42. Ledakan

Desakan geli tak lagi mampu ditahan Andreas. Untungnya sikap tenang dan berwibawa yang harus dipasang tatkala berada di luar rapat tadi sudah bisa dilepaskannya sekarang.

Tawa Andreas pecah tatkala ia dan Vlora telah berada di dalam mobil. Vlora menoleh dan mendengkus lucu karenanya.

"Kau tampak begitu senang."

Andreas tak membalas perkataan Vlora untuk sesaat. Ia masih tertawa dan Vlora tak menginterupsinya sama sekali, malah terkesan menikmatinya.

Hanya ketika napas mulai terasa payah dan mata telah membasah sehingga Andreas berhenti tertawa. Ia menarik udara sebanyak mungkin, lalu mendeham.

"Oh, Tuhan. Ini sangat lucu, Vlo."

Vlora tersenyum tipis mendapati jejak geli yang masih tersisa di suara Andreas. "Aku akui, Reas. Sandiwaramu tadi benar-benar terlihat natural."

"Benarkah?"

"Benar," angguk Vlora melihat Andreas menyeringai dengan satu alit mata yang naik dengan gestur menggoda. "Ketika kau mengumpati Jonas dan syok seolah baru menyadari tujuannya meninggalkanmu seorang diri di ruang persiapan tadi, ehm itu seperti akting aktor kelas dunia."

Mata berbinar-binar. Andreas menatap Vlora tanpa bicara untuk beberapa detik.

"Terima kasih."

"Terima kasih? Untuk apa? Untuk pujianku?"

Andreas menggeleng. "Bukan, tetapi ...," jawabnya seraya membelai pipi Vlora dan ia dapati sang istri memutar bola mata, kemudian memejam. "... untuk membantuku hari ini."

Belaian Andreas terus menyusur dengan pergerakan penuh irama. Vlora menelengkan wajah demi menciptakan kesempatan untuknya mengecup telapak tangan Andreas. Seketika saja darah Andreas berdesir.

"Kupikir itulah gunanya istri. Bukankah untuk membantu suaminya?"

Andreas diam. Tak menjawab, agaknya sekarang ada yang lebih menarik ketimbang bermain kata-kata.

Itu adalah keputusan buruk, mungkin. Namun, percikan-percikan itu tak mampu Andreas tolak.

Salahnya adalah ketika Andreas pikir itu hanya akan menjadi sekelumit godaan saja. Namun, ternyata percikan setitik sangat ampuh untuk menciptakan gelembung-gelembung panas di sepanjang pembuluh darahnya.

Desir berubah cepat menjelma jadi gejolak. Napas memberat dan udara yang dihirup terasa panas.

"Andreas."

Ternyata begitu pula dengan Vlora. Ia menangkap gelagat Andreas dan justru mengalami hal serupa.

Mata Andreas mulai berkabut. Ia menatap dengan sorot yang membuat Vlora gemetar hingga ke ujung kaki.

Vlora meneguk ludah. Ia menarik napas sedalam mungkin demi berusaha mendamaikan perubahan yang mulai terjadi pada tubuhnya.

Sayangnya pergerakan itu justru menjelma jadi satu godaan di mata Andreas. Payudara Vlora naik turun dengan begitu kentara dan ia tak mampu menahan diri untuk berkata.

"Seharusnya kau tidak menggodaku, Vlo."

Menggoda? Siapa menggoda siapa? Apakah Vlora menggoda Andreas? Kapan ia melakukannya?

Vlora bisa saja mendebat hal tersebut. Ia harus mengklarifikasi untuk perbuatannya yang dituduh telah menggoda suaminya.

Namun, serupa dengan pemikiran Andreas. Vlora yakin sekarang bukanlah waktunya untuk berdebat. Terlebih ketika ia dapati tangan Andreas telah meninggalkan pipi dan berpindah ke tengkuknya, lalu menarik.

Vlora benar-benar tidak akan bisa mendebat. Alih-alih ia justru membuka mulut tanpa suara dan menerima ciuman Andreas.

Tangan Vlora langsung bergerak. Ia raih lidah jas Andreas, lalu meremasnya.

Pagutan kuat memerangkap bibir bawah Vlora. Remasan pada lidah jas menguat dan ia pun mengerang.

Andreas menggebu. Ciumannya semakin dalam dan kian menuntut seolah tak peduli mereka sedang berada di mana. Terlebih lagi, setelah melalui apa.

Tak ubah seperti itu adalah kali pertama Andreas mencium wanita. Ia benar-benar penuh semangat dan antusiasme. Tak sedikit pun ia berpikir untuk menahan diri.

Erangan Vlora menyulut Andreas. Ia membara dan mengisap lidah Vlora. Gigitan kecil menyergap ujung lidah dan lumatan memerangkap keseluruhannya.

Membelit. Melilit. Semua Andreas lakukan sehingga Vlora sama sekali tak mampu berkelit.

