21. Langkah

"Kau sungguh tidak ingin mengambil cutimu, Vlo?"

Satu pertanyaan Lucas lontarkan seraya membuka map di hadapannya. Ia meraih pena dan mencoretkan tanda tangan di sana. Tanpa melihat pada sang sekretaris, ia kembali berkata dengan kesan santai dan datar.

"Kau bisa mengambilnya. Mungkin seminggu atau dua minggu."

Lucas menutup map dan menyerahkannya kembali pada Vlora. Vlora menerimanya sembali menjawab dengan sopan.

"Tidak perlu, Pak. Saya yakin saya baik-baik saja."

Lucas meringis tertahan. "Aku tahu kau akan baik-baik saja. Yang aku khawatirkan tidak baik-baik saja adalah Andreas."

Vlora mengerjap dan berusaha mencegah rasa panas menjalari pipinya. Oh, sial! Semoga saja ia tidak merona. Sulit, tapi ia berusaha agar tidak tersipu karena memikirkan maksud tersembunyi dari perkataan Lucas.

Lucas membuang napas panjang sembari menggeleng berulang kali. Lalu tangannya melambai sekali.

"Sudahlah. Kau boleh keluar."

Vlora mengangguk. "Baik, Pak."

Keluar dari ruangan Lucas adalah kelegaan untuk Vlora. Ia segera menuju mejanya dan duduk.

Tak langsung melanjutkan pekerjaan, nyatanya Vlora termenung untuk beberapa saat. Padahal saat itu komputer menyala dan ada kontrak kerja sama yang harus ia teliti. Sayang tatapannya malah berubah kosong untuk beberapa menit.

Tangan Vlora naik dan mendarat di tengkuk. Ia mengusap beberapa kali hanya untuk mendamaikan sejenak letik yang masih tertinggal.

Sungguh! Vlora menyadari tubuhnya yang tidak sepenuhnya bugar hari itu. Terkesan letih dan lelah, ia pun berulang kali menguap tanpa bisa dicegah.

Bayangan cuti melambai. Persis seperti godaan Andreas ataupun tawaran Lucas. Rasanya menggiurkan, tapi juga mengerikan.

Vlora bergidik. Walaupun ia merasa amat lelah, tapi mengajukan cuti dadakan dengan alasan masih dalam suasana pengantin baru bukanlah tipenya. Ia adalah wanita yang terorganisir dan hanya menjalankan kehidupan berdasarkan rencana dan jadwal yang telah disusun. Untuk itu cuti pun harus menunggu giliran beberapa bulan ke depan.

Ternyata pernikahan memang menuntut beberapa perubahan.

Kesimpulan Vlora mendapatkan bukti di sore harinya. Andreas benar-benar menjemputnya seperti yang dijanjikan.

Itu bukan berarti Vlora meragukan perkataan Andreas. Hanya saja ia tak pernah menjadi sorotan beberapa pasang mata ketika disambut Andreas tepat di pelataran kantor.

Andreas tersenyum sementara Vlora sedikit canggung. Mau bagaimana lagi? Mereka memang memiliki sifat yang berbeda. Andreas yang kerap menjadi pusat perhatian sementara Vlora sebaliknya.

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini? Lancar?"

Pertanyaan Andreas membuka percakapan pada perjalanan pulang itu. Berbeda dengan pagi di mana ia disopiri oleh Marwan maka sekarang ia dengan senang hati menyetir sementara Vlora duduk santai di sebelahnya.

"Semua lancar seperti biasa."

"Aku bisa melihatnya," tanggap Andreas seraya melirik tatkala Vlora menguap. Ia tersenyum kecil. "Jadi kau tetap tidak ingin mengambil cutimu, Sayang?"

Spontan, Vlora menoleh. "Cuti? Oh, Tuhan. Jangan katakan padaku kalau kau menghubungi Pak Lucas, Reas. Kau tidak menyuruhnya agar mendesakku mengambil cuti bukan?"

"Tidak bisa dikatakan menyuruh sebenarnya."

Vlora melotot. "Kau? Sungguh?"

Tawa Andreas pecah. Vlora semakin melotot.

"Maafkan aku. Tadi aku hanya meneleponnya sebentar dan ya—tunggu!"

Sesuatu melintas di benak Andreas bertepatan dengan lampu lalu lintas yang berubah merah. Ia menoleh pula pada Vlora.

