52. Persiapan
Andreas masih menikmati rutinitas hariannya dalam mengantar dan menjemput Vlora. Misalnya, seperti pagi itu. Persis pagi-pagi sebelumnya, perjalanan mereka selalu diwarnai perbincangan-perbincangan dengan topik berbeda di setiap harinya.
Andreas ingat sekali bahwa beberapa hari lalu mereka pernah berdebat mengenai planet Pluto. Mereka membahas mengenai alasan keluarnya benda langit itu dari tatanan planet tata surya hingga pertimbangan untuknya kembali bergabung.
Sebenarnya itu adalah perdebatan tak penting. Lagi pula hasil debat mereka tak akan berguna untuk apa pun.
Namun, di sanalah seninya. Andreas menyukai hal tersebut dan beruntungnya Vlora merespons dengan hal serupa.
Terbukti, di lain waktu mereka justru membicarakan Lady Gaga yang kebetulan sekali lagunya mengalun dari saluran radio yang dipilih Vlora. Perbincangan itu mengalir dengan begitu alamiah hingga tanpa mereka sadari topik telah berpindah pada desainer Tex Saverio.
Mungkin terkesan konyol, tetapi perbincangan dengan topik beragam merupakan salah satu variasi yang memang diidam-idamkan oleh Andreas. Rasanya senang dan menyegarkan ketika mereka bisa membicarakan banyak hal, terlebih lagi karena Vlora benar-benar mampu mengimbangi dirinya.
Sesuai dengan harapan dan prediksi Andreas. Dengan jabatan sekretaris yang disandangnya, kepintaran Vlora memang tak perlu diragukan lagi. Namun, kecerdasan dan ketangkasannya ternyata juga memukau Andreas. Jadilah Andreas tak pernah jemu untuk berbincang-bincang dengannya.
Mereka bisa membicarakan masalah pekerjaan, cuaca, selebritis, atau bahkan olahraga. Lalu di lain kesempatan keduanya akan menyinggung soal politik, sosial, atau sekadar restoran baru yang tengah ramai menjadi sorotan publik.
Tidak cukup di sana. Andreas tak puas memuji Vlora hanya untuk satu hal saja. Kenyataannya ada hal lain yang lebih mengesankannya.
Vlora selalu menatapnya ketika mereka berbicara. Vlora tunjukkan antusiasme dan itu membuat ego Andreas terjaga. Ia merasa dihargai, lalu ia menyadari bahwa Vlora bukanlah wanita angkuh.
Penilaian singkat Andreas dulu sempat bersiaga, jaga-jaga bila Vlora termasuk ke dalam kelompok wanita pintar yang cenderung meremehkan pria. Untungnya, tidak. Vlora benar-benar tahu cara memposisikan diri.
Mobil berhenti di pelataran kantor Greatech di waktu yang tepat, ketika pembicaraan Andreas dan Vlora mengenai kemungkinan pecahnya Perang Dunia Ketiga berakhir. Andreas buru-buru melepas sabuk pengaman dan keluar, lantas dibukanya pintu untuk Vlora.
Vlora turun dengan keanggunan yang begitu natural. Pergerakannya sama sekali tak dibuat-buat, tetapi ampuh sekali untuk menggoda Andreas. Jadilah Andreas melabuhkan satu kecupan tipis di pelipisnya.
"Apakah kau akan langsung menuju Azure Hotel?" tanya Vlora yang langsung dijawab oleh Andreas dengan satu anggukan. Jadilah kemudian ia memegang tangan Andreas sejenak. "Semoga kau sukses."
Andreas tersenyum seraya membelai pipi Vlora. "Terima kasih."
Azure Hotel akan selalu memberikan aura positif untuk Andreas karena di sanalah pernikahannya berlangsung. Semua ketenangan dan kedamaian yang perlahan menghampirinya, ia pikir bermula dari sana.
Jadilah wajar bila langkah Andreas terasa amat ringan ketika kembali menjejak di sana. Dibalasnya sapaan hotelier dengan hangat dan ia segera menuju satu ruang naratetama.
Kehadiran Andreas telah ditunggu oleh banyak pihak, bukan hanya oleh Ningsih. Setidaknya ada tiga pemegang saham mayoritas lainnya yang tak sabar menantikan kedatangannya.
Hakikatnya, hotel tak hanya memiliki peran sebagai tempat tinggal sementara bagi mereka yang bepergian. Hotel telah melebarkan sayapnya seiring dengan perkembangan zaman. Termasuk di dalamnya adalah memfasilitasi berbagai acara penting, seperti pernikahan atau pertemuan tertutup.
Persis agenda hari itu. Ningsih telah mengundang tiga pemegang saham mayoritas yang makin lama makin tak bisa bersabar untuk berkumpul bersama. Dengan Andreas sebagai pusatnya, tentunya masa depan Progun yang menjadi topik pembahasan mereka.
"Aku tidak bisa bersabar lebih lama lagi. Jonas benar-benar bisa membuatku gila dengan semua kekacauan yang dibuatnya. Dia benar-benar tidak becus."
