27. Hiburan

Siulan mewarnai perjalanan santai Andreas tatkala meninggalkan kediaman Laksmi. Berikut dengan senyum yang tak henti-hentinya bertengger di bibirnya. Ah, tak perlu ditanya. Ia jelas sedang merasa senang saat ini.

Wajah pucat Laksmi membayang di benak Andreas. Pun ia tak akan melupakan gemetar di jari ataupun pucat di bibir Laksmi. Ternyata rasanya memang sangat menyenangkan. Lebih menyenangkan ketimbang dari yang sempat ia duga sebelumnya.

Mungkin terkesan tidak berperasaan, tapi ....

Masalahnya aku memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadapnya.

Siulan Andreas sontak berganti kekehan geli. Sekarang ia bertanya-tanya, apakah yang akan dilakukan oleh Laksmi.

Mungkin dia akan mengadu pada Jonas.

Pemikiran itu membuat Andreas melirik jam tangan. Sudah dua puluh menit berlalu dari kunjungannya ke rumah Laksmi, tapi belum ada satu pun panggilan yang masuk ke ponselnya.

Ke mana kau Jonas? Bukankah seharusnya kau menghubungiku?

Andreas menunggu. Rasanya mustahil kalau Jonas tak menghubunginya setelah apa yang ia lakukan.

Ah, ternyata bermain-main seperti ini memang sangat menyenangkan.

Itu baru undangan. Lantas apa yang akan terjadi di jamuan yang sebenarnya? Astaga! Andreas semakin tak sabar menunggu Sabtu malam.

Baiklah. Sekarang adalah mengundang tokoh utama dari acara ini.

Mobil Andreas berhenti. Ia turun dan mendapati sambutan hangat menerima kedatangannya.

Seorang asisten rumah tangga menghampiri Andreas dengan sopan dan senyum ramah. Ia menyapa.

"Selamat datang, Tuan Muda."

Rumah itu memang akan selalu menerima dirinya dengan tangan terbuka. Rumah itu memang selalu menjadi tempat ternyaman untuknya selama bertahun-tahun yang lalu—tentunya sekarang berbeda setelah ia memiliki rumah sendiri, berikut dengan nyonya rumahnya.

"Apa Oma ada?"

Sang asisten rumah tangga mengangguk. "Ada."

Jawaban itu sudah cukup menjadi alasan untuk Andreas kembali melangkah. Ia masuk dan langsung berseru.

"Oma!"

Ningsih mengembangkan kedua tangan dan menerima pelukan hangat Andreas.

*

"Apa? Andreas ke rumah?"

Bukan awal percakapan yang ingin didengar oleh Jonas setelah rapat yang menguras otak dan kesabaran. Ada begitu banyak keluhan yang harus ditenangkan. Alhasil tak heran bila mendapatinya syok dengan perkataan Laksmi.

"Benar, Jon. Andreas datang ke rumah dan ia pergi sekitar setengah jam yang lalu."

Jonas melirik sekilas pada sang sekretaris—Alandra Dwi Pangestu. Ia berikan sedikit isyarat dan Alan pun beranjak keluar dari ruang kerjanya.

"Mengapa dia ke rumah? Apa dia melakukan sesuatu pada Mama?"

Samar, Jonas bisa mendengar tarikan napas panjang Laksmi di seberang sana. Ketegangan hadir dan untungnya jawaban Laksmi tidak seperti bayangan buruk yang sempat melintas di benaknya.

"Dia tidak melakukan sesuatu pada Mama."

Sayangnya ada sedikit keraguan yang Jonas tangkap dari suara Laksmi.

"Jadi mengapa dia datang ke rumah?" tanya Jonas lagi. Seberkas kerutan hadir di dahinya. "Dia tidak mungkin mendatangi Mama kalau tidak memiliki tujuan. Apa yang dia katakan?"

"Sebenarnya dia datang untuk mengundang kita makan malam di rumahnya."

"Mengundang kita makan malam di rumahnya?"

"Ya. Mama juta tidak tahu apa maksudnya mengundang kita, tapi yang pasti adalah dia mengundang semua orang."

