2. Pengantin Pilihan
Wajah Vlora memerah. Perkataan telak Andreas menghadirkan malu tak terkira. Ingin menghujat dan mengumpat, tapi bagaimana bisa ia menyebut nama Andreas tanpa sadar? Lebih parah lagi, apakah tadi ia terbuai oleh ciuman itu?
Seringai miring masih tersungging di wajah tampan Andreas. Kilat mata semakin intens menyorotkan rayuan. Agaknya ia berbangga diri berkat kabut yang berhasil diciptakannya di mata Vlora.
Fokus Andreas pindah. Sekarang tertuju pada bibir Vlora yang mengilap dan samar membengkak.
Tak perlu ditanya. Pastilah itu buah dari perbuatannya.
Rasa senang merebak di benak Andreas. Berbanding terbalik dengan apa yang Vlora rasakan.
Ting!
Vlora dan Andreas sama-sama melihat ke sumber suara. Tepatnya pada pintu lift yang perlahan membuka. Satu tanda yang memberikan dua respons berbeda untuk sepasang anak manusia.
Vlora menghela napas panjang. Andreas justru tersenyum geli.
Sayangnya senyum geli itu tidak bertahan lama. Sedetik kemudian Vlora mendorong Andreas dan segera berlari keluar.
Andreas termangu sejenak. Ibu jarinya mengusap bibir bawah dengan sedikit tekanan.
Ada seberkas warna merah menempel di sana. Andreas menatap bekas itu dengan penuh arti dan keputusan telah diambil. Ia berlari dan menyusul Vlora yang menuju ke area parkir khusus.
Terpisah jarak tak seberapa, Andreas melihat Vlora terburu-buru menghampiri mobil hitamnya. Ia mengeluarkan kontak mobil dari tas dan Andreas hanya butuh lima langkah besar untuk menghampiri.
Andreas bertindak. Tangan bergerak. Ia menahan pintu tepat ketika si empunya berniat membuka.
Vlora tersentak. Ia berpaling dengan kaget dan syok tatkala melihat Andreas.
"Tenang. Aku tak akan menciummu lagi," ujar Andreas cepat sebelum Vlora menghardik. "Setidaknya tidak untuk sekarang dan tidak di tempat seperti ini."
Apakah Vlora harus berterimakasih untuk kejujuran Andreas? Oh, sepertinya tidak. Kejujuran Andreas tidak berada di tempat yang seharusnya. Kejujuran itu terbukti berhasil membuatnya malu dan marah dalam waktu bersamaan.
Vlora meremas tuas pintu mobil. Ia berusaha menahan emosi yang semakin lama semakin sulit dikendalikan.
"Aku mengejarmu hanya untuk memberitahumu sesuatu. Aku tidak pernah main-main dengan apa yang aku katakan. Termasuk untuk apa yang akan aku lakukan."
Vlora lepas kendali. Dengkusan bernada mencemooh sukses meluncur tanpa bisa dicegah. Respon meremehkan itu membuat Andreas mengangkat satu alis matanya dengan gerakan menggoda.
"Kau? Serius?"
Kerutan muncul di dahi Andreas. Suara Vlora memberikan kesan berbeda yang jelas disadari olehnya.
"Mungkin kau bisa mengatakan hal serupa kepada semua wanita yang menjadi kekasihmu. Itu kalau kau memang serius."
Ah! Andreas sama sekali tidak tersinggung. Sebaliknya, ia justru memikirkan hal lain. Sesuatu yang mendorongnya untuk membungkam Vlora dengan dua tanya.
"Katakan padaku, Vlo. Apa kau mengetahui kehidupanku selama ini? Kau mencari tahu mengenai diriku?"
Vlora terdiam. Ia menarik napas dalam-dalam dan oksigen berhasil menjernihkan akal sehatnya yang sempat berantakan. Senyum mengembang, lalu ia berkata.
"Kurasa itu bukanlah hal aneh. Memangnya siapa yang tidak mengenalmu? Terutama karena kau kerap menghabiskan waktu dengan bosku. Bukankah kalian sempat menyinggung beberapa nama wanita yang menjadi kekasihmu?"
Mungkin oksigen tidak cukup mampu untuk mewaraskan Vlora. Terbukti. Ia memang bisa kembali mengendalikan diri. Sayangnya, itu tidak seperangkat dengan sopan santun yang seharusnya tetap ia jaga.
Anehnya, Andreas justru merasa senang tanpa ada sopan santun itu. Terasa lebih akrab bukan?
Seringai Andreas melebar. "Ah! Jadi kau mendengarkan pembicaraan kami?"
"Hanya karena aku kebetulan sedang mengantar kopi."
