12. Penyebab

Seharusnya itu adalah sarapan yang damai seperti biasanya. Sayang semua berubah ketika ada derap langkah seseorang yang perlahan mendatangi ruang makan tersebut.

Tiga wajah terangkat. Tiga pasang mata berpaling. Mereka melihat pada seorang pria dewasa yang menarik kursi dengan tersenyum lebar.

Ia duduk tanpa mengucapkan permisi. Ia turut bergabung menikmati sarapan setelah seorang pelayan dengan sigap menyiapkan hidangan untuknya.

Ashmita dan Vian saling bertukar pandang. Lantas keduanya sama-sama beralih pada Birawa yang langsung tegang wajahnya. Jelas, kehadiran Andreas bukanlah menu sarapan yang disukainya.

"Ah! Makan bersama keluarga memang sangat menyenangkan."

Suara Andreas memecah keheningan. Ia tersenyum seraya menatap anggota keluarganya bergantian.

"Mungkin aku memang harus tinggal di sini agar kita berempat selalu bisa menikmati sarapan menyenangkan seperti ini," lanjut Andreas santai. "Apalagi karena aku memang sudah membawa pulang beberapa barangku ke sini."

Vian mengerjap. "Kau sudah membawa pulang barang-barangmu, Kak? Lalu mengapa kau tak tinggal di sini beberapa hari ini?"

"Ada beberapa urusan yang aku kerjakan di luar."

Nyatanya alasan kuat sehingga Andreas mengurungkan niat untuk benar-benar tinggal di rumah itu adalah kejadian di pesta tempo hari. Bukan karena perdebatan soal Vlora, melainkan karena pertemuannya dengan Jonas.

Andreas selalu teringat perlakuan buruk yang ia dan Ashmita dapatkan berkat kehadiran Jonas dan Laksmi. Secara harfiah membuat ia muak sehingga tak ingin melihat ayah kandungnya sendiri. Seandainya bisa, ia tentu tak ingin berhubungan lagi dengan Birawa.

"Selain itu aku pun khawatir kalau kehadiranku membuat ketidaknyamanan."

Birawa mengabaikan pembicaraan Andreas dan Vian. Ia putuskan untuk melanjutkan sarapan.

"Aku dan Vlora sudah memutuskan akan menikah dua bulan lagi."

Sarapan Birawa kembali terjeda. Urat di dahinya seketika bertonjolan, terlebih ketika ia menyadari betapa santainya Andreas mengatakan hal tersebut.

"Hanya karena kau membawa Vlora dan membuat wartawan meliput berita sampah seperti itu, bukan berarti kau bisa menikahi Vlora. Papa tidak akan pernah merestui pernikahanmu dengannya. Bagaimanapun juga dia tak sederajat dengan keluarga ini."

Bola mata Andreas berputar berulang kali. "Tenang saja. Papa tidak perlu merasa terlalu percaya diri. Aku tidak memang tidak bermaksud meminta restu Papa. Tanpa restu Papa pun kami tetap bisa menikah."

"Andreas."

Andreas berpaling pada Ashmita. Ekspresi Ashmita syok berkat perkataannya.

"Mama pernah mendengar pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya bukan? Nah! Itulah yang sekarang terjadi. Sepanjang yang aku dengar dari Oma, Papa tidak pernah meminta izin untuk menikahi Mama Laksmi. Jadi seharusnya Papa tidak perlu kaget kalau aku melakukan hal yang sama. Lagipula ..."

Nada di suara Andreas berubah. Pun begitu juga dengan mimik wajahnya. Ia melihat Birawa dengan sorot mencemooh.

"... bukankah Mama Laksmi juga awalnya tidak sederajat dengan keluarga ini?"

Birawa menarik napas dalam-dalam, berusaha agar tidak terpancing. "Sebenarnya apa yang sedang kau rencanakan, Andreas? Kau sedang ingin bermain seperti anak kecil?"

"Oh, ya ampun, Pa. Bagaimana mungkin anak kecil mempermainkan hal sebesar ini? Pernikahan? Yang benar saja."

Andreas terkekeh sekilas. Sungguh! Wajah memerah Birawa adalah menu sarapan yang sangat nikmat untuknya.

"Masalahnya adalah aku tidak ingin selamanya diatur dalam ritme permainan Papa. Menikah dengan Nadine jelas menambah satu lagi rantai di kakiku," ujar Andreas seraya berdecak. Ia menggeleng sekali. "Cukup Mama yang menjadi rantaiku selama ini. Aku tidak ingin menambahnya lagi."

"Andreas, hentikan. Mama mohon."

