53. Ungkapan

Hari yang melelahkan. Vlora merasa tubuhnya lebih letih ketimbang hari-hari biasa. Mungkin karena pekerjaan yang menumpuk atau ia yang kurang beristirahat belakangan ini.

"Oma menanyakan sesuatu padaku tadi."

Vlora tersentak oleh suara Andreas yang muncul tiba-tiba. Ia berpaling dan didapatinya Andreas yang menyusul masuk ke ruang ganti, seperti Andres tak bisa menunggunya di kamar saja.

Pakaian santai Vlora telah lepas. Digantinya dengan sehelai gaun tidur yang nyaman. Ia menutup pintu lemari dan berpikir, apakah ada sesuatu yang terjadi hari itu sehingga Andreas putuskan untuk membuka pembicaraan di ruang ganti?

Vlora yakin demikian. Menilik dari kebersamaan mereka, ia dapati bahwa Andreas bisa dikatakan adalah pria penyabar. Andreas terkendali dan tidak pernah terburu-buru, seolah tahu bahwa menunggu bukanlah hal buruk.

Penilaian Vlora memang tak keliru. Memang begitulah Andreas. Namun, segala sesuatunya pasti memiliki pengecualian.

Itulah yang terjadi pada Andreas. Ia bisa saja menunggu Vlora selesai berganti pakaian di kamar. Ia bisa bersantai dengan ponsel seraya menyandarkan punggung di kepala tempat tidur. Namun, tidak. Kali ini ia benar-benar penasaran dengan reaksi Vlora dengan topik yang akan disinggungnya. Jadilah ia menyusul dan Vlora pun merespons pertanyaannya dengan pertanyaan balik.

"Apa?"

Andreas tak langsung menjawab. Alih-alih ia duduk terlebih dahulu di satu sofa bertipe chaise lounge yang berada di sana. Dikembangkannya kedua tangan dan Vlora menangkap isyarat tersebut dengan sebuah keheranan.

Mengapa ada kursi malas di ruang ganti?

Nanti Vlora mungkin akan menanyakannya, mungkin pada Andreas. Sekarang ada yang lebih penting ketimbang mengetahui manfaat keberadaan kursi malas di ruang ganti.

Vlora menghampiri dan Andreas meraih tangannya. Dituntunnya Vlora sehingga duduk di pangkuan.

Kedua tangan Vlora naik, lalu mengalung di leher Andreas. Sementara Andreas pun secara otomatis memegang pinggang Vlora.

Andreas mengangkat wajah. Vlora menunduk. Kedua bibir bertemu dalam satu kecupan yang tak lama.

Sesaat, napas mereka saling membelai ketika ciuman terurai. Mereka saling menatap dan dahi Vlora mengerut samar ketika mendapati satu usapan di perutnya.

"Oma menanyakan tentang ini."

Tak perlu lebih gamblang dari itu. Vlora yakin tak butuh kepintaran sekelas profesor untuk memahami maksud perkataan Andreas.

"Lalu apa yang kau katakan pada Oma?"

"Aku mengatakan kalau kita sedang berusaha," jawab Andreas santai seraya mengakhiri usapan di perut Vlora. "Walau begitu aku ingin mengetahuinya, apa kau juga menginginkannya?"

Vlora terusik oleh satu kata. "Juga?"

Andreas mengangguk. Ia tak menyangkal sama sekali. "Ya. Aku menginginkannya. Bagaimana denganmu?"

Tak ingin, tetapi keraguan menyusup di benak Andreas. Ia tak akan lupa bagaimana pernikahan mereka terjadi. Tanpa ada kesan romantis, pernikahan mereka tak ubah perjanjian bisnis untuk mendapatkan keuntungan masing-masing. Mereka memang tidak mencantumkan perpisahan sebagai akhir pernikahan, alih-alih kematian. Namun, pembahasan soal anak sama sekali belum tersentuh oleh keduanya.

"Bagaimana denganku?" ulang Vlora bertanya dengan ekspresi tak mengerti. "Mengapa kau bertanya seperti itu?"

