38. Kebahagiaan
Untuk sesaat dalam kisaran waktu yang tak pasti, Andreas hanya bisa diam. Pertanyaan Vlora menusuk, masuk, dan merasuk. Ia menembus dada Andreas dan meremas denyutan di dalam sana.
Udara terenggut. Andreas merasa sesak.
Semua berada di luar kuasa mereka. Tak peduli secerdas apa Andreas ketika menilai lawan bicara. Pun tak peduli sepintar apa Vlora ketika menguasi diri hingga menjadi pribadi yang tak terbaca. Nyatanya mereka tetaplah manusia biasa yang juga memiliki luka.
Andreas dan Vlora tak ubah cermin beserta pantulannya. Mereka saling menatap dan mendapati duplikat walau dengan alasan yang berbeda. Keduanya adalah anak dengan keluarga yang tak utuh.
Ada pengkhianatan, ada tragedi. Keduanya sama-sama menorehkan luka dalam di hati.
Sekarang setelah Vlora mengatakannya maka ingatan Andreas pun tertarik ke belakang. Ia baru menyadari bahwa sepanjang hidup tak pernah ada sambutan yang menunggu kepulangannya.
Hanya ada Ashmita. Tak pernah ada Birawa.
Oh, bukannya Andreas tidak bersyukur. Namun, bukankah manusia adalah makhluk serakah? Terlebih lagi kemaruk untuk sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya.
Andreas tak tahu apa rasanya, tapi sepertinya Vlora tahu. Menilik dari ucapan Vlora, agaknya itu memang adalah hal yang membahagiakan.
"Tentu saja."
Semua menghilang dari pikiran. Prasangka dan antisipasi Andreas luluh lantak bersamaan dengan rengkuhannya yang menenggelamkan Vlora.
Berat. Penuh risiko. Namun, semua memang memiliki harga masing-masing.
Andreas putuskan untuk mempercayai Vlora. Logika tersisihkan, kali ini ia akan mengikuti kata hatinya. Paling tidak nalurinya mengatakan semua akan baik-baik saja.
Sementara di tempat berbeda, jauh dari kedamaian seperti yang menyelimuti Andreas dan Vlora, ada Jonas yang menenggelamkan diri dalam hiruk pikuk dan ingar bingar dunia malam. Agaknya itu adalah satu-satunya kesibukan yang bisa dilakukannya demi meredam emosi yang terus bergejolak seharian. Ia tak tenang.
Panas membungkus. Alkohol membakar dari dalam dan keringat memercik.
Jonas meremas gelas kosong di tangan. Nyatanya tak peduli sebanyak apa ia minum malam itu, wajah memuakkan Andreas masih betah gentayangan di benaknya.
Sialan!
Gelas menjadi pelampiasan. Jonas meletakkannya di meja bar dengan setengah membanting.
Beberapa pengunjung dan seorang pelayan bar melihat Jonas. Sekilas saja karena mereka tentunya cukup bijak untuk menilai situasi, tak perlu menyulut untuk hal tak berguna.
Jonas berpaling. Tatap matanya tertuju pada sekumpulan wanita yang mengisi satu meja. Mereka tertawa dan tampak menikmati malam itu.
Di antara mereka, ada seorang wanita yang menjadi fokus mata Jonas. Ia cantik dan mampu menarik Jonas untuk bangkit.
Langkah sedikit terseok. Jonas berjalan di antara kelap-kelip lambu kelab dan pengaruh alkohol.
Kehadiran Jonas melenyapkan canda dan tawa. Para wanita kompak melihat ke arahnya dan mendeham dengan ekspresi yang berubah.
"Nadine."
Suara serak Jonas menarik perhatian seorang wanita. Ia berpaling dan matanya membesar dengan kesan kaget.
"Jonas."
Saling bertatapan tanpa bicara untuk sesaat, teman-teman Nadine jelas bisa meraba keadaan. Mereka saling pandang dan memutuskan berdir.
"Kami turun, Na."
Nadine ingin mencegah, tapi terlambat. Mereka keburu pergi meninggalkannya dan Jonas, membaur di lantai dansa.
Salah tingkah, Nadine tak bisa berbuat apa-apa ketika Jonas duduk di sebelahnya. Ia menarik napas dan mendapati satu tanya menyapa.
"Bagaimana kabarmu?"
Nadine sedikit beringsut. Mata liar Jonas seolah menggerayanginya sekujur tubuh. Ia merasa tak nyaman, tapi berusaha untuk tetap bersikap sopan.
"Baik-baik saja. Kau sendiri bagaimana?"
Pertanyaan balik itu hanya sekadar basa-basi. Namun, tak urung Nadine melirik.
