11. Penerimaan

Pukul sebelas malam bukanlah waktu yang terlalu malam bila berkenaan dengan pesta. Sayangnya tidak dengan pesta yang satu ini. Andreas memutuskan untuk mengajak Vlora meninggalkan acara itu lebih cepat. Hanya saja sesuatu melintas di benaknya dan membuat dahinya mengerut.

"Ada apa?"

Andreas menatap Vlora. "Sebenarnya ada satu anggota keluarga yang belum aku kenalkan padamu. Sekarang aku baru menyadari kalau aku tidak melihatnya dari tadi.

"Apa itu Omamu?"

Andreas langsung menggeleng. "Tentu saja bukan. Oma sudah lama mengundurkan diri dari acara semacam ini sejak Papa menikah lagi. Bisa dikatakan kalau Oma tidak pernah berada di acara yang sama dengan Papa sejak 36 tahun yang lalu."

Waktu yang sangat lama. Bahkan sebelum Andreas lahir.

"Aku mendengar cerita itu dari orang-orang dan aku sudah membuktikannya sendiri. Itulah yang aku lihat selama ini. Mereka adalah anak dan ibu kandung yang benar-benar tidak akur."

Tak ada sedikit kesedihan pun tersirat di suara Andreas. Alhasil Vlora tak merasa segan untuk menunjukkan senyum gelinya.

"Itu dia."

Senyum geli Vlora menghilang. Andreas meraih tangannya dan mengajak beranjak.

Vlora menuju ke arah mata Andreas memandang. Tepatnya pada seorang wanita cantik yang melambaikan tangan pada Andreas.

Wanita lainnya?

Namun, pertanyaan itu tak bertahan lama di benak Vlora. Ia menyadari sikap wanita itu bertolakbelakang dengan Nadine tadi. Jadi tak sulit untuknya menebak kalau itulah anggota keluarga yang Andreas maksud.

Terlebih lagi Vlora bisa melihat satu hal yang menarik perhatiannya. Wajah wanita itu terlihat mirip dengan Andreas.

"Maafkan aku, Kak. Aku baru menemuimu sekarang."

Tentu saja itu adalah Vian. Ia memberikan pelukan singkat pada Andreas. Setelahnya ia berpaling pada Vlora dan spontan memuji.

"Oh, Tuhan. Dia bahkan lebih cantik daripada foto yang kulihat di berita."

Andreas tersentak. "Apakah sudah muncul di berita daring?"

"Tentu."

Andreas jelas tak mampu menahan kekagumannya untuk kecepatan netizen dalam menyebarluaskan berita. Berbeda dengan Vian yang tampaknya lebih tertarik untuk menyapa calon kakak iparnya.

"Selamat malam. Aku Vian."

Tak hanya perkenalan berupa kata-kata, Vian bahkan menghampiri Vlora tanpa rasa canggung sama sekali. Ia memeluk Vlora seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.

"Aku Vlora."

Perkenalan yang tak diperlukan. Kalau Vian sudah melihat berita di laman daring maka sudah barang tentu ia mengetahui nama Vlora.

"Dia adalah satu-satunya adik yang aku miliki."

Pelukan terurai, tapi Vian masih memegang tangan Vlora. Matanya berbinar-binar dalam sorot penuh takjub.

"Kau benar-benar bajingan yang beruntung, Kak. Tuhan pasti bercanda membuat kau menemukan wanita secantik ini."

Andreas tergelak sementara Vlora hanya tersenyum kecil.

"Ngomong-ngomong, dari mana saja kau? Aku mencarimu dari tadi. Kami akan pergi sebentar lagi."

Vian membuang napas panjang. "Sebenarnya aku ingin menemuimu dari tadi, tapi Pak Alwi mencegahku karena diperintahkan Papa." Sekilas, ia melirik Vlora sebelum lanjut bicara. "Menurutnya, aku mungkin akan membuat suasana semakin keruh."

"Sudah kutebak. Justru akan aneh kalau Papa sampai tidak melarangmu untuk menemui Vlora."

"Kabar baiknya adalah karena itulah aku bisa menghubungi Oma."

Mata Andreas berkilat. Vlora menangkap ekspresi tak biasa darinya.

"Aku tebak Oma juga sudah melihat berita itu."

Vian mengangguk berulang kali. "Tepat setelah berita itu muncul di laman berita daring, ponselku langsung berbunyi. Oma menyuruhmu untuk segera menemuinya. Secepat mungkin yang bisa kalian lakukan."

Andreas berpaling pada Vlora. Ia menatap Vlora dengan penuh arti, lalu bertanya.

"Kau ingin menghadiri jamuan makan malam lainnya untuk besok?"

