17. Sekilas Cerita
Ini adalah posisi sempurna. Dengan menyamping dan bertopang pada siku, Andreas bisa memanjakan mata sepuasnya. Lihat saja. Ekspresi dan senyum lebarnya sungguh memperjelas semua.
Tak ada yang tak bisa dilihat Andreas. Tak ada satu bagian pun yang lepas dari tatapannya. Ia benar-benar menikmati pemandangan Vlora yang berbaring di sebelahnya.
Bola mata Andreas bergerak. Ia awali penjelajahan visual dimulai dari kepala Vlora yang berada di bantal empuk. Rambut bergelombangnya berantakan. Sepasang matanya memejam. Pipinya masih membiarkan merah. Pun bibirnya yang merekah membuka memperlihatkan bengkak.
Turun sedikit, Andreas dapati tangan Vlora dengan lemas menahan selimut di atas dadanya yang polos. Tampak pergerakan naik-turun yang teratur hingga tak jarang sesuatu terlihat mengintip dari dalam sana.
Ehm ....
Andreas meneguk ludah. Agaknya tak butuh waktu lama baginya untuk menarik kesimpulan. Yaitu, ia rela menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk memandangi Vlora.
"Orang tuaku meninggal ketika aku masih muda, Reas. Malah bisa dikatakan ketika aku masih sangat muda. Bahkan di saat itu aku menjalani hidup sambil mengurus Thomas. Aku tidak punya waktu untuk sekadar berkencan."
Suara Vlora terdengar tiba-tiba. Tanpa membuka mata, ia bicara setelah membuang napas panjang.
Andreas tersenyum. Kali ini ia menuruti dorongan hati untuk menyentuh Vlora. Pertama adalah dengan sentuhan di anak-anak rambutnya yang mengikal pada sisi wajah.
"Lama-lama kau bisa membuka praktik cenayang, Sayang."
Andreas tak puas hanya dengan menyentuh rambut itu, jadi ia pun beringsut. Ia tenggelamkan wajah ke riak-riak beraroma bunga itu. Mata terpejam dan ia menghirup wanginya. Lantas ia mengecup sisi kepala Vlora.
Sentuhan Andreas membuat Vlora membuka mata. Ia mengerjap pelan sekali dan meremas tepian selimut. Antisipasinya langsung menyala tatkala ia merasakan kulit mereka kembali saling menyapa di dalam sana.
"Kau ingin menanyakan itu bukan?" tanya Vlora seraya berpaling, menatap Andreas. "Apa aku salah?"
Andreas tak langsung menjawab. Ia biarkan bibirnya untuk menjelajah. Menyusuri garis rahang Vlora dan mengecup pipinya.
Tak hanya itu. Tangan Andreas di dalam selimut sudah meraih pinggang Vlora. Ia berikan sentuhan-sentuhan samar yang meremangkan si empunya.
"Tidak, kau benar," jawab Andreas. Bibirnya masih bermain-main di pipi Vlora. "Memang itu tepatnya yang ingin kutanyakan. Wanita sepertimu ..." Ia semakin beringsut mendekat. "... mustahil tak memiliki kekasih sebelumnya."
Napas Vlora berembus berat. Kala itu ia menyadari bahwa sentuhan sang suami benar-benar memberikan efek tak main-main padanya. Nahas, tubuhnya menunjukkan tanda-tanda menyukai hal tersebut.
Jemari Andreas meraba. Lalu ia mengusap pinggang dan perut. Namun, tak lama kemudian semua rayuan yang dilakukannya berhenti. Sebagai gantinya ia berbisik.
"Aku memang bajingan. Baru setengah jam berlalu dan aku sudah mencumbumu lagi. Apa kau lelah?"
Mata Vlora menyipit saat menangkap perubahan pada sorot mata Andreas. Ia menyeringai tipis.
"Menurutmu? Setelah beberapa jam di pesta pernikahan kita? Oh, tentu saja aku lelah."
Sepertinya Andreas sedikit melakukan kesalahan dalam bertanya kali ini. Nyatanya Vlora memang lelah, tapi jujur saja tubuhnya sudah merespon cumbuan yang Andreas berikan.
Vlora menyingkirkan kemungkinan untuk meralat pertanyaan Andreas. Sedikit akal sehat yang tersisa memperingatkannya. Ia memang lelah. Semua keinginan tak selalu harus dituruti. Sungguh lebih bijak kalau ia tidak mendorong tubuhnya hingga ke batas kesanggupan.
"Tentu saja kau lelah. Jadi sepertinya lebih baik kita tidur sekarang," angguk Andreas. "Aku yakin besok kita memiliki hari yang panjang."
