18. Riak Gelora
"Apa itu tawaran?"
Sorot berubah, Andreas menaikkan satu alias mata. Ia bertanya dengan setitik seringai di wajah.
Vlora mendengkus geli. "Bisa dibilang tawaran atau mungkin undangan. Tergantung bagaimana matamu melihatnya."
Jawaban itu membuat Andreas mengerutkan dahi. Rasanya seperti familier. Ia butuh beberapa detik untuk mengingat dan lalu ia tertawa terbahak-bahak.
"Kau membalasku, Vlo," ujar Andreas seraya geleng-geleng dengan ekspresi geli. "Kau membalasku."
Vlora meraih busa-busa yang mengelilingi mereka. Ia jatuhkan di pundak Andreas dan mulai mengusap perlahan.
"Aku memiliki kecenderungan untuk membalas semua yang aku dapatkan," lirih Vlora seraya melayangkan lirikan penuh makna pada Andreas. "Bisa dikatakan semacam hobi. Rasanya menyenangkan."
"Apa? Apa yang menyenangkan? Apakah mengusap busa di tubuhku yang menyenangkan?"
Vlora terkekeh. "Bukan. Bukan soal busanya."
Tangan Vlora terus bermain di tubuh Andreas. Di lain pihak, Andreas justru membelai-belai pipi Vlora. Sinar matanya selalu menunjukkan keterpanaan.
"Semula aku tak pernah berpikir kalau kau bisa tertawa lepas, Vlo."
Bukan hanya jemarinya yang menjelajahi tubuh Andreas, sepasang mata Vlora pun tak ubah sensor yang memindai. Ia ikuti pergerakan tangannya dengan tatapan menyelidik. Seolah ia sedang merekam dengan sebaik mungkin anatomi pria yang sekarang telah menjadi suaminya. Layaknya ia harus mengetahui semuanya dan ternyata kegiatan itu lumayan menyenangkan.
"Tak ada banyak hal yang tersisa di hidupku. Aku tak punya alasan untuk tertawa. Apalagi kehidupanku selalu serius. Jadi bukankah aneh kalau aku tertawa tanpa sebab?
Andreas geleng-geleng. "Bahkan ketika kita di bak mandi pun kau masih bisa beradu argumen, Sayang."
Tangan Vlora terus bergerak. Sekarang ia beranjak ke belakang pundak Andreas.
"Apa kau keberatan?"
"Sama sekali tidak. Silakan kau katakan semua argumenmu dan aku akan mendengarnya dengan senang hati."
"Bukan soal argumennya, tapi ...," ujar Vlora tersenyum. "... apa kau keberatan kalau sedikit bangkit? Aku ingin mengusap punggungmu."
"Ah!"
Kembali Andreas geleng-geleng lantaran geli karena perkataan Vlora. Namun, ia tetap melakukan permintaan Vlora.
Andreas menegapkan punggungnya yang sedari tadi bersandar santai pada bak. Ia tetap memegang pinggang Vlora dan mendapati pergerakan samar di pangkuannya. Vlora beringsut dan semakin mendekatinya.
Wajah Vlora mendarat di pundak kanan Andreas. Tangannya berselancar di punggung lebar Andreas, mengusap berulang kali.
"Aku tidak pernah mengira kalau mandi bisa menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan seperti ini."
Dalam diam, senyum tipis Vlora terbentuk.
"Lebih tidak mengira lagi kalau ternyata kau bisa menikmati pernikahan ini lebih dari yang aku bayangkan. Termasuk bersantai di bak mandi bersamaku."
Vlora membuang napas panjang. Ia sudahi penjelajahan di punggung Andreas. Sedikit menarik diri dan ia menatap Andreas.
"Tentu saja aku sudah memikirkan beberapa hal sebelum aku menerima tawaran pernikahanmu."
Andreas meringis. "Bisa kau ganti dengan kata 'lamaran'?"
Kekehan Vlora berderai. Walau demikian ia mengangguk.
