30. Ketegangan

"Tentu saja. Andreas pasti memiliki maksud dengan undangan sialan ini, tapi mengancam dengan sangat terbuka?! Sialan! Pasti kau yang menyuruhnya untuk melakukan ini, Mita!"

"Aku?"

Ashmita mendengkus. Wajah ayunya terlihat menyiratkan kesal.

"Apa kau tidak melihat bagaimana Andreas sendiri merendahkanku? Menganggap aku seperti tidak memiliki kekuatan apa-apa selama ini? Lalu kau berpikir kalau semua ini aku yang menyuruhnya?"

Terdengar tak masuk akal bukan? Terlebih lagi karena Ashmita sendiri cukup merasa malu dengan yang terjadi malam itu. Ia pun tak mengira kalau Andreas akan melakukan hal tersebut.

"Jangan menyalahkan siapa-siapa, Mas. Kau tahu sendiri siapa yang menjadi sumber masalah ini semua."

"Kau."

Birawa menggeram. Ia mengepalkan tangan ketika tak bisa meneruskan perkataan untuk sesaat.

"Anak sialan itu. Aku tidak akan membiarkannya melakukan hal seperti tadi lagi. Dia benar-benar keterlaluan!"

Ashmita berpaling. "Jaga ucapanmu. Andreas adalah anakku. Kau boleh terus menyanjung anak selingkuhanmu itu, tapi jangan mengumpati anakku."

"Memang, anak tidak tahu sopan santun itu jelas adalah anakmu. Bahkan ia berani melakukan hal seperti itu pada ibunyan sendiri. Kau benar-benar menyedihkan sekali, Mita."

Memalukan, tapi Ashmita hanya bisa menahan diri. Ia berusaha untuk tidak mengingat kejadian selama makan malam tadi.

Andreas nyaris mempermalukan semua tamunya. Terkecuali Ningsih dan Vian, ia pun tega melayangkan sindirin pada Ashmita yang selama ini selalu disayangnya. Ironisnya adalah sindiran tersebut memang benar. Menyakitkan, tapi memang benar.

"Aku senang kau mengatakannya dengan jelas, Mas. Aku memang menyedihkan sekali. Bahkan untuk perlakuanmu selama ini, aku hanya pasrah. Aku hanya menerimanya."

Panas membara di dada Ashmita. Napasnya menggebu. Agaknya emosi telah menguasai akal sehat. Namun, emosi yang serupa turut menyadarkannya.

"Mungkin Andreas memang benar. Seharusnya aku tidak pernah mempertahankan pernikahan dengan pria sepertimu."

Birawa mendengkus, tapi tak membalas perkataan Ashmita. Di satu sisi, ia jelas tahu risiko bila menyentil Ashmita untuk urusan yang satu itu. Namun, di sisi lain rasa percaya dirinya begitu tinggi.

Kau tak mungkin bisa meninggalkanku, Mita.

Sudah bertahun-tahun berlalu. Bila Ashmita ingin meninggalkan Birawa maka seharusnya itu sudah terjadi. Namun, pada kenyataannya bukan itu yang terjadi.

Nyatanya bukan satu atau dua orang yang menahan heran dengan tindakan Ashmita. Terlepas dari beban moral yang ditanggungnya, bagaimana mungkin ada wanita yang tahan menjalankan rumah tangga dalam penuh kepalsuan? Di hadapan khalayak ia tersenyum, tapi di belakang ia justru menangis.

Mungkin cinta memang buta. Saking butanya bisa membuat Ashmita mengabaikan semua dengan keyakinan bahwa sejatinya Birawa masih miliknya. Laksmi hanya menjadi bayang-bayang.

Namun, bayangan itu semakin lama semakin melebar. Bayangan itu semakin meluas dan tiap saat Ashmita harus waspada untuk tidak tenggelam dalam kegelapannya.

Ashmita memejamkan mata. Sekarang ia menyadari bahwa menyedihkan tidak cukup mampu mewakili keadaannya. Ia merasa menjadi wanita yang tak ada artinya. Tidak ada harga diri sama sekali. Lantas untuk apa semua yang telah dilakukannya selama ini?

Rasanya melelahkan. Letih menggerogoti fisik dan psikis.

Ashmita menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha tenang dan membiarkan semua pergi dari dalam kepala.

