19. Euforia
Untuk beberapa saat, busa-busa wangi itu masih beriak. Bergelombang tak tentu arah. Bahkan memercik keluar dari bak mandi itu. Isinya tertumpah ke mana-mana. Alhasil dibutuhkan waktu yang tak sebentar hingga gejolak air hangat itu mereda. Begitu pula dengan gejolak sepasang anak manusia di dalam sana.
Vlora tetap bertahan di atas pangkuan Andreas, masih dalam posisi yang sama. Kedua tangan Andreas pun masih erat memeluk Vlora.
Sesaat berlalu. Gelombang air telah kembali tenang. Pun demikian dengan napas Vlora yang kembali teratur.
Andreas tersenyum. Pelukannya mengendur perlahan dan berubah menjadi usapan beberapa kali di punggung Vlora.
Tak hanya itu. Andreas juga melabuhkan satu kecupan di sisi kepala Vlora. Ia seakan tengah memastikan kebenaran dari perkataan Vlora bahwa dirinya adalah kekasih yang sempurna. Karena kekasih yang sempurna tidak akan luput memberikan sentuhan-sentuhan pemujaan tatkala percintaan telah berlalu.
"Reas."
Tangan Vlora di seputaran leher Andreas berubah lunglai. Ia terjatuh lemas di pundak Andreas seolah tak ada tenaga lagi.
Andreas bisa merasakannya dengan jelas lemas Vlora. Jadi tak aneh bila mendapati Andreas tersenyum dengan ekspresi bangga. Percayalah, ego setiap pria yang tersumpal tatkala mendapati pasangannya menikmati percintaan mereka. Termasuk di dalamnya adalah Andreas.
Tak perlu dipungkiri, pernikahan mereka terjadi dalam waktu singkat dan tanpa melalui proses pacaran seperti pasangan pada umumnya. Hal tersebut menimbulkan tanda tanya di benak Andreas. Akankah Vlora menikmati pernikahan mereka? Karena sebagai seorang pria yang mengambil inisiatif, tentu saja ia sangat menikmatinya.
Fakta menyenangkannya adalah Vlora dengan begitu gamblang mengemukakan semua pemikirannya. Wanita itu logis—teramat logis menurut Andreas. Ia menerima pernikahan dan semua paket yang menyertainya
Puncaknya ketika Andreas memuja Vlora untuk pertama kali. Tak sulit untuknya menyimpulkan kekasih seperti apa Andreas. Terlepas dari sifatnya yang memang kerap menggoda, ia harus mengakui bahwa Andreas adalah pria yang diciptakan Tuhan hanya untuk menyenangkan hati wanita.
Agak menggelikan, tapi ada benang merah yang berhasil ditarik oleh Vlora.
Tak aneh kalau dia menjadi seorang playboy.
Pun tak aneh kalau banyak wanita yang tergila-gila pada Andreas. Pria itu adalah gambaran nyata akan imajinasi para wanita.
Andreas bukan hanya kekasih yang dewasa, tapi ia pun memperhatikan setiap sentuhan kecil. Kontak matanya terjaga dan memancarkan pesona. Lantas wanita mana yang tak akan melambung ketika ia mulai merayu?
Vlora adalah salah satu korbannya. Beruntung, ia korban bukan sembarang korban.
"Apa ini waktunya bagi kita untuk menyelesaikan acara mandi ini?"
Nada jenaka tersirat di suara Andreas ketika bertanya. Vlora mendengkus geli.
"Aku benar-benar tidak mengira kalau kita akan melakukannya di sini. Di bak mandi? Oh, astaga. Ini benar-benar keterlaluan."
"Ssst."
Andreas membawa busa-busa ke tubuh Vlora. Ia mengusap dan membelainya.
"Sejauh yang aku tahu, tak ada aturan yang melarang suami istri untuk bersenang-senang di bak mandi," ujar Andreas seraya mengusap pundak Vlora. "Lagipula ini bukan satu-satunya 'hal keterlaluan' yang bisa kita lakukan."
Vlora menyipitkan mata sementara Andreas terkekeh samar.
"Apa maksudmu, Reas?"
"Maksudku adalah kita punya banyak waktu untuk melakukan banyak 'hal keterlaluan' lainnya."
Sudut bibir Andreas berkedut. Imajinasinya bekerja dengan amat cepat. Ada meja kerja, kolam renang, dapur, tangga, ruang tamu—
Vlora beringsut. Tangannya bertahan di pundak Andreas ketika akan berdiri, membuat imajinasi Andreas buyar seketika.
"Kau bisa berdiri?"
Ekspresi Vlora tampak ragu. Maka Andreas pun kembali menunjukkan betapa perhatiannya ia sebagai seorang kekasih.
Andreas menggendong Vlora. Mereka keluar dari bak dan menuju pancuran demi membilas tubuh.