Vlora membalas tatapan Andreas dengan penuh keyakinan. "Mengapa tidak?"

*

Mobil Andreas berhenti. Vlora melepaskan sabuk pengaman seraya bertanya.

"Jadi besok malam kita akan pergi ke rumah Oma?"

Andreas berpaling dan mendapati Vlora yang menatapnya. "Hanya kalau kau ingin. Aku tak akan memaksamu. Lagi pula malam ini sudah terlalu melelahkan untukmu. Aku bisa mengatakan pada Oma kita akan mengunjunginya minggu depan kalau kau letih."

Bukan hanya itu. Ada hal lain yang menjadi pertimbangan Andreas.

"Apalagi aku sadar. Sepertinya semua berjalan lebih cepat dari yang aku duga. Aku tak ingin kau merasa tertekan."

Vlora menarik napas sekilas. "Aku tak keberatan sama sekali kalau kita pergi besok malam. Aku baik-baik saja."

"Baiklah kalau begitu. Aku akan menjemputmu sore besok."

Vlora mengangguk seraya mengulurkan tangan ingin membuka pintu mobil, tapi Andreas menahan tangannya yang lain. Niatnya tertahan dan ia kembali melihat Andreas.

"Ada apa?"

Andreas tersenyum miring. "Oh, Sayang. Sungguh?" tanyanya tanpa menunggu jawaban Vlora. "Kau ingin keluar tanpa memberiku kecupan selama malam? Sekadar basa-basi? Padahal kita baru saja menghabiskan beberapa jam sebagai pasangan yang bahagia beberapa waktu lalu. Kau sedikit keterlaluan."

Untuk memberikan efek dramatis, Andreas tak lupa berdecak dengan ekspresi yang terlihat terluka.

"Perlukah?"

Kedua bahu Andreas naik sekilas sebelum ia mencondongkan tubuh ke arah Vlora. Ia tak berharap, hanya ingin menggoda. Pun ia bisa menebak bahwa Vlora pasti akan mengabaikannya. Kemungkinannya adalah Vlora akan langsung turun dari mobil. Namun, ternyata dugaan tersebut keliru.

Vlora merespon. Tubuhnya sedikit berputar dan balas mencondongkan diri ke arah Andreas.

Seringai terbit di bibir Andreas. Harapannya tumbuh bertepatan dengan majunya wajah Vlora ke arahnya. Lantas ....

"Pulanglah. Aku ingin istirahat."

Wajah Vlora maju bukan karena ingin mencium Andreas, melainkan untuk berbisik di telinga Andreas. Ugh! Kejam sekali.

Seringai Andreas berubah menjadi senyum geli. Vlora turun dari mobil dan ia geleng-geleng kepala dengan ekspresi takjub.

"Dia benar-benar ... menarik."

Esoknya, Andreas menepati janji untuk kembali menjemput Vlora. Mereka tiba di rumah nenek Andreas setelah melewati empat puluh menit perjalanan dan seisi rumah benar-benar menyambut kedatangan keduanya.

Andreas mengajak Vlora masuk dengan penuh kesopanan. Keduanya berjalan melewati barisan pelayan dan tiba di ruang tamu.

Seorang wanita berusia senja telah menantikan kedatangan mereka. Ia melangkah dan tak bisa menahan diri untuk menghampiri keduanya.

"Oma."

Ialah Ningsih Ayusari Wardoyo. Sang nenek yang sudah cukup menahan sabar dari semalam ketika membaca berita mengenai cucu pertamanya itu.

"Akhirnya kau datang juga, Reas."

Andreas memeluk Ningsih dengan penuh kasih dan kehati-hatian. Ia sedikit membungkukkan tubuh dan mengusap pelan punggung Ningsih. Lalu ia menutup sapaannya dengan satu kecupan di pipi.

"Oma memang yakin kau tidak akan datang ke sini kalau seandainya kau belum mendapatkan calon istri."

Pelukan terurai. Andreas menoleh dan melihat ke mana mata Ningsih tertuju. Ia tersenyum dan memperkenalkan mereka.

"Perkenalkan, Oma. Namanya Vlora."

Vlora tersenyum dan menyapa Ningsih dengan sopan. Mereka bersalaman dan berpelukan singkat. Terlihat jelas, mata Ningsih berbinar-binar.

"Dia lebih cantik daripada yang Oma lihat di berita pagi tadi."

Andreas tertawa. "Persis seperti komentar Vian."

"Tentu saja," kata Ningsih melirik Andreas sekilas. "Kami memiliki mata yang sama."

Berbicara soal mata, Ningsih tidak akan menyia-nyiakan kesempatan terbatasnya untuk menilai Vlora. Ia meneliti penampilan Vlora dan lantas mengangguk beberapa kali.

