50. Tanda Tanya
"Jadi kau tak suka kutinggalkan di malam Minggu?"
Andreas bertanya ketika napas mereka berangsur pulih kembali. Diusapnya punggung Vlora yang lembab, lalu ia sedikit menelengkan wajah agar bisa menghirup wangi lembut Vlora.
Seharusnya Andreas tak melakukan itu. Terbukti, aroma rambut Vlora tak ubah sejarawan yang akan dengan senang hati mengingatkannya kembali akan masa-masa penuh kenikmatan. Jadilah ia terbayang-bayang lagi akan Vlora yang bergerak erotis di atas tubuhnya.
Andreas memejamkan mata dan berusaha mengenyahkan ingatan sensual tersebut. Betapapun menggiurkannya ronde kedua, ia tak akan abai dengan tenaga yang harus dipulihkan dan jawaban yang didapatnya kemudian.
"Tidak."
Jawaban tegas dan lugas yang Vlora berikan membuat pikiran Andreas teralihkan. Sekarang ia tertarik pada hal lain ketimbang mempertimbangkan ronde kedua.
"Aku tidak mengira kalau kau bisa merasa khawatir atau bahkan cemburu."
Tubuh Vlora berubah jadi tegang. Andreas menyadarinya, tetapi sesaat kemudian Vlora justru menarik diri demi bisa menatapnya.
"Kau suamiku, Reas. Jadi ini logis sekali. Di mana seharusnya kau menghabiskan waktumu?"
Andreas menyeringai. "Kau benar dan untuk itu, maafkan aku. Bagaimana?"
Tatapan Vlora menajam. Diberikannya ekspresi tegas tanpa ada keringanan untuk lain waktu, tak ada yang kedua kali.
"Jangan pernah mengulanginya, Reas."
Andreas tersenyum penuh arti. Dibelainya pipi Vlora, dirapikannya rambut Vlora yang berantakan, dan ditahannya tengkuk Vlora.
Pergerakan yang cepat dilakukan oleh Andreas. Ia rebahkan Vlora dan lalu menaunginya.
"Aku tak akan melakukannya lagi, tetapi aku penasaran akan sesuatu."
"Apa?"
Mata menyipit. Senyum nakal terbit. Andreas menjawab pertanyaan Vlora dengan pertanyaan balik.
"Apakah kau bisa mempertimbangkan borgol itu walau aku tak melakukan salah?"
Ekspresi Vlora berubah. Dibalasnya Andreas dengan pertanyaan pula. "Hanya borgol? Bagaimana dengan yang lain?"
Oh, Tuhan. Andreas meneguk ludah hingga jakunnya naik turun.
Jangan. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk berimajinasi. Itu sama saja dengan bunuh diri.
"Vlora."
Mata Vlora berkedip dengan penuh irama. Ia tersenyum kecil dengan dua berkas kemerahan yang masih tersisa di pipi. Diusapnya dada Andreas, lalu ia berbisik.
"Tenang saja. Aku bisa menyiapkan semuanya dengan senang hati."
*
Minggu pagi yang cerah. Tak ada rutinitas pekerjaan, pun tak ada tugas mendadak. Frans memiliki waktu untuk sekadar beristirahat, tetapi nyatanya ia justru bersiap untuk meninggalkan kediamannya sesaat lagi.
Frans tampil rapi walau tak terlihat resmi. Kombinasi kaus putih berkerah dan celana jin hitam memberikan tampilan kasual yang cocok untuknya. Ia tampak segar dan jauh lebih muda dari biasanya ketika mengenakan setelan kantor.
Tuntas bersiap, Frans tak lupa membawa sebuah amplop cokelat dari atas meja kerjanya. Lalu ia pergi dengan mengendarai mobil.
Frans membutuhkan waktu yang terbilang lama untuk tiba di tempat yang dituju. Jalanan di hari libur memang tak akan pernah menjadi sahabat dan demi apa pun, ia tak akan menempatkan diri dalam kemacetan andai bukan karena hal penting.
Jadi di sinilah Frans kemudian berada. Sebuah kafe yang untungnya belum terlalu ramai oleh pengunjung. Mungkin itu karena pukul sembilan bukanlah waktu lazim untuk orang-orang berkumpul di kafe, masih terlalu pagi.
Frans memilih meja di sudut ruangan untuk menghindari keramaian dan perhatian orang-orang. Ia duduk dan seorang pelayan memberinya dua buku menu.
"Terima kasih," ucap Frans seraya menerima buku menu tersebut, tetapi langsung menyisihkannya di sisi meja. "Aku sedang menunggu seseorang. Aku akan memesan nanti."
Pelayan mengangguk. "Baik."
