3. Ajakan Kesepakatan
Udara tertahan di dada. Agaknya menyambut kedatangan Lucas adalah cobaan pertama yang didapat Vlora pagi itu.
Pintu lift membuka. Vlora memasang sikap sopan dan bersiap. Lucas keluar dan seseorang yang mengikutinya membuat senyum di wajah Vlora hilang seketika.
Vlora menguasai diri dengan cepat. Ia mengambil alih tas kerja Lucas dan menyapa. "Selamat pagi, Pak."
Lucas membalas sapaan itu dengan anggukan singkat. Ia melangkah bersama Andreas dan secara tidak langsung memberi kesempatan bagi Vlora untuk membuang napas sekilas, sebelum turut beranjak.
Vlora membuka pintu dan mempersilakan keduanya masuk. Sementara ia menuju meja kerja Lucas demi menaruh tas kerja, sang bos dan Andreas memilih duduk di sofa.
"Kau tidak keberatan kalau aku meminta sekretarismu membuatkan kopi untuk kita bukan?"
Tanya Andreas membuat penguasaan diri Vlora kembali mendapatkan cobaan. Ia perlu menarik napas dalam-dalam sebelum balik bertanya dengan sopan.
"Apakah Bapak ingin secangkir kopi?"
Lucas melirik Andreas sekilas dan barulah mengangguk. "Tentu, Vlo."
"Aku juga," sambung Andreas seraya tersenyum pada Vlora. "Seperti biasa, Vlo. Tak perlu terlalu banyak gula. Kau sudah membuat gula merasa rendah diri."
Mata Lucas terpejam dramatis. Ia seolah malu untuk melihat dunia dan memutuskan menunggu hingga Vlora keluar. Suara pintu adalah tanda untuknya.
"Astaga, Reas. Kau serius? Apa kau sempat menggunakan sedikit saja otakmu ketika mengatakan rayuan remeh seperti tadi?"
Andreas terkekeh. Punggung bersandar dan ia menemukan posisi nyaman.
"Rayuan remeh tetaplah rayuan. Tak ada yang salah dari merayu. Lagi pula bukankah Vlora memang manis?"
Lucas mendengkus. "Aku ingin melihat bagaimana Vlora bisa membuat kopi jadi manis tanpa menggunakan gula."
Kekehan Andreas semakin menjadi-jadi. Sayangnya pada saat itu Lucas kembali teringat akan hal penting. Kalau Andreas sedang berada dalam keadaan tak mampu menggunakan otak maka ialah yang bertugas untuk mengingatkan.
"Satu hal, Reas. Aku khawatir kau melupakannya. Sekarang Vlora adalah orang kepercayaanku. Aku harap kau tidak macam-macam dengan orangku."
Bahu Andreas naik sekilas. Ia tahu karakter Lucas. Lebih dari itu ia pun tahu apa yang akan dilakukannya.
"Aku yakin Vlora adalah sekretaris yang profesional. Kau pun sudah membuktikan. Hubungan kami tak akan mengganggu kinerjanya."
Hubungan kami? Lucas kehabisan kata-kata.
"Lagi pula aku memang tertarik padanya."
Mata Lucas menyipit. "Tertarik? Kau yang benar saja, Reas. Bagaimana bisa kau tertarik pada Vlora sementara pernikahanmu sudah di depan mata?"
"Pernikahan itu belum terjadi dan kau tahu sendiri kalau itu bukanlah rencana pernikahanku. Itu hanyalah pernikahan hirearki keluarga."
Pintu diketuk sekali. Lucas melirik sekilas dan Vlora masuk bersama nampan yang berisi dua cangkir kopi.
"Mama tidak ingin melihat Jonas menikah lebih dulu ketimbang aku," ujar Andreas terus bicara. "Kau bisa menganggapnya sebagai persaingan istri tua dan muda."
Vlora mendekat. Ia menaruh cangkir kopi pertama di hadapan Lucas. Lantas berpindah pada cangkir kedua yang seharusnya ia berikan pada Andreas.
"Aku rasa ada gengsi tersendiri di antara mereka. Seisi dunia tahu kalau mereka tak pernah akur. Begitu pula dengan aku dan Jonas."
Tangan Vlora gemetar. Cangkir kopi nyaris lepas, tapi beruntung Andreas sigap. Sayangnya tak urung juga air panas bewarna hitam itu beriak. Sedikit tumpah dan membasahi tangan Andreas.
"Astaga, Pak!"
Vlora kaget. Ia buru-buru menarik dua lembar tisu dan mengelap tangan Andreas.
"Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja."
Andreas menahan tangan Vlora. Ia mengambil alih tisu dan mengelap sendiri, pun menggeleng.
"Tak apa, Vlo. Hanya air kopi. Bukan hal serius."
Vlora mengangguk dengan wajah tak enak. Ia mengambil nampan dan segera permisi keluar.
Sedikit jeda yang tercipta tak cukup mampu untuk menghentikan pembicaraan penting yang telah tercipta. Kepergian Vlora memberi kesempatan untuk Lucas lanjut bersuara.