"Menikah dan memiliki anak adalah dua hal yang berbeda. Kau memang menerima pernikahan kita, tetapi apa kau juga ingin memiliki anak? Ehm. Maafkan aku. Hal ini terlewatkan olehku ketika melamarmu dulu."

Refleks, Vlora mendengkus geli walau sekilas. Andreas menangkap reaksinya dan justru memutar bola mata.

"Mungkin seharusnya kita dulu merinci apa saja yang diperbolehkan dalam pernikahan kita."

Geli Vlora berubah jadi kekehan. Matanya menghilang dan kepalanya sontak jatuh di pundak Andreas.

"Oh, Andreas. Kau yang benar saja."

Andreas tersenyum geli. Perkataannya memang tak ubah lelucon, tetapi itu masuk akal mengingat pernikahan mereka dimulai dengan cara yang tak biasa. Mereka tak seperti pasangan lain yang menikah karena cinta, jadi wajar saja kalau ia jadi bertanya.

"Aku tahu ini menggelikan, tetapi aku serius."

Tubuh Vlora berguncang karena tawa. Andreas membiarkan hingga tawanya mereda sesaat kemudian.

Vlora mengerjapkan mata dengan tawa yang masih tersisa. Dibawanya satu tangan untuk melintasi pundak Andreas, lalu berhenti di dada. Sekilas, sentuhannya menyentuh puting Andreas. Jadilah Andreas meremang dalam penuh antisipasi.

"Aku tak pernah tahu kalau tersedia pilihan lain untuk seorang istri, selain memiliki anak dengan suaminya sendiri."

Ah! Senyum sontak tersungging di wajah Andreas. Sorot matanya pun berubah, keragu-raguan telah pergi dan tergantikan oleh tatap lega.

"Kau juga menginginkannya."

Andreas menyimpulkan hanya dalam satu kalimat efektif. Lagi pula kalau diingat-ingat lagi, Vlora memang pernah menyinggung perihal anak dengannya. Memang tidak secara gamblang, tetapi itu sudah menyiratkan bahwa Vlora juga menghendakinya.

"Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini, tetapi apa boleh buat. Jadi kuharap kau mengingatnya."

"Apa itu?"

"Kalau kita memiliki anak nanti maka aku yakin anak itu akan sedikit menyebalkan mengingat ayahnya adalah kau."

Bola mata Andreas membesar. Mulut membuka, ia jelas ingin menyela. Namun, didapatinya Vlora yang kembali lanjut bicara.

"Untungnya, karena ayahnya adalah kau maka mereka pasti akan mewarisi ketampananmu. Kalau dia adalah perempuan maka aku yakin dia akan jadi primadona."

Mata yang sempat membesar pun jadi normal kembali. Ekspresi yang sempat menyiratkan kaget juga berubah menjadi lega yang menggelikan.

"Selain itu, aku juga yakin kalau mereka pasti akan menjadi anak yang cerdas dan tangguh. Karena ayahnya adalah kau."

"Sepertinya aku bisa tenang sekarang," timpal Andreas seraya mengusap lekukan tepat di atas bokong Vlora. "Karena mereka pasti akan sama pintarnya seperti aku dalam mencari pasangan."

"Kupikir kau akan mengatakan sebaliknya."

Andreas tergelak. "Kau menuduhku, Vlo."

"Aku sempat mengira begitu dan aku sependapat denganmu. Pernikahan tak akan berhasil kalau kau memilih pasangan yang keliru."

Usapan Andreas terus bergerak dengan setia. Disentuhnya beberapa titik terselubung yang pelan-pelan menimbulkan sensasi dengan tujuan lain.

"Ketika kau mengatakan mereka, apakah itu artinya akan ada lebih dari seorang anak?"

Vlora tersenyum penuh arti. "Untuk pertanyaan yang satu itu, sepertinya kita harus mendiskuksikannya dengan lebih terperinci. Bagaimanapun juga, yang mengandung adalah aku. Kita lihat dulu, penawaran menarik apa yang bisa kau berikan?"