"Oma sudah menyiapkan makanan kesukaanmu, Reas. Jadi bagaimana kalau kita makan malam sekarang?"

Andreas, Vlora, dan Ningsih duduk bersama di meja makan lima menit kemudian. Pelayan datang melayani dan menyajikan hidangan.

"Oma dengar kau adalah sekretaris Lucas?"

Pertanyaan pembuka di meja makan telah Ningsih layangkan. Vlora mengangkat wajah dan melirik sekilas pada Andreas yang terlihat santai.

"Benar, Oma," jawab Vlora seraya mengangguk sekali. "Ini adalah tahun ketigaku bekerja sebagai sekretaris Pak Lucas."

Ningsih beralih pada Andreas. "Kalau begitu tentu saja kau harus menikahi Vlora, Reas. Oma tak mengira kalau kau bisa memilih wanita sebaik ini. Tidak seperti ayahmu itu."

Andreas terpaksa menjeda makannya. Ia tak mampu menahan tawa berkat ucapan satire Ningsih.

"Tentu saja, Oma. Aku belajar dari pengalaman orang-orang di sekelilingku."

Satu hal yang menarik untuk Vlora. Ia mendapatkan dua reaksi yang sangat berbeda untuk statusnya yang merupakan sekretaris Lucas.

"Oma jelas berbeda jauh dengan Papa, Vlo."

Ucapan Andreas membuat Vlora berpaling. Agaknya pria itu bisa membaca pikiran Vlora.

"Bagi Papa, semua orang adalah musuh. Bagi kami, semua orang adalah rival. Itu adalah dua hal yang berbeda."

Ningsih minum sebelum turut berkata. "Kau beruntung bisa bekerja pada Lucas. Tidak semua orang bisa mendekati pria itu. Termasuk Andreas."

"Oh, jangan salah, Oma," tampik Andreas seraya tertawa samar. "Kami sudah berteman lama dari SMA."

Ningsih jelas tahu hal tersebut dan itu menjadi nilai tambah Andreas di matanya.

"Kau bukan hanya pintar mencari calon istri, tapi juga pintar mencari teman. Bahkan kau tetap berteman dengannya di saat Birawa marah karena Lucas mempermalukan Jonas. Itulah yang membuat Oma semakin menyayangimu."

Vlora sedikit mengerutkan dahinya. "Oma tak marah karena hal itu?"

"Lucas merebut tender itu?" tanya Ningsih geli. "Oh, sama sekali tidak. Ia merebutnya dengan cara yang bersih. Proposal penawarannya jauh lebih bagus dari yang bisa ditawarkan Jonas. Persis seperti kata Andreas. Di mata orang berotak dangkal, mereka akan menganggpnya musuh. Di mata orang berotak pintar, mereka akan menganggapnya rival. Dari orang seperti itu kita belajar dan kemudian meningkatkan standar kita."

Tentunya bukan hanya itu. Nyatanya lirikan penuh arti Ningsih diikuti oleh satu kalimat lainnya.

"Apalagi rasanya sedikit menyenangkan saat melihat Lucas mengalahkan Jonas."

Itu adalah bonus yang tak akan ditampik oleh Ningsih—juga Andreas. Walau demikian hal tersebut tak akan mengubah satu fakta valid.

"Papa memang anak kandung Oma, tapi sayangnya Papa memiliki pemikiran yang berbeda dengan kami. Fakta bahwa kau adalah sekretaris Lucas tak akan menjadi masalah apa pun untuk Oma, justru sebaliknya."

"Siapa yang tidak ingin bekerja dengan Lucas? Semua orang menginginkannya. Jadi kalau kau berhasil menjadi tangan kanannya maka sudah menjadi jaminan kalau kau cerdas dan mampu diandalkan. Bukankah itu adalah hal bagus?"

Vlora tersenyum. "Terima kasih, Oma."

"Harusnya Oma yang berterima kasih padamu. Setidaknya kehadiranmu membuat Andreas bisa terlepas dari kesalahan memilih calon istri."

Ada makna tersirat dari ucapan Ningsih yang satu ini. Sesuatu yang membuat mata Andreas seketika berkilat-kilat.

"Jadi Oma setuju dengan pilihanku?"

"Oma tidak yakin kau pernah membuat keputusan yang lebih tepat dibandingkan ini, Reas. Jadi tentu saja Oma setuju," jawab Ningsih tanpa tedeng aling-aling. "Lalu kapan rencananya kalian akan menikah?"

Tak langsung menjawab pertanyaan tersebut, Andreas beralih pada Vlora. Mereka bertukar tatap sementara Ningsih mengamati keduanya bergantian.

"Kau ingin tanggal tertentu, Sayang?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top