51. Pengaruh
Bagi Andreas, tak ada hal yang lebih mengembirakan lagi ketimbang mendapati telepon Ningsih di Senin pagi itu. Ia memang bisa menebak hal yang akan dibicarakan oleh Ningsih. Tanpa Ningsih memberi tahu pun ia bisa memperkirakannya, tetapi bukan berarti ia jadi tak antusias. Sebaliknya, ia malah semakin bersemangat.
Situasi semakin memanas. Para pemegang saham mendesak untuk pergantian direktur umum. Itu bukanlah hal mengejutkan, terlebih bila ia teringat akan keadaan Alex yang berantakan Sabtu malam kemarin.
Kasihan Alex. Dia pasti harus menahan sakit karena menjadi pelampiasan Jonas. Ck, menyedihkan sekali.
Andreas geleng-geleng. Ia bersimpatik dengan keadaan Alex, tetapi tak urung juga tersenyum geli.
"Jadi ..."
Suara Ningsih membuyarkan ingatan mengenai Alex dari benak Andreas. Ia kembali fokus pada pembicaraan.
"... bagaimana, Reas? Kapan pastinya kau akan merebut Progun? Semua orang sudah mendesak pertukaran direktur umum."
Andreas terkekeh. Tersirat dari nada bicara dan kata-kata yang diucapkan, Ningsih sudah tak sabar.
"Oh, Tuhan, Oma. Bersabarlah sebentar lagi. Salah perhitungan, bukannya aku mendapatkan Progun, melainkan Progun yang justru kehilangan orang-orang penting itu.
"Kau benar, tetapi tetap saja kau harus bergerak. Kita tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Jonas dan Birawa."
Andreas paham betul kekhawatiran Ningsih. Sang nenek sudah lama menahan geram melihat cucu yang tak diakuinya itu mengambil semua hak Andreas. Demikian pula dengan Andreas. Namun, semua harus diperhitungkan dengan matang dan sebaik mungkin.
"Tenanglah, Oma," lanjut Andreas kemudian seraya menarik napas dalam-dalam. "Jangan terburu-buru dan percayalah padaku. Segala sesuatunya memerlukan pertimbangan dan aku tak boleh gegabah. Benar begitu bukan?"
Sekarang Ningsih tak mendebat lagi. Disadarinya bahwa perkataan Andreas memang benar.
"Aku tidak ingin ketergesaan kita justru merusak semua yang telah aku susun dari awal. Jadi bersabarlah, Oma. Semua hal punya waktunya masing-masing dan aku ingin menghancurkan Jonas sampai ke titik terendahnya."
Ningsih tak mengatakan apa-apa lagi. Diterimanya keputusan Andreas dan ia akan menunggu kabar selanjutnya dengan tenang. Ia yakin, Andreas akan mengupayakan semuanya secara habis-habisan karena ini bukan hanya soal hasrat untuk berkuasa.
Sebagai nenek yang dekat dengan cucu-cucunya, Ningsih paham betul karakter Andreas. Pria itu adalah orang yang santai dan tak tertarik dengan hal-hal rumit. Bila ia bisa hidup dengan berfotosintesis maka tentulah ia akan berdiam diri saja di bawah sinar matahari. Ia hanya akan bersenang-senang dan tak memedulikan orang lain.
Namun, takdir telah menampar Andreas dengan satu kenyataan. Semua yang dimilikinya, semua yang seharusnya menjadi haknya, telah direbut satu persatu oleh Jonas.
Andreas sempat ingin mengalah karena ia tahu pasti bahwa melawan Jonas sama artinya dengan mengibarkan bendera perang dengan Birawa. Hal itu pasti akan menyakiti Ashmita. Namun, semakin lama maka semakin muak juga ia dibuat oleh keadaan. Jadilah ia putuskan untuk mengacaukan semua. Lagi pula semua memang telah kacau dan ia memang telah dicap sebagai pengacau.
Kemungkinan terburuknya adalah Andreas akan kehilangan semua. Namun, ia justru mengejek diri sendiri. Bukankah sedari dulu ia memang telah kehilangan semua? Jadi ia tak memiliki pertaruhan apa pun di sini. Bak petarung, ia adalah petarung yang mengidap sakit parah. Kalah atau menang, tak jadi soal. Setidaknya ia tak tinggal diam.
Jadi ketika panggilan telah berakhir, yang dilakukan dilakukan Andreas adalah bersantai. Disandarkannya punggung pada kursi sementara pandangan terangkat pada langit-langit. Ia nikmati kesendirian hingga getar ponsel membuyarkan ketenangannya.
Andreas segera mengangkat panggilan tersebut. Tanpa menyapa, ia langsung bertanya. Rasa penasarannya tak bisa dibendung sejak ia melihat siapa yang menghubunginya.
"Bagaimana?"
Jawaban yang didapat membuat Andreas menyeringai. Rasa penasarannya seketika berubah menjadi rasa gembira.
"Baiklah kalau begitu. Untuk selanjutnya, kau tak perlu melakukan apa-apa lagi. Tunggu saja kabar dariku."
