36. Harga
Andreas telah tiba sekitar lima belas menit yang lalu sebelum Vlora menuntaskan pekerjaannya. Mobil terparkir tak jauh dari pelataran kantor dan ia mengirimkan pesan pada Vlora.
Tak menunggu lama, Vlora datang dan masuk ke dalam mobil. Ia mengenakan sabuk pengaman bersamaan dengan Andreas yang berkata.
"Tadi aku meminjam komputermu, Vlo."
Sabuk pengaman terpasang dengan sempurna. Vlora mengerjap dalam penuntasan rasa penasaran yang diikuti oleh rasa penasaran lainnya.
Ternyata memang Andreas yang mengakses komputerku, tapi untuk apa? Mungkinkah dia curiga padaku? Apakah dia sadar kalau aku menyadap ponselnya?
Mobil mulai berjalan. Dengan gestur yang alamiah demi memeriksa jalanan dan kendaraan lain, Andreas melirik Vlora.
Tak ada sedikit keanehan pun yang bisa didapatkan oleh Andreas. Vlora tampak tenang seperti biasanya.
Oh, Andreas. Memangnya apa yang kau harapkan?
Seharusnya Andreas ingat, tak sepatutnya ia berharap untuk mendapatkan kejanggalan dari sikap Vlora. Wanita itu terkendali dan nyaris selalu memasang ekspresi datar untuk setiap kesempatan.
"Tak apa. Kau boleh menggunakannya kapan pun kau mau."
Vlora mengembuskan napas panjang. Ia menyandarkan punggung dengan nyaman sementara mata memandang lurus ke depan, sesekali tampak berkedip.
"Aku yakin kau tidak akan mencuri data Greatech bukan?"
Andreas mendengkus dan lalu tertawa. "Aku? Mengambil data perusaan Lucas? Tak berguna untukku. Lagi pula dia sahabatku."
"Ehm siapa yang tahu? Sekarang sedang zamannya musuh di balik selimut."
Tawa Andreas terhenti seketika. Ia menoleh dan ternyata Vlora tengah melihat padanya seraya tersenyum dengan ekspresi santai.
"Sayangnya kau tak akan menemukan apa pun di komputerku."
Benar. Aku tak menemukan apa-apa.
Andreas tertegun dengan satu pertanyaan membingungkan yang mendadak muncul di kepala.
Dia memang menyinggung soal Greatech atau aku?
Andreas mendeham. Mata menyipit, sorotnya tampak nakal seperti biasa.
"Benarkah?"
"Tentu saja," jawab Vlora dengan suara rendah, berlagak misterius. "Aku menyimpannya dengan sangat baik."
Andreas tertawa. "Ah! Aku harus berusaha lebih keras."
Tawa Andreas disambut senyum geli Vlora. Suasana terasa hangat dan mengalir seperti biasa, tapi Andreas tak lupa untuk menuntaskan apa yang telah dimulai.
"Komputerku tadi tak mau menyala, entah apa yang salah. Jadi aku menggunakan komputermu untuk mencetak satu dokumen."
"Oh. Jadi kau tak benar-benar sedang mencari data Greatech?"
Lirikan Vlora membuat Andreas menyeringai. "Jangan katakan kalau kau benar-benar berharap aku mencari data Greatech."
"Aku tidak mengatakan itu, tapi semua orang tahu kalau sekretaris nyaris mengetahui semua isi perusahaan."
"Kau benar," angguk Andreas setuju. "Sayangnya aku tak punya kepentingan apa pun dengan data Greatech dan kupikir itu pasti menjadi salah satu pertimbanganmu ketika memutuskan untuk menikah denganku."
"Kau juga benar."
Andreas mendengkus geli mendapati balasan Vlora.
"Maksudku masuk akal bukan kalau kau menikahi sekretaris ketika ingin mencoba mendapatkan informasi tempat ia bekerja?"
Klise, tapi nyatanya cara itu masih tergolong efektif. Beberapa orang melakukan hal tersebut walau dengan pendekatan yang bervariasi.
"Kupikir kau pun melakukan hal yang sama dengan Progun."
"Progun?"
Vlora mengangguk beberapa kali dengan irama. "Kau mendekati beberapa orang penting Progun, mungkin termasuk sekretarisnya."
