39. Serangan
Senin yang telah dinanti-nanti. Rapat umum pemegang saham akan digelar dan Andreas menghabiskan dua jam yang tersisa dengan bersantai di ruang kerja Lucas.
Secangkir kopi hitam menemani Andreas. Rasanya pas dan ah! Lirikan Lucas membuatnya tergelak—nyaris tersedak.
"Ingin mengatakan sesuatu?"
Lucas mendengkus. "Kau terlihat begitu santai."
"Begitulah hidup. Harus dinikmati dengan santai," ujar Andreas sebelum kembali menyesap kopi. Mata terpejam dan ia mendesah nikmat. "Terutama kalau ditemani oleh secangkir kopi."
Kali ini Lucas tak mampu menahan diri. Ia tinggalkan sejenak pekerjaannya dan menatap Andreas yang duduk di sofa dengan dahi mengerut.
"Jangan katakan kalau kau sengaja datang menemuiku hanya karena ingin menyuruh Vlora membuatkanmu kopi."
Tuduhan Lucas membuat Andreas buru-buru menaruh cangkir kopi kembali ke tatakan. Perut geli dan tubuhnya bergetar karena tawa.
"Mengapa? Apa di rumahmu tak ada kopi?"
Andreas terbahak hingga matanya basah. "Oh, astaga. Kau tak perlu menyindirku begitu."
"Sesukamu saja."
Lucas putuskan untuk lanjut bekerja. Namun, tak berselang lama kemudian suara Andreas kembali terdengar.
"Ngomong-ngomong ..."
Fokus mata Lucas teralihkan. Refleks, ia berpaling pada Andreas yang menatapnya dengan kesan tak yakin.
"... aku tidak melihat pria itu sebelumnya."
Andreas menyinggung pria asing yang dilihatnya duduk tak jauh dari meja Vlora. Ia yakin bahwa mereka tak saling mengenal dan tadi adalah pertemuan pertama mereka.
"Tak perlu merasa tersanjung. Belakangan ini aku merasa memang membutuhkan sekretaris kedua."
"Tersanjung?" ulang Andreas berdecak seraya memutar bola mata. "Aku tahu kau melakukannya bukan untuk meringankan pekerjaan Vlora, tetapi apakah harus pria?"
Kali ini Lucas yang tertawa. "Sungguh, Reas? Apa kau merasa terganggu?"
Terganggu? Andreas berani bersumpah bahwa ia sama sekali tidak merasa terganggu. Bukan sok percaya diri, tetapi ia pun mengetahui karakter Vlora. Duduk bersebelahan tak akan membuat Vlora tergoda.
"Tidak sama sekali, tetapi rasanya sedikit aneh melihat ada pria yang duduk di sebelah Vlora selain aku."
"Apa matamu terasa gatal?" tanya Lucas kembali menggoda. "Kau tidak berpikir untuk menggeser mejanya bukan?"
Sindiran Lucas membuat Andreas menggerutu. "Sialan kau."
Tentunya Andreas tak akan melakukan itu. Pun bila dipikir-pikir maka keberadaan sekretaris kedua Lucas adalah hal tepat. Paling tidak ia tak perlu merasa bersalah karena harus menculik Vlora untuk beberapa jam ke depan.
"Setidaknya kau bisa mengambil sisi positifnya, Reas," ujar Lucas sesaat kemudian. Geli masih membuat sudut bibirnya berkedut. "Keberadaannya membuatku bisa mengizinkan Vlora hari ini. Kau tahu? Aku ada presentasi penting siang nanti."
"Tepat seperti yang aku pikirkan."
Setuju dengan pendapat Lucas, ada sesuatu yang menarik perhatian Andreas. Alhasil tak aneh bila ia mengubah topik pembicaraan sedetik kemudian.
"Berbicara mengenai presentasi penting, apa itu presentasi yang aku pikirkan?"
Mengangguk sekali, Lucas putuskan untuk meninggalkan sejenak map yang sempat dibukanya. Ia menyandarkan punggung dan menjawab singkat.
"Sepertinya begitu."
"Jadi kapan rencananya akan keluar di pasar?"
