14. Perubahan

Mempercepat tanggal pernikahan jelas bukan masalah besar untuk seorang Andreas. Apalagi karena ada seseorang yang tentu saja akan mendukung hal tersebut dengan senang hati.

Adalah Ningsih orangnya. Sang nenek tak menyia-nyiakan keputusan Andreas dan Vlora. Ia turun tangan dalam mempersiapkan semua hal yang berkaitan dengan pernikahan tersebut.

Wajar. Semua nenek di belahan dunia ini pasti akan bahagia bila cucunya menikah. Terlebih bila itu adalah cucu pertama yang diakui.

Berbanding terbalik dengan kebahagiaan Ningsih, Andreas mendapatkan ekspresi tercengang orang tuanya. Walau demikian Andreas masih bisa menangkap binar-binar di mata Ashmita dan sang adik malah dengan begitu nyata terkesiap bahagia.

"Akhirnya kau benar-benar memutuskan untuk mempercepat pernikahanmu, Kak."

Andreas ingin merespon perkataan Vian, tapi Birawa keburu bicara tanpa meletakkan koran yang tengah dibacanya.

"Sebenarnya apa yang kau rencanakan sehingga ingin mempercepat pernikahanmu dengan wanita itu? Kau ingin menghimpun orang-orangmu sendiri?"

Andreas menarik napas sejenak dan menyandarkan punggung di sofa dengan sikap santai, menjawab.

"Tentu saja aku memang ingin menghimpun orang-orangku sendiri," jawab Andreas tanpa merasa perlu untuk menutupi niatannya. "Itu dimulai dengan memilih istri yang tepat. Vlora adalah calon yang tepat. Lagipula Oma sudah sangat ingin menimang cicit. Apa Papa tidak ingin melihat bagaimana imutnya bayiku dan Vlora nanti?"

Perkataan itu diniatkan Andreas untuk memanas-manasi Birawa, tapi yang terjadi lebih dari itu. Bayangan bayi imut, entah mengapa, mendadak saja muncul di benak Andreas. Terasa menyenangkan hingga ia spontan tersenyum.

Lebih menggelikan lagi, Andreas mendadak teringat akan ledekan yang pernah ia layangkan pada Lucas. Kala itu Lucas bercerita mengenai perkembangan kandungan Velia. Ia menganggap Lucas kekanakan. Sikap Lucas tidak mencerminkan Lucas yang biasanya. Bagaimana mungkin bisa Lucas heboh hanya karena selembar gambar hitam-putih?

Namun, sekarang Andreas kena batunya. Bahkan sebelum ia menikah dan Vlora hamil, ia sudah merasakan antusiasme di luar prediksi. Itu membuatnya ia paham akan sesuatu. Bahwa seorang bayi adalah makhluk kecil yang memang memiliki pengaruh sangat besar. Bahkan teramat besar untuk bisa menyihir pria dewasa seperti mereka.

Senyum Andreas semakin lebar. "Sepertinya menikah memang adalah ide tepat."

Ashmita dan Vian bisa melihat jelas perbedaan ekspresi Andreas. Tak pelak, Andreas memang tampak seperti seorang yang tidak sabar untuk menyambut hari pernikahannya.

Semenit berlalu dan Andreas tersadar dari alam khayalannya. Ia mendeham dan menegapkan punggung kembali, berkata pada Birawa.

"Aku memang tidak memerlukan restu Papa atau segala macam karena aku jelas belajar dari sejarah. Aku juga tidak mementingkan kehadiran Papa. Pernikahan akan tetap berjalan dengan ada atau tanpa kehadiran Papa. Jadi Papa tidak perlu khawatir. Kehadiran Papa sama sekali tidak penting."

Rasanya mustahil Birawa bisa tetap fokus pada koran. Sekarang koran sudah mendarat turun dari pandangan dan ia menatap tajam pada Andreas.