"Mama ingat? Aku juga pernah memohon agar Mama meninggalkan Papa, tapi Mama tidak mendengarkanku. Memangnya apa yang Mama lihat dari Papa? Papa tidak bisa melakukan apa-apa tanpa Mama."

"Andreas!"

Suara Birawa menggelegar. Ia tak lagi bisa menahan emosi. Andreas benar-benar sudah menguji kesabarannya pagi. Alhasil, sadar atau tidak, ia memukul meja makan.

"Mama tidak ingin menuruti perkataanku bukan? Jadi aku akan melakukan semuanya dengan caraku sendiri. Aku sudah lelah dengan drama di keluarga ini. Mama pikir dengan bertahan dalam pernikahan ini, anak yang selalu menjadi alasan bagi Mama, akan merasa bahagia?"

Kali ini bukan hanya Birawa yang merasa pergolakan emosi, Ashmita pun menahan gejolaknya sendiri. Di lain pihak, Vian hanya bisa menunduk.

"Karena itulah mengapa aku bertekad menikahi Vlora. Setidaknya aku tahu dia akan mendepakku kalau aku sampai melakukan kebodohan seperti yang dilakukan orang tuaku."

Tidak. Bukan hanya itu satu-satunya alasan mengapa Andreas menginginkan Vlora. Memang, ia adalah wanita sempurna di mata Andreas. Lantaran Andreas yakin akan satu hal.

"Selain itu, jangan harap bisa menekanku melalui Vlora. Dia bukan wanita yang bisa diintimidasi."

*

Malam itu Vlora baru saja selesai menyiapkan perlengkapan ke kantor ketika bel unitnya berbunyi. Ia melirik sekilas pada jam dinding dan ternyata malam telah menyentuh angka sepuluh. Waktu yang tak lazim untuk seseorang bertamu.

Vlora memperbaiki jubah tidurnya dan melihat melalui interkom. Saat itu ia pun menyadari bahwa terkadang memang ada satu atau dua orang yang tidak mengenal kata lazim. Termasuk di dalamnya adalah Andreas.

Pintu membuka. Tatapan keduanya langsung bertemu.

"Aku harap aku tidak mengganggumu, Vlo."

Menahan pintu, bukan hanya perkataan Andreas yang membuat Vlora membuang napas sekilas. Alih-alih senyum miring yang tersungging di wajahnya juga.

"Di jam sepuluh malam? Oh, tentu saja kau tidak menggangguku."

Andreas tertawa. "Keberatan kalau aku meminta secangkir kopi?"

"Secangkir kopi?"

"Kau bisa menggantinya dengan yang lain," jawab Andreas. Agaknya secangkir kopi di jam sepuluh malam menambah daftar ketidaklaziman Andreas. "Aku tak keberatan dengan secangkir teh."

Vlora tak langsung merespon permintaan Andreas. Ia justru menatap Andreas untuk beberapa saat dan menyadari bahwa mustahil kedatangannya hanya sekadar untuk secangkir kopi.

Ada sesuatu.

Jadi Vlora beranjak dan mempersilakan.

"Silakan masuk."

Tawaran yang diterima dengan senang hati oleh Andreas. Ia masuk dan menutup pintu sementara Vlora telah melangkah lebih dahulu.

Mata Andreas menyipit. Untuk beberapa saat, ia terdiam di tempatnya berdiri. Ia sadar bahwa itu adalah kali pertama ia melihat Vlora dalam balutan gaun tidur.

Vlora terlihat nyaman mengenakan gaun tidur berbahan satin itu. Potongannya sederhana dan jatuh lemas hingga menutupi lutut.

Andreas tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati pemandangan betis Vlora yang jenjang. Terlebih lagi karena warna hitam gaun tidur itu sukses mempercantik kulit Vlora yang cerah.

Sepuluh menit berlalu, Andreas dan Vlora duduk di sofa ruang tamu. Secangkir teh tersaji di meja.

"Kau tidak menemaniku menikmati teh ini, Vlo?"

Vlora mendesah sekilas. Tanpa sadar tangannya bergerak untuk memastikan simpul jubah gaun tidurnya masih terikat dengan benar.

"Bukan kebiasaanku."

Andreas menikmati sesapan pertama. Tatkala ia menaruh kembali cangkir teh di tatakan, ia berkata.

"Ada banyak hal yang tidak menjadi kebiasaanmu, tapi apa menerima tamu selarut ini adalah kebiasaanmu?"

Acuh tak acuh, Vlora meraih majalah dan membukanya dengan asal. "Semula aku tidak ingin membukakan pintu untukmu, tapi menurutku kau bukanlah tipikal orang yang akan datang semalam ini kalau tak ada alasan. Di mataku, pria sepertimu lebih suka menghabiskan malam di kelas daripada datang ke unit seorang wanita hanya demi secangkir kopi. Ehm atau teh."