Ekspresi Lucas sedikit berubah, perpaduan antara antusias dan keinginan untuk menahan diri. Satu tangan naik demi mendarat di lengan kursi, ia menarik napas seraya memainkan jemari sebelum mengepalnya.
"Perlu uji coba terakhir sebelum produk siap diluncurkan. Lagi pula ini proyek besar. Aku tidak boleh gegabah. Walau dua percobaan sebelumnya menunjukkan hasil yang bagus, tetapi aku ingin melihat hasil ketiga. Jadi mungkin sekitar bulan depan? Ehm paling lama dua bulan lagi."
Andreas manggut-manggut. "Waktu yang lumayan lama."
"Ada beberapa hal yang perlu aku lakukan untuk pengujian ketiga ini. Tim sedang mempersiapkan virus yang lebih kuat. Kerusakan datanya harus parah. Dengan begitu efektivitas perbaikannya benar-benar bisa terlihat."
"Aku paham, tapi bagaimana menurutmu kalau aku saja yang melakukan pengujian ketiga ini?"
Lucas mengerutkan dahi. Ditatapnya Andreas dan ia menyadari sesuatu.
"Seharusnya aku paham," ujar Lucas tak menjawab pertanyaan Andreas. Ia mendengkus seraya geleng-geleng. "Tentu saja di rumahmu ada kopi dan Vlora bisa membuatnya kapan saja."
Andreas pun terbahak.
*
Tepat pukul satu siang, Andreas dan Vlora tiba di Progun. Kehadiran mereka menimbulkan kewaspadaan beberapa orang dan itu bukan hal mengherankan untuk Andreas. Namun, ketika seorang satpam menghentikan langkah mereka di ambang pintu maka di saat itulah Andreas melongo.
"Kau serius?"
Satpam mengerjap dengan ekspresi serba salah. "Maaf, Pak. Saya hanya menjalankan perintah."
"Perintah?" dengkus Andreas mengulang satu kata itu seraya melihat sekeliling. Beberapa orang yang melihat pada mereka sontak berpaling dan itu membuatnya berdecak. "Bisa-bisanya Jonas melakukan hal serendah ini. Apa dia lupa kalau aku juga punya hak untuk ikut dalam rapat hari ini?"
Satpam tak menjawab, alih-alih kembali mengucapkan maaf.
"Sudahlah, Reas."
Sentuhan lembut di tangannya membuat Andreas berpaling. Tetap berwajah datar dan tampak biasa-biasa saja, Vlora berkata.
"Semakin cepat kita melakukannya maka semakin cepat pula semua ini selesai."
Andreas menarik napas dan melirik satpam dengan sorot kesal yang teramat nyata. Satpam mendeham sembari menundukkan wajah, mungkin sedikit banyak merasa bersalah untuk perintah yang harus dijalankannya.
"Baiklah. Aku akan mengikuti permainan Jonas. Aku akan menganggap ini sebagai cara penyambutan tamu terbaru."
Di saat satpam semakin merasa tak enak, Vlora justru sebaliknya. Gerutuan Andreas membuatnya tersenyum kecil. Agaknya ia telah memahami dengan benar bahwa ketegangan antara sang suami dan iparnya bukanlah hal yang main-main.
"Saya mohon maaf, Pak," ujar satpam seraya mempersilakan Andreas dan Vlora. "Mari ikut saya."
Tak ubah tersangka kejahatan, dua orang satpam mengawal Andreas dan Vlora. Mereka melewati lobi yang dipenuhi oleh sekumpulan orang dengan rasa penasaran.
Beberapa suara terdengar halus. Bisik-bisik mengiringi langkah mereka.
Andreas menyunggingkan senyum miring seraya menahan dorongan untuk tertawa. Menjadi pusat perhatian memang adalah prioritasnya, tapi tentu bukan pusat perhatian seperti ini yang diharapkan. Walau begitu bukan berarti ia tak menikmatinya.
"Jadi ..."
Mereka memasuki satu lift. Ketika pintu menutup dan lift mulai bergerak naik, suara Andreas terdengar memecah keheningan.
"... kalian akan membawa kami ke mana?"
"Kami akan mengantar Bapak dan Ibu untuk menemui Pak Jonas."
