10. Selanjutnya

Halo semuanya! Sebelumnya aku minta maaf karena nyaris 3 bulan ga aktif nulis. Ga niat sama sekali buat menghilang, tapi kesehatan aku rada ga bisa diharapkan. Jadi untuk bulan Agustus pun aku belum bisa kasih jadwal. Karena itu aku harap kalian follow akun Wattpad aku dan masukin ceritanya ke perpus. Dengan gitu, tiap aku update, kalian bakal dapat notif.

Mohon doanya biar aku bisa fit kayak dulu lagi. Makasih.

*

Agaknya takdir terlalu kejam pada Nadine malam itu. Tak hanya membuatnya mati kutu dengan kata-kata yang dilontarkan Vlora, ia bahkan harus melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Andreas merengkuh wanita itu dengan amat mesra. Pun ditambah dengan bonus satu kecupan yang Andreas labuhkan di pelipis Vlora.

Pemandangan dengan kesan intim itu menerbitkan aneka emosi di dada Nadine. Sungguh, ia merasa dipermalukan karena kejadian tersebut tak luput dari intaian beberapa pasang mata. Alhasil tak heran bila Nadine mendapati segelintir orang menatapnya dengan sorot kasihan.

Menyedihkan sekali.

"Seharusnya kau mendengarkan apa yang aku katakan, Nadine. Tak seharusnya kau menjalin hubungan dengan Andreas. Sekarang kau lihat apa yang terjadi? Dia mencampakkanmu demi wanita lain."

Satu suara berat menyapa indra pendengaran Nadine. Ia menoleh dan wajahnya seketika berubah tatkala melihat siapa yang datang menghampiri.

"Jonas."

Adalah Jonas Cakrawinata yang sekarang berdiri tepat di sebelah Nadine. Putra tertua Birawa dari pernikahan kedua. Ia memegang segelas minuman di satu tangan sementara tangan lain beristirahat di dalam saku celana.

Jonas mengabaikan tatapan Nadine ketika fokusnya justru tertuju pada Andreas. Ia mendengkus ketika teringat kehebohan yang diperbuat oleh pria itu, tapi justru mengerutkan dahi tatkala berpindah pada wanita yang digandengnya.

"Aku tak pernah melihat wanita itu sebelumnya," komentar Jonas seraya menyesap minum. "Apa kau pernah melihatnya?"

Nadine membuang napas panjang dan menggeleng. "Tidak pernah."

Jonas mendeham sesaat. Barulah ia kemudian berpaling dan menatap Nadine dari atas hingga bawah. Senyum tersungging di wajah tampannya.

"Gaun yang cantik."

Pujian Jonas tak berarti apa-apa untuk Nadine. Ia tampak datar dan Jonas tahu pasti penyebabnya.

"Sudahlah, Na. Untuk apa kau menghabiskan waktu demi Andreas? Seharusnya kau tahu dari dulu kalau Andreas sama sekali tidak cocok untukmu. Kau pantas mendapatkan pria lain."

Mata Nadine mengerjap perlahan. Retinanya semakin fokus menatap Jonas. Seakan berusaha untuk menyelami maksud ucapan pria itu.

"Apa maksudmu, Jon?"

Jonas hanya tersenyum tipis. Tak menjawab, ia malah mengeluarkan tangannya dari saku. Ia pegang lengan atas Nadine yang polos. Hanya sekilas, tapi kehalusan kulit Nadine sukses menghadirkan getar-getar di dadanya.

"Aku tinggal sebentar."

Jonas beranjak meninggalkan Nadine. Kaki melangkah dengan kesan santai. Ia menyempatkan diri meletakkan gelasnya di nampan seorang pelayan yang kebetulan berpapasan dengannya.

Langkah terus berlanjut. Jonas tiba di tempat yang dituju. Tepatnya di meja yang telah ditempati oleh Andreas dan pasangannya.

Jonas menarik kursi tanpa basa-basi dan duduk. Ia menyandarkan punggung dengan santai. Satu tangan naik di atas meja dan memberikan ketukan-ketukan halus di sana seraya memandang bergantian pada mereka.

"Hai, Reas."

Wajah terangkat dan Andreas melepaskan sendok di tangan. Ia menghela napas sebelum berkata.

"Hidangan malam yang paling tidak aku inginkan," ujar Andreas seraya menoleh pada Vlora. "Calon kakak iparmu, Vlo. Namanya Jonas."

Vlora dan Jonas bertukar pandang. Keduanya tampak saling menilai satu sama lain.

"Vlora."

Pengenalan diri yang amat singkat. Vlora menatap Jonas tanpa kedip dengan napas tertahan di dada. Ia berusaha untuk bersikap santai.