Semua orang?

"Dia juga mengundang keluarganya dan Oma."

Jonas membeku, tapi ia berusaha menahan diri.

Berani-beraninya dia mengancam Mama. Dasar pengecut!

Tak bisa dihindari, emosi Jonas tersulut. Tangan terkepal dan ia menyadari bahwa tanpa hadir secara langsung pun Andreas dengan berani memperovokasinya.

"Mama tak perlu khawatir. Itu hanya sekadar permainan Andreas. Dia tidak akan berani mengusik kita."

"Lalu bagaimana dengan undangan itu? Apakah kita datang atau tidak?"

Ada beberapa kemungkinan memenuhi benak Jonas berkenaan dengan undangan makan malam Andreas, terlebih ketika ia mengetahui siapa saja yang diundang. Tak pelak, ia yakin bahwa Andreas tengah memberikan satu peringatan tersirat.

Andreas ingin memamerkan status.

Itu adalah pemikiran yang paling masuk akal. Andreas memanfaatkan satu-satunya hal yang tidak akan bisa dimiliki oleh Jonas. Yaitu, pengakuan keluaraga Cakrawinata.

Alhasil tak aneh bila Jonas berpikir bahwa saat itu Andreas tengah memperingati mereka. Dengan kata lain Andreas ingin mengatakan bahwa 'Kalian harus tahu diri dan aku tak keberatan sama sekali untuk membantu'.

Tidak. Andreas bukan hanya sedang memperingatkan aku dan Mama, tapi juga Papa.

Pemikiran Jonas didukung oleh kenyataan bahwa Andreas turut mengundang Ningsih. Sedikit ragu apakah Ningsih akan datang, tapi ia tak akan lupa perang dingin yang terjadi antara Ningsih dan Birawa. Mereka tidak pernah berada di tempat yang sama untuk bertahun-tahun lamanya. Lantas apakah undangan makan malam Andreas bisa menjadi momen di mana mereka kembali berbicara satu sama lain?

Bisa jadi, tapi keraguan Jonas lebih besar. Ia jelas tahu bagaimana tegangnya hubungan Ningsih dan Birawa. Rasa-rasanya semua tak akan berakhir hanya dengan sekali makan malam bersama. Di mata Ningsih, kesalahan Birawa sangatlah besar.

Ironisnya adalah Birawa pun tak bisa benar-benar menjadi anak durhaka. Itulah satu-satunya hal yang membuat Jonas menuding Birawa di dalam hatinya.

Semua orang tahu siapa yang Birawa cintai, hanya Laksmi. Namun, ia tak bisa benar-benar meninggalkan Ashmita. Alasannya? Tentu saja karena ia tak ingin kehilangan semua keberkahan Cakrawinata.

Jonas merasa kasihan pada Laksmi. Sang ibu harus menghabiskan tahun-tahun dalam cinta yang tak bisa ia tunjukkan pada dunia. Pun harus rela bila tudingan dan hujatan menyapa.

Sungguh tak terbayangkan betapa beratnya derita yang harus Laksmi tanggung selama ini. Ia mungkin bisa berbelanja dan pergi liburan ke mana pun sesuka hati, tapi cap sebagai wanita simpanan tak akan pernah hilang darinya.

Dulu Jonas kecil tak mengerti apa-apa. Ia hanya tahu bahwa mereka adalah keluarga yang bahagia. Lagi pula Birawa memang lebih menyayanginya ketimbang Andreas.

Birawa menghabiskan waktu lebih banyak untuk bersama Jonas. Ia selalu memastikan Jonas mendapatkan limpahan kasih sayang seorang ayah. Namun, waktu yang terus berputar menyadarkan Jonas akan sesuatu. Bahwa setiap perhatian Birawa adalah pengganti untuk sesuatu yang tak akan pernah menjadi takdirnya.

Darah Cakrawinata mengalir di pembuluh darah Jonas. Ia adalah anak kandung Birawa. Sayangnya tidak ada seorang pun yang mengakuinya sebagai pewaris pertama.

