45. Usaha

"Oma yakin. Semua hanya tinggal menunggu waktu saja. Kau pasti akan mendapatkan kabar baik sebentar lagi."

"Menurut Oma begitu?"

"Oma mengatakan ini bukan hanya karena kau adalah cucu Oma, tetapi Oma harus mengakui kalau kau benar-benar cerdik. Oma sama sekali tidak mengira kalau kau bisa memanfaatkan keadaan dengan begitu baik. Sejujurnya Oma sama sekali tidak mengira kalau kau sudah mempersiapkan semuanya."

"Mungkin begitu. Mungkin aku memang cerdik karena bisa memanfaatkan keadaan, tetapi semua bisa lancar dan sesuai rencana karena bantuan Vlora."

"Oh, itu tentu saja."

"Semua tidak akan bisa berhasil kalau dia tidak turut berperan."

"Kau benar, Reas. Untuk itu Oma harus mengatakan hal yang sama untuk kedua kalinya. Kau benar-benar beruntung. Apalagi kau memiliki istri yang bisa membantumu, tidak semua pria bisa mendapatkannya."

"Aku tahu itu, Oma."

"Walau begitu Oma harap kau tidak lantas menjadi jemawa. Kau tahu bukan? Papamu dulu juga adalah pria yang beruntung."

Satu ketukan di pintu membuat sekilas ingatan akan percakapan beberapa saat yang lalu buyar dari benak Andreas. Ia membuang napas panjang dan mendapati kedatangan Frans.

"Selamat pagi, Pak."

Menyapa, Frans duduk di depan Andreas. Sang bos hanya memberikan satu anggukan seraya teringat akan perkataannya pada Ningsih tadi.

"Maaf, Oma. Sepertinya aku jauh lebih pintar ketimbang Papa."

Ada satu hal yang pelan-pelan disadari oleh Andreas belakangan ini. Terlepas dari fakta bahwa ia masih belum mengetahui alasan di balik penyadapan ponsel yang dilakukan oleh Vlora, simpatik yang mulai didapatkannya adalah hasil dari campur tangan Vlora.

Tak ingin sombong, tetapi Andreas memuji diri sendiri lantaran telah mengambil keputusan yang tepat. Nyatanya memilih Vlora sebagai istri adalah langkah yang sangat disyukurinya.

Untuk itu Andreas berharap semoga Vlora merasakan hal serupa. Semoga saja karena ia merasa hanya Vlora yang bisa melengkapinya.

Ehm. Itu terdengar seperti kami adalah sepasang suami istri yang sebenar-benarnya bukan?

Wajar bila pertanyaan itu sempat tercetus di pikiran Andreas. Mengingat sejarah pernikahan mereka, sepertinya semua yang terjadi sekarang adalah hal di luar prediksi.

"Pak?"

Andreas mengerjap. Pijar kaget berkilat sedetik di matanya yang sempat kehilangan fokus untuk beberapa saat.

Astaga! Apa aku baru saja melamun?

Andreas mendeham dan sedikit mengubah posisi duduk, lalu balik bertanya. "Ya?"

Respons yang memalukan, tetapi apa mau dikata? Andreas sama sekali tidak tahu apa yang baru saja dikatakan oleh Frans. Ia tidak bisa berpura-pura menyimak sementara fokusnya entah berada di tempat lain.

"Apa ada yang Bapak pikirkan?"

Pertanyaan manusiawi. Andreas tidak heran sama sekali, tetapi ia menggeleng dengan sikap tenang.

"Tidak."

Tatapan Frans mengindikasikan bahwa ia meragukan jawaban Andreas.

"Baiklah," lanjut Andreas menyerah. Ia menarik napas dan berdecak sekilas. "Aku memang memikirkan sesuatu, tetapi tenang saja. Itu bukan hal penting. Kau tak perlu khawatir."

Mustahil Frans tidak merasa khawatir. Sikap Andreas justru membuatnya resah tak berkesudahan, terlebih setelah penyadapan yang dialaminya.

Andreas memang tidak mengatakan identitas penyadap itu, tetapi Frans memiliki instingnya sendiri. Firasatnya menyebut satu nama dan ia berani bertaruh bahwa pelakunya adalah Vlora.

Sederhana saja. Bukankah orang terdekat yang bisa dengan mudah menyadap?

