35. Pertanyaan

"Kita akan menunggu selama seminggu, Frans. Seminggu."

"Bapak yakin?"

"Aku tahu sifat Jonas. Kalau ini memang ulahnya maka kita akan segera mengetahuinya. Dia tak akan menunggu kalau menemukan kelemahan lawannya. Dia pasti akan langsung menyerangku."

Andreas ingat dengan jelas bahwa itulah hal yang dikatakannya pada Frans kemarin. Tepatnya adalah ketika ia dengan halus menolak untuk memberi jawaban pasti pada sang asisten pribadi. Yaitu, mengenai kemungkinan siapa orang yang menyadap ponselnya.

"Ada yang kau pikirkan?"

Suara Vlora membuyarkan lamunan Andreas. Ia mengangkat wajah dan baru menyadari bahwa telah beberapa menit berlalu tanpa sedikit pun ia menyentuh sarapannya.

Sialan! Ternyata ini mengganggu pikiranku lebih dari yang kubayangkan sebelumnya.

Andreas menarik napas seraya memulas senyum seperti biasanya. Tangan terulur meraih cangkir kopi, ia menjawab dengan santai.

"Bukan hal penting, Sayang. Hanya sedang berpikir kalau mungkin tidak selamanya aku seperti ini."

Vlora jeda sejenak sarapannya. "Maksudmu?"

Tak langsung menjawab, Andreas butuh beberapa detik untuk menikmati sesapan pertama pada kopinya. Mata terpejam dan desahannya meluncur, tanda kepuasan yang tak terbantahkan.

"Tidak bekerja. Menghabiskan waktu tanpa ada kesibukan. Setiap hari hanya aku lalu dengan makan, tidur, dan bersenang-senang."

Vlora menyipitkan mata seraya melanjutkan sarapan. Samar, tapi ada sekelumit senyum yang berkedut di sudut bibirnya.

"Kau bekerja. Setidaknya kau mengantar dan menjemputku kerja."

"Oh, Tuhan."

Andreas menaruh cangkir kopi kembali ke tatakan sebelum mengerang penuh dramatis. Ia tampilkan ekspresi terluka seolah harga dirinya telah tercoreng.

"Ini bukan hal bagus, Vlo."

"Apa? Mengantar dan menjemputku kerja bukan hal bagus?"

Andreas menatap Vlora lekat. "Bukan, tapi menjadi pengangguran seperti ini bukan hal bagus. Apa yang akan dikatakan oleh anak-anak kita nanti kalau ayahnya pengangguran?"

Beruntung Vlora belum menikmati suapan selanjutnya. Bila tidak, dijamin ia akan tersedak berkat perkataan Andreas.

"Astaga, Reas. Kau ada-ada saja."

Tawa Vlora tak menghentikan Andreas untuk berdecak dengan wajah prihatin. "Itu jelas bukanlah contoh bagus untuk mereka tiru."

"Sepertinya kau benar."

Andreas menarik napas. Respon setuju Vlora membuat sesuatu berpijar di dalam kepalanya.

Aku ingin melihat reaksimu, Sayang.

"Jadi menurutmu?"

Dengan garpu dan pisau yang terus bergerak di atas sarapan, Vlora menjawab. "Aku senang kau memikirkan hal itu. Jadi mungkin kau harus mulai memikirkan cara untuk secepatnya mengambil semua yang seharusnya menjadi hakmu."

Mata menyipit. Andreas menatap Vlora tanpa kedip, amat lekat.

Namun, tidak ada sedikit keanehan pun yang Andreas dapatkan. Vlora masih seperti biasa. Ia tenang dan tak terbaca.

"Setidaknya aku percaya kalau menyerang adalah pertahanan terbaik. Aku yakin kau bisa menilai situasi dengan baik."

"Begitukah menurutmu?"

Garpu dan pisau berhenti bergerak. Vlora menuntaskan sarapannya dan beralih dengan balas menatap Andreas. Ia mengangguk.

"Kau tahu bukan? Anak adalah peniru ulung. Jadi aku ingin mereka mencontoh yang baik dari kita."

Andreas tertegun. Ucapan Vlora, entah bagaimana ceritanya, membuat imajinasi segera memenuhi benak. Agaknya tak sulit untuk menerka maksud perkataan Vlora.

"Setidaknya karena kau masih sehat dan waras."

Vlora menutup perkataannya dengan senyum kecil di bibir. Andreas terpana dan lantas menyadari sesuatu.

Tidak. Matanya pun tersenyum.

*

Hening dan sunyi. Tak ada suara yang terdengar. Hanya ada hela napas yang sesekali menyelinap di udara.

Kedua tangan bertopang siku di atas meja. Si empunya menghirup udara dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.

Di saat pernikahan kami yang baru berjalan seminggu?

Rahang Andreas mengeras. Mulut terkatup rapat, mencegah beberapa rutukan yang sudah bersiap untuk meninggalkan lidahnya.

Sial! Apa aku benar-benar salah memilih?

Kemungkinan buruk itu dengan cepat menjajah pikiran Andreas. Ia tak bisa tenang dan kegelisahan semakin membuatnya tak mampu bertahan.

