13. Sang Pelayan

Secepat itu suara Andreas berubah parau maka secepat itu pula Vlora merasakan udara di sekelilingnya turut berubah. Ia segera memasang sikap waspada. Mengambil antisipasi untuk setiap kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Vlora sedikit beringsut setelah Andreas mengatakan hal tersebut dengan amat jelas. Memang, intonasinya terdengar rendah. Walau demikian ia bisa menangkap hasrat yang tersirat.

"Kau tidak mengenakan bra di balik gaun tidurmu itu."

Vlora membeku. Ia memaksa otak untuk berpikir cepat demi mengambil tindakan aman. Sayangnya suara Andreas kembali terdengar dan membuyarkan pikirannya.

"Aku benar bukan?"

Mengerjap spontan, tatapan Andreas yang intens mendorong Vlora untuk bergerak. Insting alamiah memintanya untuk menjauhi Andreas. Ia harus menjaga jarak dan berjaga-jaga. Paling tidak ia harus menyilangkan tangan di depan dada.

Namun, tidak. Ini adalah Vlora. Ia tak pernah membiarkan orang lain bisa mengintimidasinya. Termasuk Andreas.

Andreas jelas tahu hal tersebut. Alhasil ia bersikap santai, tapi mengintai. Ia yakin Vlora tak akan melarikan diri. Sebaliknya, ia penasaran tindakan apa yang akan diambil Vlora.

Dia akan menghadapiku.

Perkiraan Andreas tentu saja benar. Vlora tidak menghadapinya dengan ketenangan dan ... seuntai senyum.

"Apa hanya itu yang kau pikirkan dari tadi, Reas?" tanya Vlora terkendali. Sorot matanya pun tampak yakin membalas tatapan Andreas. "Ah, kau benar-benar mengecewakanku."

"Mengecewakanmu?"

"Untuk kategori seorang pria yang banyak pengalaman dengan wanita, kupikir kau tidak akan lagi mudah tergoda hanya karena sebatas payudara tanpa bra."

Tawa Andreas pecah. Ia terbahak-bahak.

"Sejujurnya saja aku memang sudah tidak mudah tergoda lagi sekarang."

Tawa terjeda. Dahi berkerut dan Andreas berdecak sekilas.

"Bukan. Lebih tepatnya bukan tergoda, tapi tertarik," kata Andreas meralat ucapannya. "Aku sudah tidak mudah tertarik lagi. Bahkan penari tiang atau penari perut menjadi biasa-biasa saja di mataku. Aku bisa menonton mereka sambil memeriksa laporan keuangan tahunan."

Vlora mendengkus. Terkesan mencemooh, tapi justru membuat Andreas semakin percaya diri.

"Sayangnya pasti ada pengecualian untuk calon istri."

Diam. Tak terlihat. Vlora terlihat tak terpengaruh walau yang terjadi justru sebaliknya.

Vlora memang terkesan dingin, tapi bukan berarti ia tak punya perasaan. Buktinya perkataan Andreas sukses membuatnya menahan napas di dada.

"Oh. Aku sama sekali tidak tahu kalau ada pengecualian itu."

Andreas berdecak sekilas. "Ternyata ada banyak hal yang belum kau ketahui, Sayang. Jadi apa kau ingin aku memberitahumu satu persatu?"

"Apa itu tawaran?"

"Bisa dibilang tawaran atau mungkin undangan. Tergantung bagaimana matamu melihatnya," jawab Andreas menyeringai tipis. "Sama seperti aku yang memilih untuk melihat sesuatu yang menarik."

Makan tersirat di ucapan Andreas terasa nyata. Vlora meneguk ludah. Samar, ada sentakan di jantungnya.

Walau demikian Vlora tak gentar. Ia tak gemetar. Bahkan ia bergeming.

"Kau tahu bukan? Aku bukan Nadine. Aku juga bukan seperti para mantan kekasihmu."

"Karena itulah, Sayang, mengapa aku tak memperlakukanmu seperti mereka."

Andreas mengulurkan tangan. Ia berikan belaian seringan bulu pada sisi wajah Vlora dengan buku jari tangan.

"Kau pasti sudah menyadari sejauh apa perbedaan antara kau dan mereka, tapi ssst!"

Andreas menggeleng sekali. Ekspresi wajahnya berubah, tampak terluka.