Opini Vlora membuat Andreas mengetuk-ngetuk kemudi sementara tangan lainnya mengusap dagu. Ia tampak berpikir dengan tak yakin.
"Aku tak tahu apa kau mengenal sekretaris Progun atau tidak. Namanya Alandra Dwi Pangestu. Dia sudah berada di Progun bahkan sebelum aku datang. Jadi dia sudah bekerja beberapa tahun untuk Papa dan dia adalah orang yang setia."
Vlora manggut-manggut mendengar penjelasan singkat Andreas. Ia diam sejenak hingga membuat Andreas penasaran, apakah yang tengah ia pikirkan?
"Sepertinya kali ini aku tak sependapat denganmu."
Samar, dahi Andreas mengerut. "Untuk hal?"
"Menurutku tak ada orang yang benar-benar setia, Reas," ujar Vlora seraya membuang napas. Ia berpaling dan menatap Andreas. "Yang ada hanyalah usaha untuk saling menguntungkan."
Lampu lalu lintas berubah merah. Mobil berhenti bergerak.
Hening dan untuk sesaat tak ada yang bersuara. Andreas berpaling hanya untuk mendapati tatapan lurus Vlora yang entah tertuju ke mana.
"Semua orang ada harganya masing-masing."
Pundak Vlora bergerak samar tatkala menarik napas. Ia berkedip sekali dan lantas menuntaskan ucapannya.
"Entah itu uang, keluarga atau orang tercinta. Semua orang ada harganya."
*
Malam telah menginjak pukul sepuluh. Masih berada di satu rumah yang sama, sepasang suami istri melakukan aktivitas di tempat yang berbeda. Adalah Andreas yang tengah membersihkan diri di bawah guyuran air dingin sementara Vlora berada di ruang kerjanya, menuntaskan pekerjaan yang sempat tertunda.
Vlora menyimpan hasil pekerjaannya sekitar lima menit kemudian. Semua telah selesai dan ia segera memadamkan komputer.
Keluar dari ruang kerja, Vlora yang dalam perjalanan menuju kamar tergerak untuk berbelok ke ruang kerja Andreas. Ia memerhatikan keadaan sekitar dan memastikan tak ada siapa pun.
Vlora membuka pintu, tapi tak masuk. Kepala melongok ke dalam, ia melayangkan tatapan ke seberang ruangan.
Meja kerja Andreas kosong. Komputer yang biasanya ada di sana, tak ada.
Hanya itu yang ingin diketahui oleh Vlora. Ia pun menutup pintu dan kali ini benar-benar menuju ke kamar.
Hari berganti. Persis seperti biasa, setelah mengantar Vlora ke kantor maka Andreas akan menyibukkan diri di ruang kerja.
Namun, kali ini ada yang sedikit berbeda dilakukan oleh Andreas. Bila sebelum-belumnya ia akan langsung berkutat dengan pekerjaan maka sekarang lain lagi. Ia justru menyalakan laptop untuk melihat sebuah video.
Manik mata Andreas berkilat ketika melihat rekaman yang memperlihatkan Vlora di ruang kerjanya semalam. Tak sampai masuk, tapi ia jelas tahu apa yang tengah dilakukan oleh Vlora.
Dia pasti mengecek apakah komputerku ada atau tidak.
Nyatanya Andreas sempat merutuki keputusannya untuk memeriksa komputer Vlora. Ia menyadari betapa pintar sang istri dan satu pertanyaan muncul di benaknya.
Apakah dia akan mengetahui apa yang aku lakukan?
Andreas tidak ingin mengambil risiko. Pun tak sulit baginya untuk menyusun rencana. Ia mencetak dokumen asal melalui komputer Vlora dan tak lupa menyuruh Dino membawa komputernya ke tempat servis.
Tak hanya itu. Demi memuluskan rencananya, Andreas sengaja jujur pada Vlora. Ia mengatakan bahwa ia menggunakan komputer Vlora. Lagi pula tak mungkin ada penjahat yang akan mengaku bukan?
Nyaris sempurna dan Andreas tak lupa memberikan pelengkap terakhir. Yaitu, kamera tersembunyi yang disematkannya di beberapa titik strategis. Posisinya yang tepat pasti akan merekam setiap hal yang terjadi di ruang kerjanya.