"Sepertinya tidak terlalu baik, kupikir."
Jonas mengembuskan napas panjang. Punggung bersandar dan kepala menengadah. Ia mengangguk.
"Hari ini lumayan berat."
Kali ini Nadine benar-benar menoleh. "Kenapa?"
"Kau tertarik dengan hariku atau pada penyebabnya? Kau pasti berpikir kalau itu ulah Andreas bukan?"
Nadine tak menjawab. Jonas menebak isi pikirannya dengan sangat baik.
Hening menyelimuti. Jonas pun tak membutuhkan jawaban Nadine ketika ia yakin dengan tebakannya. Itu terlalu mudah dan juga ... menyakitkan.
Jonas memejamkan mata. Wajahnya tampak lelah dan ia memijat batang hidung.
Selalu Andreas. Apa hanya Andreas yang ada di pikiran Nadine?
Nadine merasa tak enak. Terlebih ketika ia melihat keadaan Jonas dan menyadari betapa berantakannya pria itu.
Jas tak lagi rapi, cenderung kusut. Dasi di leher sudah melonggar dan terjuntai ala kadarnya. Pun kemejanya, acak-acakan dan beberapa kancingnya telah keluar.
Sungguh berantakan. Tentunya Nadine tidak salah menebak bahwa penyebab hari berat Jonas adalah Andreas. Nyatanya hanya ada satu orang di dunia ini yang mampu membuat Jonas seperti itu. Hanya Andreas.
Perasaan tak enak Nadine semakin menjadi-jadi. Terlebih ketika didengarnya ringisan samar Jonas.
Nadine mengambil sebotol air mineral dan menuang ke gelas. Beringsut, ia berkata lembut.
"Minum dulu, Jon. Sepertinya kau terlalu banyak minum malam ini."
Jonas menggerang dan menyambut air yang ditawarkan Nadine. Lahap, ia meneguk tiap tetes dengan rakus dan kemudian mendesah lega.
"Mungkin kau harus pulang sekarang, Jon. Kau terlihat benar-benar berantakan."
Menaruh kembali gelas kosong ke atas meja, Nadine mendapati tangannya ditahan Jonas. Ia berpaling dan terkesiap tatkala Jonas menciumnya tanpa peringatan sama sekali.
Nadine membelalakkan mata. Kedua tangan naik dan bersiap untuk mendorong, tapi justru Jonas sendiri yang mengurai ciuman singkat itu.
"Kau—"
"Aku mencintaimu, Na."
Embusan hangat napas Jonas membelai Nadine. Kalimat itu diucapkan tepat di depan bibir Nadine, terasa menggetarkan.
Mata berkabut. Sorot hampa menyiratkan ketulusan.
Rasanya amat menyedihkan bukan? Ternyata bukan hanya pengakuan keluarga yang tidak Jonas dapatkan, melainkan wanita yang ia cintai pun lebih memilih saudara yang amat dibencinya.
Lagi dan lagi. Andreas menjadi biang keladi untuk semua geram yang melanda Jonas.
Harus selama apa Jonas bertahan dengan keadaan? Apakah selamanya ia harus hidup dalam bayang-bayang Andreas? Mungkinkah benar kata orang-orang bahwa ia hanya anak yang beruntung hidup dan sama sekali tak sebanding dengan Andreas?
Jonas sudah mengupayakan semua semampunya. Ia buktikan pada dunia bahwa ia adalah anak yang membanggakan. Tak hanya menjadi sumber kebahagiaan orang tua, ia pun pintar dan mampu diandalkan.
Namun, mengapa? Mengapa Jonas masih dipandang sebelah mata? Pun ironisnya ditolak oleh wanita yang dicintai dengan alasan yang amat menghunjam.
Nadine mencintai Andreas. Tak peduli sebanyak apa wanita yang singgah dalam pelukan Andreas, ia tetap cinta.
"Aku sangat mencintaimu."
Lirih suara Jonas menyiratkan perih. Rintih membungkus sakit yang benar-benar harus ia tahan selama ini.
"Jonas."
Jonas menatap Nadine. Lekat dan penuh pengharapan. Satu-satunya yang ia inginkan sekarang adalah semoga Nadine bisa melihat ke lubuk hatinya yang terdalam. Sungguh, ia benar-benar cinta.
"Jadilah milikku, Na. Aku akan memastikan semua yang kulakukan hanya untukmu. Apa pun itu. Aku tak akan pernah meninggalkanmu."
Nadine terhenyak oleh pengungkapan tak terduga. Ia meneguk ludah dan tak tahu harus mengatakan apa.