"Senang bertemu denganmu."

Jonas tersenyum miring. "Jonas," balasnya sembari melirik Andreas sekilas. Lalu tatapannya kembali pada Vlora. "Aku tak pernah melihat wanita ini sebelumnya, Reas. Sejujurnya aku merasa agak aneh melihatmu mengumumkan hubungan kalian."

Bola mata Andreas berputar malas. Ia berdecak seraya geleng-geleng kepala.

"Kau tidak berpikir untuk konsultasi ke dokter? Jelas kau sudah menunjukkan gejala demensia dini," tukas Andreas tanpa tedeng aling-aling. Ia menekankan. "Wanita ini bernama Vlora. Catat di kepalamu."

Jonas tertawa. "Maafkan aku, Vlora. Aku harap kau mengerti. Seiring waktu berlalu, sepertinya aku jadi kesulitan mengingat semua nama kekasih Andreas. Ah, tapi maaf kalau aku menyinggung. Apa kau termasuk salah satu dari jajaran kekasih Andreas?"

Andreas mendengkus sementara Jonas lantas mendeham. Dahi mengerut, Jonas menampilkan ekspresi berpikir yang dibuat-buat.

"Aku tak yakin kau salah satu kekasih Andreas selama ini."

"Memang bukan. Vlora jelas sangat berharga untuk disamaratakan dengan wanita-wanita bodoh itu."

Kedatangan Jonas ke meja Andreas jelas bukan untuk beramah-tamah. Andreas tahu itu. Lagi pula hubungan mereka tak pernah baik dan untuk itulah mengapa Andreas pun tak segan sedikit pun terlepas dari fakta bahwa Jonas lebih tua tiga tahun darinya.

"Untuk itu aku pikir kau harus berterima kasih padaku, Jon. Di saat aku memutuskan untuk menikahi Vlora maka di saat itu pula petualanganku berakhir. Aku ikhlaskan kalau kau ingin menampung mereka. Ah!"

Tangan Andreas naik satu dengan jari telunjuk yang teracung. Ia balas Jonas dengan menampilkan mimik seolah nyaris melewatkan sesuatu.

"Aku baru ingat. Bukankah selama ini kau mencintai Nadine?" tanya Andreas tanpa menunggu jawaban Jonas. Senyum mengejek tersungging di wajahnya. "Selamat, Jon. Sekarang kau bisa menampungnya. Aku sudah cukup puas bermain-main dengannya. Giliranmu telah tiba."

Perkataan Andreas menerbitkan percikan kaget Vlora. Agaknya persaingan saudara beda ibu itu lebih sensitif dari yang terlihat di permukaan.

Lihat saja. Andreas sukses mengubah wajah santai Jonas menjadi merah mengelam.

"Satu informasi untukmu. Nadine itu payah kalau di atas. Jadi aku harap kau bisa menggunakan gaya lain."

Sudah tak terkira bentuk wajah Jonas. Rahang mengeras dan mulut terkatup rapat. Tak ada lagi ketukan halus di atas meja ketika sekarang ia justru mengepalkan jemarinya dengan kuat.

"Walau begitu aku yakin kalau itu tak akan jadi masalah untukmu. Toh kau pasti mewarisi sifat ibumu. Apa pun akan diterima. Mau sebelas apa pun itu, asal bisa menjadi sumber penghidupan dan memenuhi hasrat memiliki, tak masalah. Benar bukan?"

Jonas tak bersuara. Hanya kepalannya yang kian kuat dan wajahnya yang semakin mengeras yang menjadi respons untuk perkataan Andreas.

Senyum kecil mewarnai wajah Andreas. Ia tampak geli dan menunggu, apa yang akan dilakukan Jonas. Akankah Jonas meluapkan emosi dan mengacaukan acara?

Jawabannya tidak. Jonas berhasil menguasai diri dan menarik udara dalam-dalam. Sulit memang, tapi ia mencoba untuk santai kembali.

"Akan kubiarkan kau mengatakan apa pun, Reas. Aku anggap itu caramu untuk menghibur diri sendiri. Apa istilahnya? Ehm ... pelipur lara."

Jonas berdecak seraya mengangguk berulang kali. Wajahnya terlihat cerah kembali dengan satu serangan yang sudah dirancang di dalam kepala.

"Aku tahu kau perlu pelipur lara karena harus merelakan aku memimpin Progun sekarang."

Senyum kecil Andreas berubah jadi seringai. Sekarang adalah ia yang menarik udara dalam-dalam dan berusaha santai ketika Jonas mulai menyinggung perusahaan utama keluarga Cakrawinata.