Hening. Sunyi. Tak ada lagi percakapan yang terjadi di sisa perjalanan pulang.

Vian melirik melalui spion dalam. Duduk di kursi penumpang bagian depan, ia hanya bisa diam ketika orang tuanya kembali beradu mulut untuk kesekian kali. Ia hanya bisa memandang wajah lelah Ashmita dan diam-diam ketakutan itu merambati tubuhnya.

Apakah seperti ini rumah tangga? Apakah seperti ini pernikahan?

Sama sekali tidak seperti gambaran manis yang Vian dapatkan ketika kecil dulu. Ketika pengasuh membacakan dongeng dan mengatakan bahwa sang putri hidup bahagia selama-lamanya bersama dengan pangeran.

Nyatanya pernikahan memang akan selalu menghadirkan banyak kemungkinan. Bahagia bukan satu-satunya hal yang bisa didapat, melainkan juga penderitaan dan pertengkaran.

Tentunya untuk itu bukan hanya Ashmita dan Birawa yang merasakannya. Di lain pihak, di tempat terpisah, ada sepasang anak dan ibu yang juga bertengkar.

"Mama sudah mengatakannya, Jonas. Kita tidak perlu pergi. Sekarang kau lihat apa yang Andreas lakukan pada kita?"

Jonas menggertakkan rahang. Ia membanting jas di sofa dan menggeram. Umpatan sudah mengantre di ujung lidah, tapi sayangnya ia sudah teramat marah sehingga tak bisa bicara.

Semua perlakukan Andreas terekam jelas di benak Jonas. Bahkan seringai merendahkan Andreas masih berputar-putar di ingatannya hingga sekarang.

"Tidak, Ma. Justru sebaliknya," ujar Jonas dengan suara bergetar menahan emosi. Ia berkacak pinggang dengan kedua lengan kemeja yang sudah tersingsing berantakan di siku. "Undangan makan malam ini adalah hal bagus."

Laksmi menatap Jonas. "Apa maksudmu?"

"Apa Mama tidak melihat yang Papa lakukan?"

Wajah Jonas mengerang. Rahang menegang dan sebulir keringat mengalir di sana.

"Papa tidak membela kita. Papa tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk membela kita sementara Andreas mempermalukan kita."

Perkataan Jonas membuat Laksmi terhenyak. Ia terdiam dan terduduk di sofa dengan wajah lemas.

Laksmi nyaris melewatkan sesuatu yang penting. Persis seperti yang dikatakan oleh Jonas, ia pun menyadari hal tersebut. Birawa tidak mengatakan apa-apa untuk membela mereka. Birawa tidak melakukan apa-apa. Birawa diam saja melihat Andreas mempermalukan mereka.

"Dasar pengecut."

Umpatan Jonas adalah hal terakhir yang Laksmi dengar. Setelahnya Jonas beranjak dan meninggalkannya seorang diri di ruang tamu.

Suasana hening menemani kesendirian Laksmi. Ia terdiam untuk beberapa saat. Semua berkecamuk di dada dan pikirannya.

Perlahan. Pelan-pelan. Semua yang terjadi dan perkataan Jonas menghadirkan sepercik panas.

Laksmi bangkit dan menuju ke kamar. Tanpa berpikir dua kali, ia segera menghubungi Birawa.

Panggilan tersambung. Laksmi tak butuh waktu lama untuk mendapati panggilannya diangkat.

"Laks—"

"Mas lihat apa yang sudah dilakukan anak jalang itu pada aku dan Jonas?"

Tidak ada sapaan mesra seperti biasanya. Laksmi langsung memotong perkataan Birawa dan mencercanya.

"Andreas mempermalukan kami dan Mas tidak membela kami sama sekali! Mas benar-benar tega."

"Laksmi, tenang. Aku tahu kalau Andreas benar-benar keterlaluan, tapi ka—"

"Setelah apa yang terjadi malam ini, apa Mas masih tidak ingin menceraikan wanita itu hah?!"

"Laksmi."

"Harus berapa lama lagi aku bersabar? Apa tiga puluh lima tahun belum cukup, Mas?!"

Mata terpejam. Laksmi terhenyak oleh ucapannya sendiri.

Apakah sudah selama itu waktu berlalu? Sudah tiga puluh lima tahun?