Tuntas mengatakan itu, Andreas sudah berencana untuk memejamkan mata. Ia sudah mengambil posisi yang sempurna—di lekuk leher Vlora. Namun, sesuatu membuatnya membuka mata kembali.
Andreas sedikit mengangkat kepala. Dahinya mengerut mendapati Vlora yang tegang, bisa dikatakan lebih tegang ketika mereka melewati malam pertama tadi.
"Ada apa?"
Vlora menarik napas dalam. "Sejujurnya berpelukan ketika tidur, itu bukan kebiasaanku."
Andreas diam sejenak seolah butuh waktu untuk mencerna perkataan Vlora. Lalu senyumnya perlahan mengembang.
Tentu saja kejujuran Vlora tidak membuat Andreas menjauh. Sebaliknya, ia semakin mendekati Vlora dan kian merengkuh pinggangnya.
"Kalau begitu ..."
Vlora tak berkutik. Ia benar-benar tenggelam dalam pelukan Andreas.
"... kita bisa membiasakannya mulai dari sekarang."
*
Untuk kategori orang yang tidak biasa tidur sambil berpelukan, nyatanya Vlora melebihi ekspektasi Andreas. Ia memang tahu kalau Vlora bukanlah tipe wanita pemalu yang akan mundur ketika terdesak. Vlora tidak akan diam-diam menyelinap keluar dari pelukannya. Hanya saja ia sudah bersiap-siap kalau Vlora justru menendangnya ketika mereka tidur.
Syukurnya, itu tidak terjadi. Andreas masih sehat wal'afiat sampai bangun kembali.
Vlora masih di dalam dekapannya. Wajah lelahnya tampak damai dan sesuatu melintas di benak Andreas.
Aku baru menyadari mengapa begitu banyak pria yang menginginkan pernikahan. Ehm memang ada kesan yang berbeda saat melihat istri tidur dalam pelukan.
Andreas menghabiskan waktu beberapa saat untuk menikmati momen itu. Ia merasakan halus kulit Vlora. Tanpa lupa menghirup aroma rambutnya. Lantas justru ia yang meremang karena embusan hangat napas Vlora membelai dadanya. Di sana, wajah Vlora mendarat dengan penuh kepasrahan dalam ketidaksadaran—terasa nyaman.
"Ehm."
Andreas menunduk. Vlora menggeliat di dadanya. Tangan Vlora yang semula terdiam di atas perutnya, pelan-pelan beranjak.
"Kau sudah bangun, Vlo?"
Ada anggukan yang Andreas rasakan. Vlora melepaskan diri dari pelukan Andreas dan bangkit duduk.
Vlora menahan selimut di depan dada dengan satu tangan sementara tangan lainnya mengusap rambut yang berantakan. Di posisinya, Andreas mendapati gerakan itu menggoda.
Oh. Kurasa apa pun yang dilakukan Vlora sekarang akan menjadi godaan di mataku.
Andreas turut bangkit. Mendekat, bibirnya mendarat di pundak Vlora. Ia berikan ucapan selamat pagi dengan cara yang amat manis.
Vlora mengabaikan Andreas. Ia mencermati rasa tubuhnya sendiri dan mulai memberikan pijatan di beberapa tempat. Andreas pun tersenyum.
"Tubuhku rasanya sangat pegal. Ini bahkan tidak seperti aku yang baru bangun tidur."
Senyum Andreas berubah jadi tawa. "Aku yakin aku bisa membantumu untuk yang satu itu."
Vlora berpaling. Dahinya mengerut saat melihat ekspresi sang suami.
"Apa yang ada di benakmu?"
Andreas tidak langsung menjawab, melainkan beranjak. Kedua tangan bergerak dan dalam sekejap mata, Vlora telah jatuh dalam gendongannya. Ia abaikan kepolosan tubuh masing-masing dan turun dari tempat tidur.
"Reas."
Vlora kaget, tentu saja. Untungnya kekagetan tidak membuatnya lupa untuk mengalungkan tangan di leher Andreas—malah bisa dikatakan refleks.
Andreas beranjak dalam langkah teratur. Ia nikmati pemandangan polos Vlora dalam gendongannya. Oh, astaga. Ia benar-benar bersyukur.
"Mandi, Vlo," ujar Andreas dengan lirikan geli. "Air hangat adalah jawaban paling tepat untuk rasa pegalmu."
Sepertinya ide yang menarik. Bayangan mandi dengan air hangat memang terdengar menggiurkan.
Andreas mendudukkan Vlora di kursi kamar mandi dan lalu ia menyiapkan semua. Ia mengisi bak mandi dengan air hangat tanpa lupa dengan sabun beraroma bunga.
Vlora memperhatikan Andreas dengan senyum kecil. Ketika Andreas sedang mengaduk air di bak dengan tangan, tatapannya beradu dengan Vlora.