Rasa bersalah membuat Nadine tak berdaya. Dada desak dan ia tak bisa melakukan apa pun ketika tak ada setitik perasaan pun di hatinya.
Oh, Tuhan. Nadine merasa berdosa. Bukannya ia tak tahu betapa Jonas mencintainya selama ini, tapi apa boleh dikata? Ia telah memberikan cinta dan hatinya untuk Andreas.
"Jon—"
"Aku akan membahagiakanmu."
Namun, sorot itu melemahkan Nadine. Pun ucapan dan kata-kata penuh perasaan itu merasuk ke sanubari yang selama ini tak terjamah.
Nadine balas menatap Jonas. Tangannya perlahan naik dan Jonas bersiap untuk semua penolakan.
"Jonas."
Tidak. Nadine tidak mendorong Jonas. Ia tak menolak Jonas. Alih-alih ia mengusap lembut pipi Jonas.
Jonas tertegun sejenak. Ia mengerjap dan lalu kembali menarik tangan Nadine.
Kali ini tidak ada keterkejutan Nadine. Ia memejamkan mata dan pasrah menjatuhkan diri dalam pelukan Jonas.
Bibir bertemu bibir. Ciuman menyublim jadi lumatan dan pagutan.
Nadine membuka diri dan menyadari sesuatu. Mungkin hanya dengan orang baru maka kisah baru akan tercipta pula.
*
"Tanggal sudah pasti, Pak. Senin minggu depan."
Jawaban Frans hanya ditanggapi anggukan Andreas. Ia menunggu, tapi memang tak ada lagi yang dikatakan Andreas.
"Apa yang harus saya persiapkan, Pak?"
Andreas mengangkat wajah dan tersenyum santai. "Tak perlu. Kau tak perlu menyiapkan apa pun."
"Maksud Bapak?"
"Kau tak perlu setegang itu, Frans," ujar Andreas tak menjawab. Ia mendeham dan memberikan ide yang justru membuat Frans bingung. "Bagaimana kalau kau sedikit beristirahat? Kulihat urat di wajahnya sudah tertarik."
"Pak, saya—"
"Ah! Aku hampir melupakan sesuatu."
Frans menahan kata-kata yang siap untuk diucapkannya. Ia menunggu perkataan Andreas selanjutnya.
"Aku akan mengajak Vlora untuk menghadiri rapat itu."
Bukan hal yang diduga oleh Frans. Alhasil wajar bila bola matanya membesar. Ekspresinya menunjukkan syok dan ketidakpercayaan.
"Mengajak Bu Vlora?"
Andreas mengangguk pasti. "Ya. Mengapa? Dia adalah istriku. Tak ada yang melarang kalau aku mengajaknya."
"Benar, Pak. Memang demikian, tapi—"
"Tenang saja. Vlora memang tidak memiliki posisi ataupun kepentingan apa pun, tapi aku yakin ada seorang nenek yang tak keberatan melihat cucu menantunya."
Frans tak bisa mendebat hal tersebut. Dari beberapa pertemuan singkat yang diketahuinya saja ia bisa menebak betapa Ningsih telah menerima Vlora seutuhnya. Jadi apa lagi yang bisa ia lakukan? Tak sependapat pun tak berarti ia bisa mengubah keputusan Andreas.
Ajaibnya, ini adalah kali pertama di mana Frans dan Andreas tak sependapat. Biasanya mereka satu suara dan mengambil keputusan yang sama.
Frans hanya bisa menarik napas. Tak bermaksud, tetapi di matanya sekarang Andreas tak ubah seperti pria yang tengah dimabuk cinta. Saking mabuknya maka Andreas akan memastikan Vlora ada di dekatnya dalam setiap kesempatan.
Andrea membuktikan kebenaran vonis Frans. Ketika malam datang dan ia masuk ke kamar maka adalah menghampiri Vlora yang pertama kali dilakukannya.
Vlora tengah menyisir rambut. Ia melihat Andreas melalui pantulan cermin.
"Temani aku, Vlo."
Andreas berdiri tepat di belakang Vlora. Kedua tangannya mendarat di pundak mulus Vlora yang hanya tertutupi seuntai tali tipis gaun tidur.
Sebagai kalimat pembuka, ucapan Andreas adalah hal yang sedikit membingungkan. Wajar bila Vlora bertanya.
"Maksudmu?"
Andreas membalas tatapan Vlora di pantulan cermin. "Senin minggu depan. Kupikir kau ingin melihat pertunjukan di rapat umum pemegang saham."
Vlora menarik napas dan sisir kembali bergerak. Tipis, ia mengangguk.
"Sebagai istri, tentu saja aku akan menemanimu."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top