"Sebelum aku menerima lamaran pernikahanmu," ralat Vlora geli. "Aku mengerti kalau ada satu dua hal tentang pernikahan yang akan ikut serta kalau aku menerima lamaranmu. Beberapa hal yang memang ditakdirkan untuk kehidupan pernikahan."
Andreas menyeringai. "Kau sungguh teramat logis untuk ukuran seorang wanita, Vlora."
Bahu Vlora naik sekilas, tapi ia mengangguk. Lalu ia lanjut bicara.
"Salah satunya adalah hubungan intim. Mungkin termasuk dengan bersantai di bak mandi. Lagipula kalau bukan dengan istrinya, suami akan berhubungan dengan siapa?"
Logis, tapi juga menggemaskan. Andreas tak bisa menahan diri dan meremas pinggang Vlora sekilas.
"Pemikiran yang tepat sekali," setuju Andreas. "Lagipula kalau bukan dengan suaminya, istri akan berhubungan dengan siapa?"
"Selain itu."
Vlora terlihat sedikit ragu untuk bicara. Rasa penasaran membuat Andreas bertanya.
"Selain itu?"
Vlora menatap Andreas. Ada sepercik emosi asing yang berpendar di sepasang bola matanya.
"Selain itu aku harus jujur dan mengakuinya. Kau adalah kekasih yang sempurna."
Wow! Pujian yang satu ini di luar dugaan Andreas.
"Sempurna?"
Tertegun sedetik dan kemudian Vlora mengangguk tanpa ragu. "Logis untuk mengatakan kalau tak banyak pria yang memastikan pasangannya menikmati percintaan mereka seperti yang kau lakukan. Kau dewasa dan penuh pengertian."
Apa itu? Apakah ada pijar kembang api yang sedang meletus di benak Andreas? Tak akan menampik, ia merasa sedang berjalan di atas awan.
Andreas menyipitkan mata. Ia tak bersuara untuk pujian melambungkan yang didapat. Alih-alih ia hanya menatap Vlora dengan kesan yang sulit dibaca.
Mata mereka bertemu. Vlora bertanya-tanya ketika Andreas diam saja.
"Apa itu tawaran?"
Ketika kembali bersuara maka Andreas berhasil membuat Vlora menarik napas dalam-dalam. Udara di sekitar mereka terasa berubah ketika suara serak Andreas terdengar.
"Bisa dibilang tawaran atau mungkin undangan. Tergantung bagaimana matamu melihatnya."
Itu adalah jawaban paling tepat untuk menjadi alasan Andreas bertindak. Salah satu tangannya yang semula di pinggang Vlora, bergerak. Ia mengusap punggung Vlora berulang kali, seakan tengah mempelajari lekuk feminin di sana. Kemudian ia naik.
Vlora bergidik. Bahkan dalam kehangatan air pun ia bisa merasakan tubuhnya yang meremang tatkala jari-jari Andreas menyusuri kulitnya. Semakin naik. Kian naik.
Napas tertahan di dada. Bayangan imajinasi hadir dan memperkirakan apa yang akan terjadi di detik selanjutnya. Sayang semua menghilang dari benaknya ketika tangan Andreas mendarat di tengkuk Vlora. Tanpa memberikan aba-aba, ia langsung menarik.
Vlora membuka bibir tatkala Andreas melabuhkan ciuman. Ia merekah dan mempersilakan Andreas memanggut. Pun turut melakukan hal serupa, balas mengecup.
Tak ingin menjadi pasif, kedua tangan Vlora kompak naik. Ia mengalung pada leher Andreas ketika dirinya kian ditarik. Lantas ciuman pun semakin dalam.
Andreas memiringkan wajah. Lidahnya menyusup pada celah kedua belah bibir Vlora dan masuk. Lantas kehangatan yang berbeda pun menyambutnya.
Lidah Andreas menemukan lidah Vlora. Ia menyapa dalam sentuhan menggetarkan. Membelit dan membelai, lantas ketika Andreas tak lagi bisa menahan diri maka ia pun mengisap lidah Vlora.
