34. Praduga
Laporan pajak Progun?
Vlora segera membuka pemberitahuan tersebut tanpa berpikir dua kali. Dalam sekejap mata, satu berkas terpampang di layar tablet.
Jari telunjuk Vlora bergerak. Ia menggulir layar dan fokusnya tertuju pada lembar kedua berkas tersebut. Beberapa nama yang tertera membuatnya mengerutkan dahi.
Dari orang dalam Progun? Apa mungkin? Dari siapa dia mendapatkannya?
Vlora berkedip sekali tatkala layar kembali bergulir dan kali ini adalah tabel kompleks berisi angka yang tak sedikit. Ia memperjelas tampilan layar, berniat untuk melihatnya dengan lebih jelas.
Namun, pergerakan jari Vlora berhenti sedetik kemudian. Ia melirik melalui sudut mata dan segera mengalihkan tablet ke mode tidur.
Tablet kembali ke tempat semula. Vlora menaruh sehelai handuk di atasnya, menyembunyikannya. Lalu ia menutup laci.
Vlora menarik tali pengikat jubah mandinya. Ikatan terbuka dan jubah mandi lepas dari tubuhnya, mendarat di lantai.
Bertepatan dengan itu, ada suara halus pintu yang terbuka. Vlora mengabaikannya, berpura-pura seperti tak mendengar apa pun. Ia bergerak dalam kepolosan dan terlonjak ketika merasakan satu tangan mendarat di perutnya.
"Oh, astaga."
Vlora menoleh. Ada Andreas yang tanpa basa-basi merengkuh dan melabuhkan kecupan di pundaknya.
"Kau mengejutkanku."
Mata terpejam dan kecupan masih betah bermain-main di kulit yang polos. Andreas tampak menikmati sensasi lembut dan wangi yang menguar dari tubuh Vlora.
"Reas."
Tangan Vlora naik dan mendarat di atas punggung tangan Andreas. Detak jantung meningkat, ia pun bertanya pada diri sendiri. Apakah sentuhan atau kedatangan Andreas yang membuatnya berdebar?
Andreas membuka mata sejurus kemudian. Paru-parunya telah terisi aroma Vlora dan kecupannya pun tak lupa meninggalkan jejak.
Vlora melepaskan diri dari rengkuhan Andreas. Ia beranjak demi meraih sepasang pakaian dalam dan mengenakannya di hadapan Andreas tanpa merasa canggung sama sekali.
Andreas menyipitkan mata. Sorot matanya menggelap, tapi Vlora tampak santai.
"Pekerjaanmu sudah selesai?"
Fokus Andreas adalah menyusuri tubuh Vlora. Ia tertarik pada kenang-kenangan percintaan mereka yang tertinggal di beberapa tempat. Agaknya tidak akan hilang dalam waktu dua hari. Mungkin bisa saja lebih dari itu, tapi tak menutup kemungkinan bahwa akan ada jejak baru lainnya sebelum jejak tersebut menghilang. Pada akhirnya tubuh Vlora tak akan pernah benar-benar bersih.
"Aku menyuruh Frans untuk datang siang ini," jawab Andreas sambil terus memerhatikan Vlora berpakaian. "Mungkin aku akan menghabiskan waktu siang ini dengan berdiskusi dengannya."
Vlora beranjak lagi. Kali ini ia menuju lemari yang menyimpan berbagai gaun santai.
Pilihan Vlora jatuh pada satu gaun tanpa lengan dengan panjang selutut. Warnanya hijau muda, terkesan lembut untuk wanita teguh seperti dirinya.
Vlora tak memberikan respons apa pun untuk perkataan Andreas barusan. Ia justru mengenakan gaun santai tersebut dan menghampiri Andreas, memberikan punggungnya.
"Bisa kau tarik ritsletingnya?"
Andreas pasti akan menolong Vlora untuk setiap kesulitan. Terutama kesulitan yang satu ini.
Vlora tak mampu menggapai ritsleting dan Andreas dengan senang hati menariknya. Perlahan. Pelan-pelan. Tentunya tanpa lupa memberikan sekilas usapan seringan bulu di kuduk Vlora.
Tubuh Vlora meremang seketika. Bukan hanya karena sentuhan buku-buku jari Andreas di kuduknya, melainkan juga berkat remasan pelan di kedua pundaknya.
"Kau tak keberatan bukan kalau kutinggal untuk beberapa jam ke depan?"
Vlora memutar tubuh dan menatap Andreas. "Kurasa itu justru hal bagus. Aku bisa beristirahat dengan nyaman."
Seringai Andreas timbul dan mendarat di bibir Vlora dalam sekejap mata. Ciuman membuai mereka dengan irama yang membuat Vlora tanpa sadar berpegang pada pundak Andreas.
Ketika ciuman berakhir, Andreas menatap Vlora untuk sesaat. Ia membelai pipi lembab Vlora dengan lembut. Setelahnya ia beranjak meninggalkan Vlora, tepat setelah ia berbisik.