Sekarang tinggallah Frans seorang diri. Ia bergeming dengan tatapan yang tertuju pada pintu. Ditunggunya kedatangan orang tersebut dengan rasa tak sabaran yang kian menjadi-jadi.
Untungnya hanya butuh waktu lima menit untuk Frans menunggu. Sesaat kemudian ia tak lagi duduk sendirian, alih-alih bersama dengan seorang wanita.
Wanita itu mengisi kursi di depan Frans. Ia duduk dan tersenyum lebar. Pembawaannya terkesan riang dengan penampilan yang cenderung tertutup—ia mengenakan topi untuk menutupi setengah wajah dan kilau rambut sepundaknya.
"Halo, Pak. Apa kabar?"
Frans membuang napas lega, ditegapkannya punggung yang sempat bersandar di kursi. "Baik, Viska. Kau sendiri bagaimana? Apakah liburanmu menyenangkan?"
Viska namanya, wanita muda yang sempat dihubungi oleh Frans beberapa waktu lalu. Ia tampak mengerjap sesaat sebelum menjawab pertanyaan Frans dengan semringah.
"Liburan? Ah, iya. Menyenangkan. Sangat menyenangkan. Ehm. Jadi ada masalah apa sehingga Bapak ingin bertemu dengan saya?"
Frans menjawab pertanyaan itu dengan meletakkan amplop cokelat yang dibawanya ke atas meja. Disodorkannya, lalu Viska menyambutnya.
Viska membuka amplop tersebut dan mengeluarkan isinya yang ternyata adalah selembar foto.
"Namanya Denandia Vlora," ujar Frans seraya menarik napas panjang. "Aku ingin kau menyelidikinya. Dapatkan semua informasi yang berkaitan dengannya, apa pun itu. Aku ingin semuanya."
Kenyataannya Frans tetap tak mampu menahan rasa gelisah yang terus memberondong selama ini. Ia mencoba untuk tidak memikirkannya, tetapi tak bisa. Jadilah ia abaikan etika sehingga diputuskannya untuk menyelidiki istri bosnya sendiri.
Perasaan tak tenang Frans tak bisa dienyahkan. Ia berharap agar ketidaktenangan tersebut keliru, tetapi tak ada salahnya untuk mencari tahu. Setidaknya ia butuh fakta untuk menjawab kegelisahannya.
Vlora bukanlah orang yang berada dalam lingkaran kehidupan mereka, itu adalah alasan pertama. Kehadirannya bisa dikatakan muncul dengan tiba-tiba dan ia mengejutkan Frans ketika menerima lamaran Andreas.
Mulanya menolak, tetapi akhirnya menerima. Frans tak yakin bahwa keteguhan Andreas menjadi satu-satunya penyebab perubahan keputusan Vlora.
Alasan kedua adalah Vlora menunjukkan sikap tak biasa di beberapa kesempatan. Ia menunjukkan antisipasi yang justru membuat Frans jadi bertanya-tanya, apakah ia tengah menyembunyikan sesuatu?
Tak cukup sampai di sana. Semua kekhawatiran Frans memuncak ketika Andreas menyinggung soal kemungkinan bahwa ponselnya telah diretas. Nama Vlora langsung muncul di benaknya dan ia yakin, begitulah yang terjadi.
Kala itu sempat Frans berpikir bahwa Andreas akan mengambil tindakan tegas. Tak seharusnya Andreas terus bersama dengan musuh di dalam selimut yang sama, tetapi apa yang terjadi? Lagi dan lagi, dugaannya keliru.
Andreas bukan hanya tak mengenyahkan Vlora, melainkan ia pun melindungi Vlora dari kecurigaan Frans. Jadi rasa-rasanya wajar bila sekarang Frans abaikan semua demi menguak fakta yang sebenarnya.
Pun terlepas dari kenyataan bahwa Vlora telah menunjukkan andil dalam keberhasilan Andreas menarik simpatik dalam rapat umum pemegang saham, Frans tetap berpegang teguh dengan pendiriannya. Ia tak akan mengambil risiko dan membiarkan semua jadi lebih berlarut-larut. Lagi pula siapa yang bisa menebak? Mungkin saja bantuan Vlora dimaksudkan untuk melindungi diri dari tuduhan yang nanti akan tertuju padanya.
Frans tak bisa tinggal diam dan membiarkan Andreas terjerumus dalam pandangan subjektif. Jadilah ia mengambil jalan ini dan ia yakin, tak butuh waktu lama untuk Viska memberinya kebenaran yang sesungguhnya.
Sejujurnya Frans tak ingat kapan pertama kali mengenal Viska. Namun, Viskalah sosok yang diam-diam sering membantunya dalam mengumpulkan informasi selama ini walau tentunya tidak gratis.