"Oke oke," ujar Andreas tergelak sekilas. Ia tak akan menyulut Vlora untuk hal tak penting. "Terserah bagaimana ceritanya, tapi nyatanya kau cukup menaruh rasa penasaran terhadap kehidupanku. Itu lumayan membuatku tersanjung."
"Kau—"
Andreas memotong ucapan Vlora di waktu tepat. "Dengarkan aku dulu. Aku tidak akan munafik dan berbohong padamu. Seperti yang kau katakan, ya. Aku memang memiliki sederet kekasih."
Wajah Vlora mengeras. Itu adalah sinyal untuk Andreas agar tidak menyia-nyiakan setiap detik yang dimiliki.
"Hanya saja kau perlu tahu sesuatu. Aku tidak pernah mengatakan pada mereka kalau aku akan menikahi mereka."
Bola mata Vlora berputar malas. Sekarang ia lupakan keinginan untuk membuka pintu. Kedua tangan terangkat di depan dada dan ia bersedekap.
"Jadi kau sekarang sedang berusaha meyakinkanku kalau bukan kau yang salah di sini?"
"Aku tidak pernah mengira kalau memiliki kekasih adalah satu kesalahan," jawab Andreas enteng. Mimik wajahnya terkesan polos seolah tanpa dosa. "Dengar, Vlo. Itu adalah salah satu caraku untuk menikmati dunia. Lantas di mana salahnya? Aku sama sekali tidak melakukan pemaksaan. Persis dirimu, mereka pun tahu bagaimana kehidupanku dengan para wanita lain. Jadi apa aku salah?"
Kekasih. Menikmati dunia. Tidak melakukan pemaksaan. Vlora cuma bisa membuang napas panjang.
"Kau ..."
Vlora memaksa diri untuk tersenyum. Pun memberikan kesimpulan yang Andreas inginkan.
"... jelas tidak salah."
Andreas menyeringai. "Aku senang kita sepakat."
"Sayangnya, kau jelas salah untuk satu hal lainnya."
Pergerakan mata Andreas mewakili kata-kata yang tak diucapnya. Ia penasaran dan menunggu kelanjutan perkataan Vlora.
"Kau salah karena mengira aku ingin menjadi kekasihmu yang selanjutnya."
Seringai Andreas perlahan menghilang. Untai percaya diri itu tergantikan senyum penuh arti.
"Maaf, tapi aku tidak pernah berniat untuk memenuhi daftar ambisi yang dibuat oleh ego laki-laki. Aku terlalu berharga untuk kau jadikan sebagai wanita koleksimu."
Tatap Vlora tanpa kedip. Ia lurus memaku Andreas tanpa ada gentar sedikit pun.
"Selain itu aku harap kau ingat ini," lanjut Vlora seraya meraih kembali tuas pintu mobil. "Aku tidak pernah menjilat ludahku sendiri."
Andreas menahan tangan Vlora. Ia abaikan kaget Vlora dan justru mencondongkan tubuh ke arahnya. Tepat mengambil tempat di dekat telinga Vlora, ia berbisik rendah.
"Aku tidak memintamu untuk menjadi kekasihku, melainkan istriku. Untuk itu, aku juga berharap kau ingat ini. Aku pun tidak ingin melihat kau menjilat ludahmu sendiri."
Andreas melirik. Dalam jarak yang amat tipis, ia bisa melihat setiap ketegangan di wajah Vlora.
"Aku ingin melihat kau menjilat ludahku."
*
Andreas membuka pintu sebuah unit apartemen yang telah ditempati nyaris selama enam bulan. Hunian mewah, tapi mirisnya itu bukanlah salah satu dari sekian banyak aset pribadi yang ia miliki.
Adalah Lucas pemiliknya. Sang sahabat dengan senang hati menyediakan tempat tinggal selama ia bersembunyi dari mata keluarganya sendiri.
Andreas masuk dengan langkah santai. Ia lepaskan jas dan melemparnya asal ke satu sofa yang kebetulan dilewati.
Satu bar berukuran minimalis yang berisi beragam botol minuman beralkohol adalah tempat yang menjadi tujuan Andreas. Ia memilih sebotol brendi sebagai teman melewati malam.
Gelas kristal tersedia. Ada tiga balok es batu di dalamnya. Brendi bergabung dan Andreas pun duduk di satu kursi bulat.
Sejenak, Andreas menggoyang-goyangkan gelas. Ia biarkan dingin dan khas rasa brendi berpadu. Barulah ia sesap kekayaan sensasi yang tersaji.
Tak sampai seteguk. Hanya sekilas cicipan. Seolah sapaan pertama untuk lidah. Lalu barulah Andreas benar-benar meneguk.
Desahan menggetarkan tenggorokan Andreas. Ia nikmati sengatan dan pijar rasa yang bermain-main di lidah sementara ingatannya terbayang akan hal lain.