Andreas menatap Vlora. Jawaban yang didapat menyiratkan sesuatu. Yaitu, Jonas bukan hanya ingin menemui dirinya, melainkan Vlora pula.
Lift berhenti bergerak. Andreas dan Vlora keluar, lalu dipandu menuju ruang persiapan yang tempatnya tak jauh dari ruang rapat.
Seorang karyawan menyambut kedatangan Andreas dan Vlora. Ia melirik pada satpam dan mengangguk sekali.
Andreas yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng. Itu tak ubah isyarat penyerahterimaan tugas, dari satpam berpindah kepada karyawan tersebut.
"Di mana Jonas?" tanya Andreas tak ingin membuang-buang waktu. Ia melihat jam tangan dan rapat akan segera dimulai dalam dua puluh menit. "Aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni permainannya."
Karyawan tersebut tersenyum. "Pak Jonas ada di dalam. Mari saya antar, Pak."
Pintu membuka. Andreas dan Vlora masuk, langsung mendapati keberadaan Jonas.
"Pak Andreas dan Bu Vlora sudah tiba, Pak."
Jonas menatap Andreas seraya berkata. "Kau boleh pergi."
"Baik, Pak."
Selang sedetik setelah karyawan itu pergi, Andreas mengajak Vlora untuk duduk di meja kerja Jonas. Bersamaan dengan itu barulah ia menyadari bahwa Jonas tak sendiri. Ada Alex dan tampaknya mereka tengah berada dalam pembicaraan serius.
"Kau hanya bisa mengataiku saja, Jon. Nyatanya kau lebih kekanakan daripada aku. Persis seperti anak kecil."
Jonas menyisihkan laptop dan mengabaikan Alex yang berdiri di sebelahnya. Ia mendengkus dengan sorot mencemooh.
"Aku belajar dari ahlinya. Bukankah kau begitu? Kekanakan dan persis seperti anak kecil."
"Memang, tapi kau jangan lupa. Aku mempunyai hak untuk hadir di rapat ini. Aku memang tidak memiliki posisi apa pun di sini, tetapi aku masih memiliki sahamku. Tanpa perlu kau undang, aku sudah memiliki hak untuk hadir."
Jonas diam sembari menahan napas. Apa yang dikatakan oleh Andreas memang benar.
"Jadi aku harap kau tidak berpikir untuk menimbulkan keriuhan pertama di rapat ini karena ketidakhadiranku. Bagaimanapun juga aku sudah datang."
Wajah Jonas mengeras. Alex menyadari perubahan emosi sang bos dan berusaha mengantisipasi.
"Pak, se—"
Jonas mengangkat tangan kanan. Ucapan Alex menggantung di udara dan ia tak bisa berbuat apa-apa selain menarik diri.
"Kau bersikeras hadir bukan karena masih berharap bisa menemukan celah untuk mendepakku bukan?"
Santai, Andreas mengangkat kedua bahu. "Siapa yang bisa menebak? Lagi pula rasanya wajar kalau aku berambisi untuk mengambil sesuatu yang memang adalah hakku."
Andreas menarik udara. Menegapkan punggung, ia sedikit memajukan tubuh demi mencondong pada Jonas.
"Apa kau tidak merasa satu-satunya yang bisa kau lakukan selama ini hanyalah merebut milik orang?"
Gigi bergemeletuk. Tangan Jonas mengepal perlahan.
"Kau jelas tahu kalau Progun bukan hakmu. Benar bukan? Lalu mengapa kau begitu berniat untuk memilikinya? Mengapa kau tidak bersyukur dengan memegang Cakra Persada. Kau tak perlu khawatir dengan Lucas. Dia tak lagi memegang FD Realty. Lagi pula aku akan dengan senang hati meminta padanya agar tidak menggangu semua proyek yang menjadi incaranmu. Bagaimana? Aku akan membantumu karena kita ... saudara."
"A-apa kau bilang?"
Andreas menyeringai. Suara Jonas yang terbata membuatnya merasa candu, ingin lanjut memprovokasi.
"Ah! Kalau menurutmu kurang maka kau pun bisa kembali mengambil alih Wisnutex. Bukankah seharusnya kau bertanggungjawab untuk kerugian yang terjadi di sana? Belasan tahun kau memegangnya dan yang kau tingkatkan hanya kerugiannya."