"Hanya saja," lanjut Andreas seraya menarik napas. "Sebagai seorang presdir, mungkin Papa masih memikirkan pandangan orang-orang terhadap keluarga kita. Kurasa Papa masih ingin menjaga martabat di hadapan orang-orang."

Wajah Birawa mengeras. Tak perlu ditanya, ia tengah menjaga emosi yang mengancam akan meledak.

"Kau tidak bisa menikah secepat itu, Reas. Kalau kau masih memikirkan pandangan orang-orang terhadap keluarga kita, seharusnya kau tahu kalau pernikahan mendadak justru akan memperparah semuanya."

Andreas berdecak sekilas. "Papa pasti tidak tahu kalau zaman sekarang orang-orang menyukai kejutan romantis," responnya enteng. "Ternyata Andreas dan Vlora sudah menjalin hubungan sedari dulu. Hal itu terlihat dari seringnya Andreas pergi ke Greatech untuk bertemu kekasihnya yang merupakan sekretaris di perusahaan itu. Tanpa diketahui khalayak ramai, mereka juga telah merencanakan pernikahan selama ini."

Senyum penuh rasa percaya diri menutup kutipan artikel yang sudah mengisi benak Andreas. Betapa skenario yang apik.

"Begitulah kira-kira artikel yang akan ditulis di media massa. Lihat? Bukankah aku sudah mengatakannya? Papa tak perlu khawatir. Aku sudah menyiapkan semua antisipasi. Frans akan mengurusnya dengan mudah."

Terlepas dari itu adalah rencana logis, tak urung jua Vian menganga takjub. Ia yang akrab dengan sosial media jelas tahu kalau perkataan Andreas benar 100%. Masyarakat zaman sekarang memiliki kesenangan tersendiri bila itu berbicara soal pernikahan mendadak dan kisah romantis yang terselubung. Tak bisa dipungkiri, itu menjelma menjadi sebuah tren.

"Sekali mendayung, dua pulau terlampaui. Orang-orang akan kagum karena seorang pria memutuskan untuk menikah setelah melewati masa petualangannya. Belum lagi karena pilihannya jatuh pada wanita yang benar-benar tidak terprediksi. Aku bisa jamin, orang-orang akan mulai memperhatikanku hanya dalam hitungan hari."

Lebih dari ingin menghindari perjodohan dengan Nadine, akhirnya Birawa menyadari itu. Penolakan Andreas akan perjodohan itu bukan menjadi satu-satunya hal yang harus ia antisipasi, melainkan itu adalah permulaannya.

Sekarang menahan emosi adalah hal mustahil untuk Birawa. Koran di tangan bergerak dan mendarat telak di meja hingga menimbulkan suara keras. Ia membantingnya.

"Sepertinya kau benar-benar ingin melawan Papa."

Ashmita tersentak. Itu adalah sinyal untuknya. Suasana mulai memuncak dan ia harus segera menengahinya.

"Papa, ini bukan berarti Andreas ingin melawan Papa."

Andreas memasang ekspresi polos. "Aku memang ingin melawan Papa, Ma. Tidak perlu ditutupi lagi."

"Kau tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan, Reas," janji Birawa dengan jari terkepal. "Papa tidak akan membiarkanmu mengacaukan semuanya."

"Aku akan dengan senang hati mengingatkan Papa. Sebagai bukti pertama, aku mendapatkan pernikahan yang aku inginkan. Pelan-pelan, aku juga akan mendapatkan hal lainnya," ujar Andreas menyeringai. Ia lantas bangkit dari duduk. "Bicaralah dengan Jonas dan persiapkan kekuatan kalian. Jangan biarkan ini menjadi pertarungan yang mudah."

*

Pernikahan yang dipercepat memang bukan masalah. Andreas dengan dibantu Ningsih dan Frans bisa mengurus semuanya tanpa ada cela. Tak butuh waktu lama, ia bisa memastikan bahwa pernikahannya bisa dilakukan dalam waktu dua minggu lagi. Waktu yang cukup membuatnya puas mengingat tak mudah mendapatkan persetujuan Vlora.

