29. Peringatan
Semestinya makan bersama menjadi kegiatan menyenangkan. Momen di mana para anggota keluarga dapat bercengkerama hangat sembari membicarakan banyak hal. Serendah-rendahnya adalah perbincangan basa-basi menanyakan kabar dan keseharian. Namun, bukan itu yang terjadi saat ini.
Untuk diketahui, Andreas bukanlah manusia pencipta kedamaian dunia. Ia tidak pernah memiliki niat mulia untuk menyatukan kembali keluarganya yang berantakan. Justru sebaliknya.
Mata bergerak dalam pandangan yang mengitari. Senyum melengkung samar. Andreas tampak amat menikmati pemandangan yang tersaji di meja makan.
Lihatlah. Mereka semua sangat menikmati makan malam ini.
Andreas mendeham sekilas. Ia tinggalkan sejenak piringnya dan berusaha menyembunyikan geli lantaran sikap waspada yang terasa kuat menguar di udara.
"Menu malam ini pasti sangat lezat hingga aku tak mendengar satu suara pun dari tadi. Bagaimana menurutmu, Sayang?"
Bersikap dan berkata manis memang adalah ciri khas Andreas. Namun, Vlora tak mengira ia akan melakukannya sekarang di sini—ketika ketegangan terasa jelas menyelimuti.
"Ini hidangan yang sempurna," jawab Vlora setelah mengangguk anggun. "Kupikir Oma menikmatinya."
Ningsih menarik napas dan menjeda makannya. "Tentu saja. Kalian menyiapkan malam ini dengan sangat baik. Oma bersyukur. Lagi pula karena acara ini akhirnya Oma bisa melihat seseorang yang selama ini selalu membuat Oma penasaran."
Tatap mata Andreas berpindah ke sisi lain. Kedua tangan Laksmi sontak berhenti bergerak mendengar perkataan Ningsih. Tak ingin, tapi tentunya ucapan Ningsih tengah menyinggung dirinya.
Bahkan bila Laksmi ingin menampik maka Andreas bisa membantu untuk memperjelas semua. Pun itulah yang dilakukan Andreas.
"Ah! Ternyata benar. Selama ini Oma memang belum pernah bertemu dengan Mama Laksmi."
Ketegangan semakin terasa. Wajah-wajah yang semula berusaha menyembunyikan antisipasi masing-masing tak lagi bisa berpura-pura. Mereka semua tengah waspada untuk setiap hal yang bisa terjadi. Sungguh, mereka tak bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh Andreas.
"Bagaimana ini, Pa?"
Kali ini Andreas menuju pada Birawa. Ia tersenyum dengan menampilkan ekspresi polos seolah baru mengetahui hal tersebut.
"Bagaimana bisa Papa belum pernah mengenalkan Mama Laksmi dengan Oma? Aku pikir itu hanya gosip, tapi ternyata—"
"Andreas."
Andreas mengulum senyum ketika Birawa memotong perkataannya. Geli, menahan tawa menjadi hal sulit untuknya. Terlebih ketika Ningsih turut bicara sesaat kemudian.
"Mana mungkin dia akan mengenalkan wanita itu pada Oma, Reas. Malah sebaliknya. Wanita itu harus disembunyikan selama ini."
Merah padam wajah Laksmi. Ia melihat Birawa, tapi pria itu tak mengatakan apa-apa.
"Oh, bukan hanya menyembunyikan wanita itu. Kau bahkan menyembunyikan dirimu sendiri. Sudah berapa lama kau tidak menemui ibu kandungmu?" lanjut Ningsih seraya mendengkus samar. Sikap yang tak layak untuk dilakukan, tapi ia sudah tak peduli. "Semenjak kau mendapatkan semua, kau melupakan ibumu sendiri."
Birawa tak bisa mengelak ketika yang dikatakan Ningsih adalah kenyataan. Dulu ia memang menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan semua, terlebih posisi sebagai presiden direktur grup Cakrawinata.
Pada dasarnya semua wanita sama. Luluh oleh permintaan maaf dan wajah memelas. Apalagi kalau semua diikuti janji-janji manis. Persis seperti yang dilakukan Birawa pada Ningsih dan Ashmita.
Birawa pernah menggunakan taktik tersebut. Bak pria yang hidup dengan penuh sesal, ia hadir dengan janji akan kembali seutuhnya. Ia akan menjadi suami dan anak yang sepatutnya.