Andreas merasa puas. Agaknya tak ada celah yang terlewatkan. Namun, pada kenyataannya perkataan Vlora justru membuat ia penasaran.
"Semua orang ada harganya."
Rasa tak mengerti memenuhi benak Andreas. Pun ia tak tahu apa maksud Vlora mengatakan hal tersebut. Ada yang mengganjal dan entah apa yang dipikirkannya hingga ia mendatangi Progun keesokan harinya.
Andreas membuang napas panjang dan menatap gedung menjulang di hadapannya. Megah dan prestisius, Progun tak ubah keagungan dunia yang menyimpan semua fantasi manusia akan kekayaan yang tak ternilai.
Namun, bukan itu hal utama yang membuat Andreas berupaya untuk merebutnya kembali. Ia tak peduli dengan nilai, melainkan harga dirinya.
Satu-satunya hal yang akan Andreas perjuangkan. Ia akan mempertaruhkan dan melakukan semua untuk mematenkan harga dirinya.
Andreas melangkah. Ia lewati satpam dan resepsionis yang menyapa sopan. Agaknya mereka masih mengenali dirinya terlepas fakta bahwa sudah lumayan lama ia tidak menginjakkan kaki di sana.
Tentu. Andreas tidak punya hak dan kepentingan untuk datang ke Progun. Walau demikian bukan berarti ia tak boleh datang.
Sang resepsionis menyadari hal tersebut. Jadi ia langsung mengangkat telepon ketika Andreas masuk ke lift.
Sambutan telah menunggu kedatangan Andreas di lantai tempat ruang direktur utama berada. Berupa seorang sekteraris yang menyapa dengan sikap waspada.
"Selamat pagi, Pak Andreas."
Satu tangan di saku celana, Andreas menghampiri Alan yang berdiri di balik meja sekretarisnya.
"Halo, Alan. Apa kabar?"
"Baik, Pak," jawab Alan singkat, lalu langsung melayangkan pertanyaan tanpa basa-basi. "Apa Bapak ingin menemui Pak Jonas? Beliau akan menghadiri rapat internal sekitar sepuluh menit lagi."
Andreas menyeringai seraya mengangguk beberapa kali. "Persiapan untuk rapat umum pemegang saham."
Alan tidak mengatakan apa-apa. Ia memilih untuk tidak merespon hal tersebut dan Andreas menghormatinya.
"Apa kau tahu sesuatu Alan?"
Samar, Alan mengerutkan dahi ketika Andreas bertanya seraya sedikit mencondongkan tubuh ke arahnya. "Apa, Pak?"
"Karena itu aku menyukaimu."
Andreas menutup ucapannya dengan satu tepukan di pundak Alan. Lantas ia beranjak menuju ke ruangan Jonas seraya berkata acuh tak acuh.
"Kau tenang saja. Aku tak akan lebih dari sepuluh menit."
Ketika Alan tersadar dari kebingungan akan perkataan Andreas maka ia mendapati mantan bosnya itu sudah menghilang dari pandangan. Sekarang ia tak bisa berbuat apa-apa dan hanya berharap semoga Andreas memegang perkataannya, tak lebih dari sepuluh menit.
Untungnya Andreas pun tak berencana untuk berlama-lama menemui Jonas. Sepuluh menit itu adalah waktu yang tergolong sangat lama untuk dihabiskan dengan orang yang tak disukai.
Tiba di ruangan Jonas, Andreas segera membuka pintu. Ia masuk dan suara Jonas terdengar.
"Apa ini sudah wak—"
Ucapan Jonas terhenti di tengah jalan tepat ketika dilihatnya siapa yang masuk. Bukan Alan, melainkan Andreas yang tampak melenggang santai dengan seringai khas yang selalu berhasil memprovokasinya. Tak bermaksud berlebihan, tapi ia selalu ingin meninju Andreas karena ekspresi memuakkan pria itu.
Andreas menghampiri Jonas. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Jonas, bersikap santai.
"Ehm."
Dehaman Andreas mengalun penuh irama. Ia memutar-mutar kursi yang didudukinya dan memandang sekitar.
"Aku bukannya ingin mengganggumu, tapi aku hanya ingin melihat ruangan ini sebentar."