"Jangan pernah menyebut tentang mereka di saat kita sedang berdua. Itu menyakiti harga diriku, Vlo."

Vlora menyipitkan mata. "Bukan sebaliknya? Bukankah seharusnya aku yang mengatakan itu?"

"Tidak. Memang akulah yang seharusnya mengatakan itu."

Jari Andreas terus bergerak. Ia bermain-main dengan pipi Vlora. Bahkan sekarang ia menggoda anak rambutnya yang sedikit mengikal.

"Ketika kau menyebut tentang mereka, aku merasa tertampar. Kau menyadarkanku kalau aku benar-benar payah dalam memilih wanita selama ini."

Vlora tertawa. "Kau benar-benar pintar merayu, Reas."

"Oh ya?"

Mata Andreas berkilat. Ia nikmati tawa Vlora yang berderai lepas.

"Apa aku membuatmu terkesan?"

Vlora tak menjawab. Ia hanya mendeham dengan ekspresi geli.

"Kuharap jangan karena aku bisa membuatmu lebih terkesan lagi."

Vlora tak sempat menyuarakan pertanyaan yang melintas di benak. Ia tak bisa memberikan respon apa pun lantaran Andreas yang begitu cepat memanfaatkan keadaan.

Tangan Andreas yang sedari tadi bermain-main di wajah Vlora, bertindak. Ia hanya perlu bergerak sedikit untuk menyelinap di antara helaian rambut Vlora. Mendarat di tengkuk dan lantas menariknya dalam gerakan lambat yang ternyata ampuh untuk membawa Vlora dalam posisi yang diinginkannya.

Bibir Andreas membuka ketika ciuman tercipta. Tanpa peringatan, ia melenyapkan bibir Vlora dalam pagutan dalam. Ia melumat dan menikmati kelembutan Vlora.

Vlora kaget. Ia terkesiap. Sayang, suara kagetnya teredam sempurna dalam suara lumatan yang Andreas dengungkan di bibir mereka.

Tak hanya itu. Vlora pun merasakan satu tangan Andreas yang lainnya telah bergerak perlahan di pinggangnya.

Jari-jari Andreas bergerak. Ia menuju pada pita yang tersimpul apa adanya.

Vlora tak akan tinggal diam. Kedua tangannya naik dan mendarat di dada Andreas. Berniat mendorong, tapi ia dibuat membeku saat merasakan sentuhan Andreas selanjutnya.

Andreas tahu pasti bahwa akan selalu ada kemungkinan Vlora mendorongnya. Namun, ia lebih terdorong oleh keinginan dari dalam dirinya sendiri yang tak mampu ditahan. Tatkala ia mencecap rasa bibir Vlora, seperti ada tarikan gravitasi yang membuatnya tak bisa melepaskan diri.

Bibir Andreas bergerak dalam tarian yang penuh kesan sensual. Ia membelai bibir Vlora dan lalu sentuhan ujung lidahnya yang hangat berhasil menciptakan celah di antara keduanya.

Andreas memejamkan mata. Serbuan rasa membuatnya tak lagi sanggup melihat dunia.

Hangat. Manis. Candu.

Ialah tiga kata yang tepat untuk menggambarkan semua rasa yang didapatkan Andreas di dalam sana. Sesuatu yang membuatnya ingin menyingkirkan semua kemungkinan penolakan mungkin saja didapat.

Andreas mendesak. Ia tarik pita jubah Vlora, mengurai simpul tak seberapa itu dalam satu sentakan lembut. Lantas jemarinya dengan cepat mengambil tempat di pinggang berlekuk Vlora. Ia meremas pelan dan membuat tubuh Vlora melengkung alamiah, lalu mendekat kepadanya.

Vlora mendarat dalam rengkuhan Andreas. Agaknya ia terlupa pada niatnya semula yang ingin mendorong Andreas dan yang terjadi sekarang adalah ia justru meremas dada bidang itu.

Lidah hangat Andreas menggoda lidah Vlora. Ia membelit dan mempermainnya. Ia ciptakan beragam sensasi yang membuat perut Vlora bergejolak.

Penolakan menyublim menjadi persetujuan tak terucap. Andreas tak lagi segan-segan menikmati ciuman tersebut. Sedikit, ia menelengkan kepala dan lantas mengisap lidah Vlora. Ia melumat tanpa ampun. Lantas mencecap dengan begitu intim. Lalu napasnya terasa sesak. Erangan nikmat pun menggema di tenggorokannya.