Jonas merasa rendah. Terkadang ia menyalahkan Laksmi. Seandainya Laksmi bukan selingkuhan, ini semua tidak akan terjadi.

Hina dalam gemilang harta. Terpuruk dalam fakta. Semua yang Jonas lakukan sedari dulu tak akan pernah dianggap ada.

Tak peduli betapa hebatnya pencapaian Jonas, semua tak berarti. Ia akan selalu dipandang sebelah mata.

Semua karena Andreas dan mamanya. Seharusnya mereka tak pernah ada.

Kesabaran Jonas telah terkikis. Ia tak ingin selamanya bersembunyi. Persetan dengan predikat anak selingkuhan. Lagi pula Birawa akan mendukungnya mati-matian.

Pada akhirnya Jonas mendapatkan kesempatan untuk unjuk gigi. Ia buktikan bahwa dirinya memiliki kemampuan. Diawali oleh keberhasilannya mengambil alih Wisnutex di usia yang terbilang muda.

Tahun berganti. Keberuntungan agaknya berpihak pada Jonas. Ketika Ningsih melemah karena gangguan kesehatan, Birawa pun mengambil tampuk kepemimpinan.

Jalan Jonas semakin terbuka lebar walau ia belum sepenuhnya tenang. Setidaknya undangan makan malam yang didapat menyadarkannya bahwa Andreas tidak akan diam saja.

"Tentu saja kita harus pergi, Ma."

Jonas tidak akan membiarkan Andreas mengira bahwa mereka bisa diintimidasi. Ia harus menunjukkan pada Andreas kalau status sosialnya tak berdampak apa pun.

"Baiklah kalau itu keputusanmu, Jon."

Percakapan Jonas dan Laksmi berakhir sesaat kemudian. Sayangnya gejolak di dada Jonas belum juga tuntas.

"Jadi sekarang Andreas sudah mulai berani mengusik Mama. Dengan terang-terangan seperti ini?"

Jonas mendengkus kasar. Matanya liar menatap sekeliling tanpa tentu arah.

"Kau memang cari masalah, Reas. Sekarang aku tak akan segan lagi. Aku akan memastikan kau benar-benar terbuang."

Bukan sekadar niat kosong belaka. Jonas menjanjikan hal itu dengan penuh tekad. Ia akan merebut semua milik Andreas, tanpa terkecuali.

Ketukan di pintu membuyarkan pikiran Jonas. Ia berpaling dan mendapati Alan kembali masuk.

Dari percakapan dengan Laksmi dan sekarang pembicaraan dengan Alan. Jonas menahan napas mendengar penjelasan Alan, sesuatu yang paling tidak ingin didengarnya hari itu.

"Para pemegang saham masih mendesak untuk melakukan rapat umum pemegang saham luar biasa, Pak."

Sepertinya kesabaran Jonas benar-benar diuji hari itu. Dari rapat yang tak berjalan lancar, undangan Andreas, dan sekarang desas-desus dari para pemegang saham.

"Dasar orang tua sialan."

Namun, semua itu tak lebih penting ketimbang mengantisipasi semua tindakan Andreas. Di mata Jonas, itulah prioritasnya.

Persetan dengan RUPS luar biasa. Aku harus mencari tahu apa yang direncanakan Andreas.

*

"Kau memang anak nakal, Reas."

Andreas tertawa terbahak-bahak sementara Ningsih memukul-mukul tangannya dengan geli.

"Oh, seharusnya Oma melihat wajah Papa dan semua orang. Mereka persis seperti orang yang tidak makan tiga hari. Semuanya pucat. Apalagi Vian ketika aku menyinggung soal perjodohannya."

Ningsih terkekeh. Sekilas, ia mengusap basah di matanya sebelum lanjut bicara.

"Kau adalah kakak yang keterlaluan, Reas. Mentang-mentang kau sudah menikah, jadi sekarang kau mengerjai Vian."