"Kalaupun kau ingin membatalkan pernikahanmu, itu bukan berarti kau bisa menggoda Vlora. Apa kau tidak melihatnya? Semakin hari Vlora terlihat semakin tak nyaman bila kau datang ke sini."
Andreas menikmati sesapan pertama. Desahan nikmat lolos ketika rasa pahit kopi menyergap indra pencecapnya.
"Sepertinya kau keliru akan satu hal, Luc," ujar Andreas santai. Ia tak keberatan untuk mengingatkan Lucas. "Aku sama sekali tidak berniat untuk menggoda Vlora."
Lucas mendengkus dengan kesan mencemooh. "Dengan apa yang kau lakukan selama ini? Kuharap kau tidak mencoba mengelabuiku. Kau jelas sekali selalu berusaha menggodanya di setiap kesempatan dengan tatapan dan senyum memuakkan itu."
Tawa Andreas benar-benar pecah. Kepala terangkat dan ia terbahak-bahak.
"Sepertinya pendekatanku terlalu nyata di mata orang-orang."
"Maaf. Apa tadi kau bilang?" tanya Lucas dengan nada tak percaya. "Pendekatan."
Andreas memutuskan untuk berhenti tertawa. Ekspresinya berubah. Sorot nakal di matanya tergantikan oleh keseriusan yang tak akan lalai ditangkap Lucas.
"Untuk saat ini kau bisa mengatakan padaku agar tidak mengganggu orang kepercayaanmu, Luc. Sayangnya dalam waktu dekat justru aku yang akan mengatakan hal serupa padamu."
"Apa?"
"Jangan terlalu merepotkan wanitaku."
Mata Lucas membesar. "Apa maksudmu?"
"Seperti yang kau pikirkan. Aku bukan ingin menggoda Vlora, melainkan ingin menjadikannya sebagai istriku."
"Kau gila."
Andreas menyeringai lebar. "Aku yakin kau benar untuk yang satu itu."
*
Vlora memulai pekerjaannya setelah mengantarkan kopi untuk Lucas dan Andreas. Ia serius dalam kubangan data dan kata-kata. Amat serius hingga nyaris membuatnya tak menyadari bahwa Andreas telah keluar dari ruangan Lucas dan menghampiri mejanya.
Andreas menarik satu kursi dan duduk. Ia lihat betapa seriusnya Vlora sehingga butuh dua detik baginya untuk menyadari keberadaan sepasang mata yang menatap padanya.
"Pak."
Perasaan geli merayapi perut Andreas tatkala menangkap sorot kaget di mata Vlora. Respons alamiah itu menghadirkan sensasi tersendiri untuknya.
"Sepertinya dugaanku benar," ujar Andreas sambil membuang napas. Ia manggut-manggut dengan ekspresi menggoda. "Kau memang hanya akan memanggil namaku kalau aku menciummu."
Vlora membeku. Wajah cantiknya bersemu merah. Tak ingin, tapi perkataan Andreas sukses membuat ingatannya kembali melayang pada kejadian semalam.
Memalukan!
Senyum tipis muncul perlahan di wajah Vlora. Itu jelas adalah upayanya demi meredam sekelumit percikan di dalam dada yang mengancam akan menjadi ledakan dalam waktu dekat.
"Sebelumnya maaf, Pak. Hanya saja saya rasa kurang tepat kalau kita membicarakan hal seperti itu di sini. Seperti yang Bapak lihat. Ini di kantor."
Tatapan lekat Andreas memaku bening bola mata Vlora. Ia sedikit memajukan tubuh ke arah Vlora dan aroma wangi yang menguar menjajah indra penciumannya.
Andreas tak akan salah menebak. Wangi itu persis dengan aroma yang tertinggal di jari tangannya semalam. Bukti yang meyakinkannya bahwa Vlora sempat terjatuh ke dalam pelukannya. Satu hal penting untuk menumbuhkan rasa percaya dirinya.
Kalau kau bisa kupeluk sekali maka aku pasti bisa memelukmu untuk kedua kali.
"Aku tahu ini di kantor dan sejujurnya aku setuju dengan pemikiranmu. Memang tidak tepat rasanya kalau aku harus mengatakan hal seperti itu padamu sementara kita berada di sini," lanjut Andreas enteng seraya melihat ke arah ruangan Lucas. "Siapa yang bisa menduga kalau suatu saat bosmu keluar dan memergoki pembicaraan pribadi kita?"
Vlora perlu meluruskan satu hal. "Saya kira tak ada pembicaraan pribadi apa pun antara kita berdua, Pak. Jadi kalau Bapak tidak keberatan, bagaimana kalau Bapak melanjutkan kegiatan Bapak saja? Saya memiliki setumpuk pekerjaan yang harus saya selesaikan hari ini juga."
Pandangan Vlora meninggalkan Andreas. Ia kembali ke komputer, tapi Andreas belum memutuskan untuk berhenti.
Andreas mengulurkan tangan. Ia raih tangan kanan Vlora yang sedang mengetik di atas papan ketik.
Tindakan Andreas menerbitkan antisipasi Vlora. Ia melirik sekilas ke arah pintu ruangan Lucas—khawatir sang bos akan keluar tiba-tiba—sebelum akhirnya melotot pada Andreas.