Di lain pihak, Vlora mendapati kendali dirinya melonggar. Aneh, tapi nyata. Ia mendapati dirinya menikmati pijatan lembut Andreas pada lidahnya.

Sisi primitif terbangun. Hasrat mengambil alih tubuh. Tangan Vlora bergerak di luar kesadaran. Merayap pelan-pelan dan kemudian mengalung pada leher Andreas.

Andreas menyeringai dalam ciumannya. Ia putuskan untuk meneruskan semua khayalannya akan Vlora selama ini.

Untuk seorang Andreas, jiwa pemburu sudah mendarah daging. Sementara Vlora adalah mangsa yang benar-benar membuatnya tertantang.

Tidak. Bukan tertantang. Yang benar adalah kagum.

Jiwa pemburu Andreas mengagumi Vlora dari awal mereka bertemu. Tepat ketika ia mengira bahwa Vlora menjalin hubungan dengan Lucas mengingat seperti itulah skandal kantor sering tercipta. Namun, ia kecele.

Vlora berbeda dari kebanyakan wanita. Ia tak berpikir untuk menggoda sahabatnya yang kala itu masih lajang. Ia sama sekali tak memanfaatkan Lucas sebagai batu loncatan seperti yang sering dilakukan wanita lainnya.

Alhasil tak aneh bila Andreas mendapati hasrat terpendamnya bergejolak setiap kali ia bertemu Vlora. Ia benar-benar terpukau. Di matanya, Vlora adalah bentuk nyata dari kecantikan, kepintaran, dan juga pemujaan akan harga diri.

Andreas yakin bahwa keberuntungannya untuk bertemu wanita seperti Vlora tak akan datang dua kali. Ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan. Vlora harus menjadi miliknya.

Mereka akan segera menikah dan malam ini biarkan Andreas mendapatkan pembuktian bahwa kepemilikannya atas Vlora hanya tinggal menunggu deklarasi formal saja. Semacam konfirmasi kecil yang dimulai dari ciuman dalam.

Hanya permulaan. Memang sekadar permulaan. Lantaran Andreas sudah menyusun satu rencana seksi di benaknya dengan cepat.

Ciuman berakhir dengan satu isapan kuat yang Andreas lakukan pada lidah Vlora. Tubuh Vlora bereaksi dan jiwanya seolah tersedot.

Vlora membuka mata, tapi sorotnya tak fokus. Ada kabut yang menutupi sehingga ia merasa gamang.

Dunia terasa tak lagi nyata. Seperti Vlora sedang berada di dimensi yang berbeda.

Vlora menarik napas. Ia berusaha untuk kembali sadar. Sayang, Andreas malah mengajaknya untuk semakin hanyut dalam gairah yang diciptakannya.

Andreas mengakhiri ciuman mereka, memang. Namun, bukan berarti semua telah usai. Lantaran akhir ciuman adalah tanda dimulainya cumbuan.

Bibir Andreas bergerak. Ia tinggalkan bibir Vlora dan menyapu pipinya.

Vlora menahan napas. Sapuan sensual Andreas berhasil membuatnya memutar bola mata dan memejam kembali.

Penjelajahan intim dimulai. Kehangatan bibir Andreas meninggalkan jejak. Ia nikmati lembut dan wangi kulit Vlora sembari terus mendesak. Tanpa sadar, keduanya berbaring di sofa yang empuk.

Bibir Andreas semakin menjelajah. Beringsut turun dan menyusuri garis leher Vlora yang selalu menarik perhatiannya.

Andreas menjulurkan lidah. Ia mengusap dan lantas Vlora mengerang.

Tantangan menyentil jiwa pemburu Andreas. Ia ingin mendengar Vlora mengerang kembali. Lagi dan lagi.

Alhasil sekarang bukan hanya sapuan lidah yang Andreas lakukan di leher Vlora, melainkan isapan. Akibatnya bukan hanya erangan Vlora yang ia dapatkan. Lebih dari itu. Ia merasakan Vlora menjadi resah di bawah tubuhnya.

Penjelajahan berlanjut. Bibir Andreas semakin turun sementara tangannya yang sedari tadi diam di pinggang Vlora sekarang turut mengambil inisiatif.

Tangan Andreas merayap naik. Ia meraba dan membuat Vlora meremang. Jari-jarinya telah mendarat di payudara Vlora.

