23. Antisipasi

Nyaris tengah malam. Pembicaraan antara Andreas dan Frans baru saja berakhir. Semua map telah dirapikan oleh Frans, lalu Andreas menyimpannya di laci meja kerja.

"Terima kasih banyak untuk malam ini, Frans."

Frans mengemas barangnya dengan ringkas. "Sama-sama, Pak. Saya permisi."

Sesaat kemudian hanya Andreas yang berada di ruang kerja itu. Tak langsung keluar dari sana, nyatanya ia memutuskan untuk tetap tinggal sejenak.

Di luar ruang kerja Andreas, nyatanya Frans tidak langsung pergi. Ia bergeming dengan mata yang mengitari keadaan sekeliling. Mengamati sesaat, ia baru beranjak setelah semenit berlalu.

Frans menuruni tiap anak tangga dalam keheningan. Sunyi, ia tak menemukan siapa pun sepanjang mata memandang. Benar-benar sepi.

Sulit untuk ditampik. Frans merasa ada kesan aneh yang mengikuti tiap langkahnya. Seolah ada yang memerhatikannya. Seperti ada yang mengawasinya.

Frans tertegun. Mungkin perasaan itu tidak berhubungan dengan adanya orang yang tengah mengamatinya sekarang. Mungkin saja karena seseorang walau orang tersebut tidak berada di sana.

Vlora.

Sekuat apa pun Frans mencoba untuk menampik, tapi ada sesuatu di diri Vlora yang membuatnya berhati-hati. Alarm peringatannya berbunyi dan ia tak bisa mengabaikannya.

Keyakinan itu begitu kuat. Entah dari mana datangnya, tapi Frans merasa Vlora menyimpan sesuatu.

Ada yang berbeda darinya. Apa ini hanya perasaanku saja atau sebaliknya?

Frans menarik napas dalam-dalam. Kembali teringat akan perkenalannya dengan Vlora dan percakapannya dengan Andreas, ia mencoba tenang. Ia yakinkan diri bahwa ia memang memiliki kecenderungan untuk selalu mencurigai orang baru. Persis seperti yang dikatakan oleh Andreas.

Mungkin memang hanya karena aku baru mengenalnya saja. Lagi pula Pak Andreas tidak mungkin sampai keliru memilih istri.

Sayangnya kemungkinan buruk kembali melintas di benak Frans.

Setiap pria selalu memiliki kelemahan. Entah itu harta, tahta, ataupun wanita.

Lantas bagaimana dengan Andreas? Apakah ia memiliki kelemahan bila berhadapan dengan wanita?

Frans tidak ingin mengambil risiko. Tekadnya sudah bulat.

Tak peduli walau Bu Vlora adalah istri Pak Andreas. Tugasku adalah memastikan semua rencana yang kami susun dari awal akan berjalan mulus. Tak boleh ada seorang pun yang mengacaukannya.

Sementara di lantai atas, adalah Vlora yang baru keluar dari ruang kerjanya. Ia melangkah dengan tenang dan memegang railing. Memandang ke bawah, tatapannya tertuju lurus pada Frans yang beranjak pergi. Frans sama sekali tak menyadari keberadaannya di sana.

Vlora mengembuskan napas ketika Frans hilang dari pandangannya. Ekspresinya masih seperti biasa, tak terbaca.

Satu suara menarik perhatian Vlora. Ia memutar tubuh dan mendapati Andreas menghampirinya.

Pandangan mereka bertemu. Tatkala jarak semakin dekat, Andreas mengulurkan tangan dan meraih jemari Vlora.

Vlora mengikuti isyarat. Ia mendekat dan membiarkan Andreas menarik pinggangnya. Seolah mereka telah terpisah ribuan tahun lamanya, Andreas melabuhkan bibir di dahi wanita itu dengan serta merta.

Sekali, Vlora mengerjap. Bukan kejutan, tapi nyatanya perlakuan Andreas lebih dari mampu untuk menyentak jantungnya di dalam sana. Mungkin ia belum benar-benar terbiasa dengan sikap manis Andreas.

Tentu saja. Andreas memang penggoda. Sungguh, ia adalah penggoda yang manis.

Pun berbeda dengan kebanyakan pria penggoda lainnya yang terkadang hanya ingin memetik keuntungan sendiri, Andreas sebaliknya. Ia menggoda seolah ingin memanjakan.

Vlora tahu itu dengan persis. Andreas adalah tipe pria yang memahami bahwa semakin banyak memberi maka semakin banyak pula yang akan diterimanya. Hubungan timbal balik yang logis dan itulah yang terjadi. Tatkala seorang pria memberi sentuhan yang memanjakan, alhasil wanitalah yang pada akhirnya akan benar-benar luluh.