Andreas geleng-geleng. Sepertinya bukan hanya lamaran pernikahan mereka yang menjadi kejadian di luar kebiasaan, melainkan diskusi perencanaan anak juga. Mungkin ia perlu membuat presentasi mengenai untung rugi jumlah anak yang diinginkan. Lalu melakukan penawaran yang diyakini bisa membujuk Vlora, termasuk di dalamnya pengasuh dan liburan khusus.

Baiklah. Andreas tak masalah sama sekali. Nanti setelah urusan mengenai Progun selesai, ia akan mulai menyusun semua layaknya proposal kerjasama antar perusahaan.

Sementara itu ada hal lain yang lebih menarik untuk Andreas lakukan sekarang. Dipandanginya Vlora, lalu ia jadi bertanya-tanya, bagaimana bisa Vlora terlihat makin cantik dari hari ke hari?

Mungkinkah karena suasana hati Andreas sedang dalam keadaan bagus? Semua yang direncanakan berjalan dengan lancar sehingga itu membuatnya jadi lebih senang ketimbang biasa? Karena itu atau memang demikianlah kenyataannya?

"Apakah kau letih malam ini?"

Masih hari kerja, jadi Andreas perlu menanyakan terlebih dahulu. Bila Vlora merasa keberatan maka tak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu akhir pekan dengan bersabar. Itu pun seandainya bila Vlora tidak memiliki pekerjaan tambahan.

Untungnya Andreas tak perlu menunggu selama itu karena sedetik kemudian Vlora langsung meraih tepian kaus yang dikenakannya. Vlora tak menjawab, tetapi ia menarik lepas kaus tersebut. Jadilah Andreas sekarang bertelanjang dada karenanya.

Letih, memang. Ingin segera beristirahat, tentu saja ya. Sebenarnya Vlora sudah berencana untuk segera tidur malam itu. Ia ingin beristirahat lebih cepat. Namun, ia tak bisa menolak keinginan hati. Sepertinya menikmati waktu sesaat dengan berbagi peluh dan hasrat bukanlah ide yang buruk. Ia akan semakin letih dan biasanya itu membuat tidur semakin lelap.

Jadi inilah yang Vlora lakukan kemudian. Dilabuhkannya kecupan-kecupan kecil di sepanjang pundak dan dada bidang Andreas. Tentunya tanpa lupa untuk membelai beberapa titik yang telah diingatnya dengan amat baik.

Andreas menyukai sentuhan sekilas di putingnya. Ia juga menyukai hangat dan lembab yang ditinggalkan oleh kecupan Vlora. Selain itu, napas Vlora yang membelai lehernya tak kalah membuatnya jadi bergairah.

Hakikatnya, semua yang dilakukan dan diberikan Vlora adalah godaan untuk Andreas. Jadi wajar saja bila sesaat kemudian Andreas balas rayuan yang didapatnya.

Tangan Andreas mulai merayap. Dibelainya paha Vlora, lalu diremasnya dengan gemas hingga ia merasakan desakan yang tak lagi mampu ditahan.

Persis dengan yang dilakukan oleh Vlora tadi maka sekarang adalah giliran Andreas yang mengenyahkan gaun tidurnya. Jadilah ia duduk di pangkuan Andreas dengan keadaan nyaris polos, tersisa celana dalam yang melindungi organ intimnya.

Mata Andreas menggelap. Dilihatnya kedua payudara Vlora yang terpampang polos di hadapannya, lalu segera disambarnya godaan itu dengan mulut yang membuka.

Andreas lenyapkan puting Vlora yang telah menegang ke dalam mulutnya. Basah yang hangat menyapa dan sesaat kemudian Vlora pun mendesah.

~~~ Jrenggg!

Bab nyut-nyutan yang ini cukup sampai di sini ya. Hahaha. Mau lengkap? Bisa ke KaryaKarsa atau pesan versi novelnya (nanti kapan-kapan) (*'﹃`*)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top