Antara percaya dan tak percaya. Sudah selama itu Laksmi berkubang dengan harapan bahwa ia akan menjadi satu-satunya wanita di dalam kehidupan Birawa. Pun sudah selama itu pula ia bertahan dengan julukan wanita simpanan atau selingkuhan.

"Aku sudah menunggu selama itu, Mas! Apa itu masih belum cukup? Lalu Mas ingin aku menunggu sampai kapan? Aku sudah muak dicap sebagai selingkuhan! Aku sudah tidak tahan lagi!"

"Laksmi, dengarkan aku. Aku tahu persis apa yang kau rasakan, tapi aku belum bisa menceraikan Ashmita."

Perut Laksmi terasa mual ketika mendengar Birawa menyebut nama Ashmita. Rasanya ia ingin muntah.

"Kau benar-benar pengecut, Mas. Kau takut menceraikannya karena tak ingin kehilangan semua yang kau punya bukan?"

"Menurutmu siapa saja yang akan menderita kalau aku kehilangan semuanya? Bukan hanya aku yang akan menderita, tapi kau dan Jonas akan merasakan hal yang sama."

Perkataan Birawa sukses membuat Laksmi terdiam. Sekelumit akal sehat menyadarkannya akan kebenaran hal tersebut.

"Aku sudah berusaha, Laksmi. Setidaknya sampai sekarang kau bisa melihat kalau aku lebih memprioritaskan kau dan Jonas. Aku lebih mencintai kalian," lanjut Birawa dengan suara merendah. "Aku berjanji padamu, ini adalah terakhir kalinya Andreas melakukan hal itu pada kalian."

Suara lembut Birawa merasuk dan meredam kemarahan Laksmi. Ia menarik napas dalam-dalam dan duduk di tepi tempat tidur.

Laksmi masih tak bersuara. Ia biarkan kata-kata Birawa menenangkannya dan semua perlakuan Birawa selama ini membayang di dalam kepala.

Birawa memang lebih memprioritaskan Laksmi dan Jonas. Sedari dulu merekalah yang menjadi istimewa. Tak peduli orang-orang menjuluki mereka sebagai selingkuhan dan anak yang tak diakui, nyatanya Birawa akan selalu menjadikan mereka yang utama.

Kemarahan Laksmi mereda. Jerit dan tangis frustrasi yang mengancam akan meledak berhasil diredam. Semua kenangan dan fantasi telah berhasil menenangkannya.

"A-aku tidak ingin Andreas melakukan hal seperti itu lagi pada kami, Mas. Aku tidak ingin."

"Kau tak perlu khawatir, Laksmi. Kau tahu kalau aku sangat mencintai kalian. Aku akan memastikan Andreas tidak akan bisa menyentuh kalian sedikit pun. Percaya padaku."

Laksmi membuang napas panjang. "Ya, Mas. Aku percaya padamu."

Namun, apa pastinya yang Laksmi percaya dari ucapan seorang pria yang hanya menjadikannya sebagai wanita simpanan selama tiga puluh lima tahun?

*

"Sungguh. Aku benar-benar tidak tahu kalau makanan penutup tadi adalah masakanmu."

Vlora baru saja mencuci wajah. Tak ada lagi dandanan yang tersisa, ia terlihat segar. Terlebih lagi dengan seulas senyum tipis itu.

"Kau terlalu sibuk di ruang kerjamu tadi siang," ujar Vlora santai seraya duduk di meja rias. Sekilas ia melirik pada Andreas melalui pantulan cermin. Andreas tampak santai duduk bersandar di tempat tidur. "Sementara aku tidak ada kegiatan apa pun. Jadi aku putuskan untuk sedikit membantu menyiapkan hidangan malam ini. Apa kau menyukainya?"

"Apa aku menyukainya?"

Andreas mendengkus samar tatkala mengulang pertanyaan Vlora. Sedikit, ia beringsut dan menegapkan punggung ketika menaruh ponselnya ke atas nakas dengan posisi tertutup. Layarnya yang menghadap ke bawah akan memastikannya untuk tidak memikirkan pekerjaan di waktu istirahat, demikianlah salah satu caranya untuk menikmati hidup.

"Kupikir aku tak pernah menikmati kustar sebelumnya. Tidak pernah sebelum malam ini. Kustar tadi benar-benar enak."