Sejujurnya Vlora menyukai prinsip itu. Tidak egois dan ia menikmatinya.

"Pelan-pelan kau akan terbiasa."

Bisikan Andreas membelai telinga Vlora. Pandangannya turun dan mencoba menerka isi pikiran Vlora, tapi tak terbaca. Lantas ia bertanya.

"Apa kau keberatan?"

Vlora mengangkat wajah dan menggeleng. "Ada banyak hal di hidupku yang lebih memberatkan. Mencoba terbiasa dengan kebiasaanmu bukanlah salah satunya."

Jawaban enteng Vlora menerbitkan senyum Andreas.

"Lagi pula aku memiliki satu prinsip."

Sekarang bukan hanya satu tangan Andreas yang mendarat di pinggang Vlora, melainkan keduanya. Ia kian mengikis jarak yang tak seberapa.

"Katakan padaku."

"Selagi itu tidak merugikanku maka itu adalah hal yang bagus."

Kekaguman Andreas pada Vlora kian bertumpuk dari waktu ke waktu. Untuk itu ia tersadar bahwa ia tak akan mengajak Vlora untuk menghabiskan sisa malam hanya dengan berdiri di sana.

"Kau sudah melihat ruang kerjamu?" tanya Andreas seraya mengajak Vlora beranjak. "Bagaimana?"

"Persis seperti bayanganku. Lengkap dan terstruktur dengan rapi. Terima kasih."

Andreas membuka pintu kamar dan menyilakan Vlora untuk masuk terlebih dahulu.

"Ketika orang-orangku mengambil barang-barangmu, aku sudah menyuruh mereka untuk menyusun semua barangmu di sini sepersis mungkin dengan sebelumnya."

Tak heran. Vlora memang telah menyadarinya.

"Itu mengesankanku."

Setibanya di kamar, Vlora meneruskan langkah ketika Andreas justru memilih untuk duduk di sofa. Ia raih ponsel dan selagi ia memeriksa beberapa pemberitahuan yang masuk, suara Vlora menggema.

"Frans, asisten pribadimu itu, apakah sudah lama bekerja denganmu?"

Andreas menjawab tanpa mengangkat wajah dari layar ponsel. "Kupikir sudah lama. Setidaknya lebih lama ketimbang kau yang bekerja dengan Lucas. Mengapa?"

Vlora keluar dari ruang ganti. Ia telah menukar pakaiannya dengan sehelai gaun tidur berbahan satin. Bahannya yang halus tampak jatuh lebih di tubuhnya. Andreas sontak menyipitkan mata.

Kaki melangkah santai. Kedua tangan terangkat tatkala Vlora menyugar rambut. Ia beranjak ke meja rias, duduk, dan meraih sisir.

"Sepertinya Frans tidak menyukaiku."

Alis mata Andreas naik satu dengan perlahan. "Apa kau bermaksud untuk mengatakan padaku kalau kau berharap ada pria lain yang menyukaimu?"

Vlora melirik melalui pantulan cermin sementara sisir terus bergerak di antara helaian rambutnya. Ia membuang napas sekilas.

"Kau tahu bukan itu maksudku, Reas."

Andreas tersenyum kecil. Tentu saja ia tahu.

"Entah bagaimana aku harus mengatakannya, tapi ia melihatku seperti sedang melihat seorang kriminal."

Senyum kecil Andreas berubah menjadi tawa. Ia bangkit dan menghampiri Vlora. Kedua tangannya mendarat di pundak Vlora.

"Dia memang selalu seperti itu ketika bertemu dengan orang baru. Memang sifatnya yang tidak mudah mempercayai orang lain dan selalu waspada."

Vlora mengerjap. "Aku bukan orang lain bukan?"

"Tentu saja bukan. Kau adalah istriku. Jadi kau tak perlu khawatir. Sikapnya padamu akan berubah seiring waktu."

Andreas harap itu secepatnya karena ia pun tak ingin melihat istri dan asisten pribadinya saling menjaga sikap seperti musuh. Menggelikan.

"Terkadang Frans memang tidak bisa mengontrol rasa curiganya dan sebenarnya itulah alasan mengapa aku memilihnya."

Vlora tak berkomentar, melainkan meletakkan kembali sisir di meja rias.

"Intuisi Frans bagus dan jarang keliru. Lagi pula selama ini ia berhasil membuatku untuk tetap melihat secara objektif."

Vlora bangkit. "Terdengar seperti orang yang berharga untukmu."

Gelak Andreas pecah. Ia tertawa dengan sorot menuduh yang jenaka.

"Apa aku melewatkan sesuatu di sini? Kau dan Frans tidak sedang saling memasang antisipasi demi memperebutkan prioritasku bukan?"