Progun adalah perusahaan yang berpusat pada pemenuhan kebutuhan perlengkapan rumah tangga. Awal mula berdiri dengan produk berkualitas dalam menanggulangi berbagai serangga, Progun terkenal dengan beragam pilihan anti nyamuk.

Seiring waktu berjalan, Progun melebarkan sayap ke sektor-sektor harian masyarakat lainnya. Tercatat telah banyak akuisisi yang dilakukan. Ia memasuki bisnis pengharum ruangan, semir sepatu, sabun, dan beberapa produk pangan sehari-hari. Setidaknya komoditas kecap, saus, teh, sirup, jus, dan roti telah menjadi taji tambahan yang mengokohkan posisi Progun.

Berbicara mengenai Progun tentu tak lepas dari nilai triliunan rupiah. Pun akan selalu berkaitan dengan nama besar dan kebanggaannya.

"Nikmatilah itu selagi kau bisa, Jon. Karena kalau aku sudah memutuskan untuk mengambilnya kembali maka kau tak akan mendapatkan apa-apa."

Jonas mendengkus. "Kau terlalu percaya diri, Reas."

"Bukan tanpa alasan. Kau pun harus menyadarinya, Jon. Takdir memang bertindak seperti itu. Ibumu bisa menikah dengan Papa karena Mama mengizinkannya. Kau bisa mendapatkan Nadine karena aku melepaskannya. Kau bisa mengelola Progun sekarang pun karena aku belum ingin mempertahankannya. Jadi ..."

Andreas menarik napas dan sekarang ia benar-benar telah santai. Cukup santai untuk menuntaskan ucapannya.

"... sekali saja kau menyulutku maka semua akan aku rebut kembali. Semua, kecuali Nadine. Sekarang aku hanya akan setia pada Vlora."

Tuntas bicara, Andreas meraih tangan Vlora. Ia labuhkan satu kecupan di punggung tangan Vlora dengan amat lembut.

Jonas putuskan untuk bangkit dari duduk. Agaknya adegan mesra yang ditampilkan Andreas lebih membuatnya mual ketimbang sindiran aib keluarga.

"Kau tak ingin melanjutkan perbincangan ini seraya makan bersama?"

Bukan Andreas yang bertanya. Di luar perkiraan, Vlora melirik Jonas dan menampilkan sopan santun standar yang wajar dilakukan oleh calon ipar.

Sayangnya tawaran itu tak lebih menarik perhatian Jonas ketimbang fakta yang nyaris ia lewatkan. Sedari tadi Vlora hanya menyimak perdebatan Jonas dan Andreas tanpa memberikan respons normal—setidaknya normal di mata Jonas.

"Kau sama sekali tidak peduli dengan kehidupan Andreas? Kau akan menyesal, Vlo. Kau akan ditinggalkan seperti ia meninggalkan wanita-wanita lainnya."

Vlora tersenyum tipis dan membiarkan tangannya terus digenggam Andreas. "Aku tak akan membiarkan Andreas meninggalkanku. Kalau ia melakukan apa pun yang bisa merusak hubungan kami maka aku yang akan meninggalkannya."

Mata Andreas berkilat mendengar perkataan Vlora. Tatapannya menyorotkan ketakjuban.

"Ketika hal itu terjadi maka bisa aku pastikan kalau aku yang akan rugi."

Jonas hanya bisa melongo melihat kepercayadirian Andreas dan Vlora. Ia muak dan lantas benar-benar angkat kaki dari sana.

Andreas mendengkus geli. Ia lepas kepergian Jonas dengan kekehan samar.

"Kau tidak tersinggung bukan dengan perbincangan tadi?"

Makan malam mereka yang sempat terjeda karena kehadiran Jonas pun berlanjut kembali. Sendok dan garpu bergerak harmonis ketika si empunya menikmati suapan demi suapan.

"Tenang saja. Lagi pula bukankah menurutmu inilah yang kusuka? Kehidupan yang benar-benar dinamis."

Andreas mengangguk. "Kau memiliki kecenderungan untuk menggunakan adrenalinmu."

Aneka rempah menyeruak di dalam mulut Vlora. Rasa yang kaya menjajah indra pencecap. Ia mendeham samar seraya menikmati kelezatan tersebut.

"Hubunganmu dan Jonas sama buruknya dengan hubunganmu dan papamu."

"Tentu saja. Hal wajar bukan? Papa lebih menyayangi gundiknya ketimbang istri pertamanya."

Kunyahan Vlora terjeda. Mata melirik dan ia dapati Andreas yang santai saja ketika membicarakan hal itu.

"Sejujurnya saja, Jonas adalah pihak yang diuntungkan ketika aku memutuskan kabur dari perjodohanku."

