20. Pembaharuan

Ketika tubuh mereka berbaring di sofa, Andreas dengan serta merta mendesak. Memanfaatkan tubuhnya yang lebih besar, ia menindih Vlora. Ia menghimpitnya. Ia menekannya. Ia biarkan Vlora mendesah dan gelisah dengan sensasi bobot yang dimilikinya.

Andreas melumat bibir Vlora tanpa ampun. Ia mencecap berulang kali dan kemudian memanggut. Tentunya ia tak lupa memberikan satu gigitan sebelum berpindah untuk menyelusuri rahang Vlora.

Napas mulai kacau. Vlora terengah-engah. Kerja paru-parunya mulai terganggu ketika cumbuan Andreas terasa makin bernafsu.

Bibir Andreas memberikan jejak kehangatan di kulit wajah Vlora. Kecupan yang menggoda. Jilatan yang basah. Ditambah pula dengan remasan intens di payudaranya yang membuat ia semakin mendamba.

Sungguh membuat Vlora mabuk. Ia merasa tengah melayang-layang di atas awan.

Andreas menggigit daun telinga Vlora. Ia melumat dan mata Vlora menutup. Desahan Vlora mengalun, menikmatinya.

Bibir Andreas kembali menjelajah. Kecupan-kecupan basahnya kembali menyebar di sepanjang kulit Vlora. Sementara di bawah sana, dengan penuh kesengajaan untuk menggoda, ia mendesakkan kejantanannya yang telah mengeras ke bagian intim Vlora.

Andreas menarik turun pundak gaun Vlora. Ia tak mampu menahan diri dan tangannya seketika langsung mendorong payudara Vlora sehingga keluar dari bra.

Payudara menyembul. Seolah-olah ia akan melompat di depan mata Andreas.

Andreas tak membuang-buang waktu. Ia langsung melahap puting yang telah merekah itu. Isapannya menyerbu dengan kesan kuat dan geram.

Vlora mengerang. Pertahanannya jelas telah runtuh semenjak Andreas mengisap putingnya. Bentengnya roboh dan ia biarkan Andreas menikmati payudaranya secara bergantian—dengan mulutnya, dengan tangannya.

Andreas kembali menggoda untuk kesekian kali. Pinggang bergerak dan dorongan samar lagi-lagi menyapa kewanitaan Vlora.

Namun, kali ini ada yang berbeda. Setelah Andreas menggoda, tangannya lantas merayap turun.

Andreas putuskan untuk memastikan sesuatu. Mungkin saja Vlora belum siap. Mungkin saja ... sebaliknya.

Dari balik halus kain berbentuk segitiga itu, Andreas merasakan kelembaban hangat yang memabukkan. Sesuatu yang telah ia tunggu sedari tadi. Sesuatu yang membuatnya sedikit mengangkat tubuh dan kemudian ia segera melepaskan celana dalam Vlora.

Andreas bangkit. Ia menekuk kaki Vlora dan menyapa kelembaban itu dengan mulutnya.

Oh! Itu persis seperti malam di mana Vlora dipuja Andreas untuk pertama kali. Persis, tapi tentu saja tak sama. Lantaran Vlora tahu bahwa untuk sekarang, itu bukanlah hidangan utama. Itu hanyalah hidangan pembuka yang membuatnya semakin menggelinjang.

Lidah Andreas menjulur. Ia berikan usapan panas nan membara. Ada manis yang tersaji dan ia menikmatinya.

Vlora gelagapan. Mulut membuka dan tampaknya ia ingin mengatakan sesuatu setelah Andreas memberikan satu kecupan di kewanitaannya.

Sayangnya Andreas beranjak dan segera menindih tubuh Vlora yang telah berantakan. Ia membungkam bibir Vlora dengan ciuman kasar. Lalu semua pemikiran pun menghilang dari benak Vlora.