Andreas bangkit dan keluar dari ruang kerja. Ia menuju ruang kerja Vlora dengan satu pemikiran.

Mungkin saja Vlora menyembunyikan sesuatu. Apa pun itu yang bisa mengindikasikan pengkhianatan terhadap Andreas. Sekecil apa pun itu.

Andreas masuk dan menutup pintu ruang kerja. Memandang berkeliling, semua tampak biasa-biasa saja. Rapi dan terstruktur, tak ada perubahan sedikit pun dari kali terakhir ia memerintahkan orang-orangnya untuk menyiapkan ruangan tersebut.

Perlahan, Andreas melangkah. Ia susuri ruangan itu dengan penuh kehati-hatian. Tak menyentuh apa pun dan mata memandang ke berbagai titik, adalah sudut ruangan yang menjadi fokusnya. Kemungkinan besar tak ada kamera pengawas.

Andreas melewati rak buku. Ia mengamati dengan teliti dan menyadari bahwa semua adalah buku asli. Sama sekali tidak ada yang mencurigakan.

Persinggahan Andreas selanjutnya adalah meja kerja. Ia memandang sesaat dan barulah menarik kursi, duduk di sana.

Tak ada yang dilakukan oleh Andreas. Ia hanya termenung nyaris sepuluh menit lamanya.

Pikiran kosong. Benar-benar hampa seperti dimensi tanpa udara. Andreas butuh kekuatan lebih banyak dari yang dikira untuk mampu menyadarkan diri sendiri. Ia menarik laci meja yang kebetulan tak dikunci, melihat isi di dalamnya.

Lagi dan lagi, tak ada hal aneh yang Andreas temui. Di sana hanya ada beberapa map berisi pekerjaan sang istri. Tak lebih dan tak kurang, lantas karena itulah ia kembali menutupnya.

Adalah komputer yang lantas menyita perhatian Andreas. Keinginan untuk menyalakannya tentu saja ada, tapi tidak. Ia singkirkan pikiran yang masih membelenggu dan akhirnya bangkit seraya menahan diri.

Aku akan menunggu.

Keputusan telah diambil. Untuk itu Andreas hanya berharap agar kesabarannya mampu bertahan. Pun ia harus mulai mempersiapkan diri untuk semua kemungkinan yang bisa terjadi. Salah satunya adalah bila itu menyakitinya.

Semoga saja itu tidak terjadi. Cukuplah Andreas menghabiskan waktu dengan mengasihani diri sendiri berkat mencurigai istri sendiri. Ia tak ingin itu jadi kenyataan.

Andreas yakin bahwa Vlora pasti memiliki tujuan sendiri. Pun dengan menyadap ponselnya maka hanya ada satu kemungkinan yang masuk akal. Yaitu, karena belum waktunya untuk Vlora bicara.

Bisa saja. Terdengar masuk akal. Sama masuk akalnya dengan kemungkinan bahwa Vlora memang tengah memanfaatkan Andreas demi keuntungan sendiri. Ia tengah memanfaatkan Andreas untuk tujuan tertentu yang bisa menimbulkan kerugian.

Oh, Tuhan.

Andreas memejamkan mata dengan dramatis. Sungguh memalukan, tapi ia memang tampak seperti seorang pecundang.

Logika dan perasaan tengah berperang. Kelogisan dan suara hati sama-sama memberikan perlawanan yang membuat Andreas kian menyedihkan.

Apakah aku berharap kalau aku keliru?

Pertanyaan itu menampar Andreas. Tak pelak, ia akan mengakui dengan lapang dada bahwa ya. Jawabannya ya.

Jadi demi Tuhan. Andreas hanya bisa berharap bahwa kali ini logikanya keliru. Biarlah pemikirannya salah. Tak jadi masalah.

"Vlo."

Malam kian larut ketika Andreas dan Vlora merebahkan tubuh di tempat tidur. Siap untuk melepas lelah, Vlora mendapati Andreas memanggil. Ia berpaling dan bertanya.

"Ya?"

Andreas beringsut dan mendekati Vlora. Ia rengkuh tubuh Vlora untuk tenggelam dalam pelukannya. Mata terpejam dan ia coba merasa.

Tak ada yang berbeda. Semua sama saja. Vlora menerima sentuhannya. Pun terasa santai dalam rengkuhannya.

"Apa kau sadar kalau sudah lebih dari seminggu kita menikah?"

Mengerjap dan tersenyum, Vlora mengangguk di dada Andreas. "Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya? Kupikir wanita lebih handal untuk urusan mengingat tanggal."

Pun demikian pula dengan sikap Vlora. Sama seperti biasanya. Ia bermain kata dan membalas ucapan Andreas.

Setitik prasangka baik menetes di hati Andreas. Namun, secepat itu kedamaian datang maka secepat itu pula prasangka datang untuk menghancurkannya.

Tak ada yang berbeda, mungkin karena sedari awal aku memang tak tahu aslinya seperti apa.

Sial! Sayangnya justru Andreas yang menegang dan Vlora merasakan hal tersebut.