"Lucas memang adalah bosmu di kantor secara harfiah, tapi ketika di luar jam kerja kau dan dia memiliki posisi yang sama. Kupikir kau tak perlu memanggilnya 'bapak' terus-menerus."

Vlora menyadarinya. Pria yang menikahinya tercatat teman dekat Lucas. Apa masuk akal baginya untuk tetap memanggil 'bapak' pada Lucas? Sayangnya kesopanan yang terbentuk dua tahunan itu tak mampu hilang begitu saja.

"Sudahlah, Reas," desah Vlora malas. "Kau tak perlu memindahkan topik pembicaraan dan aku pun tidak ingin membahas soal cuti lagi."

Andreas semakin tertawa. "Kau memang harus membiasakan diri dengan sifatku."

"Sama sebaliknya. Kuharap kau juga bisa membiasakan diri dengan sifatku. Tidak ada cuti sampai tiba waktu yang telah kita tetapkan. Itu tidak akan berubah. Jadi jangan berharap."

Tawa Andreas berubah jadi senyuman. Persis seperti dugaan Vlora, ia mengangguk dan berkata.

"Tentu saja. Aku terima keputusanmu. Bagaimanapun itulah seni dalam berumah tangga. Kita berdebat dan berkompromi."

Vlora tak menanggapi. Ia hanya menatap Andreas tepat sebelum akhirnya sang suami kembali melajukan mobil. Perjalanan pulang kembali berjalan.

"Ah, aku ingin memberi tahu sesuatu padamu. Malam nanti aku akan mengenalkanmu dengan Frans."

"Siapa Frans?"

Nama itu terdengar asing di telinga Vlora. Sekilas berpikir, ia yakin bahwa tak pernah mendengar nama itu sebelumnya selama berkutat di sekitar Lucas.

"Asisten pribadiku."

Vlora melirih singkat. "Oh! Aku tak tahu kalau pengangguran sepertimu memiliki asisten pribadi."

Andreas terpingkal. Refleks, ia memukul kemudi seraya geleng-geleng.

"Kau benar-benar keterlaluan, Vlo," ujar Andreas di antara gelak. "Tak ada aturan yang melarang pengangguran untuk punya asisten pribadi. Lagi pula selama aku sibuk menghindari perjodohanku dengan Nadine, dia yang mengurus semua hal yang berkaitan dengan pekerjaanku."

Senyum simpul terbit di sudut bibir Vlora. Andreas melihatnya dan bersiap.

"Pekerjaanmu?"

Sial! Andreas kembali tertawa terbahak-bahak hanya berkat satu kata. Sindiran itu terasa menggelikan, tapi anehnya ia tidak merasa tersindir sama sekali.

"Selama ini aku memang hidup karena saham dan beberapa properti yang aku miliki. Aku memang terlihat seperti tidak ada pekerjaan dan seperti yang ketahui, sehari-hari aku memang hanya berkeliaran tidak tentu arah."

Vlora sedikit menggeser posisi duduknya. Samar, ia mencondongkan tubuh ke Andreas. "Oh. Aku pikir kau benar-benar pengangguran sejati, Reas."

"Seharusnya kau bersyukur karena aku adalah pengangguran. Kalau aku tidak menganggur, mungkin kita tidak akan pernah bertemu. Justru kita bertemu karena aku menganggur."

"Tentu saja aku bersyukur. Takdir bisa mempertemukan kita karena kau adalah seorang pengangguran. Ehm sepertinya hanya aku istri di dunia ini yang bersyukur karena suaminya adalah pengangguran."

Oh, Tuhan! Andreas yakin bahwa ia tak akan pernah merasa bosan lagi selama hidupnya. Vlora memberikan warna yang berbeda bahkan untuk percakapan ringan seperti ini.

Sindiran demi sindiran yang Vlora katakan pada Andreas adalah hiburan tersendiri. Aneh bukan? Entah sejak kapan sindiran bisa menjadi begitu menyenangkan.

Andreas menyadarinya. Hanya Vlora yang bisa melakukannya.

"Sebelum aku menganggur, ehm mungkin sekitar tiga tahun yang lalu, Progun dipercayakan padaku."

Tawa Andreas menghilang sesaat kemudian. Ekspresi wajahnya berubah ketika menyinggung perusahaan terbesar keluarga Cakrawinata.