Kedua tangan Andreas bergerak ke pinggangnya sendiri. Ia membebaskan diri dari kungkungan celana panjang secepat mungkin.

Celana panjang itu tidak benar-benar lepas dari kaki Andreas. Namun, setidaknya kejantanannya telah terbebas.

Ciuman Andreas semakin menekan. Vlora menangkup wajah Andreas, menyambutnya dengan antusiasme yang menyulut. Ia tak ubah percikan minyak dalam api yang menyala dan Andreas terbakar.

Andreas bergelora. Lebih dari yang bisa dibayangkan sehingga ia merangsek masuk ke dalam kewanitaan Vlora tanpa kata-kata sama sekali.

Erangan Vlora menggema di mulut Andreas. Dadanya yang menyedihkan—posisinya antara keluar dan tertahan oleh bra—tampak naik-turun berkat napas yang menderu.

Rasa penuh itu membuat Vlora sempat mengira bahwa dirinya akan terbelah. Jadi ia menarik napas dalam-dalam dan menenangkan diri. Tubuhnya mulai santai. Ia mulai menyesuaikan diri.

Tidak. Vlora belum sepenuhnya menyesuaikan diri. Ketika ia merasa sudah menerima Andreas seutuhnya, kenyataan justru mengatakan hal yang berbeda.

Andreas menarik diri, sedikit. Lalu ia mendorong lagi dan membuat Vlora membuncah.

Ini bukan hubungan pertama yang malu-malu dan ingin menciptakan kenangan indah. Bukan pula hubungan kedua yang bertujuan menjadikan pasangan merasa seperti orang paling beruntung di dunia.

Bukan. Ini adalah hubungan yang saling menuntut. Ia menggebu. Sebentuk keinginan primitif yang mendambakan pemenuhan semua fantasi liar.

Andreas dan Vlora bergerak dengan penuh hasrat. Sama bergairah. Saling membalas. Keduanya merengkuh. Mereka menerima dan memberi sebanyak yang bisa dilakukan. Tanpa jeda, terus-menerus.

Andreas menggeram. Ia semakin memacu tubuh Vlora yang pasrah di bawahnya.

Mata Vlora terpejam tanpa daya. Kekuatan Andreas ketika menghunjamkan kejantanannya membuat Vlora pasrah.

Andreas ciptakan percintaan yang keras, kuat, dan juga menggebu. Ia rengkuh tubuh Vlora erat-erat, seolah ingin meremukkannya.

Sakit, samar terasa. Namun, sakit yang satu ini disertai candu tak masuk akal. Bagaimana mungkin Vlora justru merasakan keinginan untuk lebih disakiti lagi?

Vlora merintih. Ia menyiratkan nikmat berbalut sakit dalam lantunan yang paling indah. Serupa petikan dawai kecapi dan diiringi oleh nada-nada surgawi.

Warna-warna beraneka ragam memenuhi penglihatan Vlora. Cantik dan amat elok. Namun, semua mendadak berubah jadi gelap.

Pandangan Vlora menghilang. Semua kosong. Semua menjadi hampa. Tak ada apa-apa yang tertinggal. Hanya ada sebongkah dentuman yang membuatnya dunia menghilang.

Tubuh Vlora mengejang. Seluruhnya berubah kaku dan ia peluk Andreas sekuat mungkin.

Orgasme Vlora membuat Andreas menggertakkan rahang. Ia semakin terpacu ketika kenikmatan yang Vlora rasakan memberikan bukti di dalam sana.

Semakin basah. Semakin hangat. Semakin ... ah, membuai!

Dorongan kian menggebu. Andreas semakin terlecut untuk mendorong sekuat mungkin. Ia harus menghunjam sedalam-dalamnya. Karena ia ingin menyentuh semua sisi Vlora, tanpa terkecuali.

Vlora berusaha mendamaikan napas. Ia mencoba untuk menyadarkan diri dari sensasi yang masih berkeliaran di sekitar.