Tentu saja adalah Vlora. Wanita yang sejak pertemuan pertama langsung mencuri perhatian Andreas.
Memang, terkesan norak dan terlalu klise. Sayangnya bagi seorang Andreas yang biasa hidup dengan dikelilingi wanita, mendapati ada seorang wanita yang benar-benar abai padanya adalah hal yang mengesankan.
Andreas tak bodoh. Ada banyak banyak yang memakai trik pura-pura tak tertarik untuk memancing perhatian pria. Ia tahu strategi itu dan harus diakui, terkadang memang hal tersebut berhasil. Sensasinya memberikan tantangan dan pria selalu suka tantangan.
Namun, bagaimana jadinya kalau wanita itu memang tidak tertarik? Jawabannya sederhana. Pria akan gelisah. Egonya tersentil. Maskulinitasnya dipertanyakan.
Itulah persisnya yang dirasakan Andreas. Walau demikian ia cukup bijak untuk menyadari bahwa Vlora adalah wanita yang dicarinya selama ini. Semua kriteria dan daftar kelogisan terpenuhi oleh Vlora tanpa terkecuali.
Andreas ingat jelas perpaduan setelan kerja yang kerap dikenakan Vlora. Kemeja, jas resmi feminin, dan celana dasar panjang. Ia seolah anti mengenakan rok di atas lutus yang biasanya menjadi kesukaan para sekretaris bos besar.
Hanya saja jangan berpikir kalau Vlora adalah wanita yang tak bisa berlaku lembut dan anggun. Itu jelas adalah kesalahan besar. Nyatanya ia amat memukau ketika melenggok di atas hak setinggi tujuh sentimeternya.
Baru dari segi penampilan. Di sisi lain, Vlora adalah wanita cerdas. Paling tidak posisi yang diembannya saat ini menjadi bukti tak terbantahkan. Semua orang tahu bahwa sekretaris tidak pernah menjadi posisi mudah bagi orang berotak dangkal.
Vlora juga cakap. Nyaris tak pernah melakukan kesalahan dan terbukti sangat membantu semua urusan bosnya.
Untuk semua itu, Andreas tak segan mengambil satu kesimpulan. Vlora adalah wanita paling tepat untuk mengisi posisi sebagai istrinya.
Lamunan Andreas akan Vlora buyar berkat dering ponsel. Ada panggilan masuk berasal dari asisten pribadinya, Frans Januarta.
"Halo, Frans. Ada apa?"
Tanpa basa-basi sama sekali. Andreas tahu bahwa Frans tak akan menghubunginya di malam hari bila itu tidak penting.
"Maaf mengganggu waktu istirahat Bapak, tapi saya ingin mengabarkan kalau minggu depan Tuan dan Nyonya akan pulang ke Indonesia."
Andreas meraih botol brendinya. Ia kembali mengisi gelas yang telah kosong seraya bertanya tanpa minat. "Oh. Apa semua urusan di sana sudah selesai?"
"Sudah dan saya tidak tahu dari mana mereka mengetahuinya. Hanya saja sepertinya Tuan sudah mengetahui keberadaan Bapak."
"Aku sering bepergian selama di sini. Justru aneh kalau mereka tidak bisa mengetahui keberadaanku," lirih Andreas seraya menikmati tegukan selanjutnya. "Tak apa. Aku akan menyambut kedatangan kedua orangtuaku di rumah."
"Satu hal lagi, Pak. Nyonya menyuruh saya untuk menyampaikan pesan kepada Bapak."
Tangan Andreas berhenti bergerak. Gelas tertahan beberapa milimeter di depan bibir.
"Apa?"
"Nyonya berpesan kalau Nyonya tidak ingin memungut wajahnya di depan Nyonya Laksmi. Hanya itu."
Andreas mendengkus dan tertawa tanpa suara. Ia putuskan untuk meneguk habis gelas keduanya, lalu berkata.
"Kau katakan pada Mama, tak perlu khawatir. Lupakan soal perjodohan itu karena aku sudah memilih pengantinku sendiri. Mama tak perlu memungut wajahnya di depan Mama Laksmi. Aku bisa psatikan kalau aku yang akan lebih dulu menikah ketimbang Jonas."
Panggilan berakhir. Ponsel mendarat di meja bar dan Andreas teringat sesuatu. Yaitu, balasan Vlora untuk perkataannya di parkiran tadi.
Balasan itu diucapkan Vlora dengan mata tajam dan nada sengit. Kombinasi sempurna untuk membuat darah Andreas berdesir hanya dengan mengingatnya saja. Ucapan itu adalah.
"Aku bisa pastikan satu hal padamu, Andreas. Di saat aku menjilat ludahmu maka di saat itu pula kau tak bisa melihat dunia lagi."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top