Andreas membuktikan untuk kesekian kali bahwa ia adalah pemain yang selalu bermain dengan sepenuh hati. Persis sekarang, ia tak menyisakan sedikit pun rasa Vlora. Ia isap dan teguk semua hingga habis dan mengering.

Tangan Andreas menjelajah. Ia tinggalkan tengkuk Vlora dan meraba semua lekuknya yang menggoda.

Andreas mengakhiri penjelajahanny di pinggang ramping Vlora. Ia meremas sekilas dan menuntun sehingga Vlora pun bangkit.

Ciuman tak terputus. Lidah masih saling menggoda. Vlora pun pindah ke pangkuan Andreas.

Vlora mendesah ketika ciuman berakhir. Andreas meninggalkan bibirnya, tetapi justru menyusuri pipinya.

Turun dan semakin turun. Kehangatan bibir Andreas menyapa leher Vlora sementara kedua tangannya pun kembali bergerilya.

Vlora mengangkat kepala. Bibir terbuka dan ia terengah-engah menarik udara. Wajahnya tampak payah saat berusaha menarik oksigen yang dibutuhkan.

Oh, tetapi sungguh! Ciuman Andreas begitu ahli dalam mengacaukan kerja organ tubuh Vlora.

"R-Reas."

Mendengar namanya diucapkan dengan penuh gairah, Andreas pun tersulut. Ia tak bisa berpikir dua kali ketika melepaskan satu kancing di blazer Vlora, kemudian menyasar pada kancing-kancing kemeja di dalam sana.

Andreas tak butuh waktu lama. Ia menemukan objek yang dicari.

Mendorong. Andreas hanya perlu sekali tindakan untuk mengeluarkan sepasang payudara Vlora dari mangkuk bra yang menopang. Wajah menunduk dan ia mengisap satu puting sementara meremas payudara lainnya.

Cumbuan Andreas menghilangkan kewarasan Vlora. Desakan primitif telah mengalahkan pikiran sehingga ia pun merespons untuk setiap godaan yang didapat.

Kali ini adalah tangan Vlora yang bertindak. Ia meluncur dan jemari lentik itu menuju ke bawah. Pada sesuatu yang terasa membesar, lalu ia menangkupnya. Pun tak luput memberikan remasaan menggoda yang membuat Andreas menggeram.

"Vlo."

Sayangnya mobil berhenti. Bukan karena lalu lintas. Lantaran suara Marwan terdengar di interkom sedetik kemudian.

"Kita sudah sampai di Greatech, Pak."

Semua gerakan penuh gairah berhenti dengan kompak. Semua cumbuan terjeda dan untuk sesaat hanya ada deru napas yang terdengar.

Butuh waktu yang lumayan lama untuk sepasang suami istri itu mencerna situasi yang tengah terjadi. Mereka membuka mata dan sama-sama tersenyum. Ketika Andreas mengancingkan kembali kemejanya, Vlora berkata.

"Sepertinya kita harus menundanya untuk beberapa jam."

Vlora membisikkan kata-kata itu tepat di telinga Andreas. Bernada nakal, ia tak lupa untuk memberikan satu gigitan sensual di daun telinganya.

"Jemput aku."

Seperti Andreas perlu diingatkan saja. Alhasil ia pun merespons dengan sangat alamiah. Yaitu, memberikan remasan terakhir di satu payudara Vlora dan membalas.

"Tentu saja."

*

Braaak!

Jonas sudah tak lagi mampu menahan ledakan emosi. Hebatnya adalah ia mampu bertahan hingga tiba di ruang kerjanya ketimbang meluapkan semua kemarahannya di ruang rapat.

Semua bendar di atas meja kerja melayang. Semuanya berhamburan dan terjatuh di lantai dengan keadaan mengenaskan. Namun, itu belum seberapa dengan amukan selanjutnya.

Mata melotot merah. Keringat menetes membasahi wajah. Kaki melangkah cepat dan kedua tangan menyasar pada kerah kemeja Alex.

"P-Pak."

Tak ayal Alex tergagap takut ketika Jonas menyerang tanpa peringatan sama sekali. Ia tahu Jonas amat murka padanya.

"Kau bilang ini akan berhasil, sialan!"

Menggeram. Suara berat Jonas dan jarak yang teramat dekat membuat Alex ketakutan setengah mati.

Jonas menyipitkan mata. "Mengapa CCTV itu aktif, Alex?"

"S-saya tidak tahu, Pak. Sungguh, Pak. Saya sudah menonaktifkannya."

"Kalau kau sudah menonaktifkannya maka ..."

Lurus dan terasa amat menghunjam. Jonas terus menatap Alex tanpa kedip sama sekali.

"... tidak akan ada rekaman yang bisa mempermalukanku seperti tadi."

Ketakutan sudah membungkus sekujur tubuh Alex dengan rasa dingin menggigil. Ngilu menusuk hingga membuatnya gemetaran.