"Ah! Kau dan semua pradugamu itu memang selalu mengesankan."

Tak ada artikel yang menarik. Vlora meletakkan kembali majalah di atas meja.

"Jadi ada alasan apa sehingga kau datang semalam ini?"

Tentu saja praduga Vlora benar. Andreas memang memiliki alasan tersendiri sehingga datang selarut itu, bukan hanya ingin secangkir kopi.

"Sebenarnya aku berpikir untuk memajukan tanggal pernikahan kita."

Wow! Vlora tak akan berdusta bahwa perkataan Andreas membuatnya terkejut.

"Kupikir dua bulan itu sudah terlalu maju, Reas. Katakan padaku, kau ingin semaju apa?"

Kesan satire yang menjadi ciri khas Vlora membuat Andreas menyeringai. Vlora dan kata-katanya memang selalu berhasil membuatnya kagum.

"Aku tahu kalau dua bulan sudah cepat mengingat kau semula menawarkan waktu enam bulan."

Itu adalah hasil kesepakatan ketika mereka menikmati makan malam bersama Ningsih beberapa waktu lalu. Mulanya Vlora memang menginginkan pernikahan mereka dilangsungkan dalam waktu enam bulan lagi. Sebagai seorang wanita, ia yakin ada banyak hal yang harus dipersiapkan.

Andreas sebaliknya. Ia bersikeras untuk lebih cepat lagi dan tentu saja, itu mendapatkan sambutan hangat dari Ningsih.

"Sayangnya sekarang aku berpikir. Kalau bisa sebulan lagi, kenapa tidak?"

Tawa renyah berderai dari bibir Vlora. Bahkan ia tanpa sadar menengadahkan kepala. Ia biarkan tawanya mengalun untuk beberapa saat sementara Andreas terpaku melihat leher dan tulang selangkanya yang cantik.

"Mengapa kau tertawa?"

Andreas berusaha untuk tidak terlena dengan pemandangan feminin di depan matanya. Ia tatap mata Vlora dengan dahi mengerut.

"Apakah tawaranku terdengar lucu?"

Vlora menarik napas. Sisa tawa terakhir lenyap dan pada akhirnya ia berkata.

"Sebenarnya tawaranmu tidak lucu. Hanya saja akan ada seseorang yang akan menganggap kau telah mengetahui tipe bra yang kupakai kalau kita memajukan tanggal pernikahan."

Tipe bra?

Dua kata itu berhasil membuat mata Andreas menyipit.

"Apa itu undangan?"

Vlora tersenyum seraya menggeleng. "Bukan, tapi kau tidak tahu apa yang menjadi topik pembicaraan antara aku dan Nadine di pesta malam itu."

"Ceritakan padaku."

Vlora mendeham sejenak. Ia berpikir cepat untuk menyingkat pembicaraan mereka dalam satu kalimat efektif.

"Intinya adalah aku mengatakan padanya kalau tanpa mengetahui tipe bra yang kupakai pun kau lebih memilihku daripada dirinya yang selama ini telah melayanimu di ranjang."

Andreas menyeringai.

"Aku juga mengatakan kalau kau sampai mengetahuinya maka aku pastikan pernikahan kita akan dipercepat."

Kali ini Andreas yang tertawa. Persis seperti tawa Vlora tadi.

"Jadi menurutmu kalau kita menikah dalam waktu dekat," lanjut Andreas dengan napas terengah-engah. "Nadine akan berpikir kalau aku sudah mengetahui tipe bra yang kau pakai?"

Kedua bahu Vlora naik sekilas. "Kupikir begitu."

Jawaban Vlora membuat Andreas geleng-geleng. Ia menatap Vlora dan tawanya berhenti. Ekspresi geli di wajahnya pun menghilang.

Perubahan itu jelas dirasakan Vlora. Alarmnya berdering dan tubuhnya sontak bersiaga.

"Sebenarnya bayangan untuk mengetahui tipe bra yang kau kenakan memang adalah ide yang sangat menggiurkan."

Udara tertahan di dada. Vlora menunggu dengan antisipasi.

"Sayangnya kupikir aku tak bisa mengetahuinya sekarang."

Perubahan pada Andreas kembali terjadi. Matanya menggelap. Pun suaranya memberat.

Andreas menyeringai dan menatap Vlora penuh arti. Suaranya semakin serak ketika berkata.

"Kau tidak mengenakan bra di balik gaun tidurmu itu."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top