Refleks, kepala Vlora terangkat dengan mata terpejam. Tawa renyah berderai.

Oh, pemandangan yang indah sekali. Andreas menyeringai melihatnya.

"Harus aku akui, Reas. Kau dan semua kata-kata pujianmu, ehm juga dengan rayuanmu, itu adalah keahlian yang benar-benar luar biasa."

Mata Andreas berkilat. Ia pamerkan sorot nakal dan menggoda secara bersamaan. "Kau terkesan bukan?"

Vlora bangkit dan melangkah dalam keanggunan yang seketika membuat bulu kuduk Andreas meremang. Ayunan samar sepasang payudara tanpa penyangga membuat matanya gatal. Terlebih ketika aroma wangi mulai merasuk dan mengurungnya, bernapas menjadi hal sulit untuknya.

Langkah Vlora berhenti ketika telah mencapai tempat tidur. Namun, ia tak langsung bergabung dengan Andreas. Agaknya ia memang sengaja.

Andreas mengangkat wajah dengan tatapan yang menyusuri tubuh Vlora secara perlahan. Diawali dari sepasang betis yang jenjang, perlahan naik menuju paha yang indah, dan melewati lekuk pinggang yang ramping.

Penyusuran visual Andreas berakhir pada sepasang mata Vlora setelah melewati hebatnya godaan pemandangan titik lembut sepasang payudara. Sekarang mereka saling menatap dan Vlora mengangguk.

"Kurasa lebih dari terkesan. Apalagi dengan sajian di meja makan tadi."

Mata Vlora menyipit. Ekspresinya berubah dan Andreas menyeringai dengan kesan berbeda.

"Itu sangat membuatku terkesan."

"Kau menyukainya bukan? Kau menikmatinya?"

Tebakan Andreas terkesan tak berperasaan, mungkin. Lagi pula tak seharusnya orang menyukai dan menikmati ketegangan ala drama rumah tangga. Seharusnya Vlora bersimpatik dan merasa sedih dengan ketidakharmonisan yang terjadi.

Seharusnya. Namun, Andreas bisa meraba apa yang dirasakan Vlora. Ia bisa melihat dengan jelas respon yang Vlora sembunyikan. Tak ingin membanggakan diri, tapi ia tahu persis bahwa matanya bukan hanya ahli dalam menilai wanita cantik. Alih-alih matanya bisa menangkap apa pun. Apalagi karena ia pun tak akan lupa bahwa Vlora turut memberikan percikan pemanis dalam permainannya tadi.

"Jadi apa kau terkesan?"

Pertanyaan Vlora mendapatkan jawaban yang amat tepat. Andreas berkata.

"Lebih dari terkesan. Kau menciptakan ketegangan tersendiri untukku."

Senyum penuh arti tercetak di wajah Andreas. Ia beranjak dan meraih tangan Vlora.

Tarikan lembut menarik Vlora. Ia tak menolak dan refleks memejamkan mata ketika Andreas langsung menciumnya.

Lumatan yang melenakan membuai Vlora. Andreas menciumnya dengan irama membuai tanpa penuntutan. Seperti hanya ingin bermain-main dan hal yang menyenangkan terjadi. Yaitu, Vlora balas mempermainkannya.

Tangan Vlora berpindah tempat. Jari-jarinya mendarat di pundak Andreas. Ia meremas sekilas dan seiring dengan lumatan yang terus balas-membalas, Vlora mendorong Andreas.

Andreas terkurung oleh dua kelembutan yang berbeda. Ada tempat tidur di bawahnya dan ada tubuh Vlora di atasnya.

Geraman menggetarkan dada Andreas. Ia sambut undangan Vlora dengan penjelajahan menggairahkan.

Kedua tangan Andreas bergerak. Ia mengusap dan membelai sekujur tubuh Vlora.

Ciuman berakhir ketika keduanya merasa paru-paru sudah berontak. Mata membuka dan mereka menarik napas dengan payah.

Udara di sekitar sudah berubah. Terasa panas dan beraroma hasrat.

"Haruskah kita melanjutkan ketegangan kita sendiri?"

Vlora tak langsung menjawab, melainkan tangannya menyusup ke balik celana santai Andreas. Jemarinya menyentuh dan Andreas seketika menahan napas.

"Aku menuntut hidangan penutupku, Reas."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top