"Apa aku harus mengantisipasi hal itu?"

Pertanyaan balik Vlora tak mendapat respon Andreas. Titik yang menjadi fokus matanya sekarang menghadirkan sedikit gangguan untuk sistem kerja otak. Perhatiannya teralihkan oleh sesuatu yang lebih menarik.

"Reas?"

Suara Vlora menarik kerjapan mata Andreas. Ia mendeham dan teringat pertanyaan yang belum dijawabanya.

"Tidak. Tentu saja tidak," jawab Andreas seraya menarik napas dalam-dalam. Lantas tatapannya kembali pada titik semula. "Jadi kupikir aku juga harus membiasakan diri dengan kebiasaanmu."

Mengiringi ucapannya, adalah sentuhan di lengan polos Vlora yang Andreas berikan. Pergerakannya teratur dalam irama yang lembut.

Pandangan Vlora turun demi memastikan dugaannya tak keliru. Jelas, ia tahu ke mana arah pandang Andreas tertuju.

"Aku harus menerima kebiasaanmu yang memeluk ketika tidur. Kau juga suka bermanja dan memberikan perhatian di tempat umum."

Samar, Andreas mengerutkan dahi. Apa itu kebiasaannya? Ehm mungkin memang begitu karena ia sekarang bahkan tidak bisa mengingat apa-apa tentang dirinya sendiri.

Vlora tampilkan gestur yang tenang, tapi menggoda. Dari caranya menggerakkan bahu, bicara, dan menarik napas, semua menampilkan godaan yang nyata.

"Aku sama sekali tidak keberatan untuk itu semua. Jadi ..."

Wajah terangkat, Vlora menatap Andreas. Ia tersenyum tipis dan jantung Andreas tersentak.

"... apa kau keberatan dengan kebiasaanku yang satu ini?"

Andreas meringis. "Keberatan?"

Yang benar saja! Andreas belum gila untuk keberatan dengan kebiasaan Vlora yang satu ini. Sejujurnya malah ini adalah kebiasaan Vlora yang sangat dinantikannya.

Andreas tak terkejut. Lagi pula ia sudah mengetahui bahwa Vlora adalah tipe wanita yang tidak mengenakan bra ketika akan tidur. Ia sudah pernah membuktikannya dulu.

Ah! Kebiasaan yang benar-benar menyenangkan.

Tangan Andreas naik dan menyentuh sekilas pada satu puting payudara Vlora yang timbul samar dari balik tipisnya kain satin. Tubuh Vlora merespon dan seringainya muncul.

"Kau bercanda?"

"Aku serius," jawab Vlora sembari balas memberikan sentuhan pada lengan Andreas. "Kalau kau keberatan dengan kebiasaanku, mungkin aku bisa mengubahnya."

"Ssst!"

Cepat, Andreas melirik jam dinding. Sudah pukul setengah satu malam. Waktu yang cukup larut dan sepatutnya dipergunakan untuk istirahat. Namun, sepertinya ia belum membutuhkan istirahat sekarang.

"Masih banyak hal lain di dalam pernikahan yang harus diubah. Kebiasaan malammu tentu saja tidak termasuk di dalamnya. Lagi pula aku adalah pria yang cukup dewasa untuk bisa berkompromi dengan kebiasaan istriku."

Mata Vlora menyipit. "Ah! Cukup dewasa."

"Cukup dewasa," ulang Andreas dengan sorot nakal. "Kalau kau bisa menerima kebiasaanku maka aku juga sebaliknya. Jadi aku katakan satu hal padamu."

"Apa itu?"

"Pernikahan adalah seni saling berkompromi dan aku sangat senang berkompromi denganmu, Vlo."

"Kau memang adalah pria yang dewasa, Reas."

Makna tersirat dalam ucapan Vlora membuat Andreas semakin berani. Ia kembali menebar sentuhan dan Vlora menahan napas.

"Aku yakin aku bisa membuktikan kalau aku benar-benar dewasa."

Tuntas mengatakan itu, Andreas menjatuhkan tubuh Vlora dalam gendongannya. Kedua tangan Vlora mengalung pada lehernya dan mereka menuju tempat tidur.

Ada aroma wangi khas bunga mawar yang menyambut. Begitu pula dengan helaian kelopaknya.

Perlahan, Andreas merebahkan tubuh Vlora. Mereka saling menatap dan dengan penuh kesengajaan, Vlora menekuk satu kakinya. Ia ciptakan posisi sensual untuk menunggu sentuhan Andreas selanjutnya.

Adalah mulut Andreas yang lantas membuka petualangan gairah malam itu. Ia mengulum puting payudara Vlora dan meninggalkan basah di gaun tidurnya. Lantas Vlora pun mendesah.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top