Namun, ada satu hal yang membuat kebahagiaan Andreas berantakan. Yaitu, mengenai jadwal setelah pernikahan mereka. Jadi tidak mengherankan bila di siang itu ia langsung masuk ke ruangan Lucas sambil berkata secara terang-terangan.

"Kau sungguh tidak berperasaan, Luc!"

Lucas mengangkat wajah. Ia melirik jam tangan sekilas dan mendapati saat itu sudah memasuki waktu istirahat.

Bangkit berdiri, Lucas bertanya. "Ingin makan siang bersamaku?"

Andreas mendelik. "Makan siang?" tanyanya tak habis pikir. "Apa aku terlihat seperti orang yang ingin makan siang di saat kau justru mengacaukan rencanaku?"

Lucas terkekeh. Ia mengenakan kembali jas dan mendekati Andreas yang duduk di sofa. Andreas terlihat amat gusar.

"Rencanamu? Maksudmu adalah rencana untuk mendesak sekretarisku menikah dadakan? Lalu mengajukan cuti dadakan juga?"

Andreas mengerang seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Ia membanting kepala ke belakang dan meluapkan kekesalan.

"Apa jadinya pernikahan tanpa bulan madu?"

Gelak Lucas semakin pecah. "Sebagai informasi untukmu kalau kau lupa. Aku juga tidak langsung berbulan madu setelah pernikahanku."

Tangan Andreas turun. Ia berdecak dan tentu saja tak akan lupa untuk cerita Lucas yang satu itu. Sayangnya, kondisi mereka berbeda.

"Karena di saat itu Velia sedang mengalami mual kehamilan. Ck. Aku tahu itu. Kau memang sengaja, Luc. Kau memang pria paling tidak berperasaan yang pernah aku temui."

"Baiklah. Kalau begitu, silakan kau bujuk Vlora. Kalau dia menginginkan cuti, aku akan menyetujuinya. Walau aku tidak memiliki sekretaris kedua, tapi aku bisa meminta bantuan orang-orang Papa."

Andreas diam sejenak. Tawaran menggiurkan itu membuatnya berpikir dan Lucas justru menyeringai.

"Aku hanya berharap kau sudah mengenal dengan pasti sifat calon istrimu."

Hal itulah yang membuat Andreas terdiam. Apa yang dikatakan Lucas adalah hal yang ia pikirkan. Ia memang belum terlalu lama mengenal Vlora. Terhitung belum setahun, tapi ia sudah bisa mengetahui sifat dan pemikiran Vlora.

"Kau benar," ujar Andreas lemah seraya memejamkan mata dengan dramatis. "Vlora pasti akan menolaknya. Dia persis seperti dirimu."

Lucas berdecak dengan ekspresi geli. Agaknya ia mendapatkan hiburan tersendiri dengan melihat kegusaran Andreas.

"Lagipula dibandingkan dengan berbulan madu, apa menurutmu tidak lebih penting kalau kau segera bergerak?"

Embusan napas Andreas terdengar kasar. Ia mengacak rambut sekilas. "Aku perlu menikmati pernikahanku dulu sebelum bergerak. Argh! Pernikahan dadakan ini sepertinya membawa satu ketidakberuntungannya."

Andreas bangkit. Sekilas ia merapikan jas dan menunjukkan tanda-tanda akan beranjak. Lucas bertanya.

"Jadi bagaimana dengan makan siangnya?"

"Sampaikan saja salamku pada Velia. Aku ingin pulang saja. Sepertinya aku harus mendinginkan kepala."

Lucas kembali terbahak. Ia biarkan tawanya berderai mengikuti langkah Andreas keluar dari ruangannya. Kala itu pikiran sinis Andreas berkata.

Sepertinya baru kali ini aku melihat Lucas tertawa sebesar ini. Dia punya kecenderungan senang melihat penderitaanku.

Nyatanya Andreas tidak benar-benar langsung pulang. Ia mampir ke meja Vlora dan mendapati calon istrinya tengah menyesap secangkir kopi.