Andreas memutuskan panggilan tersebut tanpa basa-basi, lalu bangkit. Disimpannya ponsel ke saku celana dan ia beranjak dari ruang kerja seraya bersiul.
"Tinggal sebentar lagi."
*
Bisa dikatakan bahwa Jonas tak lagi fokus terhadap pekerjaannya setelah tragedi yang menimpanya di rapat umum pemegang saham. Sepatutnya memang ia lebih fokus pada keadaan perusahaan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Hari demi hari ia lalui hanya dengan memikirkan Andreas dan rencana pembalasan.
Jonas mengabaikan dokumen yang membuka di hadapannya. Termenung dengan kedua siku yang bertopang di atas meja, ia mengingat semua kejadian belakangan ini.
"S-sepertinya ada pengkhianat di sekitar kita, Pak."
Suara Alex menggema dalam ingatan. Lalu disusul oleh suara lainnya dengan makna serupa.
"Apa Bapak benar-benar percaya pada Pak Alex?"
Keduanya memberikan indikasi yang sama, yaitu keraguan untuk kesetiaan. Sayangnya hal tersebut disuarakan oleh dua orang yang berbeda dengan kecurigaan yang saling menuding satu sama lain. Jadi siapakah yang harus Jonas percaya?
Kecenderungan Jonas mengatakan bahwa mustahil Alex mengkhianatinya. Persis dengan yang dikatakan oleh Alex tempo hari, bila ia hancur maka Alex juga akan ikut hancur.
Mungkinkah Alan?
Jonas ingat benar bagaimana Alan bergeming ketika Andreas terdepak dari Progun tiga tahun lalu. Bahkan Alan pun tampak biasa-biasa saja ketika bekerja dengan dirinya. Sikap Alan terlihat profesional, tetapi sekarang itu justru menjadi hal mengkhawatirkan. Alan tak akan rugi apa pun untuk semua kemungkinan yang terjadi.
Ketukan di pintu menyadarkan Jonas dari lamunannya. Matanya yang sempat kosong untuk sesaat langsung fokus kembali dan memandang lurus ke depan, tepatnya pada pintu yang perlahan membuka.
Alan masuk dengan membawa satu dokumen lainnya. Jonas menunggu sesaat hingga Alan menghampirinya dan berkata.
"Ini adalah data lengkap peninjauan pasar, Pak."
Jonas mengabaikan dokumen tersebut, bahkan sekadar melirik pun tidak. Ia biarkan Alan menaruhnya di atas meja tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dilihatnya Alan dan ia menangkap gelagat tak biasa.
"Apa ada yang ingin kau katakan?" tanya Jonas dengan sorot penuh selidik. Disadarinya Alan tak langsung beranjak keluar. "Kalau ada, katakan saja."
Alan tak langsung menjawab, melainkan menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Ia mengambil ponsel dari saku dalam jas dan berkata.
"Sebenarnya saya tidak tahu apakah saya harus mengatakan ini pada Bapak atau tidak."
Jonas mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?"
"Ketika saya sedang berada di luar Sabtu malam, saya melihat Pak Alex."
Jonas menunggu hingga Alan menyelesaikan ucapannya. Tak bersuara untuk sesaat, ia putuskan untuk memilih jalan aman. Ia akan menerima semua informasi yang ada, lalu menelaah dan membuktikan kebenaran dari dua kemungkinan yang bisa terjadi. Apakah Alex atau Alan yang mengkhianatinya?
"Dia tidak sendirian."
Ekspresi Jonas berubah tanpa bisa dicegah. "Apa maksudmu?"
Alan tak sempat menjawab karena sesuatu melintas dengan cepat di benak Jonas tepat sedetik setelah pertanyaan tersebut meluncur dari mulutnya. Bola mata membesar dan bulu kuduknya seketika berdiri.
"Andreas?"
Alan menjawab dengan satu anggukan singkat dan rahang Jonas seketika mengeras. Kali ini ia benar-benar tak mengatakan apa-apa lagi sehingga memberi kesempatan untuk Alan kembali bicara.
"Seandainya Bapak ragu, silakan lihat ini."
Alan memutar satu video di ponselnya. Ditunjukkannya sehingga Jonas bisa melihat Andreas dan Alex yang berbicara di meja bar walau tak lama. Sesaat kemudian, Andreas menuju lantai atas dan Alex menyusul tak lama kemudian.
Rekaman berakhir sampai di sana. Video itu memang tak menunjukkan ke mana Andreas dan Alex pergi. Pun tak memberikan keyakinan bahwa mereka kembali berbicara. Namun, itu tak cukup mampu untuk mengenyahkan kemungkinan sebaliknya. Bisa saja Andreas dan Alex memang kembali bertemu untuk berbicara di tempat yang lebih privasi.
Jadilah emosi memercik di mata Jonas. Gigi bergemeletukan dan dikepalkannya tangan sekuat mungkin.
"Keparat."
Satu kata menyiratkan beragam amarah. Alan memilih diam dan mengatakan apa pun seraya memasukkan kembali ponsel ke saku dalam jasnya. Bertepatan dengan itu, dilihatnya Jonas mengangkat satu tangan.