Deretan kegagalan Jonas di masa lalu sukses membuat wajahnya mengelam malu. Kepalan semakin kuat dan sorot lurus yang terarah pada Andreas menyiratkan beragam emosi.
Namun, Andreas belum merasa cukup. Alex sebagai asisten pribadi Jonas pun bisa menangkap gestur tak asing dari Andreas. Lalu ia bertanya-tanya, apakah yang akan Andreas katakan selanjutnya?
Persis dengan rasa penasaran Vlora. Percakapan demi percakapan membuatnya menahan napas berulang kali. Ia berpaling dan melihat Andreas, menunggu ke mana pembicaraan itu akan bermuara.
"Seharusnya kau menyadari itu, Jon. Apa pun yang kau rebut pasti akan bernasib sial. Jadi sebelum kesialanmu menimpa Progun, bagaimana kalau kita membicarakan semuanya secara baik-baik? Karena kalau sampai aku merebutnya maka aku berjanji padamu, kau tidak akan mendapatkan apa-apa lagi. Semuanya akan aku ambil, termasuk Cakra Persada dan Wisnutex. Kau benar-benar akan terdepak dan tak punya apa-apa lagi."
Kepalan Jonas menggebrak meja. Ia bangkit dan Alex segera menahannya di waktu yang tepat, sedetik sebelum kepalan itu berubah menjadi tinju yang menghantam hidung Andreas.
"Bajingan kau, Reas."
Andreas tertawa. Ia kembali menyandarkan punggung dan ekspresi senangnya jelas bukan sandiwara sama sekali, benar-benar alami.
"Kau ingin meninjuku?" tanya Andreas kian terbahak. Ia menunjukkan pipi kanan. "Di sini? Ehm. Silakan saja."
Jonas menggeram. Ia berusaha melepaskan diri, tetapi Alex sebisa mungkin menyadarkannya.
"Pak, jangan gegabah."
Keringat memercik di dahi Jonas. Emosi membakar dan napasnya menderu. Untuk sesaat, keinginan meninju Andreas terasa begitu kuat. Hanya ketika Alex membisikkan sesuatulah sehingga ia bisa meredam emosi.
Andreas tersenyum miring melihat Jonas yang berusaha menahan diri. Ia menunggu dan Jonas membuang napas panjang.
"Kau selalu berusaha memprovokasiku, Reas. Selalu," ujar Jonas dengan suara berat. "Itu menyadarkanku kalau kau berusaha untuk mengacaukan fokusku. Apa itu artinya kau takut aku benar-benar merebut semua darimu?"
Senyum Andreas terjeda walau tak lama. "Anggap saja begitu. Aku memang sengaja memprovokasimu. Karena apa? Karena itu menyenangkan."
"Kalau begitu aku harap kau benar-benar menikmatinya selagi bisa. Karena ini tak akan bertahan lama."
Ketegangan memercik ke permukaan. Andreas dan Jonas saling menatap dalam aroma kemelut yang kian memanas. Tak ada yang bicara untuk sesaat, seolah mereka tengah menilai kekuatan masing-masing.
"Aku akan mengizinkanmu untuk bergabung di rapat nanti, tapi ..."
Jonas bangkit. Ia merapikan jasnya yang sedikit berkerut dan menyamankan letak jam tangan di pergelangan tangan.
"... aku perlu berjaga-jaga kalau kau tak akan melakukan apa pun yang bisa mengacaukan presentasiku nanti."
Andreas berdecak. "Hidupmu sudah kacau tanpa perlu aku kacaukan, Jon."
Mata Jonas terpejam dramatis. Kepalannya naik, tetapi tak ada yang terjadi. Ia berhasil menguasai diri dan itu membuat Andreas mengulum senyum geli.
"Aku akan membawa istrimu untuk diperiksa petugas keamanan terlebih dahulu."
Senyum geli Andreas menghilang dan tergantikan longoan syok. Mata membesar dan ia perlu memastikan maksud Jonas.
"Apa kau bilang?"
Jonas tak akan mengulang perkataannya. Alih-alih ia lanjut berkata. "Sementara Alex akan memeriksamu di sini."