Tubuh Vlora bereaksi alamiah untuk sentuhan tersebut. Refleks, ia pun mencondongkan tubuh dengan sensual. Jemarinya menyusup di antara helaian rambut Andreas dan ia meremas pelan.
Andreas jelas menyadari pemasrahan yang diberikan Vlora padanya. Alhasil tak heran bila tangannya yang semula berada di tengkuk Vlora berpindah tempat sedetik kemudian. Ia meraba di tiap sisi seraya terus menikmati lidah Vlora sesuka hati.
Vlora mengerang. Tangan Andreas telah berpindah pada payudaranya dan mulai meremas. Alunan jemari Andreas menciptakan pergerakan yang berhasil membuat Vlora melengkungkan jari kakinya.
Desakan hadir. Ia mendorong sehingga Vlora kian merapatkan diri pada Andreas. Samar, tapi gelenyar itu berhasil membuat Vlora merapatkan kedua kaki.
Andreas melepaskan lidah Vlora. Ciuman terurai dan ia sedikit menarik diri. Jarak seadanya tercipta sehingga mereka bisa saling menatap satu sama lain untuk sesaat.
Ada kabut. Di kedua mata mereka, awan gairah menyelimuti. Memamerkan hasrat serupa.
Jari tangan Andreas masih bermain di payudara Vlora. Kali ini ia menggoda putingnya yang telah menegang. Beberapa sentuhan ringan yang ia berikan sukses membuat Vlora menggigit bibir bawahnya.
"Aku menganggapnya sebagai undangan, Vlo Sayang."
Serak pada suara Andreas tak bisa ditampik. Sudah teramat parau. Lebih dari cukup untuk menjelaskan keadaannya pada Vlora. Terlebih lagi ditambah oleh satu bukti tak terbantahkan di dalam air sana. Ada sesuatu yang mengeras dan terasa menekan tubuh bagian bawah Vlora. Sesuatu itu tentu saja menginginkan undangannya dalam waktu dekat.
Vlora berkedip sekali. Andreas sudah menyapa titik sensitifnya. Jari Andreas mendarat di kewanitaannya dan hanya butuh sedetik untuk membuatnya tercekat. Ia meremas pundak Andreas dengan ekspresi syok. Jelas, ia terguncang oleh permainan nakal Andreas.
Detik demi detik berlalu. Andreas lewati waktu dalam kenikmatan menggota klitoris sang istri. Ia berikan gerakan berputar yang sensual dan menutupnya dengan satu tekanan yang intens. Berkali-kali hingga membuat Vlora terpaksa harus menahan napas berulang kali.
Andreas menyeringai. Sekarang ia putuskan untuk tidak membuang-buang waktu. Alhasil ia segera meraih pinggang Vlora dan menuntunnya untuk sedikit bangkit.
Air jatuh dari tubuh polos Vlora. Ia tampilkan pemandangan yang Andreas yakini tak akan pernah bosan ia nikmati. Itu terlihat amat sensual.
Mengabaikan hasrat hati yang ingin berlama-lama menikmati keindahan tersebut, Andreas putuskan kembali pada rencana awal. Yaitu, perlahan mengarahkan kewanitaan Vlora pada kejantanannya.
Mata terpejam. Mulut membuka. Desahan pertama lolos dari bibir Vlora.
Vlora membanting kepala ke belakang. Mimik wajahnya memberikan penjelasan untuk sensasi yang menyergap.
Penuh. Tepat.
Hanya ada dua hal itu yang melintas di benak Vlora ketika kejantanan Andreas memasukinya. Dua hal yang segera sirna dari pikirannya ketika Andreas meremas pinggangnya sekilas.
Andreas menarik napas dalam-dalam. Menunggu sejenak, lalu ia menarik Vlora untuk benar-benar mendarat di pangkuannya.
"Argh!"
Desahan Vlora berubah menjadi erangan. Sedikit menyiratkan kaget, tapi ada juga kesan ringisan di sana.