Vlora tak mampu menahan desahan. Itu alamiah dan alarm di kepalanya berdering kencang. Ia segera mengangkat kepala dari atas bantal sofa.

"Reas."

Jejak basah lainnya tercipta di sekitar tulang selangka Vlora. Bersamaan dengan pergerakan jemari Andreas yang meremas lembut payudaranya. Ia tersenyum dan berbisik di telinga Vlora.

"Ya, Sayang? Ada apa? Katakan apa yang kau inginkan."

Dibutuhkan kekuatan besar untuk Vlora membuka mata. Ia mencoba kembali sadar di saat bobot tubuh Andreas membuat sekujur tubuhnya bersorak-sorai.

Vlora tak akan munafik. Ia adalah wanita normal. Sentuhan Andreas tentu saja membangkitkan gairah femininnya. Namun, bukan berarti ia tak bisa mengontrol.

Tubuh itu adalah tubuh Vlora. Gairah itu adalah gairah Vlora. Ia yang berhak menentukan.

Andreas tepat berada di antara kedua kaki Vlora yang membuka. Jari-jari tangannya yang besar terus meremas payudara Vlora hingga ibu jarinya menemukan satu harta karun tersembunyi. Yaitu, puting yang tersembunyi di balik kain satin.

"Hentikan."

Suara Vlora yang terbata-bata membuat remasan Andreas berhenti. Ia terdiam dan untuk beberapa saat tak ada yang bicara. Hanya ada deru napas yang sama-sama kacau.

Andreas tertegun. Dengan posisi bibirnya di leher Vlora, tangan di payudara Vlora, dan tubuh di atas tubuh Vlora, berhenti jelas menjadi hal yang mengancam kewarasan akalnya. Namun, Andreas memaksa diri untuk bertahan.

Sedikit, Andreas menarik tubuh. Ia menatap Vlora.

"Berhenti?" tanya Andreas ingin meyakinkan. "Kau ingin aku berhenti?"

Di bawah Andreas, dada Vlora naik turun dengan amat jelas. Ia terengah-engah dan saat itu ia menyadari bahwa keadaannya sudah sangat memalukan.

Gaun tidur sudah tersingkap hingga ke pangkal paha. Tali gaun sudah merosot ke lengan atas. Rambut Vlora pun acak-acakan.

Untuk kategori wanita seperti Vlora, itu jelas adalah keadaan memalukan. Sementara untuk pria seperti Andreas? Oh, itu justru terlihat begitu menggairahkan.

Vlora menarik napas dalam-dalam, balas menatap Andreas. "Aku bukan salah satu wanita pelayan ranjangmu, Reas."

Andreas terdiam sedetik, tapi di detik selanjutnya ia justru menyeringai. Tangannya yang tadi menikmati payudara Vlora, bergerak. Ia mengambil posisi untuk bertumpu pada siku. Sementara tangan yang lainnya membelai sisi wajah Vlora dengan kelembutan.

"Vlora Sayang," lirih Andreas. Ia menunduk dan melabuhkan kecupan samar di pipi Vlora. "Aku bisa memastikan kalau kita dapat melakukannya bukan hanya di ranjang."

Oh, tentu saja. Ada beberapa pilihan yang tersedia.

"Contohnya di sofa ini."

Vlora tak bersuara dan hanya menatap Andreas dalam diam. Hal itu membuat Andreas menyeringai semakin lebar.

"Lagipula aku tidak berniat untuk meminta pelayananmu."

Vlora mengerjap. Seberkas kebingungan berpijar di matanya. Ia ingin bertanya, tapi Andreas justru membuat ia tercengang dengan sentuhan di pahanya.

"Sebaliknya," bisik Andreas rendah. Napas hangatnya membelai kulit Vlora. "Biarkan aku yang melayanimu, Sayang."

Bulu kuduk Vlora berdiri. Andreas mencium sisi kepalanya dengan menggebu, menghirup sedalam mungkin aroma wangi di tiap helai rambut bergelombangnya, dan Vlora kembali memejamkan mata.

Melayaniku?

Pertanyaan itu tak menunggu lama untuk sebuah jawaban. Andreas segera bergerak dari atas tubuh Vlora. Ia biarkan Vlora untuk mengamati setiap pergerakan yang dilakukan Andreas.