Gerutuan itu membentuk senyum tipis di wajah Andreas, lalu dilihatnya Idras Tanuwihono. Pria paruh baya itu sudah menunjukkan geramnya dari rapat umum pemegang saham, kesabarannya sudah berada di ujung tanduk.
Pandangan Idras beredar pada dua orang pemegang saham mayoritas lainnya—Parisman Nursalim dan Farida Aulia. Mereka hanya saling menatap, tetapi ekspresi ketiganya sudah berbicara. Agaknya Parisman dan Farida sudah merasa bahwa mengeluhkan hal yang sama hanya akan membuang-buang tenaga saja.
Mereka tidak akan mengeluh lagi, melainkan akan menuntut penyelesaian dalam waktu dekat. Jadi karena itulah mengapa mereka mendesak Ningsih untuk bertemu, tentunya bersama dengan Andreas.
"Dari awal ketika Jonas menggantikan Andreas tiga tahun yang lalu," sambung Idras seraya membuang napas dan menyandarkan punggung di kursi, "aku sudah mengira kalau hal seperti ini pasti akan terjadi. Lagi pula semua orang tahu latar belakang Jonas. Hal itu sedikit banyak pasti akan mempengaruhi kinerjanya."
Farida mengangguk. "Mau bagaimana lagi? Kita semua tahu kalau Jonas adalah ...."
Ucapan Farida menggantung sampai di sana. Diliriknya Andreas dengan perasaan tak enak, tetapi yang dilirik malah biasa-biasa saja.
"Sudahlah. Sekarang tak ada guna kita menyesali keputusan tiga tahun yang lalu." Parisman turut bicara seraya meraih cangkir teh. Disesapnya sejenak minuman tawar itu, lalu lanjut bicara. "Paling penting sekarang adalah segera mengambil tindakan sebelum semua semakin buruk. Kalian lihat sendiri bukan? Produk Lostic sedang diminati pasar dan kita tidak bisa tinggal diam saja. Kita harus membuat gebrakan dan kembali merebut minat pasar."
"Kau benar. Jadi kira-kira kapan kita bisa mengadakan rapat pemegang saham? Kita harus memastikan suara kita bulat untuk menuntut pergantian Jonas."
Pertanyaan Farida adalah puncak yang dinanti-nantikan oleh Andreas. Sebisa mungkin ia menjaga air wajah, jangan sampai terlihat begitu bersemangat demi menjaga citra.
"Secepatnya," usul Idras dengan penuh ketegasan. "Kita tidak bisa mengulur waktu lebih lama lagi. Andreas memang harus mengambil alih Progun kembali atau kalau tidak, kita semua yang rugi."
Inti pertemuan telah didapat. Andreas nyaris tak mengatakan sesuatu yang berarti, selain meyakinkan kesiapannya apabila kembali dipercaya. Semua berakhir persis dengan yang diharapkannya.
Seharusnya memang seperti ini. Aku cukup mengurus semua dari belakang layar, biarlah mereka yang menjadi ujung tombakku yang sebenarnya.
Andreas berpaling dan didapatinya Ningsih menatapnya dengan sorot senang tak kira-kira. Ia tersenyum lebar, lalu ia suarakan rasa bangganya ketika pertemuan itu berakhir setelah menetapkan satu tanggal penting.
"Kau memang cucu yang Oma harapkan, Reas."
Agaknya Andreas sudah lama tak bertemu Ningsih sehingga ia berikan pelukan yang sangat erat untuk beberapa saat. Pun ia tak melepaskan tangan Ningsih ketika mereka mereka keluar dari ruang naratetama tersebut, persis setelah yang lain pergi.
Keduanya susuri lorong hotel bersama-sama. Tak sedetik pun Andreas melepaskan Ningsih terlepas dari masih tampak kuat dan sehatnya wanita berusia senja itu. Andreas memperlakukannya dengan amat hati-hati.
"Rasa-rasanya aku mulai sedikit bosan dengan kata-kata itu. Oma sudah terlalu sering mengatakannya belakangan ini."
Ningsih berpaling dengan ekspresi gemas. Dicubitnya sedikit tangan Andreas seraya pura-pura menggerutu.
"Dasar, cucu tidak bersyukur."
Andreas terkekeh. Diusapnya tangan Ningsih dengan lembut.
"Jadi apa yang akan kau lakukan selanjutnya?"
Kekehan Andreas berubah jadi dehaman sejenak. "Sepertinya aku hanya akan menunggu. Semua sudah berjalan sesuai rencana dan kita tak perlu terburu-buru, Oma. Segala sesuatu ada masanya."
Ningsih mengangguk, tampak sependapat dengan Andreas. Persis perkataan Andreas, semua sudah berjalan dengan yang mereka harapkan. Tanggal penting pun telah ditetapkan. Jadi untuk sekarang mereka memang hanya perlu menunggu.
"Walau begitu sebenarnya aku punya rencana lain, Oma. Rencana yang benar-benar bagus."