"Progun? Perusahaan rumah tangga yang sekarang dipegang oleh Jonas?"

Andreas mengangguk. "Hanya ada satu Progun di Indonesia dan sekarang ya! Memang Jonas yang memegangnya."

Ada jeda sejenak. Andreas menarik napas dengan tatapan yang berubah. Ia seolah terlempar ke masa lalu di mana semua masih dalam kendali.

"Saat itu Oma masih berkuasa penuh dan aku bisa dengan mulus memimpin Progun. Sayangnya kesehatan Oma menurun dan para pemegang saham meminta peralihan demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Jadi Papa maju sebagai presiden direktur dengan beberapa syarat," terang Andreas seraya melihat Vlora. "Yaitu, tidak menceraikan Mama."

Vlora diam. Ia memilih untuk tidak berkomentar dan siap menjadi pendengar yang baik.

"Tentunya itu bukan syarat demi kepentingan pribadi Mama, melainkan untuk kepentingan semua orang. Kau tahu? Keluarga Mama memiliki hubungan erat dengan keluarga Hardiyata, pengusaha batu bara terbesar di Indonesia. Ada beberapa hal yang bisa terjadi kalau Papa menceraikan Mama. Dukungan Hardiyata akan berpindah ke keluarga Hartigan dan kalau sampai itu terjadi, Progun pasti tidak akan berkutik di bawah Lostic."

Vlora mengangguk dan memahami dengan baik uraian Andreas. "Progun dan Lostic selama ini terus bersaing."

"Memang," angguk Andreas membenarkan perkataan Vlora. "Lalu inilah yang terjadi. Papa memanfaatkan kedudukannya untuk mendepakku dari Progun dan membiarkan Jonas yang memegangnya. Papa sudah tak lagi peduli dengan tanggapan orang-orang akan perselingkuhannya dan melakukan semua untuk keluarga yang dicintainya."

Kali ini Vlora memilih untuk tidak berkomentar. Pembicaraan berubah menjadi lebih sensitif.

"Jadi begitulah ceritanya. Cukup menarik bukan?"

Geli tersirat di suara Andreas. Sorot matanya pun memancarkan kelucuan. Ia menceritakan semuanya dengan santai dan layaknya itu adalah hal remeh.

"Kau baik-baik saja?"

Senyum di wajah Andreas tampak berbeda, tapi ia mengangguk. "Mungkin ini adalah salah satu hal baik lainnya dari pernikahan. Ada orang yang menanyakan keadaanku dan tentu, aku baik-baik saja. Lagi pula aku yakin sesuatu. Apa pun yang memang ditakdirkan untukku, pasti akan kembali padaku suatu saat nanti. Cepat atau lambat. Semua hanya masalah waktu."

Kepercayaan diri Andreas adalah salah satu hal yang diam-diam dikagumi Vlora. Di matanya, Andreas memang memiliki tekad kuat atau bisa saja pria itu memang mengetahui potensi dirinya.

Vlora menyukai aura positif itu. Pun kalau ia menoleh ke belakang ketika Andreas mendekatinya maka rasa percaya diri dan tekad itu sudah tampak di permukaan.

Semua itu menyadarkan Vlora bahwa Andreas tidak hanya percaya diri dan bertekad kuat untuk urusan wanita. Andreas tahu jelas apa yang menjadi prioritasnya.

Hal tersebut nyaris terlewatkan oleh Vlora. Ketika pertama kali mengenal Andreas, semula ia mengira bahwa Andreas hanyalah seorang pria urakan yang cuma tahu cara bersenang-senang. Sekilas ia akan melabeli Andreas sebagai pria manja yang hanya tahu soal wanita. Namun, semua tampak begitu berbeda ketika Andreas mulai membahas pekerjaan.

"Sebenarnya Progun tidak terlalu buruk di bawah kepemimpinan Jonas selama tiga tahun ini, tapi bukan berarti memenuhi ekspektasi para pemegang saham. Kalau mau ditelaah, laju penjualan beberapa produk tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Beberapa kompetitor memanfaatkan situasi dengan amat baik. Tak sedikit produk Progun yang tersaingi, seperti ilax, wonder, bahkan unsect. Padahal unsect adalah produk andalan Progun."