"Saya perrmisi, Pak."
Jonas menyuruh Alan keluar dan itulah yang dilakukannya kemudian. Ia keluar dari sana tanpa menyadari bahwa ada tatapan tajam Jonas yang mengikuti setiap langkahnya.
Pintu tertutup. Jonas seorang diri dengan satu pemikiran sinis yang mengisi benak.
Apa kau memang sepeduli itu padaku sehingga kau bersusah payah membuat rekaman picisan seperti itu?
Jonas memejamkan mata. Ditariknya napas sedalam mungkin, lalu mencoba untuk tenang. Ia berusaha untuk berpikir lebih objektif ketika dua kemungkinan bisa saja terjadi. Namun, kecenderungan telah hadir dan membuat ia jadi bertanya.
Apakah kau orangnya, Alan? Apakah kau berusaha untuk mengadu domba aku dan Alex? Mengapa? Mengapa kau membantu Andreas sementara dulu kau tak memedulikannya? Apa sebenarnya yang ditawarkan Andreas padamu?
Beragam tanya berputar di dalam kepala Jonas, tetapi tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Ia geram dalam ketidaktahuan yang membuatnya terus bertanya-tanya.
Jadilah Jonas bangkit. Ditinggalkannya pekerjaan yang memang belum disentuh sedari tadi. Ia keluar dan mendapati meja Alan kosong. Alan tak ada di tempat.
Jonas memandang sekitar. Dicarinya keberadaan Alan hingga tatapannya tertuju pada seberang lorong, tepatnya pada belokan yang mengarah ke pantri.
Tanpa berpikir dua kali, Jonas menuju pantri. Mulanya ia melangkah terburu, tetapi setelahnya justru perlahan. Diputuskannya untuk mengendap-ngendap ketika samar didengarnya suara Alan.
Ponsel berada di telinga. Alan tengah berbicara melalui sambungan telepon dan Jonas memastikan kedatangannya tak menginterupsi percakapan tersebut.
Langkah Jonas berhenti. Dilihatnya Alan yang serius dengan pembicaraan seraya melayangkan pandangan melewati jendela bening di sana.
"Tentu saja. Semua seperti yang direncanakan dan responsnya pun seperti yang diduga."
Di ambang pintu pantri, tubuh Jonas menegang. Emosinya kembali bergejolak dengan satu dugaan yang dengan cepat muncul, yaitu Alan tengah menghubungi Andreas.
"Baik."
Alan menuntaskan pembicaraan. Dimasukkannya kembali ponsel ke saku dalam jas, lalu berbalik dan ia terkesiap.
"Pak Jonas."
Jonas menatap Alan tanpa ekspresi. Ditatapnya Alan tanpa kedip dan ia berkata.
"Aku berencana untuk pergi, tetapi aku tak menemukanmu."
Alan menghampiri Jonas. "Maaf, Pak. Saya sedang membuat kopi."
Jonas melirik ke atas meja. Di sana, ada secangkir kopi yang siap disedu sementara teko kecil tengah dipanaskan di atas kompor.
"Oke. Aku akan pergi sebentar."
"Baik, Pak."
Jonas berbalik dan seolah-olah akan beranjak dari sana, tetapi ia justru kembali lagi setelah melangkah dua kali. Ditampilkannya ekspresi bimbang dengan dahi sedikit mengerut.
"Aku baru ingat sesuatu," ujar Jonas seraya menggaruk pelipisnya sekilas. "Ponselku kehabisan daya dan harus menghubungi seseorang. Bisa kupinjam ponselmu sebentar?"
"Tentu saja, Pak. Silakan."
Alan memberikan ponselnya. Jonas menerimanya, lalu beranjak sedikit untuk membuka riwayat panggilan.
Ada satu nama teratas yang membuatnya menegang. Kontak itu bernama: Elina.
Namun, siapa yang bisa menebak? Semua orang bisa memalsukan nama kontak di ponselnya. Jadi bukan mustahil bila Elina itu adalah samaran untuk Andreas.
Jonas akan membuktikan praduganya. Dipanggilnya kontak itu dan ia menunggu, lalu ....
"Oh, astaga, Alan. Apa yang tadi masih belum jelas?"
Bukan Andreas. Itu jelas adalah suara wanita. Sepertinya dugaan Jonas keliru.
"Maaf, saya salah sambung."
Jonas segera mengakhiri panggilan tersebut. Dikembalikannya ponsel kepada si empunya sembari berkilah.
"Aku lupa nomor yang ingin kuhubungi."
Alan menerima ponselnya. "Baik, Pak."
Kali ini barulah Jonas benar-benar pergi dari sana. Alan melihat kepergian Jonas hingga suara air yang mendidih menarik perhatiannya.
Alan menuju kompor seraya memasukkan kembali ponsel ke tempat semula, lalu tak lupa memastikan ada satu benda lainnya yang tersembunyi aman di dalam sana. Jarinya menyentuh satu ponsel lainnya dan ia tersenyum tipis.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top