"Beristirahatlah selagi kau bisa."
*
Ketukan sopan di pintu kerja menyadarkan Andreas dari lamunan sesaat. Ia memberikan izin dan pintu pun terbuka.
Dino masuk dengan diikuti oleh Frans. Kemudian ia pun undur diri setelah Andreas terlebih dahulu menyuruhnya untuk mengantar minum.
Frans menuju meja kerja Andreas dan duduk. Diam, ia tak mengatakan apa-apa ketika disadarinya Andreas tampak termenung.
Punggung bersandar pada kursi. Andreas bergeming dengan tatapan yang tertuju pada ponselnya yang tergeletak di atas meja.
Frans tak berani menerka. Namun, tak sulit untuknya menebak bahwa ada sesuatu yang tak beres.
Tepatnya Frans merasakan itu ketika pagi tadi Andreas menghubunginya. Ia diberi perintah untuk melakukan beberapa hal sebelum pada akhirnya Andreas menyuruhnya untuk datang.
Terkesan tak ada yang aneh. Bukankah sudah menjadi hal lumrah bila bos meminta asisten pribadinya untuk datang demi pekerjaan?
Lumrah, tapi Frans paham betul bagaimana Andreas. Sang bos memiliki hobi bersenang-senang. Salah satu prinsipnya adalah tak akan pernah mengganggu waktu akhir pekan atau libur karena bekerja. Maniak kerja sama sekali bukan sifatnya.
Itulah keheranan Frans yang pertama. Andreas memintanya datang dan itu pastilah karena pekerjaan. Namun, di akhir pekan? Terlebih lagi karena Andreas baru menikah?
Tak aneh bila kebingungan Frans semakin menjadi-jadi. Penasaran dengan apa yang terjadi, tapi ia terpaksa menahan diri. Rasa ingin tahu dalam bentuk pertanyaan terpaksa harus tertahan di ujung lidah.
Frans tidak ingin dianggap lancang. Pertemuan terakhir menyadarkannya bahwa terkadang ia kelewat batas, termasuk dengan sikap antisipasinya terhadap Vlora.
Satu-satunya hal yang bisa dilakukan Frans saat ini adalah menunggu hingga Andreas sendiri yang bicara. Cepat atau lambat, ia yakin pasti akan mengetahui apa yang terjadi.
Sepuluh menit berlalu tanpa ada suara sama sekali. Dino datang kembali ke ruang kerja Andreas dengan membawa dua cangkir teh.
Setelah Dino keluar barulah Andreas memberikan reaksi untuk kehadiran Frans. Ia menarik napas dan menegapkan punggung, lalu mempersilakan Frans untuk meminum teh.
Andreas menikmati sesapan pertama yang terasa hampa. Ia pandangi warna cokelat kemerahan teh di cangkir dan bertanya.
"Sudah kau lakukan?"
Ada banyak hal yang Andreas perintahkan pada Frans. Termasuk di dalamnya adalah mendapatkan laporan pajak dan menyabotase penjualan Progun.
"Sudah, Pak. Untuk hasil penjualan Progun mungkin akan saya antarkan Jumat besok," jawab Frans seraya berpikir. "Fluktuasi pasar akan terjadi dalam beberapa hari."
"Hentikan dulu semuanya untuk beberapa hari ini."
Perkataan Andreas membuat Frans tertegun sejenak. Ia menunggu, mungkin saja Andreas keliru memberinya perintah.
Namun, tidak. Demikianlah adanya perintah Andreas kali ini. Pun bila Frans meragukan kesehatan telinganya dalam mendengar maka ia akan dengan senang hati mengulang perintah tersebut.
"Hentikan semua untuk sementara waktu."
Nyatanya bukan hanya perintah Andreas agar dirinya datang di hari Minggu yang membuat Frans dilanda kebingungan. Perintah yang satu ini malah bisa dikatakan berada di luar nalar.
"Maksudnya, Pak?" tanya Frans dengan nada keberatan. "Mengapa harus dihentikan?"
Andreas menaruh kembali cangkir di tatakan, lalu menjawab. "Aku ingin kita tak bergerak dulu untuk seminggu ini. Apa pun yang sedang kita susun, hentikan."
Pertanyaan Frans tidak mendapatkan jawaban. Sekarang bukan lagi kebingungan yang melandanya, melainkan kekhawatiran. Sikap tak biasa dan perintah tak masuk akal Andreas membuat alarm peringatan menyala di dalam kepalanya.
"Apa ada sesuatu yang terjadi, Pak? Karena kalau saya cermati, sepertinya Bapak sedikit berbeda hari ini."
Andreas diam. Untuk kesekian kali, ia tak menjawab pertanyaan Frans.
"Saya tahu kalau Bapak tak pernah ingin bekerja di hari libur, tapi hari ini Bapak justru meminta saya untuk datang. Bukan hanya itu, selama ini ..."