"Apa aku membuatmu terkesan?"
Senyum Vlora mengembang lebih lebar. "Siapa yang tahu?"
Andreas membopong Vlora ke dalam bak. Penuh kehati-hatian, ia tak ubahnya pria yang terlahir hanya untuk melayani sang istri.
Buih-buih beraroma wangi menyambut Vlora. Rasa hangat membungkus dan kesan santai langsung melambai-lambai.
Rasanya sungguh nikmat. Saking nikmatnya nyaris membuat Vlora tak menyadari bahwa Andreas tidak turut berendam dengannya.
Andreas keluar dari bak. Refleks, Vlora bertanya.
"Kau mau ke mana, Reas?"
Langkah Andreas berhenti. Dahi mengerut, mata menyipit, dan sorotnya menggoda. Ia balik bertanya.
"Ingin mengajakku bergabung, Vlo?"
Vlora terdiam sedetik, lalu menjawab. "Sesukamu saja."
Andreas terkekeh. Langkah kembali berlanjut dan sekarang ia benar-benar menuju pada tujuannya semula. Yaitu, tepat di belakang Vlora.
"Apa yang kau lakukan?"
Punggung Vlora yang sempat bersandar pada pualam mewah bak tersebut seketika menegap kembali. Ia sedikit memutar tubuh demi melihat Andreas.
Andreas duduk tepat di belakang Vlora. Ia menaruh handuk di lekuk pualam dan mengisyaratkan Vlora agar bersandar kembali.
"Percaya padaku. Aku ingin membantumu menghilangkan pegal-pegal yang kau rasakan."
"Kau—"
Andreas bersikukuh. Ia meraih pundak Vlora dan menuntun agar sang istri melakukan apa yang diinginkannya.
"Kau akan melihat kalau aku bukan hanya ahli dalam membuat tubuhnya menjadi pegal, tapi juga ahli untuk membuat tubuhmu kembali bugar."
Vlora tak punya kesempatan untuk mendebat perkataan Andreas. Satu sentuhan yang Andreas berikan di pundaknya membuat kesadarannya seolah lenyap dan ia seketika memejamkan mata—tentunya dengan posisi bersandar seperti yang Andreas inginkan.
Sepasang tangan Andreas melakukan tugasnya. Di pundak Vlora, ibu jarinya bergerak dalam gerakan berputar yang begitu tepat. Tak terlalu kuat, tapi bertenaga. Ia hadirkan sensasi santai yang terang saja tak akan mampu ditolak oleh Vlora.
"Oh, astaga, Reas."
Desahan pertama Vlora lolos. Andreas tersenyum.
"Aku senang kau menikmatinya, Vlo," kata Andreas penuh rasa bangga. "Mungkin dari sini kau bisa menyadari kalau suamimu ini memiliki banyak bakat. Lidah dan jariku terbukti bisa melakukan banyak hal."
Kekehan kecil lolos dari bibir Vlora. Suaranya terdengar malas, tapi anehnya justru terdengar seksi di telinga Andreas.
"Jujur saja, Reas. Sebenarnya berendam di bak mandi dan dipihat seperti ini juga bukan kebiasaanku."
Andreas berdecak. "Bagaimana mungkin wanita seperti dirimu tidak pernah dimanja, Sayang?"
Vlora tersenyum lebar. Sekarang ia benar-benar merasa nyaman. Air hangat beraroma wangi dan pijatan sang suami adalah perpaduan sempurna yang memang layak diperhitungkan.
"Tidak banyak hal bisa aku tuntut setelah kepergian orang tuaku, Reas."
"Kurasa bukan hanya berkencan yang terpaksa dihapus dari daftar kehidupanmu."
"Tentu saja," respon Vlora sambil membuang napas panjang. "Orang tuaku pergi dengan begitu mendadak."
Andreas memberanikan diri untuk bertanya. "Kecelakaan?"
Itulah satu-satunya alasan paling masuk akal ketika Andreas mendengar kematian dua orang secara bersamaan. Kecelakaan tragis. Namun, Vlora justru menggeleng.
"Bunuh diri."
Pijatan Andreas berhenti. Ia syok.
Vlora membuka mata dan tersenyum. "Mereka gantung diri dan jenazahnya ditemukan Thomas."
Sepertinya itu bukan topik yang Andreas duga. Bahkan kata syok tidak lagi mampu mewakili keterkejutan Andreas. Ia benar-benar tak percaya.
Wajar saja. Pantas saja Thomas ....
Bahkan hanya mendengar ceritanya saja bisa membuat Andreas terguncang, apalagi Thomas? Jadi sepertinya sangat masuk akal melihat keadaannya sekarang.
