44. Sebab

"Sepertinya aku benar-benar tak bisa berdiri lagi. Ini ..."

Andreas berpaling dan melihat Vlora yang berbaring di sebelahnya. Ia bicara dengan mata terpejam.

"... persis seperti yang kau janjikan tadi."

Tawa Andreas spontan meledak. Ia terbahak dan sepertinya baru menyadari bahwa seharian itu ia jadi lebih sering tertawa.

Andreas beringsut. Dengan bertopang pada satu siku, ia ciptakan kesempatan untuk bisa memandangi tubuh polos Vlora. Atas hingga bawah, itu adalah godaan yang memaksanya untuk meneguk ludah berulang kali.

Agaknya Andreas tak akan mampu menahan diri. Bahkan hanya dengan melihat rintik keringat di kulit halus Vlora saja ia tergoda untuk menyentuh kembali.

"Jangan menggodaku lagi, Reas," lanjut Vlora seraya menahan napas. Tidak, ia tidak akan lepas kendali lagi hanya karena usapan Andreas yang menyentuh putingnya. "Aku benar-benar tak ada tenaga lagi sekarang."

Tawa bertukar seringai. Andreas kian mendekat dan ujung hidungnya bermain-main di rambut Vlora, lalu berbisik.

"Kau butuh waktu berapa lama? Tiga puluh menit? Satu jam?"

Vlora meremang. "Kau tidak serius bukan?"

Andreas tak menjawab. Matanya memancarkan sorot nakal dan Vlora melirik jam dinding dengan wajah horor.

"Setelah tadi? Bahkan sekarang sudah lewat jam makan malam."

"Kau butuh makan dulu?" tanya Andreas dengan mulut yang menggoda telinga Vlora, melumat. "Aku bisa menunggu."

Vlora buru-buru menahan Andreas. Tangan naik dan mendarat di dada Andreas, ia tak ingin cumbuan di daun telinga dan dadanya berhasil membuatnya hilang kewarasan lagi.

"Kau seperti maniak seks yang puasa berabad-abad."

Kekehan geli berderai tepat di telinga Vlora. Andreas menarik diri dan kewaspadaan Vlora menjadi hal yang ditatapnya.

"Kau ingat bukan? Minggu lalu aku tak bisa menyentuhmu."

"Ah, kau benar."

Penyebabnya adalah siklus bulanan. Andreas harus menahan diri untuk beberapa hari dan sekarang ia tak akan menyia-nyiakan alasan yang dimiliki.

"Lagi pula semua orang tahu kegilaan setiap pria yang baru menikah. Kau harus tahu kalau rasanya menyiksa karena harus menahan diri."

"Pria yang baru menikah?"

Andreas menangkap geli di pertanyaan Vlora. Jadi ia kembali mendekat dan memanfaatkan kesempatan dengan sebaik mungkin.

"Bukankah begitu?"

Bola mata Vlora berputar, lalu ia memejam. "Sepertinya tidak. Kita sudah menikah sekitar empat bulan."

"Oh," lirih Andreas pura-pura terkesiap. Kecupan-kecupan yang melenakan Vlora terjeda sejenak, lalu berlanjut kembali. "Benarkah? Kupikir baru kemarin kita menikah."

Payudara Vlora berguncang karena tawa. "Sudahlah, Reas."

"Apa yang sudahlah? Ciuman atau gurauanku?"

"Semuanya. Ciuman dan gurauanmu."

"Ehm."

Alunan dehaman Andreas menyalakan sirine peringatan Vlora. Firasat tak asing membangkitkan antisipasi.

"Seandainya kau mengatakan itu dengan lebih serius ..."

Dehaman berganti ucapan penuh percaya diri. Kali ini Andreas benar-benar meraih tubuh Vlora. Ia melumat dan leher Vlora pun menimbulkan jejak kemerahan.

"Oh, astaga."

"... mungkin aku akan benar-benar berhenti."

Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya. Vlora pun menyadari hal tersebut. Apa yang diucapkannya jelas bertolakbelakang dengan apa yang tubuhnya inginkan.

Oh, Tuhan. Bagaimana bisa Vlora dikhianati oleh dirinya sendiri? Sungguh memalukan.

"Jadi bagaimana menurutmu?" tanya Andreas lagi dan kali ini lumatannya mendarat di payudara Vlora. "Apakah aku harus berhenti atau—"

"Oh!"

Lirihan Vlora memotong ucapan Andreas. Remasannya di pundak Andreas memberikan isyarat yang sebaliknya.

"Teruskan, Reas."

Tak hanya melumat, bibir Andreas pun menyeringai penuh arti ketika mendengar permintaan Vlora.

"Sepertinya ada yang sudah siap untuk permainan berikutnya."

*

Jam nyaris menunjukkan pukul dua belas malam ketika bel unit apartemen Nadine berbunyi. Ia yang berniat untuk segera merebahkan tubuh di tempat tidur pun terpaksa keluar dari kamar demi melihat siapa yang datang.