Tidak sampai di sana. Tak hanya menyinggung Progun dan nama Jonas, sesaat kemudian Andreas membawa nama lainnya.

"Papa jelas tahu kalau aku ingin memanfaatkan keadaan Progun dan itulah alasan mengapa aku dijodohkan dengan Nadine. Aku menolak perjodohan itu bukan hanya karena aku tidak menyukainya, tapi karena aku tahu itu adalah usaha Papa untuk membuatku semakin menjauh dari Progun."

Sesuatu membuat Vlora tertarik. "Apa yang Papamu tawarkan?"

"Perusahaan Wisnutex."

Vlora mengerjap dengan dahi mengerut. Ia meneguk ludah dan bertanya seraya memastikan.

"Wisnutex?"

"Ya," angguk Andreas. "Wisnutex adalah perusahaan tekstil yang baru saja berdiri beberapa tahun. Delapan, sembilan, atau mungkin dua belas tahun. Jadi kau bisa menebak bukan ujung pernikahanku dan Nadine?"

Vlora tak akan menampik bahwa ia mencari tahu tentang Nadine setelah pertemuan tak menyenangkan mereka. Setidaknya ia tahu keluarga Nadine dan beberapa hal lainnya, termasuk perusahaan keluarga mereka.

"Merger."

Benang merahnya terlihat. Vlora ingat bahwa keluarga Haryono memiliki satu perusahaan tekstil bernama Djaja Textile.

"Sebenarnya merger itu tidak terlalu buruk. Djaja Textile adalah perusahaan besar dan sudah lama berdiri."

"Lalu mengapa kau tidak menerimanya? Itu tawaran yang menggiurkan."

Jari telunjuk Andreas mengetuk kemudi dengan penuh irama. Entah mengapa ia sekarang merasa bahwa jalanan macet bukanlah hal yang menjemukan.

"Ada beberapa alasan. Yang pertama adalah ketika merger itu terjadi maka aku tidak akan benar-benar memegang kendali di sana. Istilahnya adalah aku memiliki sesuatu, tapi aku tidak bisa melakukan semuanya sesuai kemauanku. Ehm, aku tidak suka dikendalikan."

"Kau memang seperti itu."

"Yang kedua adalah karena aku yakin Wisnutex bisa berdiri sendiri. Itu hanya akal-akalan Papa untuk mengusirku secara halus," lanjut Andreas tersenyum geli. Ia tak pernah mengira bahwa Birawa bisa-bisanya berpikir untuk membujuknya dengan Wisnutex. "Alasan yang ketiga tentu saja karena targetku adalah Progun."

Kemudi berbelok. Mobil memasuki satu kawasan perumahan elite. Sayangnya kemewahan gerbang dan portal keamanan perumahan itu tak mampu menarik perhatian Vlora. Ia lebih berminat pada pembicaraan mereka.

"Aku adalah bajingan serakah, Vlo. Lagi pula aku menginginkan apa yang menjadi takdirku, salah satunya adalah Progun. Jangkauan pasarnya sangat luas untuk aku ikhlaskan begitu saja pada Jonas."

Perusahaan berbasiskan kebutuhan rumah tangga memang akan selalu menggiurkan. Alhasil bukan hal aneh bila Andreas dan Jonas bersaing untuk memperebutkannya.

"Oleh karena itu, Sayang. Mulai malam ini mungkin suami pengangguranmu akan sedikit sibuk."

Mobil melewati gerbang mewah lainnya. Ia terus melaju hingga Andreas menghentikannya di depan pelataran rumah.

Andreas melepaskan sabuk pengaman dan mendapati dengkusan geli Vlora.

"Itu sepertinya kabar baik untukku," ujar Vlora seraya memutar bola mata. Ia turut melepaskan sabuk pengaman. "Aku bisa memanfaatkan istirahat yang nyaman sementara kau sibuk."

Mata Andreas menyipit dengan sorot jahil. Ia menangkap dengan jelas makna tersembunyi di balik perkataan Vlora.

Andreas mencondongkan tubuh ke arah Vlora. Ia menatap Vlora dan menyeringai penuh arti.

"Jangan berharap terlalu banyak, Nyonya Cakrawinata," balas Andreas menggoda. "Aku selalu bisa mengejutkanmu."

Oh! Vlora tahu itu dengan pasti.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top