Andreas menenangkan. "Kau baik-baik saja?"
Vlora memejamkan mata serapat mungkin. Remasannya di pundak Andreas semakin kuat.
"Aku baik-baik saja."
Andreas melabuhkan satu kecupan di pipi Vlora. Berusaha menenangkannya, ia pun perlahan mulai menuntun pergerakan.
Tangan Andreas memandu pinggang Vlora. Ia berikan arahan agar Vlora bergerak. Hanya satu gerakan pemancing dan lantas api di diri Vlora pun memercik.
Itu seperti Vlora menyerahkan diri pada insting primitifnya. Alhasil tak butuh waktu lama bagi Vlora untuk mampu menerka apa yang harus dilakukannya. Ia pun bergerak.
Pinggul Vlora menari dalam gerakan erotis yang tak pernah Andreas bayangkan sebelumnya. Itu adalah godaan. Itu adalah rayuan. Itu adalah pesona yang tentu saja berhasil membangkitkan hasrat Andreas.
Tangan Andreas meninggalkan pinggang Vlora, berpindah tempat. Ia meraba seluruh tubuh Vlora. Diawali dengan menikmati bongkahan bokongnya, lalu merasai kelembutan payudaranya. Ia tidak melewatkan sejengkal pun kulit Vlora.
"Oh, Vlo."
Andreas terpukau melihat betapa alamiahnya Vlora bergerak di pangkuannya. Ia tampak pasrah pada tuntunan nalurinya. Memacu dalam pergerakan yang mantap dan teratur, perlahan dengan kesan menyiksa. Namun, juga membuat Andreas mendamba.
Kepala Vlora terangkat ke belakang. Ia menengadah ketika mulai hanyut dalam gerakan sensual yang diciptakannya sendiri.
Vlora kembali mendesah. Sensasi kejantanan Andreas yang berputar dan menghunjam pada kewanitaannya sungguh tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia benar-benar terbuai.
Andreas tersulut. Lantas bibirnya mendarat di leher Vlora. Posisi kepala Vlora yang terangkat seolah undangan yang harus diterimanya.
Bibir terbuka. Andreas nikmati kulit Vlora. Ia menghisap dan menciptakan warna merah yang seksi di sana. Untuk itu lirihan nikmat Vlora pun mengalun merdu.
"Reas."
Kembali, Andreas meremas bokong Vlora. "Ya, Sayang?"
Namun, Vlora tak mampu menjawab. Alih-alih ia terus bergerak dan makin mendesah. Terlebih di detik selanjutnya Andreas memutuskan untuk turut berperan aktif.
Andreas berikan kendali pada Vlora. Ia biarkan Vlora menciptakan ritme percintaan mereka, tapi bukan berarti ia akan diam saja.
Tangan Andreas menahan pinggang Vlora. Setiap Vlora mendorong maka ia pun menarik hingga kejantanannya kian tenggelam sedalam mungkin.
Benturan terjadi. Vlora jelas merasakannya. Hal tersebut telah terjadi berulang kali dan samar meninggalkan rasa sakit. Namun, sungguh aneh. Bagaimana mungkin ia justru ingin merasakannya lagi?
Jadi tak aneh sama sekali bila Vlora semakin cepat memacu. Ia berusaha untuk semakin dalam menenggelamkan kejantanan Andreas.
"Oh, Reas."
Wajah mengeras. Andreas menggertakkan rahang. Semakin lama maka semakin intens pula irama percintaan mereka.
Andreas menyingkirkan dorongan hati yang terus ingin meraba tubuh Vlora. Alih-alih ia justru merengkuh Vlora sekuat mungkin. Ia memeluk erat dan Vlora membalas dengan hal serupa.
Di dalam air, dada bidang Andreas menekan kelembutan payudara Vlora. Sensasi erotis hadir ditambah dengan rengkuhan kedua tangan Vlora di lehernya. Mereka tak ubah sepasang insan yang tak ingin terpisahkan walah hanya oleh air.