Apalagi karena bisa dikatakan bahwa pergaulan Andreas belakangan ini terbatas. Ia tak banyak berinteraksi dengan orang luar. Pun bila iya maka ia selalu bersikap dengan hati-hati.

Sayangnya Frans harus menjaga sikap. Ia berada di tengah-tengah dan jelas tahu bahwa menyenggol Vlora adalah hal yang tak disukai oleh Andreas.

Frans tidak bisa menunjukkan kecurigaan pada Vlora. Ia harus menyembunyikannya dengan sebaik mungkin sehingga Andreas tidak justru balik menuduhnya karena terlalu berlebihan menilai orang.

Situasi Frans semakin sulit ketika Vlora telah memberikan bantuan nyata untuk Andreas. Tak perlu ditanya, hal itu pasti sangat berarti untuk Andreas dan kehati-hatiannya akan semakin mengendur.

Berat untuk mengakui. Namun, Frans menilai bahwa Andreas sudah tak mampu untuk menilai secara objektif lagi. Bila itu berhubungan dengan Vlora, logika Andreas seolah tak bekerja dan itu jelas hal yang berbahaya.

Frans tidak akan tinggal diam. Tak apa bila Andreas tidak mengindahkan kekhawatirannya. Ia hanya perlu membuktikan kebenaran dari firasatanya.

Selang satu jam berlalu. Frans telah meninggalkan kediaman Andreas. Ia pun menghubungi seseorang selagi mobil melaju di jalanan.

Panggilan tersambung. Nada tunggu terdengar selama dua detik sebelum suara wanita menyapa indra pendengaran Frans.

"Halo, Pak."

Frans menilai jalanan di depan sebelum menyahut. "Halo. Apa kau sibuk? Sepertinya kita perlu bertemu."

"Bertemu? Ehm. Untuk apa? Apa berkas pajak kemarin ada yang kurang?"

"Tidak," jawab Frans cepat. "Kerjamu bagus. Tidak ada masalah sedikit pun. Aku hanya ingin kau melakukan sesuatu lainnya."

"Apakah penting?"

Tegas, Frans pun menjawab cepat. "Sangat penting. Jadi kapan kita bisa bertemu? Apa memungkinkan dalam waktu dekat?"

Frans tak langsung mendapatkan jawaban, melainkan dehaman sesaat. Agaknya lawan bicaranya perlu waktu sejenak untuk berpikir.

"Mungkin kita bisa bertemu beberapa hari lagi. Aku sekarang berada di luar kota dan sedang bersenang-senang. Kuharap Bapak mengerti."

Frans membuang napas panjang. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu. Ia hanya berharap agar ia memang memiliki waktu sebelum semua terlambat.

"Baiklah, Viska. Aku harap kau bisa menghubungiku secepatnya."

Panggilan berakhir. Frans melepaskan penyuara telinga nirkabel dan menyisihkannya. Sekarang hanya ada satu hal yang bisa dilakukannya, yaitu menenangkan diri.

Frans harus bersabar selagi menunggu. Namun, sialnya adalah tak ada orang yang suka menunggu.

*

Bukan hal aneh bila di pagi hari itu Birawa tidak seperti biasa. Wajahnya yang mulai menua dimakan usia tampak tertekuk. Ekspresinya merupakan gabungan antara lesu dan marah. Jadi wajar saja bisa semua orang yang berinteraksi dengannya tampak berhati-hati, mereka tak ingin menyulut emosinya.

Jonas mendatangi Birawa tepat di pukul sepuluh pagi. Tanpa ada siapa pun selain mereka berdua di ruang kerja Birawa, tentunya situasi selepas Rapat Umum Pemegang Saham yang akan menjadi topik pembicaraan.

"Andreas sialan!"

Jonas berniat bicara, tetapi Birawa lebih dahulu mengumpati putra keduanya itu. Dengan tangan terkepal di atas meja, wajah Birawa tampak menakutkan.

Agaknya Jonas tak perlu mengatakan apa pun. Ia dan Birawa jelas sedang merasakan kemarahan yang serupa berkat perbuatan Andreas.

"Anak itu memang selalu membuat masalah. Dasar anak sialan."

Umpatan Birawa kembali meluncur. Jonas diam saja dan Birawa melihat ke arahnya.