Bel kembali berbunyi. Nadine mengikat tali jubah gaun tidurnya dan mempercepat langkah.

"J-Jonas?"

Itu memang wajah Jonas yang tertangkap oleh kamera pintu. Ia tampak berantakan dan juga tak sabaran ketika kembali menekan bel untuk kesekian kali.

Nadine membuka pintu dan berencana untuk menanyakan keadaan Jonas, tetapi pria itu justru roboh ke arahnya.

"Oh, Tuhan. Jonas."

Nadine berusaha bertahan semampunya. Ia rengkuh tubuh Jonas agar tidak jatuh ke lantai dan dengan susah payah, mereka pun berakhir di sofa.

"Argh."

Jonas meracau seraya memegang kepala. Mata terpejam dan ia terlihat sangat kacau.

"Jon?" panggil Nadine seraya menepuk-nepuk pipi Jonas, berusaha menyadarkannya. "Jonas? Kau baik-baik saja?"

Namun, Jonas tidak dalam keadaan bisa menjawab pertanyaan apa pun. Ia hanya mengerang seolah tengah menahan sakit dan Nadine menarik napas panjang.

"Kau mabuk."

Aroma alkohol yang kuat dan kekacauan itu sudah lebih dari cukup untuk Nadine mengambil kesimpulan. Jonas mabuk dan mau tak mau rasa khawatirnya pun timbul.

"Tunggu sebentar. Aku akan mengambil air hangat dan handuk untukmu."

Nadine bangkit. Ia berniat melangkah, tetapi mendadak saja tangannya digenggam Jonas.

"Nadine."

Mata mengerjap. Nadine tertegun sejenak sebelum berpaling dan melihat Jonas yang menyebut namanya bahkan tanpa membuka mata.

"Kau tunggu sebentar. Aku—"

"Tidak," potong Jonas seraya melenguh. Ia menggeliat dan berusaha untuk duduk dengan benar. "Jangan pergi."

"Jonas, aku—"

Sesuatu membuat Nadine menggantung ucapannya. Ada warna merah yang menarik perhatiannya dan perasaan khawatir pun semakin menjadi-jadi.

"Kau terluka Jonas. Apa yang terjadi padamu?"

Nadine duduk demi bisa melihat buku-buku jari Jonas dengan lebih saksama. Ada memar dan goresan di sana, berikut dengan darah yang telah mengering.

"Apa kau berkelahi?"

Jonas meringis. Ia tak menjawab, melainkan berusaha menarik tangannya dari genggaman Nadine. Namun, Nadine tak melepaskannya.

"Jonas, katakan padaku," ujar Nadine seraya balik menarik tangan Jonas. "Apa yang terjadi padamu?"

Sesaat, Jonas masih jauh dari kesadaran. Ia terus meracau dan Nadine kembali menepuk pelan pipinya, masih berusaha menyadarkannya.

"Jonas. Apa kita harus ke rumah sakit? Sepertinya keadaanmu tidak baik."

Kesampingkan fakta bahwa Jonas mabuk. Nadine khawatir bila bukan hanya buku-buku jari tangan Jonas yang mengalami memar dan tergores. Mungkin saja ada luka serupa di tempat lain yang tidak ia ketahui.

"Argh!"

Geraman Jonas diikuti oleh sentakan. Nadine kaget ketika tangan Jonas lepas dari genggamannya.

"Mengapa Andreas selalu mengacaukan semuanya?!"

Nadine terdiam sementara Jonas menunjukkan tanda-tanda sadar kembali. Ia menarik napas dan berusaha menegapkan punggung.

"Mengapa?" ulang Jonas dan matanya membuka dengan sorot sayu. Ia tampak menyedihkan dan menyiratkan luka. "Mengapa Andreas selalu mengacaukan semuanya?"

Nadine meneguk ludah dan berusaha menyentuh Jonas dengan lembut. "Jonas. Sepertinya kau butuh istirahat."

Jonas menggeleng. Ia balik meraih tangan Nadine dan menggenggam jemarinya.

"Katakan padaku, Na. Mengapa Andreas bisa memiliki semuanya? Mengapa harus dia?"

Tak perlu ditanya. Semua sudah jelas. Nadine bisa menebak bahwa kekacauan Jonas malam itu kembali disebabkan oleh Andreas.

Pasti ada sesuatu yang terjadi di Rapat Umum Pemegang Saham.

Nadine maklum. Bila itu berkenaan dengan Andreas dan Rapat Umum Pemegang Saham maka sewajarnya keadaan Jonas menjadi seperti ini.

Tak ada bantuan yang bisa Nadine berikan. Satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah menenangkan Jonas.

Nadine tersenyum. "Sebaiknya kita ke kamar, Jon. Kau perlu istirahat."

Jonas bergeming, tetapi Nadine tak menyerah. Ia kembali membujuk dengan penuh kesabaran.

"Ayolah, Jon."

Pada akhirnya Jonas bangkit. Ia merengkuh Nadine dan melangkah gontai ketika mereka menuju kamar.

