37. Pemikiran

Jonas menggeram dalam usaha agar tidak membanting semua benda yang berada di atas meja kerja. Wajah memerah dan keringat memercik di dahi. Emosi yang menggelegak amat susah untuk ditahan.

Udara di sekitar terasa memanas. Suhu meningkat dan semua membakar ingatan Jonas.

Bukan hanya undangan makan malam. Laporan penjualan yang mengalami penurunan pun menyusul beberapa saat kemudian. Setelahnya ada isu tak mengenakkan yang semakin berkobar di antara para pemegang saham.

Ini pasti ulah Andreas.

Kedua tangan Jonas mengepal kuat. Ia meninju meja dengan keyakinan yang terus berputar di dalam kepala.

Pasti. Pastilah Andreas yang menjadi dalang semuanya.

Buku-buku jari Jonas memutih. Tampak beringas, napasnya menderu dalam kemarahan yang kian tak terbendung.

"Pak."

Suara Alan terdengar. Jonas berpaling dan sama sekali tidak menyadari kedatangannya.

"Semua sudah berkumpul di ruang rapat."

Jonas mendengkus dan menyentak jasnya yang sedikit kusut. Sikapnya sungguh terlihat jelas sehingga tak akan lepas dari tangkapan sepasang mata Alan.

Nyatanya tak lebih dari tiga puluh menit Andreas menjejakkan kaki di Progun. Terlebih lagi tak sampai sepuluh menit ia menemui Jonas. Namun, kehadirannya sukses memberikan dampak yang tak main-main.

"Aku tidak ingin Andreas kembali datang ke sini. Jangan sampai ia menjejakkan kakinya lagi di kantor ini. Kau paham?"

Alan hanya mengangguk samar.

"Kalau dia sampai berani datang lagi, segera kau panggil satpam. Usir dia," perintah Jonas dengan rahang mengeras. Urat pun bertonjolan di dahinya. "Kau bekerja untukku, bukan untuk bajingan itu."

Alan tertegun. Bertepatan dengan tuntasnya perkataan Jonas, suara Andreas mengiang di benaknya.

"Alan, katakan padaku. Apa hargamu? Jonas atau Progun?"

*

Sekalipun rapat internal perusahaan berlangsung alot, nyatanya Jonas sama sekali tidak fokus pada rencana dan pendapat yang diberikan. Andreas tetap menjadi penyita pikirannya. Tak muluk-muluk, ia terus memutar otak demi bisa melenyapkan Andreas.

"Tenang, Pak. Pak Andreas tak bisa melakukan apa-apa. Satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah mengusik dan membuat Bapak marah. Hanya itu."

Itulah yang dikatakan oleh Alex, tepat ketika ia mendatangi Jonas sore harinya. Ia mengetahui kedatangan Andreas, pun berikut dengan akibat yang kemungkinan besar berdampak untuk Jonas.

Tentunya tebakan Alex tepat sasaran dan itu bukanlah hal mengejutkan. Apa pun cerita dan kejadiannya, semua yang berhubungan dengan Andreas pastilah akan selalu berhasil menyulut emosi Jonas.

Selalu. Harga diri membuat Jonas tak mentolerir sedikit gangguan pun dari Andreas.

"Bisa-bisanya kau bicara seenteng itu, Alex."

Jonas melepas jas dan melonggarkan dasi. Berkacak pada satu pinggung, ia menuding entah ke mana.

"Dia tidak mungkin menggertak kalau dia tidak memiliki peluru untuk menyerangku."

Alex menarik napas. Tak memberikan komentar untuk pemikiran Jonas, ia menahan diri untuk menyembunyikan umpatannya sendiri.

Hanya seorang Andreas. Bagaimana bisa dia sefrustrasi ini? Sungguh tak masuk akal.

Bola mata berputar dan terpejam dramatis. Kembali, Alex hanya bisa menarik napas mendapati geraman Jonas.

"Pasti dia. Ya, pasti Andreas yang menjadi dalang dari penurunan penjualan akhir-akhir ini. Dasar sialan! Dia sengaja mengambil waktu yang tepat."

Tak sulit untuk Jonas menarik benang merahnya. Ia bisa menerka ke mana arah Andreas akan melangkah.

Andreas menunggu dengan sabar. Ia menilai situasi dengan tepat dan hanya perlu memberikan satu percikan api pemicu yang kecil.

Hanya pemicu kecil, tetapi ampuh untuk membakar semua. Yaitu, kesabaran orang-orang yang telah terkikis.

Pada kenyataannya Andreas nyaris tak melakukan apa-apa. Ia hanya memperburuk keadaan yang memang telah buruk. Alhasil bisa dikatakan bahwa ia bahkan tak mengeluarkan setetes keringat pun untuk memperkeruh keadaan.

Andreas hanya bersabar. Terdengar sederhana, tetapi tidak semudah itu menjalankannya.

"Saya yakin presentasi produk baru nanti bisa meredam kegelisahan para pemegang saham, Pak. Jadi Bapak tak perlu terlalu khawatir."