"Reas?"

Vlora mengangkat wajah. Ia tatap mata Andreas yang tampak kosong.

"Ada apa?" tanya Vlora seraya menangkup satu pipi Andreas. Ia menyipitkan mata tatkala menyadari Andreas tersentak karena sentuhannya. "Kau baik-baik saja?"

Andreas membuang napas dan memegang tangan Vlora di pipinya. "Aku tak yakin apa aku baik-baik saja atau tidak, tapi sepertinya aku memang sedang banyak pikiran akhir-akhir ini."

"Kau bisa menceritakannya padaku, kalau kau mau."

Andreas memandang Vlora lekat tanpa bicara. Di benak, ia bertanya.

Kau ingin aku bercerita sementara kau sudah tahu semua? Vlora, sebenarnya apa yang kau rencanakan?

Sekarang Andreas justru menarik napas sedalam mungkin. Wajahnya menyiratkan lelah dan ironisnya adalah itu alami. Itu sama sekali bukan kepura-puraan atau sandiwara belaka.

"Sebenarnya aku berpikir, apakah aku benar-benar harus menenggelamkan diri dalam perebutan kekuasaan seperti ini? Terkadang aku merasa kalau hidup tenang adalah pilihan terbaik. Sayangnya itulah yang tidak aku dapatkan. Aku nyaris tidak bisa tenang seumur hidup hanya karena pertikaian ini."

Vlora tak langsung merespon perkataan Andreas. Alih-alih tangannya lantas meninggalkan pipi Andreas dan berpindah di dada.

Sekali jemari Vlora mengusap dan Andreas sontak menahan napas. Sentuhan lembut itu sukses membuatnya merinding. Karena sumpah! Ia bisa merasakan ketulusan Vlora dan itu membuatnya kembali bertanya-tanya.

Benarkah yang Andreas rasakan atau justru sebaliknya? Mungkinkah itu hanya kamuflase dirinya yang ingin menolak kenyataan?

"Pertikaian tidak akan pernah bisa dielak, Reas. Kau tahu itu."

Diam, Andreas membenarkan perkataan Vlora.

"Hanya saja yang kupikir adalah ...," lanjut Vlora seraya memberikan usapan selanjutnya di dada Andreas. "... kalau pertikaian tidak bisa dihindari maka jangan biarkan kita yang menjadi korbannya."

Untuk kesekian kali Andreas tak bisa mengatakan apa-apa sementara benaknya kembali setuju dengan perkataan Vlora.

"Kau benar."

Usapan Vlora berhenti. Beringsut, ia sedikit bangkit demi bisa menatap Andreas.

"Paling tidak, jangan sampai anak kita turut merasakan pertikaian ini, Reas. Kau memiliki kesempatan untuk mencegahnya."

*

Amat sangat menyedihkan. Andreas tak habis pikir mengapa ia merasakan ketulusan di setiap perkataan Vlora?

Pun Andreas mempertanyakan ke mana perginya akal sehat dan logika yang selalu menemaninya selama ini? Mengapa mereka kompak menghilang dan meninggalkan dirinya dalam kebingungan?

Mereka seolah sepakat untuk menghilang di waktu yang tepat. Ah! Mungkin tepatnya adalah setelah ia menikahi Vlora.

Alhasil tak aneh bila semingguan ini hanya ada satu tanya yang kerap mengisi benak Andreas. Pertanyaan itu adalah: Apakah aku mengenal Vlora?

Semoga saja pertanyaan itu akan mendapatkan jawaban dalam waktu dekat. Mengingat seminggu telah berlalu maka penantian Andreas nyaris berakhir.

Frans menemui Andreas di pukul sembilan pagi. Tanpa banyak basa-basi, ia menjelaskan situasi terkini.

"Rapat umum pemegang saham akan dilakukan sebulan lagi, Pak. Semua orang bersiap dan dari yang saya lihat, Pak Jonas sedang berusaha mencari jalan menyelamatkan dirinya dalam rapat besok. Ini kesempatan Bapak untuk muncul."

Andreas termenung. Sekarang rapat umum pemegang saham dan Jonas tidak berada di posisi pertama prioritasnya. Ada hal lain yang lebih menarik untuk disimpulkan.

Bukan Jonas. Vlora dan Jonas tidak memiliki hubungan apa-apa.

Kali ini Andreas tak mampu menahan diri. Setelah Frans pulang maka ia pun menuju ruang kerja Vlora. Rasa penasaran meronta-ronta dan ia sangat ingin mencari tahu mengenai Vlora, dimulai dari komputernya.

Sementara itu terpisah beberapa kilometer jauhnya, ada seorang wanita yang baru saja meletakkan secangkir kopi di atas meja kerjanya. Ia memberikan anggukan sopan pada Lucas yang keluar dari ruang kerja sebelum duduk kembali.

Denting samar menunda niat yang mulanya ingin langsung melanjutkan kerja. Ia mengambil tablet dari dalam tas dan lantas bertanya pada diri sendiri.

"Siapa yang membuka komputerku? Andreas?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top