Aroma wangi sabun dan sensasi percintaan yang menyelimuti keduanya luruh. Perlahan menyisakan kulit yang harum dan lembab.
Waktu berlalu. Hotelier telah merapikan kamar. Andreas dan Vlora pun telah menikmati sarapan yang terlambat. Lantas sekarang adalah waktunya untuk bersantai.
Andreas dan Vlora bercengkerama di sofa. Mereka duduk di sisi yang berlawanan dengan nyaman.
"Jam berapa kita lapor keluar besok pagi?"
Suara Vlora membuyarkan keheningan beberapa saat di antara mereka. Pun sukses mengembalikan kesadaran Andreas yang tersita karena keterpanaannya pada Vlora.
"Mungkin sekitar jam empat atau lima pagi," jawab Andreas enteng sembari mengangkat kedua bahunya sekilas. "Aku yakin kita bisa lebih berlama-lama di sini. Lucas tak akan mempermasalahkannya."
Vlora yang semula bersandar di lengan sofa sontak mengangkat kepala. Mata memejam dan tawa renyahnya berderai.
Anderas menyukainya. Mungkin karena Vlora selalu terlihat serius di banyak kesempatan. Alhasil tawa Vlora menjadi hal istimewa.
"Jangan seperti itu, Reas. Kita sama tahu kalau aku tak akan melakukannya."
Andreas berdecak dan memegang dada. "Apakah itu menandakan kalau aku tak lebih penting dibandingkan bosmu?"
"Jangan mengada-ada," ujar Vlora geli. "Lagipula menunggu bulan madu beberapa bulan lagi bukan hal sulit untuk kau lakukan. Tenang saja."
Napas Andreas mengalun panjang. Ia bangkit dari posisinya dan beringsut, menghampiri Vlora. Tanpa aba-aba, ia melabuhkan kecupan singkat di bibir Vlora.
Geli di wajah Vlora menghilang seketika. Matanya kembali terpejam walau dengan alasan dan kesan yang berbeda. Ia menikmati ciuman sekilas itu.
"Aku justru mengkhawatirkan hal lain."
Tangan Andreas bergerak. Jemarinya bermain-main di pipi Vlora. Sepintas, ia melirik gaun santai yang dikenakan Vlora—tampak jatuh lemas di tubuhnya.
"Kau tahu bukan? Pengantin baru tak ubahnya kelinci di musim kawin. Aku khawatir bahkan tanpa bulan madu pun aku akan kesulitan mengendalikan diri."
Tentu saja. Ada euforia pengantin baru yang menyelimuti Andreas. Ia ingin menyentuh Vlora dan ketika sentuhan itu berakhir maka ia menginginkan sentuhan berikutnya. Begitulah seterusnya. Tak ubahnya seperti lingkaran setan.
"Tahan dulu, Reas," larang Vlora seraya menahan dada Andreas yang bidang. "Kupikir tubuhku sekarang benar-benar butuh istirahat. Yang di bak mandi tadi benar-benar melelahkan untukku."
Andreas menyeringai. "Baiklah."
Vlora tahu itu bukan hal sulit untuk Andreas. Setidaknya ada satu pengalaman yang membuktikan kalau Andreas termasuk ke dalam golongan pria penyabar.
"Aku hampir lupa mengatakan sesuatu. Sepertinya ..."
Topik berubah. Untungnya Andreas teringat sesuatu yang penting di saat yang tepat.
"... kita akan langsung pindah ke rumahku besok."
"Rumahmu?"
Suara Vlora terdengar tak yakin. Ia menerka, apakah Andreas akan mengajaknya tinggal di rumah keluarga besarnya?
"Bukan rumah keluargaku. Bukan rumah Cakrawinata," jawab Andreas dengan tersenyum geli. Ia jelas bisa menerka arah pikiran Vlora. "Lagipula aku belum segila itu untuk mengajakmu tinggal di sana. Bahkan aku yang anak kandung saja tidak betah, apalagi kau."
Vlora melirih singkat. "Oh."
"Ini rumahku dan semoga kau tak terkejut. Walau aku tidak punya pekerjaan saat ini, tapi bukan berarti aku tidak punya rumah."
"Kau tahu?" tanya Vlora tanpa menunggu jawaban Andreas. Ia langsung lanjut bicara dengan mimik lucu. "Kuharap kau bersyukur. Tak banyak wanita ingin menikah dengan pria pengangguran."
Kepala Andreas terangkat. Ia tertawa terbahak-bahak.
"Oh, Vlora. Kau tak akan tahu betapa bersyukurnya aku bisa menikahimu. Untuk itu aku akan memberikan yang terbaik untukmu."
Nah! Ucapan Andreas menyentil rasa penasaran Vlora.
"Jadi orang-orangku akan mengosongkan apartemenmu besok selagi kau bekerja. Tak perlu khawatir, aku akan mengawasinya. Apa kau keberatan?"