Andreas beringsut tanpa melepas tatapannya dari Vlora. Ia turun hingga mencapai bagian bawah Vlora dan menciptakan sorot waspadanya.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Andreas menyingkap gaun tidur itu. Ia menarik tepiannya ke atas hingga memperlihatkan persinggahan feminin di dalam sana. Lembut dan tertutupi oleh kain halus yang warnanya senada dengan gaun tidur.

Bola mata Vlora membesar. Tangannya bergerak. Namun, Andreas cepat menahannya.

"Ssst," larang Andreas seraya menggeleng samar. "Tak akan ada yang kau langgar di sini, Vlo. Aku menghargai keputusanmu, tapi bukan berarti aku tidak boleh memujamu bukan?"

Vlora meneguk ludah. Ia tampak tak berdaya dengan permainan kata-kata Andreas.

Ini bukan seperti Vlora. Namun, apa yang bisa dilakukannya? Separuh akal sehatnya bertarung dengan hasrat yang tergugah oleh rasa ingin dan penasaran.

Andreas tak menyia-nyiakan sikap diam Vlora. Ia segera menarik turun kain berbentuk segitiga itu. Melepasnya dan sekilas merasakan jejak lembab di sana.

Celana dalam Vlora melayang entah ke mana sementara Andreas meraih kedua kakinya tanpa aba-aba. Andreas menekuk kaki Vlora dan menatap lembah femininnya untuk beberapa saat.

Andreas menunggu. Ia kembali menatap Vlora dan menahan diri untuk penolakan yang ternyata tidak didapatkannya.

Izin tak terucap telah didapat. Andreas turun. Dengan kedua tangan yang tetap menahan kaki Vlora, Andreas mendekati kewanitaannya.

Tampak menggoda. Terlindungi oleh ikal feminin yang rapi.

Andreas mendekat. Wajahnya kian mendekat. Napasnya berembus dan membelai kewanitaan Vlora.

Vlora tercekat. Tubuhnya menegang tatkala Andreas memberikan sentuhan pertama di sana.

Andreas menjulurkan lidah. Ia membelai kewanitaan Vlora dengan semua kelembutan dan kehangatan yang dipunya.

"Reas."

Andreas tersenyum. Janji kembali terpateri di benaknya. Malam itu ia akan mendengarkan namanya dijeritkan Vlora.

Belaian yang dilakukan Andreas tadi jelas hanyalah sapaan pembuka. Lantaran di detik selanjutnya, ujung lidah itu menemukan persinggahan pertamanya di pangkal kewanitaan Vlora. Berupa setitik godaan yang bernama klitoris.

"Oh, astaga."

Sentuhan intens Andreas membuat Vlora terkesiap. Refleks, ia bergerak gelisah. Kedua tangannya meraba-raba dalam kebingungan dan pada akhirnya ia hanya bisa meremas bantal di bawah kepala.

Erangan Vlora membuat Andreas terpacu. Lidahnya pun jadi semakin berani bergerak. Ia berikan tekanan berulang kali pada klitoris dan mengakhiri pembukaan itu dengan lumatan yang sukses membuat Vlora tak berdaya.

Setelah puas dengan godaan pembuka, Andreas menjilat dan menuju ambang kewanitaan Vlora. Di sana, ia disambut oleh jamuan rasa yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Manis. Amat manis. Rasa candu yang membuat ujung lidah Andreas bergetar.

Andreas meneguk ludah. Jakun naik turun dan desakan diri membuatnya segera masuk menusuk.

Lidah Andreas menerobos. Ia meluncur dan tenggelam dalam sensasi yang begitu memabukkan.

Andreas biarkan lidahnya bermain sesuka hati. Ia bergerak liar. Menyentuh setiap saraf. Menggoda. Lantas memberikan isapan-isapan yang terus membuai Vlora.

Desahan Vlora kembali terdengar. Ia kian gelisah dan Andreas berusaha untuk tetap mempertahankan posisi kaki Vlora.

Andreas terus merangsek. Lidahnya menggoda dalam gerakan berputar yang membuat Vlora terlena. Pun menusuk. Hingga ia menemukan tujuan yang sebenarnya. Berupa satu titik yang membuat Vlora tanpa sadar meremas rambut Andreas dengan kuat.

"Oh, Reas!"

Rintihan Vlora membuat Andreas semakin menjadi-jadi. Intensitas sentuhannya di sekitaran dinding kewanitaan Vlora meningkat. Ia menekan dan menambah godaannya dengan membawa satu tangannya naik.