"Aku tidak tahu apakah aku harus merasa beruntung atau sebaliknya," lanjut Vlora. Mata membuka, tapi sorotnya perlahan meredup. Ia seakan terlempar kembali ke masa lalu. "Aku kuliah dan aku tidak tahu kalau masalah yang dihadapi orang tuaku membuat mereka putus asa seperti itu."
Sangat amat putus asa sehingga bunuh diri menjadi jalan keluar. Menyedihkan sekali.
"Perusahaan Papa harus berpindah tangan dan aku tahu itu adalah kebanggaannya. Jadi entah mengapa, aku memaklumi keputusan mereka."
Perasaan tak enak semakin menggerogoti Andreas. "Aku minta maaf, Vlo. Seharusnya aku tidak mengungkitnya."
Vlora kembali menggeleng. Tangan naik dan ia menepuk tangan Andreas.
"Pijatannya, Reas."
Andreas tersadar. Ia lanjut memijat dan sempat mengira kalau topik berat itu telah tuntas. Namun, ia kecele. Vlora justru lanjut bicara.
"Walau begitu tetap saja aku merasa mereka egois. Mereka pergi sementara ada aku dan Thomas yang harus tetap hidup. Terkadang aku juga ingin menyerah, tapi aku kasihan pada Thomas."
Mungkin inilah saatnya Andreas harus menutup mulutnya rapat-rapat. Ia putuskan untuk tidak akan merespon lagi perkataan Vlora.
"Kabar baiknya, kejadian itu memberikan aku satu pelajaran. Tidak ada satu orang pun yang bisa kita jadikan pegangan. Aku sadar kalau aku hanya bisa berpegang pada diriku sendiri."
Ingatan membawa Vlora kembali pada masa sepuluh tahun yang lalu. Di saat ia merasakan titik terendah dalam hidup. Ia kehilangan orang tua dan sang adik kehilangan kewarasannya.
"Aku nyaris tak bisa bertahan."
Sepertinya inilah waktu yang tepat untuk Andreas kembali berbicara.
"Kau bertahan."
Vlora mengangguk. "Tentu saja."
Tentunya dengan tidak mudah. Alhasil Andreas sudah menemukan benang merah untuk karakter Vlora yang berbeda dari wanita kebanyakan. Lantaran tak banyak wanita yang berada di posisi Vlora.
Kehidupan yang Vlora lalui menempanya menjadi wanita tangguh. Ia bukan hanya mampu bertahan, melainkan juga bisa bergerak maju. Ia tidak terpuruk dalam kemalangan, tapi justru bisa mendapatkan berbagai pencapaian yang mengagumkan.
Dia memang luar biasa.
Sekarang Andreas akan membuka kamus. Ia harus menemukan kata yang lebih kuat ketimbang menakjubkan. Vlora jelas lebih dari itu.
"Reas?"
Lamunan sesaat Andreas buyar. Ia mendehan dan bangkit, segera menghampiri Vlora di bak. Lantas bertanya.
"Keberatan kalau aku bergabung?"
Vlora mengerjap dan memposisikan kedua kaki di dalam sana. Ia menggeleng.
"Tidak. Silakan saja."
Andreas mendekati Vlora. "Apa kau merasa sedih sekarang?"
"Sedih? Karena cerita tadi?" tanya balik Vlora seraya mendengkus. "Tentu saja tidak."
Jemari Andreas menyapu pipi Vlora. Ia berikan sentuhan dan juga janji yang tak terduga.
"Mulai hari ini kau bisa berpegang padaku, Vlo."
Ucapan yang tak diantisipasi Vlora. Matanya membesar, kaget. Ia bisa saja memberikan respons sinis yang kerap dilakukan tatkala Andreas merayu, tapi tidak. Ada sesuatu di sorot Andreas yang membuatnya menelan semua kata-kata tajam itu.
Lebih jauh, Vlora diam saja ketika Andreas meraih tangannya. Andreas memberikan ajakan tanpa kata-kata dan ia menurutinya.
Andreas bersandar. Vlora beranjak, dari duduk di dasar pualam dan sekarang berada di pangkuan Andreas.
Sekilas, Andreas merapikan rambut Vlora. Lalu ia menangkup wajah Vlora dan memberikan ciuman di bibirnya. Hanya kecupan sesaat.
Mata membuka dan keduanya bertemu dalam satu tatapan lurus. Andreas merasakan satu tangan Vlora bergerak di dadanya. Ekspresi wajah Vlora tak terbaca, tapi ia tak pelu bersusah payah menebak. Vlora mengatakannya sedetik kemudian.
"Aku tak pandai memijat, tapi mngkin aku bisa menggosok tubuhmu."
Oh, yang benar saja.
Andreas menahan napas. Tampak tak berdaya ketika jemari Vlora menyentuh samar putingnya di dalam air.
"Bagaimana?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top