Ningsih tampak tertarik. "Apa itu?"
"Bagaimana kalau kita makan siang dulu, Oma? Sepertinya kita sudah lama tidak makan siang berdua," ajak Andreas seraya melihat jam tangan sejenak. "Sebentar lagi jam dua belas siang."
Terus melangkah, wajah Ningsih pun terangkat. Diliriknya Andreas tanpa mampu menyembunyikan senyum senangnya.
"Kau memang tahu cara menyenangkan hati wanita, terutama wanita tua seperti Oma."
Andreas spontan tergelak. "Oh, kupikir Oma belum terlalu tua. Di mataku, Oma masih memesona seperti seorang gadis berusia tujuh belas tahun. Oma tahu artinya bukan? Itu artinya Oma masih dalam fase mekar-mekarnya."
Ningsih tak mampu menahan geli dan bola matanya pun berputar. Kembali, dicubitinya tangan Andreas. "Jangan coba-coba untuk menggobali Vlora seperti itu saat kalian sudah tua nanti. Oma yakin, setelah kau mengatakan itu maka gigi palsumu akan disembunyikannya."
Kegembiraan terus mengiringi langkah Andreas dan Ningsih. Keduanya memilih satu meja di luar ruangan untuk mendapatkan pemandangan yang menyejukkan mata. Taman yang dihiasi pepohonan dan bunga-bunga cantik memberikan kenyamanan tambahan untuk mereka dalam menikmati santap siang.
Pelayan datang. Ia mencatat pesanan Andreas dan Ningsih, lalu pergi. Suasana lebih tenang dan Ningsih menarik napas.
"Bukankah pernikahanmu dan Vlora sudah hampir enam bulan lamanya?"
Hari yang cerah. Andreas meneguk segelas air terlebih dahulu sebelum mengangguk. "Sepertinya begitu, Oma."
Ningsih manggut-manggut, tetapi sekarang tak mengatakan apa-apa lagi. Andreas melirik dengan mata menyipit seraya meletakkan kembali gelas kosongnya di atas meja.
"Apa ada sesuatu terkait dengan pernikahanku, Oma?"
Ningsih tak langsung menjawab, melainkan diamatinya wajah Andreas untuk sesaat dengan lamat-lamat. Insting pun menyala, lalu Andreas pun bertanya.
"Apa ini ada hubungannya dengan kehadiran seorang bayi?"
"Maafkan Oma," pinta Ningsih tak berdaya. "Oma tidak menemukan cara tepat untuk menanyakan hal tersebut. Oma tidak bermaksud untuk bersikap tidak sopan. Oma tidak ingin mendesak, tetapi Oma tetap saja penasaran."
"Aku mengerti maksud Oma."
Ningsih tak ingin mengusik kebahagiaan dan perencanaan yang tentunya telah disusun oleh Andreas dan Vlora. Mengingat Vlora adalah wanita karier, tentunya kehamilan akan menjadi hal yang memerlukan pertimbangan matang. Selain itu keadaan Andreas pun tak kalah penting menjadi bahan pertimbangan mengingat ia sedang dalam masa-masa sibuk.
"Sejujurnya aku juga mempertanyakan hal yang sama."
Tentunya Ningsih paham. "Kalau kau dan Vlora memiliki anak, pastilah dia akan menjadi anak yang menakjubkan. Dia pasti sehat dan pintar seperti orang tuanya."
Ajaib sekali. Perkataan Ningsih sukses membuat fokus mata Andreas memudar secara perlahan. Ia terisap pelan-pelan dalam khayalan yang dengan segera membentuk di dalam benak. Rasa penasaran hadir, akan seperti apakah anak mereka nanti?
Bisa saja anak itu seperti Andreas, selalu bertingkah urakan dan hobi berpesta sehingga ia perlu diperkenalkan dengan arti tanggung jawab sedari dini. Mungkin juga ia akan menjadi replika Vlora sehingga memiliki karakter yang serius, disiplin, dan penuh percaya diri.
Bayangan tersebut membentuk kehangatan yang menyeruak di dada Andreas. Bersyukur, ia sadar bahwa pernikahan mereka berjalan cukup lancar untuk kategori pernikahan tanpa cinta. Semua baik-baik saja dan justru melebihi ekspektasinya bila dibandingkan dengan pernikahan yang melibatkan perasaan.
Semoga saja semua tak berubah. Andreas berharap pernikahannya bisa terus berada di jalur yang seharusnya. Terlepas ada atau tidaknya cinta di antara mereka, itu tak jadi masalah. Lagi pula bukankah banyak pernikahan berlandaskan cinta yang berakhir dengan saling menyakiti?
Jadi Andreas tidak membutuhkan itu. Asalkan bersama Vlora, ia yakin semua akan berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Lalu bagaimana dengan cinta? Ehm cinta? Apakah itu cinta? Andreas tidak mengetahuinya. Satu-satunya yang ia ketahui hanyalah Vlora.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top