"Ingin makan siang bersamaku?"

Vlora menaruh cangkir kopinya dan mengangguk. "Tentu saja."

Makan siang tidak hanya sekadar ajang menikmati santapan. Andreas dan Vlora memanfaatkannya untuk membicarakan rencana pernikahan. Ada beberapa hal yang harus didiskusikan dan tentu saja ada hal paling penting yang menjadi titik berat Andreas.

"Kita akan menjadwal ulang rencana bulan madu kita, Vlo."

Vlora menikmati seiris daging sapi dengan sekelumit senyum. "Aku terkesan kau mampu menerima hal itu. Awalnya kupikir kau akan benar-benar mendesak."

"Setidaknya aku menyadari kalau ada beberapa hal yang memang tidak bisa dipaksakan. Terkadang munduk sejenak memberikan peluang untuk bisa melompat ke depan," ujar Andreas seraya menarik napas. Ia menyipitkan mata dan melihat Vlora yang begitu menikmati makan siangnya. "Ketimbang mengajukan cuti seminggu untuk bulan madu, bagaimana kalau nanti kau mengajukan sebulan?"

Vlora nyaris tersedak. Ia menjeda makan siangnya dan menatap Andreas tak percaya.

"Sebulan? Oh, astaga, Reas. Aku tak bisa mengambil cuti selama itu. Aku sekretaris. Kau jangan mengada-ada."

"Kau benar. Terkadang aku terlalu mengada-ada."

Pembicaraan berlanjut. Topik bergulir. Mereka membahas hal lainnya, termasuk di dalamnya keinginan Andreas untuk bertemu adik Vlora, Devando Thomas.

Sejujurnya, Vlora tak mengira kalau Andreas akan menaruh perhatian pada adiknya. Lagipula apa yang ia harapkan? Thomas berada di rumah sakit jiwa dan bisa dipastikan tidak akan hadir dalam pernikahan mereka nanti.

Namun, Andreas berhasil membuktikan pada Vlora untuk kesekian kali bahwa ia memang adalah pria yang mengesankan. Ia memperhatikan setiap detailnya. Bukan hanya berkenaan dengan Thomas, melainkan juga terhadap om dan tante yang sudah menjaga mereka selama ini.

Andreas dan Vlora mengunjungi kediaman Santoso. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Eko Hartanto dan Maya Dwi Lestari. Mereka membicarakan soal rencana pernikahan dan lamaran berlangsung dua malam selanjutnya. Betapa waktu yang menakjubkan.

Namun, ada yang lebih menakjubkan lagi. Yaitu, Birawa turut hadir walau ia mengetahui bahwa Ningsih turut hadir dalam acara itu.

Pikiran satire Andreas pun tergelak. Tak tanggung-tanggung, ia pun memuji perkataan orang-orang selama ini.

Ternyata benar. Pernikahan akan membawa rezeki tersendiri.

Andreas dan Vlora mengunjungi Thomas di akhir pekan selanjutnya. Kedatangan mereka bertepatan dengan jadwal Vlora memantau perkembangan sang adik. Dari konsultasi singkat itu, Vlora tahu bahwa belum ada perkembangan yang memuaskan. Walau demikian tetap ada kabar baik. Tingkat halusinasi Thomas sudah semakin berkurang.

"Dia terlalu syok."

Vlora membuka pembicaraan ketika keduanya menuju mobil Andreas yang diparkir. Andreas berpaling dan mendapati Vlora yang melanjutkan perkataannya.

"Dia memang sangat dekat dengan kedua orang tua kami. Kau pasti tahu. Anak laki-laki dan bungsu."

Andreas mengangguk. Ia paham.

"Dia begitu terpukul. Tak jarang aku dulu harus menenangkannya di tengah malam ketika dia merasa melihat Mama dan Papa."

Andreas tak membutuhkan penjelasan itu. Ia mungkin pria urakan, tapi bukan berarti tidak berperasaan. Setidaknya ia tahu hal mana yang pantas untuk ditanyakan atau tidak.