Kesenangan Andreas yang sempat terjeda, lanjut kembali. Ia kembali meremas payudara Vlora dan memainkan putingnya yang terasa sekali telah menegang.

Vlora pening. Buaian lidah Andreas membuat ia sungguh terombang-ambing. Pun ketika payudaranya kembali diremas, ia benar-benar sudah tak bisa berbuat apa pun. Hanya bisa pasrah. Ia hanya bisa merelakan diri pada pemujaan Andreas.

Andreas kian menggebu. Remasan pada payudara menguat sementara lidahnya semakin mengobrak-abrik pertahanan Vlora.

Semakin dalam. Semakin cepat. Semakin kuat.

Remasan Vlora pada rambut Andreas berubah menjadi cengkeraman. Ia menarik Andreas dan di saat bersamaan ia justru mengangkat pinggang.

Andreas tak akan menyia-nyiakan sinyal alamiah tersebut. Ia bertekad akan memberikan semua keindahan itu pada Vlora.

Kedua tangan Andreas bahu-membahu. Ia terus meremas payudara Vlora sementara tangan yang lain justru memainkan klitorisnya. Pun di waktu bersamaan, lidahnya terus menggoda titik sensitif Vlora di dalam sana.

Lidah Andreas melata. Di dalam hangat kewanitaan Vlora, ia merayap di lengkung feminin yang menjadi pintu untuk semua kenikmatan.

Terus. Tanpa putus. Semua godaan itu terus membuai Vlora tanpa henti.

Tanpa jeda. Tak berkesudahan.

Alhasil tak aneh bila mendapati Vlora yang kian tak terkendali. Ia lepas kontrol. Ia meracau dan akal sehatnya benar-benar hilang tatkala Andreas memberikan satu sentuhan terakhirnya.

"Andreas!"

Janji Andreas terpenuhi. Vlora benar-benar menjeritkan namanya ketika kenikmatan itu menghantam dirinya.

Otot kewanitaan Vlora menegang. Bukti manis tercurah dan membanjiri indra perasa Andreas. Ia tenggelam dalam rasa nikmat Vlora dan bertekad tak akan melewatkan setetes pun rasa itu.

Andreas mengisap. Ia nikmati setiap tetes madu Vlora tanpa tersisa. Seakan ia tak peduli pada Vlora yang terengah-engah seraya terus menyebut namanya.

"Reas. Oh, Andreas."

Remasan Vlora pada rambut Andreas melemah. Jemarinya terurai dan jatuh lunglai. Ia benar-benar tak lagi berdaya. Pun hanya bisa bereaksi samar berupa memejamkan mata tatkala Andreas memberikan sentuhan terakhirnya. Yaitu, berupa jilatan panjang pada kewanitaannya dan ditutup oleh kecupan lembut pada kedua belah bibir di sana.

Adalah sentuhan jemari Andreas di pipinya yang membuat Vlora membuka mata kembali. Matanya tampak gamang, masih tak fokus. Tampak bingung, tapi juga terlihat puas.

Andreas tersenyum. Jelas, ia sama puasnya seperti Vlora.

"Kau begitu cantik dan kau begitu memabukkan."

Vlora tak mampu mengatakan apa-apa. Mungkin masih pening karena efek orgasme atau mungkin karena terpana pada Andreas.

Andreas membimbing Vlora untuk bangkit. Ia memperbaiki keadaan gaun tidur Vlora, termasuk dengan merapikan jubahnya. Pun ia tak lupa mengikat kembali pita di pinggangnya. Terakhir, ia merapikan rambutnya yang berantakan.

"Reas, kau—"

Andreas tersenyum seraya membelai pipi Vlora. "Kuharap kau menikmati malam ini, Vlo."

Vlora meneguk ludah. Ada sesuatu yang terasa bertentangan di benaknya, tapi tak urung juga ia bertanya.

"Bagaimana denganmu?"

"Aku yakin aku baik-baik saja," jawab Andreas seraya menarik napas. "Bahkan lebih dari itu."

Vlora tahu. Itu adalah penyiksaan untuk Andreas, tapi—

Andreas bangkit berdiri. Ia labuhkan kecupan di dahi Vlora dan berbisik.

"Tidurlah dan aku akan menunggu hingga hari pernikahan kita."

Vlora tertegun.

"Seperti keinginanmu, Sayang."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top