Kursi terus berputar dengan perlahan. Terkadang berhenti sesaat seolah Andreas tengah mengamati keadaan dengan saksama. Ia tampak berpikir serius dengan kedua tangan yang mengusap lengan kursi.
"Menurutmu apa saja yang harus aku ubah kalau nantinya aku menjadi pemilik ruangan ini?"
Kursi berhenti berputar di posisi semula. Andreas dan Jonas saling berhadapan dengan ketegangan yang mulai mengisi udara.
"Apa kau masih tidur, Reas?" tanya Jonas dengan sorot menajam. "Jangan bermimpi kalau kau tidak sedang tidur. Itu menggelikan."
Andreas tersenyum. "Tak apa. Ejek saja aku semaumu, tapi kita akan melihat siapa yang akan tertawa di akhir."
"Jangan bermimpi kalau itu adalah kau."
"Jadi menurutmu, itu adalah kau?"
Senyum Andreas berubah menjadi dehaman geli. Ia menutup mulut, berpura-pura menjaga sikap sopan, dan kemudian justru menjentikkan jari hingga berbunyi.
"Aku yakin kau pun meragukannya, Jonas. Jadi saranku, jangan lupa bersenang-senang. Aku khawatir kau tidak lagi bisa menikmati hidupmu setelah rapat umum pemegang saham nanti."
Wajah Jonas berubah merah. Rahang mengeras dan walau ia tahu bahwa Andreas memang sengaja menyulut emosinya, ia pun tak bisa bersabar.
"Kau jangan sesumbar, Reas. Seharusnya kau becermin terlebih dahulu sebelum mengataiku. Kau tak punya kekuatan apa-apa untuk menyingkirkanku. Bahkan kalaupun posisiku sedikit sulit saat ini, bukan berarti para pemegang saham akan berpihak padamu. Kau ha—"
"Sudah!" Andreas memotong perkataan Jonas dan bangkit. "Aku tidak ingin membuang-buang waktu untuk mendengar bualanmu. Seperti yang aku katakan tadi, aku hanya ingin mengecek ruangan ini saja. Aku sama sekali tidak berniat untuk berbincang-bincang denganmu. Kita ..."
Mendekat, Andreas menekan meja kerja Jonas. Ia tatap Jonas dengan sorot teguh dan ekspresinya sungguh terlihat menantang.
"... punya waktu di lain kesempatan yang lebih menarik."
Andreas menutup semua dengan menyeringai miring. Seolah ingin memberi mimpi buruk untuk Jonas malam itu, ia pastikan untuk bersikap memuakkan sebagus mungkin.
"Sialan kau, Andreas."
Jonas hanya bisa mengepalkan tangan sekuat mungkin. Ia menggeram dan berulang kali menarik napas sedalam mungkin, berusaha meredam emosi yang bergemuruh di dada.
Reaksi Jonas menyenangkan Andreas. Untuk itu ia memberikan penutup berupa sebuah lambaian, tepat sebelum ia benar-benar keluar dari ruang kerja Andreas.
Senyum Andreas terjeda ketika melihat Alan yang berdiri dari duduknya. Tak perlu bertanya, ia tahu bahwa Alan pasti menunggu dirinya.
Andreas geleng-geleng, jelas merasa lucu. Agaknya bukan hanya Jonas yang waspada akan dirinya, bahkan sekarang Alan pun demikian.
Mungkin aku memang ada bakat untuk membuat orang-orang harus bersikap waspada.
Terlebih karena Andreas akan dengan senang hati membenarkan sikap waspada Alan kali ini. Ibarat peribahasa sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, menemui Jonas bukanlah satu-satunya alasan kedatangannya.
"Semua orang ada harganya."
Andreas tanggalkan sejenak kesan santai. Serius dan tampak bersungguh-sungguh, ia sukses membuat Alan terlempar ke masa lalu. Persis seperti dulu ketika mereka masih menjadi direktur utama dan sekretaris.
"Alan, katakan padaku."
Suara berat Andreas menyadarkan Alan. Ia mengerjap dan mendapati pertanyaan tak terduga yang dilayangkan oleh Andreas.
"Apa hargamu? Jonas atau Progun?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top