Berbeda dengan Vlora. Ia yakin bahwa memang sudah sewajarnya Andreas mengetahui setiap detail kehidupannya. Satu persatu. Secara bertahap.

Untuk itu Andreas bersikap dewasa untuk mendengarkan. Pun bersimpatik dengan tulus.

"Aku turut bersedih, Vlo."

Vlora menarik napas dalam-dalam. "Terima kasih."

Perjalanan pulang diliputi keheningan. Andreas sengaja memberikan waktu untuk Vlora. Ia biarkan Vlora menenangkan diri dan sedikit banyak, ia bisa meraba perasaan Vlora.

Nyaris bisa dikatakan bahwa Vlora tidak benar-benar memiliki keluarga dekat. Hanya ada Eko dan Maya. Ditambah seorang adik yang tak bisa turut merasakan kebahagiaan Vlora di hari sakral mereka nanti.

Vlora memang tidak menunjukkan kesedihannya. Ia tampak biasa-biasa saja. Namun, sekarang Andreas bertanya-tanya. Apakah mungkin sebenarnya sikap biasa-biasa Vlora adalah ekspresi kesedihannya selama ini?

Setibanya di apartemen Vlora, Andreas turut melepaskan sabuk pengaman. Itu memberikan sinyal tersendiri untuk Vlora bahwa Andreas akan mampir ke unitnya.

"Kau ingin teh?"

Vlora beranjak. Ia berniat untuk ke dapur, tapi Andreas menahan tangannya.

"Aku tidak ingin teh."

Vlora mengernyit mendapati sikap Andreas yang sedikit berbeda malam itu. Biasanya Andreas akan mengupayakan banyak hal untuk bisa berlama-lama di unitnya. Untuk itu secangkir teh adalah penunda waktu yang sempurna.

"Tidak ingin? Ehm apa kau ing—"

Ucapan Vlora terhenti. Kebingungan Vlora terbayar ketika tanpa setangkai bunga mawar atau balon di udara, Andreas justru mengeluarkan satu kotak beludru bewarna mereka.

"R-Reas. Apa yang kau lakukan?"

Andreas mengeluarkan satu cincin bermahkotakan berlian dari kotak beludru itu. Lantas ia meraih tangan Vlora dan menjawab lirih.

"Aku ingin pernikahan ini berjalan dengan sebagaimana mestinya. Jadi kupikir satu cincin akan menyempurnakannya."

Vlora meneguk ludah. "Ini tak perlu."

"Perlu bagiku."

"Kau lupa?" tanya Vlora semakin gugup. "Kau sudah memberiku cincin saat malam lamaran."

Andreas menarik napas dan menggenggam jemari Vlora. "Cincin malam itu adalah bagian resmi dari rangkaian acara, tapi yang satu ini ..."

Wajah terangkat. Andreas menatap Vlora.

"... lain cerita."

Vlora tak bisa bernapas. "Reas."

"Ini adalah cincin yang semestinya kuberikan pertama kali untukmu. Kau bisa menganggapnya sebagai simbol."

"S-simbol?"

Andreas tersenyum. "Simbol permohonanku agar kau bersedia menghabiskan hidupmu bersamaku."

Ya Tuhan. Andreas benar-benar sukses membuat Vlora tak bisa bicara apa-apa.

"Menikah selalu menjadi hal yang tak mudah untuk setiap wanita. Aku tahu pasti hal itu. Jadi semoga cincin ini bisa menjadi penjamin bahwa aku akan berusaha membangun rumah tangga yang tak akan kau sesali."

Vlora tak berkutik. Alhasil ia tak mengelak ketika Andreas menyematkan cincin itu di jarinya.

"Untuk itu aku bisa memastikan satu hal," ujar Andreas seraya menatap Vlora. Tanpa kedip dan sorotnya menyiratkan keyakinan. "Kalau nantinya pernikahan ini menjadi hal yang sempurna maka itu pasti karena kau."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top