Ketika pada akhirnya Alex memutuskan untuk bicara maka adalah dengkusan Jonas yang didapatkannya.

"Itulah yang kau katakan sebelumnya, Alex! Lalu sekarang? Apa ada jaminan kalau semuanya tidak akan berantakan juga seperti ini?!"

Alex tak menjawab. Sesaat, ia hanya diam seraya membiarkan Jonas meluapkan emosinya.

Jonas mondar-mandir. Berulang kali umpatan meluncur dari lidahnya. Bahkan tak jarang ia meninju meja hingga menendang kursi dan membiarkannya membentur dinding.

"Ada satu ungkapan yang mengatakan kalau orang sukses adalah mereka yang selalu bisa memanfaatkan kemalangan menjadi keberuntungan."

Langkah Jonas berhenti. Sedikit mengerutkan dahi, ia menatap Alex.

"Apa maksudmu?"

Alex tersenyum. Sikapnya terkesan santai, tetapi penuh dengan keyakinan. "Kita bisa memanfaatkan situasi ini untuk menghancurkan Pak Andreas."

"Menghancurkan Andreas?"

Alex mengangguk. "Ya, Pak."

"Bagaimana caranya?"

"Ketika di Rapat Umum Pemegang Saham nanti, kita bisa memutarbalikkan keadaan," jawab Alex seraya menarik napas panjang sekali. "Kita manfaatkan kehadiran Pak Andreas untuk menjatuhkannya."

"Jelaskan padaku."

Alex sedikit memutar posisi kursi yang diduduki sehingga bisa menatap lurus pada Jonas. Tersenyum penuh arti, ia pun menjelaskan maksudnya.

Sesaat kemudian ketegangan di wajah Jonas perlahan memudar. Semringah hadir dan bayangan masa depan mengisi benaknya.

*

"Kau tampak senang. Ada apa?"

Siulan dan senyum berkesinambungan itu menerbitkan tanya di benak Vlora. Kebiasaan Andreas tak akan timbul bila tidak ada pemicunya. Terlebih karena ia menyadari bahwa sudah sejak sore tadi Andreas menunjukkan semringah tanpa henti. Agaknya sumber kebahagiaan Andreas kali ini bukanlah hal biasa.

"Apakah sangat terlihat?"

"Dengan siulan dan senyummu itu?" tanya Vlora lagi sehingga membuat Andreas terbahak. Ia mendekati Andreas dan berdecak samar. "Oh, yang benar saja."

Andreas mengembangkan tangan seraya mengambil posisi untuk bersandar di tempat tidur. Malam belum terlalu larut dan sepertinya meluangkan waktu beberapa menit untuk berbincang-bincang adalah ide menyenangkan untuk pasangan suami istri.

Vlora menjatuhkan diri dalam rengkuhan santai Andreas. Bersandar di dadanya yang bidang dan didengarnya Andreas menjawab.

"Ada banyak hal yang bisa membuatku senang."

Jemari Vlora naik dan turut mendarat di dada Andreas, merasakan detak jantungnya yang teratur. "Contohnya?"

"Contohnya adalah ..."

Andreas menarik napas. Derunya terasa oleh Vlora, memberikan kesan tenang dan damai.

"... selagi itu tidak merugikanku maka itu adalah hal yang bagus."

Vlora tersenyum geli, tetapi juga kagum. "Kau mengingat perkataanku."

"Tentu saja."

Andreas mengangguk samar seraya membuang napas panjang. Tak akan menampik, sejujurnya ia masih bertanya-tanya untuk maksud dan tujuan Vlora menyadap ponselnya. Namun, belum ada jawaban yang didapat.

Untungnya kegelisahan Andreas bisa sedikit ditenangkan berkat satu kesimpulan tak langsung. Yaitu, Vlora tidak bekerjasama dengan Jonas.

Itu jelas adalah hal paling penting untuk Andreas. Karena bila sampai Vlora menjalin hubungan dengan Jonas maka Andreas tak bisa membayangkan akan sekecewa apa dirinya.

Sebulan telah berlalu. Selama itu Andreas menyadari bahwa tak ada yang terjadi. Baik itu dari Jonas maupun Vlora.

Pun bila ingin mengecualikan beberapa kejadian maka yang terjadi saat ini justru adalah keadaan Jonas yang semakin terpojok. Ia kian terdesak dan Andreas yakin itu bukanlah hal yang patut dikhawatirkan, malah sebaliknya.

Entah Vlora sedang menunggu atau justru kepentingan Vlora berbeda denganku.

Dua kemungkinan itu sama masuk akalnya. Lantas semua bermuara pada satu kesimpulan.

Selagi Vlora bukan musuhku maka ia adalah temanku.

Kesimpulan Andreas diperkuat dengan perkataan Vlora dulu. Keyakinannya pun semakin mantap.

Selagi menyadap ponselku tidak merugikanku, berarti itu adalah hal yang bagus.