Mungkin saat itu psikis Ningsih sedang tak stabil. Kesehatan yang menurun membuat kewaspadaannya mengendur. Ia percaya perkataan Birawa padahal semenjak perselingkuhan itu terkuak maka sejak itu pula ia tak pernah percaya perkataan sang putra.
Apalagi Ashmita. Mata buta karena cinta dan mengira doa telah mengubah tabiat membuatnya luluh hingga meleleh.
Ningsih dan Ashmita teperdaya. Ketika mereka sadar maka semua telah terlambat.
Birawa tak akan pernah meninggalkan Laksmi dan Jonas. Semua yang ia lakukan hanyalah untuk membahagiakan mereka. Tak masalah bila ia dicap anak durhaka atau suami durjana, asalkan wanita dan putra kesayangannya bisa hidup bahagia.
Alhasil tak aneh bila Birawa tak bisa membalas perkataan Ningsih. Ia tak punya celah untuk membela diri sama sekali.
"Apa selingkuhanmu itu yang melarangmu untuk menemuiku?"
Kata-kata semacam selingkuhan atau wanita simpanan sudah terlalu sering Laksmi dapatkan. Namun, ada yang berbeda ketika ia mendengarnya dari Ningsih.
Jonas merasakan hal serupa. Wajahnya mengelam merah. Ia tak terima ibunya disebut demikian. Jika Birawa tak bisa bicara maka ia yang akan melakukannya.
"Kupikir mamaku melakukan itu justru dengan niatan baik. Mama tidak ingin semakin menyakiti perasaan orang-orang di sini. Mendapatkan kasih sayang dan perhatian pura-pura ..."
Tak segan, Jonas melayangkan lirikan pada Ningsih dan Asmita bergantian. Ia tersenyum samar.
"... adalah hal yang menyedihkan bukan?"
Mata Ningsih menyipit. Tak terpojok, ia membalas. "Begitukah menurutmu?"
"Tentu saja. Semua orang di sini jelas tahu siapa yang lebih dihargai."
Andreas terkekeh samar. Ia tahu bahwa perkataan Jonas menyinggung kepercayaan Birawa pada dirinya.
"Itu karena aku membiarkan Papa untuk menghargaimu, Jonas," tukas Andreas seraya geleng-geleng. "Sekarang saja kau lihat bukan? Papa justru memilih untuk duduk di sebelah Oma ketimbang bersama kalian dan apa kau tahu apa artinya?"
Mulut Jonas membuka. Sayangnya Andreas tidak memberikan kesempatan bagi Jonas untuk bicara.
"Kalau Papa mau, Papa bisa duduk bersama kalian. Aku tak bisa mengatur Papa, tapi Papa sendiri yang menentukan pilihannya. Jadi bagaimana menurutmu?"
Sekarang Jonas beralih pada Birawa. Ia menunggu, apakah Birawa akan mengambil tindakan? Karena astaga! Ucapan Andreas memang ada benarnya.
"Seharusnya kau sadar, Jonas. Kalian bukan dihargai, tapi dikasihani. Kau lihat sendiri. Sekarang pun Papa tidak beranjak tempatnya."
Birawa terpojok oleh kenyataan. Andreas mempertontonkan fakta tak terbantahkan.
Malu? Jangan ditanya. Birawa tak pernah mengira kalau Andreas akan merendahkannya sedemikian rupa.
Oh, ini bukan hanya perkara soal tempat duduk. Tidak sesederhana itu. Alih-alih pilihan Birawa membuktikan satu hal tak terbantahkan.
"Sampai kapan pun Papa tidak akan bisa meninggalkan Oma dan Mama. Jangan pernah berharap kalian akan menjadi keluarga yang diakui. Karena apa? Karena Papa tidak bisa berdiri tanpa bantuan Oma dan Mama."
Jonas habis kesabaran. "Jadi ini maksudmu, Reas? Untuk mempermalukan kami?" tanyanya seraya membanting sendok di piring. "Kau kekanak-kanakan, Reas. Oh, mengapa kau tidak merengek saja sekarang? Mintalah Progun padaku dan mungkin aku akan memberikannya."
Kekanak-kanakan? Andreas sudah sering mendengar Birawa mengatakan hal itu padanya. Lalu sekarang Jonas melakukannya pula.
Andreas tersenyum. Tak jadi masalah bila ia dicap kekanak-kanakan. Ia harus menjadi pengalih perhatian yang sempurna dan tentu saja, ia senang mendapat predikat itu.
"Bolehkah aku merengek, Pa?"