Andreas menggenggam jemari Vlora dengan kedua tangan. Semua kemungkinan untuk Vlora bisa menarik diri darinya, hilang tanpa sisa.
"Aku terima rasa keberatanmu. Kita jangan membicarakan hal ini di kantor. Sebagai gantinya, bagaimana kalau kita membicarakan tentang hubungan kita di luar kantor? Kau mau bukan?"
Vlora tak bisa melotot lebih besar lagi. Ia tercengang dan ada beberapa hal yang membuatnya tak habis pikir dengan cara berpikir Andreas.
"H-hubungan kita?"
Keseriusan di wajah Andreas terjeda. Refleks, ia tertawa samar.
"Maaf, Pak. Saya pikir kita tidak memiliki hubungan apa pun."
"Kau serius, Vlo? Setelah kita berciuman dengan begitu intens di lift semalam? Kau justru mengatakan kalau kita tak memiliki hubungan apa pun?" tanya Andreas menggeleng sekali. Wajahnya tampak meringis. "Itu benar-benar menyakiti egoku, Vlo."
Rasa panas menjalari pipi Vlora, tapi kali ini ia lebih siap. "Saya rasa berciuman bukanlah hal serius untuk Bapak. Bukan begitu?"
Satu alis Andreas naik. Serangan balasan sudah mulai menunjukkan tanda-tanda.
"Bukankah Bapak sering melakukan hal seperti itu dengan para kekasih Bapak? Bukan hal aneh lagi untuk Bapak berciuman dengan begitu intensnya dengan mereka, benar?"
Andreas terkesima dan lantas justru tersenyum nakal. "Apa kau cemburu?"
Dengkusan tak mampu Vlora tahan. Itu refleks dalam dorongan syok. Ia sama sekali tidak mengira sebegitu tingginya rasa percaya diri Andreas.
"Saya? Cemburu?"
Sekarang gantian Vlora yang geleng-geleng. Namun, sejurur kemudian ia justru tertawa samar. Ekspresi geli mencemooh untuk kesimpulan yang Andreas ambil.
"Sama sekali tidak, Pak. Cemburu dengan para wanita yang jelas-jelas tidak selevel dengan saya, oh itu bukan tipe saya sama sekali. Saya bukannya cemburu, melainkan saya hanya tidak ingin menghabiskan sisa usia saya bersama dengan seorang pria yang bisanya hanya menggoda wanita satu ke wanita lainnya."
Andreas menyeringai tanpa melonggarkan genggamannya pada jemari Vlora. Ia berpikir.
Sangat penuh percaya diri.
Satu pemikiran melintas di benak Andreas. Ia jelas tahu cara mencari celah.
"Bagaimana kalau kita buat kesepakatan, Vlo?"
Vlora tak akan terkecoh. Antisipasinya pun tak mengendur. "Kesepakatan apa?"
"Kesepakatan yang akan menguntungkan kita berdua," jawab Andreas santai. Sekilas melihat, ia bisa menangkat rasa ingin tahu yang berpijar di mata Vlora. "Ini jelas tidak adil kalau kau langsung menolak diriku tanpa tahu persis apa pun mengenai diriku. Berikan aku satu kesempatan dan aku bisa pastikan bahwa kau akan menerima lamaranku."
"Maksud Bapak?"
Suara penuh kehati-hatian itu disambut senyum penuh arti Andreas. Agaknya celah yang satu ini memberi harapan yang diinginkan.
"Kita buat kesepakatan. Kau hanya perlu memberikan aku satu kesempatan. Kita pergi bersama. Makan malam, misalnya. Lalu kita bisa melihat apakah kita cocok satu sama lain atau tidak."
"Kalau kita tidak cocok?"
Andreas berdecak. "Itulah gunanya kesepakatan. Kalau kita memang terbukti tidak cocok maka aku akan berhenti. Aku tidak akan mengusik dirimu lagi sampai kapan pun. Sama sekali."
Vlora diam. Sejenak, ia tak mengatakan apa-apa. Tatap matanya yang tertuju lekat pada Andreas seolah menyiratkan pengintaian untuk setiap kemungkinan jebakan.
"Bagaimana? Kau ingin menerima kesepakatan ini atau sebaliknya? Dengan sengaja menolak agar aku bisa menggodamu setiap hari?"
Vlora membuang napas. Tuduhan Andreas menyudutkannya. Ia tak bisa mengelak dan harus menerima tawaran tersebut.
"Malam ini."
Andreas tersenyum puas. "Malam ini. Aku akan datang menjemputmu sore nanti."
Vlora kembali diam sementara Andreas bangkit dari duduk. Sempat mengira kalau Andreas akan segera melepaskan tangannya, ia justru dibuat kecele.
Andreas menundukkan wajah tanpa melepaskan tatapan menggoda pada Vlora. Ia mengangkat jemari lentik itu dan bibirnya mendaratkan satu ciuman basah di punggung tangannya. Satu ciuman yang cukup basah untuk mampu membuat kerongkongan Vlora kering kerontang.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top