Andreas membuang napas panjang. Tatapan lurus entah tertuju pada apa, ia mengusap lengan atas Vlora.

"Tak hanya perkataanmu, Vlo. Bahkan semua yang ada di dirimu akan selalu aku ingat."

"Semua?"

Andreas mengangguk. "Semua. Bagaimanapun juga kau adalah istriku. Sudah sewajarnya kalau aku mengingat semua detail dirimu."

"Oh, kuharap itu bukan tentang tahi lalat yang ada di punggungku."

Tawa Andreas pecah. "Itu salah satunya. Ehm apa kau tahu kalau kau memiliki tanda lahir di bawah lekukan bokongmu?"

Mata Vlora membesar. Refleks, ia bangkit dari rengkuhan Andreas.

"Benarkah?"

Andreas kian terbahak. Wajah syok Vlora sungguh membuatnya geli.

"Bukan hal yang buruk. Hanya seperti noda di kain. Tenang saja. Sama sekali tidak mengganggu dan malah sebaliknya."

Tawa berganti seringai penuh arti. Andreas menyipitkan mata dan sorotnya tampak berubah.

"Menurutku itu justru terlihat eksostis. Seksi."

Vlora diam dengan semburat merah yang timbul di kedua pipi. Jantung Andreas tersentak dan ia tak mampu menahan dorongan untuk meraih tengkuk Vlora. Lantas ia labuhkan satu lumatan yang tentunya mendapat balasan serupa.

"Vlo."

Hangat napas Andreas membelai Vlora. Nyatanya satu ciuman sudah lebih dari cukup untuk menggelapkan dunia Vlora dan dibutuhkan waktu beberapa detik untuknya kembali membuka mata.

"Apa aku bisa memastikan sesuatu?"

Vlora memegang tangan Andreas, mengerjap pelan. "Mengenai?"

"Apakau kau benar-benar serius ketika mengatakan soal 'anak kita'?"

Dari sekian banyak kemungkinan pertanyaan yang bisa saja Andreas lontarkan maka ini adalah pertanyaan yang paling tidak Vlora duga. Tanpa ada angin ataupun hujan, mengapa Andreas tiba-tiba membahas hal tersebut?

Vlora mendeham. Sekilas, gugupnya tampak.

"A-aku ..."

Untuk pertama kalinya, Andreas melihat bibir Vlora bergetar.

Untuk pertama kalinya, Andreas melihat jejak emosional di wajah Vlora.

Andreas tertegun. Itu bukan lagi hal langka, melainkan hal yang nyaris mustahil akan dilihatnya dari Vlora.

"... serius."

Vlora memang adalah Vlora. Pun ia tetaplah seorang manusia, seorang wanita, yang memiliki naluri alamiah.

Andreas sempat mengenyampingkannya. Namun, untungnya ia tak terlambat untuk menyadarinya.

Nyaris menjalani hidup lebih dari sepuluh tahun tanpa ada keluarga yang sesungguhnya, mau tak mau membuat Vlora berharap. Semua terjadi dengan begitu natural dan apa adanya. Ia pernah bahagia dan merasa utuh, tapi takdir merenggut semua kebahagiaan tersebut. Pun dengan teramat kejam justru menukarnya dengan derita yang tak terbayangkan.

Vlora memang kuat. Ia sudah menunjukkan pada dunia bahwa ia mampu berdiri di antara tragedi dan air mata. Namun, bukan berarti ia ingin menjalani hidup seperti itu selama-lamanya.

Harapan di alam bawah sadarnya kerap berontak. Ia tampilkan masa-masa indah dahulu. Ada Vlora, ada Thomas, dan ada kedua orang tua yang saling menyayangi. Mereka bahagia.

"Paling tidak, jangan sampai anak kita turut merasakan pertikaian ini, Reas."

Di sisi lain, Andreas melihat dengan kacamata berbeda walau nyaris serupa. Ia jelas tahu bahwa wanita cenderung akan bertahan dan melakukan apa pun bila itu menyangkut soal anak.

Andreas telah melihat buktinya selama bertahun-tahun. Bukan hanya soal Ashmita, melainkan Lucas pun telah mengeruk keuntungan dari sifat alamiah wanita yang satu itu.

Semua hanya karena satu hal. Yaitu, anak.

Namun, ada satu pertanyaan yang sekarang mengganggu Andreas. Apakah anak yang menjadi alasan bertahan itu akan membawa kebahagiaan atau justru sebaliknya? Karena dua bukti di kehidupannya pun memberikan akhir yang berbeda.

Mungkinkah bahagia? Mungkinkah—

"Aku ingin menikmati kehidupan seperti dulu lagi, Reas. Ada anak-anak yang ceria. Mereka bermain dan belajar dengan suka cita. Lalu ketika mereka pulang maka ada orang tua yang menyambut."

Semua pemikiran buyar dari benak Andreas.

"Tidakkah menurutmu itu membahagiakan?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top