"Aku bukan sekadar mengerjai Vian," ujar Andreas di sela-sela tawanya yang perlahan memudar. "Bukankah memang begitu kenyataannya? Aku sudah menikah. Jadi pernikahan Vian hanya tinggal menunggu waktu bukan?"

Kekehan Ningsih turut memudar. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengangguk.

"Kau benar."

Sepertinya ini adalah waktu tepat untuk beralih topik. Tinggalkan sejenak pembicaraan menggelikan soal undangan makan malam. Sekarang ada sesuatu yang lebih penting dari itu.

"Jadi apa Oma sudah memilih calon untuk Vian?"

Andreas bertanya dengan hati-hati. Ia tahu perjodohan dan pernikahan adalah hal sensitif. Terlebih lagi karena Vian yang menjadi tokoh utamanya.

Vian adalah satu-satunya cucu perempuan yang dimiliki Ningsih. Ia tak ubah berlian yang pasti akan dijaga mati-matian. Jadi tentu saja Ningsih akan memilih calon suaminya dengan penuh pertimbangan.

"Vian pasti tidak akan menolak pilihan Oma, tapi aku penasaran. Apa aku boleh tahu siapa yang Oma pilih?"

Andreas menunggu. Ia yakin Ningsih pasti akan memberikan yang terbaik untuk Vian, tapi ia harus tahu. Sebagai seorang kakak, ia harus tahu siapa pria yang akan menjadi pendamping adiknya.

"Oma tahu apa yang kau pikirkan, Reas."

Tak menjawab pertanyaan Andreas, Ningsih berpaling. Ia mengulas seuntai senyum yang tak mampu diartikan Andreas.

"Kau tak perlu khawatir. Oma yakin perjodohan ini akan menyenangkan Vian," ujar Ningsih enteng. Ia tampak begitu yakin. "Jadi Oma harap kau tak perlu membayangkan pernikahan Vian akan berakhir seperti pernikahan orang tuamu. Lagi pula yang terjadi pada papa dan mamamu tidak sepenuhnya kesalahan karena perjodohan. Mereka dulu pernah bahagia. Pernah. Kau bisa tanyakan pada semua orang. Lalu semua berubah."

Memang. Andreas pernah mendengar ceritanya. Menurut kabar yang beredar, Ashmita dan Birawa dulu adalah sepasang suami istri yang saling mencintai. Persis seperti yang dikatakan Ningsih, mereka pernah bahagia. Mereka pernah mencintai satu sama lain. Lantas semua berubah ketika godaan datang.

"Papamu yang tidak bisa menahan diri dari godaan. Jadi salahkan papamu. Dia adalah pria yang tak tahu malu."

Bila mengingat masa itu, panas di dada Ningsih serasa membara lagi. Bagaimana tidak? Ia harus menghadapi kemarahan keluarga Ashmita dan karena itu adalah pernikahan bisnis, tentu ada banyak hal yang menjadi taruhan.

"Entah Oma harus merasa beruntung atau sebaliknya. Di satu sisi Oma marah karena Ashmita masih mempertahankan pernikahan mereka, tapi di satu sisi Oma merasa bersyukur karena mereka tidak berpisah."

Andreas diam saja karena sejujurnya ia pun heran mengapa Ashmita tidak memilih bercerai. Terlepas dari rasa bersalah yang pasti akan ditanggung sepanjang umur—perceraian itu pasti akan mengguncang grup Cakrawinata, seharusnya Ashmita lebih memikirkan dirinya sendiri.

Rasanya menyesakkan untuk Andreas. Ashmita merelakan hidupnya terkungkung dalam pernikahan yang sama sekali tidak membahagiakan. Apakah itu sepadan? Hanya karena Ashmita tak kunjung hamil maka kehidupannya berubah menjadi neraka.

Persis seperti yang sering orang-orang katakan. Anak adalah kunci pernikahan. Andreas tahu bahwa kebahagiaan Ashmita berakhir ketika ia tak kunjung hadir di dunia. Seandainya ia lahir lebih cepat maka Birawa tak mungkin tergoda wanita lain.

"Oma tahu ada seorang pria yang menarik perhatian Vian sejak dulu."