"Ya, Vlo. Teruskan, Sayang."
Bisikan lembut nan manja menyapa indra pendengaran Vlora. Hangat napas Andreas membuatnya semakin meremang. Insting tersentil dan ia bergerak semakin liar.
Andreas memejamkan mata. Terpaksa menahan napas berulang kali, ia berusaha keras untuk tidak meledak sebelum Vlora mendapatkan kenikmatannya terlebih dahulu.
Mungkin sebentar lagi. Karena oh, Andreas bisa merasakan otot-otot kewanitaan Vlora yang mulai terasa berbeda. Ia kian mengerat. Ia kian mengencang di sekeliling kejantanannya.
Vlora merengek. "Reas, aku tidak kuat lagi."
Pelukan Andreas menguat. Sinyal telah didapat. Vlora sudah berapa di ambang klimaks.
"Teruskan, Sayang. Teruskan. Jangan ditahan."
Sekarang Andreas turut bergerak. Ia gerakkan pinggul sebisa mungkin untuk mengimbangi pergerakan Vlora. Menghunjam, masuk, dan membentur.
Vlora meremas pundak Andreas. Hunjaman-hunjaman yang diberikan Andreas membuatnya terhenyak. Selalu tepat dan kuat.
Bukan tanpa alasan. Satu-satunya keinginan Andreas adalah ingin memberikan kenikmatan untuk Vlora. Keinginan itu membuncah dan membuatnya bergerak brutal, terkesan tak terkendali.
Rengkuhan menguat, terasa seolah meluluhlantakkan tulang belulang. Andreas menggeram.
"Argh!"
Air di sekeliling mereka beriak. Layaknya pasrah ketika sepasang pengantin baru itu kian hilang akal dalam kenikmatan percintaan yang membungkus keduanya. Semakin lama semakin berombak.
Mungkin setelahnya nanti Vlora akan mengeluh sakit, perih. Namun, saat itu tak ada lagi yang mampu dipikirkan oleh Andreas selain berusaha membawa mereka menggapai pemuasan hasrat.
"Oh, Reas!"
Vlora mengerang. Hunjaman Andreas membuat kakinya bergetar gamang. Badai datang menerpa dan ia tak bisa mengelak. Pada akhirnya ia pun meledak.
Tangan Vlora di leher Andreas mengencang. Ia memejamkan mata serapat mungkin dan lantas menjerit.
"Reas!"
Wajah Andreas mengeras. Rahangnya kaku dan ia menahan napas tanpa menjeda pergerakannya. Alih-alih ia justru melakukan sebaliknya.
Kenikmatan yang dirasakan Vlora membuat Andreas makin gelap mata. Dirinya kian tak terkendali. Beringas. Seakan tak berperasaan. Menghunjam kian dalam hingga tak ada lagi bagian yang tak dirasakannya.
Hangat.
Lembab.
Liat.
Pun kuat.
Kewanitaan Vlora yang baru saja merasakan orgasme menjelma jadi surga untuk Andreas. Seperti ada hidangan utama yang mampu menghilangkan kewarasannya. Hidangan yang memang sepantasnya Andreas dapatkan.
Andreas menuntut haknya lewat hunjaman demi hunjaman. Ia mendesak berulang kali sehingga tiap gesekan yang tercipta membuatnya merasakan dorongan yang tak mampu ditahan.
"Argh!"
Dimulai dari satu geraman, Andreas menarik pinggul Vlora dan mendorong kejantanannya sedalam mungkin.
Suara Vlora tercekat, menyiratkan syok. Namun, ia tak menolak. Ia justru kian merengkuh dan memasrahkan pada penuntutan Andreas.
Rasa pasrah dan sensasi orgasme Vlora adalah dua hal yang begitu ampuh membuai Andreas. Pada akhirnya ia tuntaskan semua lewat satu satu hunjaman terakhir.
Benturan tercipta. Andreas menahan posisi mereka. Hanya untuk memastikan bahwa bukti kenikmatannya tertumpah pada tempat yang semestinya.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top