"Kau benar-benar keterlaluan, Jon."
Andreas bangkit dan Jonas sama sekali tidak peduli. Ia beranjak, lalu menghampiri Vlora.
"Ikut aku."
Andreas menahan pundak Jonas. "Dia istriku, Jon. Jangan perlakukan dia seperti penjahat."
"Justru karena dia adalah istrimu," balas Jonas seraya menggerakkan pundak, tangan Andreas pun terlepas. "Dia memiliki peluang yang sama besarnya denganmu untuk menjadi pengacau siang ini."
Andreas menganga mendengar perkataan Jonas. Tak terima? Tentu saja. Ini bukan hanya masalah kecurigaan Jonas, melainkan karena itu mencoreng harga dirinya sebagai seorang suami.
"Reas."
Di luar dugaan, Vlora meraih tangan Andreas. Ia tampak tenang seperti biasa.
"Bukan masalah. Kurasa hanya pemeriksaan kecil. Tak lebih dari sekadar formalitas," ujar Vlora seraya berpaling pada Jonas. "Bukankah begitu?"
Jonas menyipitkan mata. Ketenangan Vlora membuatnya terusik, tetapi ia mengangguk.
"Benar. Hanya pemeriksaan kecil."
Kepergian Vlora dan Jonas sesaat kemudian menyisakan Alex dan Andreas. Hanya mereka berdua di sana dan Alex segera mengerjakan tugasnya.
"Maaf, Pak. Sepertinya saya harus mengecek tas Bapak."
Andreas membanting tas kerjanya di meja sementara ia kembali duduk. Kaki kanan naik dan mendarat di atas kaki kiri, ia menukas.
"Kalau kau sampai bisa menemukan satu masalah saja di dalam tas kerjaku maka aku sendiri yang akan keluar dari gedung ini."
Alex tak menggubris perkataan Andreas. Ia memeriksa dengan teliti dan itu membuat Andreas kembali menggerutu.
"Lagi pula apa yang Jonas pikirkan sehingga perlu memeriksa tasku. Apa dipikirnya aku akan membawa bom?"
Alex merapikan tas kerja Andreas, lalu menyerahkannya kembali. "Maaf, Pak. Bisa berdiri sebentar."
Sepertinya bola mata Andreas akan melompat keluar sebentar lagi. Ia berdiri dan berkacak pinggang.
"Kau pikir aku siapa, Alex?"
"Saya hanya ingin mempercepat ini semua, Pak. Jadi mohon kerjasamanya."
Andreas membuang napas seraya merentangkan kedua tangan. Ia biarkan Alex meraba tubuhnya dan gerutuan kembali terdengar.
"Apa setelah ini aku harus melepas pakaianku? Mungkin aku harus telanjang biar kau yakin aku tidak membawa apa pun."
"Tidak perlu, Pak," ujar Alex seraya menarik diri. "Semua sudah selesai dan saya akan memanggil Pak Jonas sebentar. Silakan menunggu."
Andreas tak memedulikan kepergian Alex. Satu-satunya yang ia pedulikan sekarang adalah Vlora.
"Semoga saja Jonas masih memiliki otak. Kalau dia sampai melakukan sesuatu pada Vlora maka aku tak akan tinggal diam."
Mencoba untuk tetap tenang, berulang kali Andreas menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan melihat sekeliling. Lalu tatapannya terhenti pada satu benda yang terabaikan di atas meja. Yaitu, laptop Jonas.
*
Rapat umum pemegang saham dimulai. Jonas mengambil tempat. Ia berdiri di podium dan bersiap untuk mempresentasikan kinerja selama setahun, dilanjutkan dengan perencanaan ke depatn.
Hening dan terkendali. Semua tampak baik-baik saja sebelum hiruk pikuk terdengar samar-samar di bagian teknisi.
Monitor menampilkan kekacauan yang membuat Jonas memucat. Ia tampak panik dan keriuhan menyudutkannya.
Situasi tak terkendali. Jonas terpojok dan ketika ia melihat para peserta rapat maka adalah Andreas yang lantas membuatnya tertegun.
Andreas menggertakkan rahang. Ia balas menatap Jonas seraya menggeram.
"Kau berusaha memfitnahku, Bajingan!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top