Suara Ningsih membuyarkan semua pemikiran Andreas. Ia kembali pada kenyataan dan mengerjap sekali.

"Apa, Oma? Vian menyukai seseorang?" tanya Andreas tak yakin. "Aku tidak tahu itu."

Ningsih berdecak. "Kau terlalu sibuk berkencan dengan banyak wanita. Bagaimana kau bisa tahu kalau Vian menyukai seseorang?

Ah! Masuk akal. Andreas menyeringai.

"Dia adalah pria yang memenuhi kriteria, tapi Oma harus tetap menjaga pandangan orang. Kau tahu bukan? Banyak yang ingin menjodohkan putranya dengan Vian."

Andreas tidak heran. Vian adalah berlian yang sesungguhnya. Cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat. Kehidupan dan pergaulannya terjaga. Jadi siapa yang tak ingin menjadikannya menantu?

"Untuk itu Oma sudah memutuskan tiga calon. Vian akan memilih dan setidaknya di mata orang-orang, itu adalah langkah yang adil."

Andreas geleng-geleng melihat senyum licik Ningsih. Ia merasa kasihan pada dua orang calon yang hanya akan dijadikan bidak kepura-puraan. Bagaimanapun juga pilihan telah ditetapkan sedari awal.

"Aku tahu Oma pasti akan melakukan apa pun untuk Vian."

"Tentu saja. Dia adalah cucu perempuan Oma satu-satunya," ujar Ningsih dengan wajah berseri-seri. "Oma akan memberikan semua untuknya. Termasuk pria itu kalau dia benar-benar menyukainya."

Andreas menangkap satu kata yang menarik dari ucapan Ningsih. "Kalau?"

"Kalau."

Ningsih menarik napas. Wajahnya tampak berubah walau tak lama. Sesaat kemudian ia berkata.

"Kami memiliki mata yang sama."

Itu adalah hal aneh yang telah diketahui Andreas sedari dulu. Semua yang disukai Vian pasti disukai pula oleh Ningsih. Mereka melihat dengan cara yang sama dan menyukai hal yang sama pula.

"Apa Oma tidak menyukai pria itu?"

Ningsih menggeleng. "Mustahil Oma tidak menyukainya. Dia adalah pria yang baik dan terpelajar. Oma mengenalnya secara pribadi, tapi ...."

Ucapan menggantung Ningsih memberikan sinyal tersendiri untuk Andreas. Ada keragu-raguan, tapi Ningsih pun tak yakin mengapa ia bimbang.

"Sudahlah. Kita bahas soal perjodohan Vian lain waktu saja. Sekarang lebih baik kita membicarakan soal kau dan Vlora."

"Aku dan Vlora?"

Anggukan Ningsih membuat Andreas mendeham sesaat. Lalu ia meraih tangan Ningsih dan bertanya.

"Berbicara soal aku dan Vlora, sebenarnya aku penasaran sesuatu, Oma. Mengapa Oma tidak mencarikan jodoh untukku? Mengapa Oma membiarkan Papa menjodohkanku dengan Nadine?"

Terlepas dari Vian adalah cucu perempuan satu-satunya, rasanya aneh bukan melihat Ningsih tidak ambil pusing mengenai calon pendamping Andreas? Ia benar-benar lepas tangan sehingga Birawa bisa dengan leluasa mengatur perjodohan Andreas dengan Nadine.

"Mencarikanmu jodoh? Dengan sifatmu itu?"

Dengkusan Ningsih membuat Andreas sontak tertawa.

"Oma tak akan membuang-buang waktu untuk hal percuma. Kau susah diatur walau terlihat santai dan lagi pula Oma tahu kau bisa menemukan calon istrimu sendiri," lanjut Ningsih seraya melirik Andreas. Sekarang ekspresinya tampak teduh. "Oma menyukai Vlora."

"Oma."

Andreas memeluk Ningsih. Lantas ia berbisik.

"Percayalah. Aku lebih menyukainya lagi."

Tawa Ningsih meledak seiring dengan pukulannya yang melayang pada tangan Andreas.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top