"Kau tenanglah, Jon. Mungkin situasi sekarang sedikit memanas, tetapi kau tak perlu khawatir. Papa akan memastikan semuanya baik-baik saja."

Sebenarnya memalukan, tetapi Jonas cukup objektif untuk menilai bahwa posisinya sekarang berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Sebelum Rapat Umum Pemegang Saham digelar saja dirinya sudah terpojok berkat penjualan yang terus menurun, apalagi sekarang?

Seakan semua belum cukup. Bahkan rencana yang disusun Jonas untuk menjebak Andreas pun justru balik memerangkap dirinya sendiri.

Semua sudah lengkap. Jonas berharap keadaan tidak semakin buruk dan untuk itulah ia mendatangi Birawa. Ia gadaikan malu karena bersikap tak ubah anak kecil yang mengadu pada orang tua ketika berebut mainan dengan teman sepermainan.

"Aku benar-benar tidak mengira kalau semua akan berantakan seperti ini," ujar Jonas seraya mengusap wajah. Mata terpejam sekilas, rasa berat karena alkohol semalam masih tersisa. "Semua jadi kacau."

"Seharusnya kita tidak meremehkan Andreas. Anak itu licik. Dia tak mungkin berani datang dengan penuh percaya diri kalau tidak merencanakan sesuatu sebelumnya."

Itu adalah salah satu penyesalan Jonas. Ia terlalu fokus untuk menjebak Andreas sehingga lupa bahwa Andreas bisa melakukan hal serupa padanya.

"Memang, tetapi aku tetap tidak mengira kalau Andreas sudah mengantisipasi rencanaku. Dia seperti benar-benar tahu apa yang akan aku lakukan. Itu membuatku sungguh tak habis pikir."

Birawa mengerutkan dahi. Tatapannya tertuju pada Jonas dengan sorot penuh tanda tanya. Sontak ia penasaran, tetapi juga khawatir.

"Apa maksud perkataanmu, Jonas? Apa ada pengkhianat di sekitarmu?"

Jonas tak langsung menjawab, melainkan ia justru teringat perkataan Alan kemarin. Sekarang bila ia memikirkan hal tersebut dengan lebih saksama maka semua terasa jadi lebih masuk akal. Pantas saja ia selalu gagal menjegal Andreas. Pantas saja ia selalu gagal mempermalukan Andreas. Pantas saja karena ada pengkhianat yang berdiri tepat di sisinya.

"Kupikir begitu, Pa. Karena rasanya mustahil rencanaku kemarin gagal padahal semua sudah kususun dengan sebaik mungkin. Satu-satunya alasan yang paling masuk akal mengapa itu bisa terjadi memang karena ada pengkhianat."

"Lalu apa kau tahu siapa orangnya?"

Jonas tak menjawab, melainkan ia justru teringat akan perkataan Alan.

"Apa Bapak benar-benar percaya pada Pak Alex?"

Birawa menyipitkan mata. Ekspresi Jonas memberikan indikasi tersendiri terlepas dari jawaban yang tak kunjung ia tak dapatkan.

"Jonas," panggil Birawa menyentak lamunan Jonas. "Katakan pada Papa. Siapa orangnya? Kita harus menyingkirkannya secepat mungkin sebelum semua menjadi lebih kacau."

Jonas menarik napas dalam-dalam. "Aku akan mengurusnya nanti, Pa. Jangan khawatir. Aku punya rencanaku sendiri."

Keputusan Jonas telah bulat. Birawa bisa menangkap keseriusan Jonas baik di ucapan ataupun wajahnya.

"Baiklah kalau begitu. Kau urus pengkhianat itu dan Papa akan mengurus yang lain. Kau tak perlu mencemaskan soal para pemegang saham. Posisimu tak akan tergeser."

Itulah satu-satunya yang paling membuat Jonas tak tenang. Birawa jelas mengetahuinya dan sekarang prioritasnya adalah menenangkan putra kesayangan.

"Papa tahu situasi saat ini sangat sulit untukmu, tetapi kita akan mengatasinya. Kau fokuskan saja pikiranmu untuk menyusun strategi Progun ke depan sekaligus menemukan cara untuk menyingkirkan orang Andreas. Kau tak perlu memikirkan yang lain. Semua akan baik-baik saja."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top