Nahasnya, tak bisa. Desakan kejantanan Andreas membuat sensasi itu kembali memerangkap Vlora, alih-alih pergi.

Andreas meningkatkan tempo. Pergerakannya semakin cepat sehingga keringat pun bercucuran dari wajahnya.

Peluh Andreas berjatuhan di kulit Vlora. Ia melirik dan mendapati keadaan Andreas saat itu adalah penampilan terliar seorang pria yang pernah dilihatnya seumur itu. Lebih tepatnya, penampilan liar yang begitu indah.

Serupa sulur yang menjerat di antara pepohonan. Tak ubah belukar yang menyesatkan pandangan. Ia tampak alami dan begitu menghipnotis, seolah menyihir hanya melalui tatapan mata.

Vlora terpukau dan tak mampu berkedip. Ia benar-benar tersihir dan sekarang pasrah pada sensasi yang kembali merengkuhnya.

Kewanitaan Vlora berdenyut. Ada gelenyar di dalam sana yang membuat ia menarik Andreas. Ia menarik napas dan lantas memejamkan mata.

Vlora biarkan rasa itu kembali menjalari setiap saraf tubuhnya. Perlahan. Pelan-pelan. Semuanya seirama dengan geraman Andreas yang semakin berat dan kemudian ia memejamkan mata.

Pinggul terangkat. Vlora berikan akses agar Andreas kian meluncur memasuki dirinya. Lalu pada momen yang tepat, Andreas berikan hunjaman terakhir. Tepat menyentuh titik sensitif yang membuatnya menjerit. Bersamaan dengan meledaknya Andreas di dalam sana.

Ada dua kenikmatan yang saling menyapa. Dua euforia yang membuat dunia mereka seolah berhenti berputar.

Semua seolah musnah. Semua lenyap tak tersisa. Yang tertinggal hanyalah mereka.

*

Keesokan harinya, Vlora dan Andreas lapor keluar hotel sekitar pukul lima pagi. Sayangnya mereka tidak akan langsung pulang ke rumah, alih-alih keduanya memiliki tujuan yang berbeda pagi gitu.

Andreas mengembuskan napas ketika mereka harus berpisah di lobi. Vlora akan pergi ke kantor menggunakan taksi.

Rasanya lumayan berat untuk Andreas mengingatkan diri sendiri bahwa wanita seperti apakah Vlora. Ia adalah wanita mandiri yang tak pernah ingin dikhawatirkan secara berlebihan. Namun, masalahnya adalah mereka pengantin baru. Desakan primitif untuk memastikan sang istri tidak letih atau kerepotan muncul begitu saja.

"Aku akan pulang sekitar jam setengah tujuh sore."

Vlora dan Andreas tengah duduk di lobi. Keduanya sedang menunggu taksi yang telah dipesankan oleh pihak hotel.

"Apa kau keberatan untuk aku jemput?"

Vlora menggeleng. "Itu tawaran yang menarik. Oh ya. Apa orang-orangmu akan membawa mobilku juga nantinya?"

"Semua barang-barangmu tanpa ada yang tertinggal satu pun."

"Kunci mobilku ada di nakas kamar tidur."

Perbincangan harus berakhir beberapa saat kemudian. Taksi yang dipesan telah datang dan Andreas harus melepaskan Vlora dengan berat hati.

Namun, Andreas tidak menjadi satu-satunya pihak yang harus berkompromi dengan sifat dan kebiasaan Vlora. Alih-alih sebaliknya.

Andreas adalah tipe pria yang tak pernah segan-segan untuk mengumbar kemesraan di depan publik. Sayangnya Vlora telah menyadari hal tersebut.

Langkah Vlora terhenti tepat di depan pintu taksi yang sudah terbuka. Andreas menahan pinggangnya dan membuat ia mengerjap kaget ketika Andreas melabuhkan kecupan di sisi kepala.