"S-sepertinya ada pengkhianat di sekitar kita, Pak."

"Pengkhianat?" ulang Jonas seraya mendengkus. Ia mendelik dan remasan di kerah kemeja Alex pun menguat. "Kau ingin mencari alasan?"

"T-tidak, Pak. S-saya tidak sedang mencari alasan. S-saya mengatakan yang sebenarnya."

Jonas diam dan mencoba meraba kebohongan yang mungkin bisa saja sedang dilakukan Alex. Namun, tak ayal ia pun sedikit terusik dengan kemungkinan yang satu itu.

Respons Jonas menerbitkan sedikit harapan Alex. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyelamatkan hidupnya dan buru-buru berkata.

"Saya yakin ada yang mengetahui rencana kita dan lalu menggagalkannya, Pak. Pasti dan karena itulah CCTV yang sudah saya nonaktifkan bisa aktif kembali."

Kemungkinan tersebut terdengar masuk akal. Jonas coba memikirkannya ketika Alex kembali bicara.

"Saya bisa memastikan kalau pengkhianat inilah yang membuat semua tindakan kita gagal, Pak. Lagi pula saya sudah lama bekerja dengan Bapak. Saya tidak mungkin mengkhianati Bapak."

Semakin merenungkan perkataan Alex maka semua terasa semakin masuk akal. Pengkhianatan itu bisa merugikannya pula. Semestinya ia tak melakukan apa pun yang bisa menjatuhkan Jonas karena itu akan membuatnya menderita pula.

Benar. Sepertinya memang ada pengkhianat di sini, tetapi siapa?

Alex tak luput menangkap perubahan sekecil apa pun dari ekspresi Jonas. Ia tahu Jonas mulai terpengaruh dengan perkataannya.

"Kali ini saya benar-benar berjanji, Pak. Saya akan menyeret pengkhianat itu ke hadapan Bapak."

Deru napas Jonas melambat. Cengkeramannya lepas dan Alex segera melepaskan diri. Pun segera mengucapkan pamit sebelum bergegas keluar dari sana.

Seorang diri dengan kekacauan yang membuat kepala berdenyut. Jonas memanggil Alan sesaat kemudian.

"Rapikan ruangan ini, Lan. Aku akan pulang."

Jonas meraih jas yang sempat dibantingnya. Melangkah, tetapi Alan justru bersuara.

"Maaf, Pak. Apa boleh saya menanyakan sesuatu?"

Langkah berhenti. Jonas berbalik dan menatap Alan dengan sorot penuh selidik.

"Apa yang ingin kau tanyakan."

Alan balas menatap. "Apa Bapak benar-benar percaya pada Pak Alex?"

Jantung Jonas seperti berhenti berdetak. Samar, lututnya goyah dengan dugaan yang dengan cepat terbentuk di dalam kepala. Tak sulit untuk menerka maksud pertanyaan Alan.

"Apa maksudmu?"

Alan tak menjawab, melainkan mengeluarkan ponsel. Ibu jari bergerak di layarnya dan adalah sebuah rekaman suara yang menjadi tujuannya.

"Sewaktu Pak Andreas menemui Bapak tempo hari," ujar Alan sebelum memutar rekaman suara itu. "Pak Andreas juga menemui saya."

"Untuk apa?"

Sekaranglah waktunya untuk Alan memutar rekaman suara tersebut. Ia biarkan suara Andreas menjawab langsung rasa penasaran Jonas.

"Alan, katakan padaku. Apa hargamu? Jonas atau Progun?"

"Apa maksud Bapak?"

"Aku akan merebut Progun dalam waktu dekat. Jadi kukatakan padamu sekarang. Kalau kau ingin selamat dan tetap bekerja di sini maka aku sarankan agar kau membantuku."

"Maaf. Saya tidak mengerti maksud Bapak."

"Oh, benarkah? Ehm sepertinya kau lebih memilih setiap pada Jonas. Tak mengherankan. Kalau kuingat-ingat maka sepertinya kau dulu tak merasa sedih sama sekali ketika aku didepak dari sini. Kau tak keberatan sama sekali untuk lanjut bekerja dengan bos baru."

Jonas mengerjap. Amarah kembali menggelegak. Dadanya terasa amat panas sekarang.

"Baiklah. Tak apa. Penolakanmu membuatku tak punya pilihan lain. Setidaknya aku sudah mendapatkan kandidat mutlak untuk menjadi sekretarisku nanti."

Rekaman berakhir, tetapi justru dilanjutkan dengan satu informasi dari Alan yang membuat kedua tangan Jonas mengepal kuat.

"Apa Bapak tahu? Ternyata Pak Andreas memiliki salinan pajak selama tiga tahun terakhir ini."

Jonas benar-benar tak bisa meredam kemarahan. Ia benar-benar meledak dan tinjunya melayang ke dinding.

"Bajingan!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top