya posisi Jonas, Alex jauh lebih sulit lagi. Setidaknya Jonas mendapatkan jaminan Birawa. Sementara Alex?

Apalagi sekarang Alex mengetahui nyawanya yang telah berada di genggaman Andreas. Bisa dikatakan bahwa keadaannya benar-benar terjepit, entah ia dijatuhkan oleh Andreas atau justru ditinggalkan Jonas?

Jadilah tak aneh bila Andreas nikmati sejenak kalut di wajah Alex. Ia berikan waktu untuk sejenak, lalu barulah bertanya.

"Bagaimana? Apa pilihanmu sekarang?

*

"Sepertinya sekarang malah kau yang justru sulit kuhubungi."

Frans tidak membantah ketika Viska membuka pembicaraan mereka dengan komentar tersebut. Belakangan ini ia memang sulit dihubungi lantaran pekerjaan yang padat.

"Maafkan aku, tetapi aku memang sangat sibuk akhir-akhir ini. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan."

Viska manggut-manggut seraya memperbaiki letak topi di kepala. "Aku nyaris berpikir kalau kau membatalkan jasa kali ini."

"Tidak mungkin," tukas Frans refleks, lalu ia mendeham. "Jadi, bagaimana? Apakah sudah aku kerjakan?"

"Tentu saja sudah."

Tangan Viska masuk ke balik jaket berbahan jin yang dikenakannya dan mengeluarkan sebuah amplop bewarna cokelat. Frans melirik dan bisa menebak bahwa ada banyak dokumen di dalamnya.

Viska menyerahkan amplop cokelat tersebut, lalu berkomentar. "Dia wanita yang hebat."

"Wanita yang hebat?" Frans menerima amplop tersebut seraya mengulang perkataan Viska layaknya butuh validasi, dahinya pun mengerut. "Apa maksudmu?"

"Kau bisa mengetahui maksudku dengan membaca isi amplop tersebut, tetapi yang penting adalah bayaranku."

"Ah, maaf."

Frans segera menyisihkan amplop cokelat tersebut untuk sejenak. Diambilnya bayaran Viska dari dalam tas kerja, beberapa lembar uang tersimpan telah disiapkannya dalam sebuah amplop putih.

"Terima kasih," ujar Viska seraya menyambut bayarannya dengan tersenyum lebar. Ia menyimpannya segera di balik jaket. "Oh ya. Sekadar informasi, sepertinya aku tak akan bisa dihubungi selama beberapa bulan ke depan."

"Kau akan pergi berlibur lagi?"

Viska tertawa kecil. Diraihnya cangkir kopi Frans dan ia menikmati dua tegukan yang tak seberapa. Ketika cangkir kembali mendarat di tatakan maka ia pun mengangguk.

"Benar. Aku akan pergi berlibur lagi."

Mata Frans menyipit dalam keraguan. "Kau selalu berlibur."

"Aneh bukan?" Viska bangkit seraya geleng-geleng dengan wajah geli. "Aku selalu pergi berlibur dan kalau aku tidak liburan maka kepalaku akan dihantam sepatu."

Frans tidak mengerti, tetapi Viska pun tidak akan menjelaskan lebih lanjut. Sebagai ganti, ia hanya berkata.

"Semoga beruntung."

Viska pergi setelahnya dan Frans menunggu sejenak sebelum turut keluar dari kafe tersebut. Ia menuju ke mobilnya yang berada di parkiran.

Frans duduk di balik kemudi, tetapi tidak langsung menyalakan mesin. Ia belum berencana untuk benar-benar pergi berkat rasa penasaran yang tak mampu ditahan. Jadilah ia membuka amplop cokelat tersebut dan mulai membaca dokumen di dalamnya. Perlahan, tetapi pasti, raut wajahnya berubah dan udara tercekat di tenggorokannya.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top