"Jadi memang itu tujuanmu mengundang kami semua? Hanya untuk memuaskan ego kekanak-kanakanmu itu? Kau benar-benar memalukan dan tidak dewasa, Reas. Seandainya kau tidak menikahi wanita itu maka ..." Birawa melihat Vlora dengan tatapan merendahkan. Ia berdecak. "... kau bisa memimpin Wisnutex, tapi kau tidak bersyukur."
Bola mata Andreas berputar. "Seperti Papa tahu arti bersyukur saja."
Kembali, kata-kata Andreas membuat Birawa tak berkutik. Ia semakin geram sementara yang lain justru menahan geram padanya. Bagaimana mungkin ia dengan terang-terangan menyudutkan Vlora?
Bukan hanya Ningsih, bahkan Ashmita dan Vian yang sedari tadi memilih pasif pun pada akhirnya berpaling. Mereka melihat Vlora dengan raut khawatir. Namun, Vlora tampak tenang dan biasa-biasa saja.
Vlora menatap mereka bergantian dalam senyum tipis. Ia tunjukkan sikap bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua baik-baik saja.
Sekadar ucapan tak akan berarti apa-apa untuk Vlora. Andreas pun mengetahui hal tersebut. Namun, ia merasa perlu untuk menegaskan sesuatu di sini.
"Selain itu aku harap Papa bisa melihat di mana Papa berada saat ini. Vlora adalah nyonya rumah ini, jadi tolong perhatikan sikap Papa. Jangan biarkan Vlora tahu kalau etika di keluarga kita benar-benar payah. Selain itu ..."
Sepertinya ada hal lain yang harus ditegaskan oleh Andreas. Sungguh ia tak mengerti mengapa Birawa kerap menyinggung topik ini ketika yang diinginkannya sudah terlihat jelas.
"... Wisnutex bisa berdiri sendiri tanpa bantuan siapa pun. Aku akan mengurusnya nanti di saat aku sudah menyelesaikan semua."
Hening seketika tatkala Andreas selesai berucap. Sengaja, ia ciptakan jeda untuk melihat reaksi Birawa dan Jonas.
"Kau mengancamku, Reas?"
Respons Jonas disambut gelengan penuh senyum Andreas. "Aku tidak mengancam, tapi mengingatkan. Terlepas dari sifat alamiah manusia untuk serakah, setidaknya kau harus tahu diri. Jadi berhati-hatilah."
"Tidak semudah itu, Reas," tukas Jonas menyeringai. "Kau pikir aku akan diam saja?"
"Tidak. Kau pasti akan bertindak, tapi bayangkan ini. Apa kata orang-orang kalau anak selingkuhan yang tampil di depan? Nama besar keluarga ini bisa tercoreng. Apa kau tidak malu? Kau tidak pantas, Jonas."
Kepalan Jonas menguat. Rahangnya mengeras dengan urat yang tampak bertonjolan di wajah.
Lagi dan lagi. Andreas membahas sesuatu yang tak akan pernah bisa Jonas lawan.
"Kau pengecut, Reas."
Andreas tertawa samar. "Aku tidak pengecut, Jonas. Aku bisa pastikan kalau aku bisa menggunakan cara lain untuk mempermalukanmu. Apa kau ingin melihatnya?"
Jonas diam. Namun, ekspresinya sudah lebih dari cukup untuk menjadi jawaban.
"Jangan paksa aku untuk benar-benar bertindak. Aku khawatir kau dan mamamu akan banyak kehilangan," lanjut Andreas enteng seraya melihat bergantian pada Jonas dan Laksmi. "Lepaskan semua yang bukan hak kalian. Aku ingin kau mengembalikan semua milikku dan kalaupun tidak maka aku pastikan semuanya hancur bersama dirimu."
Peringatan yang terlalu jelas. Andreas tidak lagi menggunakan isyarat atau kata-kata terselubung. Itu sudah cukup menjadi tanda bagi Birawa dan Jonas bahwa sekarang Andreas benar-benar serius.
Namun, apa yang bisa dilakukan oleh Andreas? Bukankah ia hanya seorang pria kekanak-kanakan yang hobinya menyulut emosi orang?
Di mata Birawa dan Jonas, Andreas tidak bisa melakukan apa-apa. Hidupnya nyaris dihabiskan hanya untuk hal tak berguna.
"Aku menantikannya, Reas."
Saling menatap satu sama lain, Vlora tahu bahwa percakapan antara Andreas dan Jonas telah selesai. Untuk itu ia pun mengambil kesempatan bicara.
"Aku harap semuanya belum terlalu kenyang mengingat makanan penutup malam ini sangat lezat."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top