Frans meneguk ludah dengan gugup. Kali ini menyangkut kebingungan yang membentuk tanda tanya besar.
"... Bapak tidak pernah menghendaki transfer data melalui surel ataupun semacamnya."
Pada akhirnya Frans benar-benar menuntaskan rasa gelisah yang bercokol sedari tadi. Yang kali ini sungguh mengganggu dirinya.
"Sementara tadi Bapak justru meminta saya untuk mengirim berkas laporan pajak Progun ke alamat surel Bapak. Itu benar-benar bukan seperti Bapak."
Andreas tak merespon. Tak heran, ia tahu pastilah Frans sudah sangat hapal dengan beberapa kebiasaannya.
Mulanya manusia membentuk kebiasaan, pada akhirnya kebiasaanlah yang membentuk manusia.
Andreas adalah tipe orang yang pasti memilih pesta ketimbang rapat. Namun, bukan berarti ia abai untuk hal-hal penting. Ia pasti akan mendatangi pesta setelah memastikan rapat tuntas terlebih dahulu. Apa yang tak ia sukai akan ia akhiri pertama kali.
Untuk itu Andreas sudah menetapkan beberapa kebiasaan yang diyakini akan menguntungkannya. Ia tidak ingin mengambil risiko dan berusaha meminimalisir kegagalan.
Terlebih dengan kehidupan tak harmonis yang dijalani, Andreas belajar bahwa ia harus kerap berhati-hati. Siapa yang tahu? Bisa saja orang terdekat justru ingin menyakitinya? Persis dengan yang terjadi pada Ashmita bukan?
Tatapan Andreas meninggalkan Frans dan kembali beralih pada ponselnya. Gestur itu menarik perhatian Frans.
Kemungkinan buruk melintas di benak Frans. Sekarang ia baru menyadari bahwa sedari tadi Andreas kerap memandangi ponselnya seperti tengah mengawasi benda itu.
"Apa ada yang menyadap Bapak?"
Lagi dan lagi, Andreas tak menjawab. Namun, sikap tanpa sanggahan itu bisa membuat Frans menarik kesimpulannya sendiri.
"Kalau memang begitu, mengapa Bapak justru menyuruh saya mengirim berkas ke surel Bapak?"
Andreas menjawab lirih. "Aku ingin memancing orangnya."
Frans berani bersumpah. Ia bisa merasakan getaran di suara Andreas sekalipun pria itu berusaha untuk tetap santai.
Hal itu mengganggu Frans. Andreas tak pernah terintimidasi. Ia selalu tenang dan terkendali. Bahkan ketika ia harus dipermalukan di depan umum dan didepat dari Progun, ia tetap santai. Lalu ada apa dengan sekarang?
"Tidak dengan berkas sepenting ini, Pak. Kalau berkas itu bocor dalam situasi tak tepat maka justru kita yang akan terpojok."
Andreas memejamkan mata dengan dramatis. Apa yang dikatakan Frans memang benar, tapi ia yakin akan sesuatu.
"Kita tak bisa mengumpan hiu dengan seekor cacing tanah. Tidak bisa, Frans."
Balasan Andreas terdengar masuk akal, tapi Frans masih tak sependapat.
"Itu pertaruhan yang sangat besar, Pak."
Andreas mengangguk. "Memang. Itu adalah risiko yang sangat besar, begitu juga dengan kesempatan yang mengikutinya. Itulah hukum alamnya, Frans."
Sekarang Frans tak bisa membantah. Apalagi karena semua pun telah terjadi. Namun, tentu ada satu pertanyaan yang paling penting di sini.
"Apa Bapak mengetahui siapa orangnya?"
Sekali kedip, Frans bisa melihat ketegangan yang tiba-tiba membungkus tubuh Andreas. Walau hanya terjadi dalam sekejapan mata memandang, tapi ia yakin tak akan salah melihat.
Andreas menegang. Itu artinya ia telah mengetahui pelakunya.
Jantung Frans berdetak lebih kencang. Rasa penasaran membuatnya tak sabar menunggu satu nama yang akan disebut oleh Andreas.
Sayangnya Andreas tak menyebut nama siapa pun. Alih-alih ia justru melayangkan pertanyaan lainnya.
"Selama kau bekerja denganku, apakah kau mengetahui satu kebiasaanku?"
Frans tak yakin dengan kebiasaan yang Andreas pertanyakan. "Maksud Bapak?"
"Aku selalu meletakkan ponselku dengan layar yang menghadap ke bawah, bukan sebaliknya."
Sekarang bukan hanya Andreas yang menatap ponselnya, melainkan Frans juga. Posisi ponsel sesuai dengan yang dikatakan oleh Andreas.
Layar ponsel menghadap ke bawah. Posisinya berbeda ketika Andreas mengambilnya pagi tadi di nakas kamar tidur.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top