Nadine membantu Jonas untuk melepaskan sepatu dan kaus kaki. Ia singkirkan jas dan dasi, lalu membiarkan Jonas merebahkan tubuh sementara ia beranjak sejenak.

Adalah air hangat, handuk, dan kotak Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan yang diambil oleh Nadine. Ia bersihkan luka Jonas dan turut menahan ringisan ketika Jonas melirih perih.

Luka telah terobati. Selanjutnya Nadine membersihkan tubuh Jonas seadanya. Ia usap keringat dan debu yang melekat di kulit Jonas.

Jonas tak bergerak. Pun tak merespons sama sekali. Nadine berpikir bahwa Jonas telah tertidur, tetapi ia kecele. Jonas mendadak menangkap tangannya.

"Jonas."

Mata Jonas yang semula terpejam perlahan membuka. Mereka saling menatap dan sorot sayu yang menyedihkan hilang sudah.

Jonas tak mengatakan apa-apa. Ia memang hanya menatap Nadine. Namun, tatapan itu bermakna lebih dari untaian kalimat.

Kesedihan, pengharapan, dan semua keinginan memancar. Jonas biarkan Nadine melihat semua, lalu bertindak.

Nadine tak menolak ketika Jonas menarik dirinya. Ia biarkan dirinya mendarat di dada Jonas. Pun tak keberatan sama sekali ketika Jonas menciumnya.

Handuk lembab tersingkir. Begitu pula dengan benda-benda lainnya. Seperti pakaian mereka, misalnya.

*

"Ya Tuhan, Reas. Oma menghubungimu semalaman, tetapi tidak kau angkat."

Belum sampai lima menit Andreas menjejakkan kembali kaki di rumah setelah mengantar Vlora kerja. Ponsel berdering dan ternyata adalah Ningsih yang menghubunginya. Pada saat itulah ia pun menyadari bahwa ada banyak panggilan tak terjawab dari sang nenek. Alhasil tak aneh bila Ningsih langsung menggerutu ketika ia mengangkat telepon tersebut.

Andreas mengulum senyum. Ia menaiki tangga seraya menggaruk pelipis dengan satu jari, berniat ke ruang kerja.

"Oh, maafkan aku, Oma. Sungguh. Aku sama sekali tidak tahu kalau Oma menghubungiku."

"Mustahil!"

Andreas terkekeh dan membuka pintu ruang kerja. Ia masuk dan duduk di balik meja. Agaknya ia akan menunggu kedatangan Frans dengan mendengarkan omelan Ningsih.

"Oma menghubungimu dari sore hingga nyaris tengah malam, Reas. Jadi jangan katakan kalau kau tidak tahu Oma menghubungimu. Itu tidak masuk akal."

Andreas kembali terkekeh. "Sungguh, Oma. Aku tidak berbohong dan sejujursnya aku baru sempat mengecek ponselku pagi ini. Aku minta maaf."

Hening sejenak. Hanya dehaman samar Ningsih yang terdengar dan itu membuat Andreas geleng-geleng dengan ekspresi geli.

Sepertinya bukan hanya wanita muda yang mudah luluh bila Andreas sudah mulai merayu. Bahkan untuk kategori wanita dengan usia senja seperti Ningsih pun tak bisa berkutik bila ia sudah bicara dengan nada manis. Lihat saja buktinya. Tak butuh waktu lama untuknya berhasil mengubah intonasi suara Ningsih.

"Memangnya apa yang kau lakukan semalaman sehingga kau tak ada waktu untuk sekadar mengecek ponselmu? Apa kau tidak tahu kalau Oma ingin menceritakan respons pada pemegang saham tentang rapat kemarin?"

Punggung bersandar, Andreas menarik napas sekilas. "Apa yang aku lakukan semalaman sehingga aku tak ada waktu untuk sekadar mengecek ponsel? Ehm. Apa Oma benar-benar ingin mengetahui detailnya?"

"Apa maksudmu, Reas?"

"Jadi begitni, Oma. Sejujurnya semalam aku memang sibuk dengan sesuatu yang berkaitan antara aku dan Vlora. Kurasa Oma sudah mengerti mengapa aku tidak peduli dengan ponselku semalaman."

"Oh, astaga!"

Kesiap itu lebih dari cukup untuk menggambarkan keterkejutan Ningsih berkat jawaban Andreas. Tak ingin, tetapi bayangan wajah Ningsih dengan pipi bersemu merah langsung mengisi imajinasinya. Ia pun tertawa.

"Sepertinya aku tak perlu menceritakan detail semua yang terjadi semalam. Lebih baik Oma yang menceritakan situasi rapat kemarin setelah aku pergi."

Ningsih berdecak samar. "Kau ini memang nakal, Reas."

"Terima kasih untuk pujiannya Oma."

"Sayangnya kau adalah anak nakal yang pintar, cerdik, dan pastinya beruntung."

Andreas tersenyum penuh arti.

Ah, aku memang bajingan yang beruntung.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top