Frans tak pernah mengenal orang lain seperti Vika yang mampu diandalkan untuk urusan mencari informasi. Tepat, cepat, dan akurat. Bahkan Viska tak butuh waktu banyak untuk mendapatkan salinan pajak Progun. Jadilah ia yakin bahwa Viska pun akan memberinya informasi Vlora pun dalam waktu singkat.
"Bagaimana? Kau bisa melakukannya bukan?"
Viska manggut-manggut seraya mengamati foto Vlora sebelum menutup kembali amplop tersebut. Ditaruhnya kembali ke meja, lalu mengangguk.
"Tentu saja. Bukan hal sulit. Kalau kau mau, aku bahkan bisa mengetahui kapan menstruasi pertamanya."
Kelakar Viska hanya ditanggapi senyum masam Frans.
"Berapa lama waktu yang kau butuhkan?"
Viska mendeham seraya mengamati kuku jari. "Semakin penting wanita ini maka semakin cepat juga aku bisa menyelesaikannya."
"Dia penting."
Dehaman Viska berhenti. Sebagai ganti, ia kembali tersenyum lebar hingga matanya menyipit.
"Tentu saja secepat mungkin. Aku akan menghubungimu nanti."
Frans mengangguk sekali dan percakapan mereka berakhir. Viska bangkit tanpa melupakan amplop cokelat itu, lalu pergi. Ditinggalkannya Frans seorang diri yang kemudian langsung memanggil pelayan tadi.
Buku menu dibuka. Frans membaca cepat dan memesan.
Hitam atau putih? Sebenarnya apa yang kau sembunyikan, Vlora?
*
Ketika kesadaran kembali datang dan Andreas membuka mata, disadarinya bahwa hari telah beranjak siang. Cahaya matahari tampak menyilaukan dengan kesan terik dan ia berbaring seorang diri.
Vlora menghilang dari pelukannya. Ia bangun lebih dulu ketimbang Andreas dan sekarang tengah berada di kamar mandi.
Andreas bangkit. Keadaannya sungguh berantakan dengan rambut yang acak-acakan. Ia berniat untuk turun dari tempat tidur, tetapi justru tertarik pada satu benda yang teronggok di atas bantalnya tadi.
Seringai Andreas langsung terbit. Diraihnya benda yang tak lain adalah lingerie itu, pakaian seksi yang Vlora kenakan semalam untuk menggoda dirinya. Sekarang keadaannya sungguh mengenaskan. Kainnya robek di beberapa tempat dan semua itu terjadi berkat sesi kedua percintaan mereka.
Andreas mengakui bahwa lingerie itu amat menggoda. Namun, kulit bertemu kulit memberikan sensasi tersendiri. Jadilah itu yang ingin dirasakannya.
Lingerie harus disingkirkan dan Andreas kewalahan. Ia tak sabar untuk menelanjangi Vlora sehingga memilih cara yang paling cepat untuk melakukannya, lagi pula hasilnya sama saja.
"Kau sudah bangun?"
Ingatan Andreas akan asal muasal rusaknya lingeri itu sirna sudah. Andreas berpaling ke sumber suara dan mendapati Vlora yang keluar dari kamar mandi berbalutkan jubah mandi. Rambutnya masih lembab dan ia terlihat segar.
Vlora dan cuaca hari itu persis sama. Sama-sama cerah.
"Baru beberapa menit yang lalu."
Jawaban Andreas tak mendapatkan tanggapan apa pun dari Vlora. Ia terus melangkah dan Andreas mengikuti ke mana arah yang ditujunya. Lalu ia justru berhenti tepat di hadapan Andreas.
Kedua tangan Vlora naik dan mendarat di pundak Andreas yang polos. Ditundukkan wajah demi memberikan satu kecupan selamat pagi di bibir Andreas.
Rasa Vlora menjajah indra perasa Andreas dalam sekejap manis, terasa manis dan menyejukkan.
"Mandilah," ujar Vlora tanpa menarik diri dari posisinya. "Aku sudah meminta Pak Dino untuk menyiapkan sarapan siang kita."
Andreas tak mengatakan apa-apa ketika Vlora beranjak dan menuju meja rias. Ia meraih sisir dan urusan dengan rambut bergelombangnya pun dimulai.
Masih betah di tempat tidur dan belum berkeinginan untuk benar-benar memulai hari, Andreas duduk seraya memandang Vlora. Dinikmatinya pemandangan itu seraya berpikir.
Di manakah sebenarnya kau berdiri, Vlo? Kau membuatku curiga, tetapi sesaat kemudian justru sebaliknya. Bagaimana bisa aku tidak mempercayaimu?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top