Vlora menebak. "Tidak berhubungan dengan Nadine bukan?"

"Tentu saja tidak," jawab Andreas geli. "Jonas memang lebih tua, tapi posisiku lebih tinggi secara hierarki keluarga. Aku adalah anak istri pertama."

Vlora mengangguk, paham.

"Jonas tahu kalau kehadirannya tak pernah benar-benar dianggap oleh Oma. Bahkan kalaupun ada Cakrawinata di belakang namanya, itu tak berpengaruh apa-apa. Kau jelas tahu. Wanita terkadang begitu sentimental kalau menyangkut istri kedua dan perselingkuhan. Apalagi kalau hubungan itu sampai menghadirkan seorang anak."

Ada wajah yang tercoreng. Nama baik ternoda. Keluarga Cakrawinata sebagai pihak yang merusak janji tak bisa melakukan apa-apa selain membuktikan pada dunia bahwa mereka pun mengecam hubungan terlarang tersebut.

"Oma memang harus membenci mereka kalau ingin melihat Progun terus berjaya dalam waktu lama. Mama bisa dengan mudah meminta bantuan keluarga Hardiyata. Selama ini keluarga Hardiyata bersikap pasif untuk persaingan Progun dan Lostic yang dipegang oleh Ariel Sakya Hartigan."

Tentu saja. Pernikahan demi keuntungan bisnis selalu sepaket dengan risiko kerugian bisnis pula.

"Walau memang tak bisa sepenuhnya dikatakan kalau Oma membenci mereka karena itu," lanjut Andreas seraya menggeleng berulang kali. Ia menatap Vlora. "Di mata Oma, Papa adalah anak durhaka. Papa membangkang dan merusak kebanggaan yang selama ini tersemat di nama Cakrawinata. Bisa dikatakan kalau Oma tak punya muka lagi di hadapan dunia."

Andreas membuang napas setelah menjelaskan secara singkat garis besar yang terjadi di keluarganya. Lalu ia tampak menimbang.

"Kalau aku menikah dan memiliki keturunan, itu pasti akan membuat Oma semakin menaruh dukungan padaku. Selain itu saham Mama pun cukup besar. Jadi kalau Mama dan Oma mendukungku, bisa dipastikan Jonas akan terdepak."

Vlora menikmati suapan terakhir sebelum menutup sendok dan garpu. Ia beralih pada segelas air putih.

"Lantas mengapa kau tidak melakukannya?"

Andreas menatap piringnya yang telah kosong sembari tersenyum penuh arti. "Memanfaatkan orang-orang di sekitarku dengan seterbuka itu, bukan tipeku sama sekali. Aku lebih memilih untuk menyusun rencana agar orang-orang datang dengan sendirinya. Mereka perlu melihat kalau aku pantas bukan hanya karena hierarki keluarga semata."

Tak sulit untuk Vlora menebak jalan pikiran Andreas. Ia tak ingin dipandang sebelah mata dan dianggap memiliki keistimewaan sebagai anak yang diakui—walau kenyataannya memang demikian.

Andreas menginginkan pertarungan yang adil. Ia ingin mengalahkan Jonas tanpa ada cela sedikit pun. Kepalanya akan terangkat dan Jonas tak memiliki alasan sedikit pun untuk meremehkan pencapaiannya.

"Untuk semua itu ..."

Andreas berpaling dan fokus matanya berpindah pada Vlora. Ia tersenyum seraya meraih tangan Vlora dan memberikan satu usapan lembut.

"... kaulah yang akan menjadi awalnya. Aku bisa pastikan Oma akan begitu senang melihat wanita pilihanku."

"Bagaimana dengan kemungkinan kedua? Bisa jadi Oma justru tak menyukaiku seperti papamu, Reas."

"Itulah hal baiknya di sini, Vlo. Semua yang tidak disukai Papa adalah hal yang disukai oleh Oma, begitu pula sebaliknya. Jadi tidak heran kalau melihat Papa tidak mencintai Mama sementara Mama adalah menantu kesayangan Oma. Mereka memiliki mata yang berbeda."

Vlora mengangguk berulang kali dengan ekspresi berbeda. "Sepertinya keluargamu memang sangat dinamis."

Satu kata itu sukses membuat Andreas menyeringai lebar. Ia kagum dengan kemampuan Vlora dalam memberikan satire menggelikan untuk fakta menyedihkan.

"Jadi kau sekarang paham bukan mengapa aku begitu bersemangat untuk mendapatkanmu?"

Tak perlu dijelaskan dua kali. Vlora paham dengan jelas maksud Andreas.

"Tentu saja."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top