Terkesan manis. Amat manis malah. Namun, itu membuat Vlora gamang.

Andreas tersenyum dan berbisik. "Namanya menikah, bukankah itu artinya kita harus saling membiasakan diri dengan kebiasaan masing-masing?"

Sejenak, Vlora terdiam. Andaikan nada Andreas berbicara tidak terdengar berbeda maka pasti ia akan mengiyakan hal tersebut tanpa tedeng aling-aling.

Namun, tidak. Vlora membuktikan praduganya ketika melirik.

"Kau menantangku, Reas?"

Andreas tak merasa perlu berpura-pura. Kilat jahil memercik di matanya. "Kejutkan aku."

Vlora mengejutkannya. Ia mengusap dada Andreas dan tersenyum.

"Jangan lupa untuk menjemputku."

Ah! Andreas bisa mencair dan jatuh berceceran di lantai.

Vlora masuk dan duduk dengan nyaman di kursi penumpang. Andreas mengambil alih tugas hotelier. Ia menahan pintu taksi dan berkata pada sopir.

"Aku harap Bapak mengemudi dengan hati-hati. Kami baru tiga hari menikah."

Sang sopir terkekeh kecil. "Tentu saja, Pak."

Wajah Vlora memerah. Sepertinya ia belum benar-benar bisa membiasakan diri dengan kebiasaan Andreas. Ia masih harus belajar lebih banyak.

Andreas tak beranjak dan benar-benar melepas kepergian Vlora hingga taksi menghilang dari pandangan. Setelahnya ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel yang nyaris tak disentuhnya selama tiga hari.

Ada beberapa pesan dan surel, tapi Andreas mengabaikannya. Ia segera menghubungi Frans.

"Selamat pagi, Pak."

Bersamaan dengan sapaan Frans, ada satu mobil yang berhenti di depan Andreas. Jemputannya datang dan ia segera masuk ketika hotelier membuka pintu mobil untuknya.

Mobil berjalan perlahan meninggalkan kawasan hotel. Andreas pun membuka perbincangan dengan Frans.

"Hari ini aku dan Vlora akan pindah ke rumah. Jadi mulai sekarang kau bisa menemuiku di sana. Ah! Mungkin kau bisa datang malam nanti. Bawa semua bahan yang telah kau kumpulkan."

"Baik, Pak. Lalu bagaimana dengan Bu Vlora?"

Andreas menangkap keraguan dalam pertanyaan Frans. "Tenang saja, Frans. Dia istriku. Tak ada yang perlu ditutupi. Lagipula apa kau tak pernah mendengar ungkapan bahwa istri adalah penasihat paling handal?"

"Maafkan saya, Pak. Saya hanya tidak ingin semua yang telah Bapak lakukan menjadi sia-sia. Apalagi karena Bapak belum terlalu lama mengenal Bu Vlora."

Benar. Kekhawatiran Frans sangat beralasan. Namun, entah mengapa Andreas malah merasa sebaliknya. Ia sangat yakin dengan intuisinya.

Ada sesuatu pada Vlora yang membuat ragu Andreas benar-benar lenyap. Mungkin karena sikap dan karakternya atau ... entahlah. Ia pun tak mengerti. Hanya saja ia yakin akan satu hal.

"Tenang saja. Aku yakin Vlora tidak akan mengacaukannya. Dia pilihanku dan mungkin saja ia akan membantuku."

"Baik, Pak."

Pembicaraan selesai. Panggilan berakhir. Andreas memasukkan ponselnya kembali ke saku dan bertanya pada sang sopir—Marwan Suryanto.

"Apa semua sudah siap di rumah?"

Marwan mengangguk. "Sudah, Pak."

Jawaban yang melegakan. Andreas membuang napas dan menyandarkan punggung dengan satu pemikiran.

Setidaknya aku harus memastikan bahwa tanpa bulan madu pun pernikahan tetap bisa dinikmati.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top