Vlora menggeleng. "Tak jadi masalah. Lagipula aku bukan tipe orang yang suka berkemas. Aku akan sangat senang kalau ada yang mau melakukannya untukku."
"Bagus."
"Selain itu," ujar Vlora sembari menarik napas sekilas. "Aku sudah lama tidak tinggal di rumah. Aku jadi bersemangat."
Senyum tersungging di wajah Andreas. Ia berjanji. "Kau pasti akan menyukainya. Rumahku tidak seperti rumah keluargaku yang penuh dengan pelayan. Privasimu akan terjaga."
Ucapan Andreas menerbitkan kerutan samar di dahi Vlora. Ada emosi aneh yang berpendar di sepasang matanya. Namun, semua menghilang sedetik kemudian. Ia berkata.
"Aku tak memiliki privasi apa pun."
Andreas mendengkus seraya menggeleng sekali. "Maksudku bukan privasi tentang hal rahasia, melainkan mengenai kebiasaanmu. Kupikir kau adalah tipe wanita yang tidak terlalu menyukai suasana ramai."
Untuk kesekian kalinya Andreas berhasil membuat Vlora terkesan.
"Suasana yang terlalu ramai memang sedikit melelahkan untukku."
"Aku tahu itu dan lagipula kita memang tidak butuh terlalu banyak orang di sekitar kita. Mereka bisa merusak beberapa rencana kita."
Mata Vlora menyipit. "Rencana kita?"
Andreas tergelak.
"Aku tidak merasa punya rencana apa pun."
"Nanti kau juga tahu."
Tatapan menggoda Andreas terlihat jelas. Wajar bila ekspresi Vlora berubah. Andreas kembali tergelak, tapi itu tidak membuatnya lupa untuk hal penting lainnya.
"Kita bicarakan soal itu nanti. Satu yang harus sedikit kau maklumi adalah mau tak mau mungkin rumah kita nanti akan sedikit ramai di awal pernikahan ini."
Topik mengenai 'rencana kita' langsung meninggalkan benak Vlora. Sesuatu di perkataan Andreas membuatnya bertanya-tanya.
"Akan ada beberapa formalitas yang harus dilalui. Bisa dikatakan semacam pesta keluarga. Kita harus mengadakannya walau sebenarnya aku sama sekali tidak menyukainya."
Vlora bangkit dari posisi santainya. "Aku yakin aku bisa menikmatinya."
Tentu saja. Andreas tidak akan mempertanyakan sesuatu yang sudah pasti. Ia tersenyum dan sekarang topik menjemukan itu tak lagi menjadi perhatiannya. Ada hal yang lebih menarik perhatian Andreas sekarang.
Andreas mengamati pergerakan Vlora. Tatapannya seolah mengintai.
"Apa? Kau ingin mengatakan sesuatu?"
Andreas mengerjap sekali sebelum menatap Vlora. "Apa aku sudah mengatakan padamu kalau kau cantik?"
"Oh, Reas," lirih Vlora mendengkus. "Aku yakin kau sudah pernah mengatakannya beberapa kali. Mungkin dua atau tiga kali."
Andreas meringis dalam geli. "Kau masih bisa menghitungnya. Ck. Aku payah sekali. Jadi sepertinya tugasku sekarang adalah membuatmu tak bisa menghitungnya lagi."
"Kau benar-benar pintar merayu, Reas."
Andreas tidak peduli, entah ucapan Vlora adalah pujian atau sindiran. Setidaknya itu adalah sebuah kejujuran.
"Sementara kau suka aku rayu. Kau menikmatinya."
Vlora mengangguk-angguk kecil. Bola matanya berputar sekilas sebelum membenarkan perkataan Andreas.
"Aku memang menikmatinya. Malah bisa dikatakan aku sangat menikmatinya."
Inilah salah satu hal yang disyukuri Andreas dari Vlora. Yaitu, kejujurannya.
Andreas takjub. Sepaket dengan kelogisannya, Vlora tak segan untuk mengutarakan semuanya dengan jujur—entah itu untuk hal baik atau sebaliknya.
Selain itu Vlora pun tak segan melakukan apa pun yang diinginkannya. Termasuk di dalamnya dengan mengusap sekilas dada Andreas.
Kedua tangan Vlora yang semula bertahan di dada Andreas beralih fungsi. Tak lagi menahan, sekarang ia meraba dan kemudian naik. Perlahan ia menyusuri bidang dada Andreas hingga mendarat di lekuk lehernya.
Vlora menarik Andreas. Ia mencium Andreas dan astaga! Andreas merasa tubuhnya mencair seketika.
Andreas meneguk ludah. Setelah Vlora menciumnya, mereka saling menatap.
"Apa ini artinya kau sudah tidak lelah lagi?"
Vlora tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan tindakan. Yaitu, ia kembali mencium Andreas.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top