1. Tawaran Pernikahan
Btw. Sebelum lanjut baca, aku jadi ingat sesuatu. Di lapak sebelah, pasangan ini pernah dapat julukan Mr. & Mrs. Smith versi novel ʚ♡⃛ɞ(ू•ᴗ•ू❁)
*
"Menikahlah denganku."
Satu kalimat, dua kata. Lugas, tanpa bertele-tele. Satu hal yang jelas disukai oleh Denandia Vlora—wanita pintar yang berprofesi sebagai sekretaris sang direktur utama Greatech.
Vlora membenci segala hal yang penuh basa-basi. Kesukaannya adalah tepat sasaran tanpa tetek bengek yang memusingkan kepala. Namun?
Mata mengerjap sekali. Dahi Vlora sedikit berkerut tatkala menatap mata yang berkilat di hadapannya. Sorot yang terpancar di sana seolah memadukan godaan dan kejahilan dalam waktu bersamaan.
"Maaf."
Suara Vlora terdengar sedikit bergetar. Bahkan ia terpaksa menarik udara dalam-dalam sebelum lanjut bersuara.
"Apa yang Bapak katakan tadi?"
"Oh, Tuhan."
Suara berat pria itu seakan tercekik. Ditambah pula dengan bola matanya yang berputar sekilas sebelum memejam dramatis.
"Sudah aku katakan berulang kali, Vlo. Cukup panggil namaku saja. Tak perlu ada embel-embel 'Bapak'. Panggil namaku."
Mata terbuka. Tatapan terarah. Satu nama terucap.
"Andreas."
Vlora mencoba untuk tetap terkendali. "Ya, Bapak Andreas Cakrawinata."
"Andreas. Cukup Andreas saja, Vlo," ralat Andreas untuk kesekian kali. Satu pemikiran melintas dan seringai miring menampakkan diri. "Apa begitu sulit untuk menyebut namaku saja?"
Vlora tak menjawab. Ia abaikan Andreas dan memadamkan komputer. Dalam waktu yang terbilang singkat, ia sudah merapikan tas kerja dan bersiap.
"Kau sudah ingin pulang?"
Acuh, Vlora menjawab. "Ini sudah hampir terlambat dua jam untuk saya pulang, Pak. Jam kantor sudah selesai dari tadi."
"Oh, astaga," ringis Andreas frustrasi. "Bapak Bapak Bapak. Sungguh. Aku benar-benar tidak merasa pernah memiliki anak secantikmu, Vlo."
Tangan Vlora yang ingin meraih tas kerja sontak berhenti. Agaknya ucapan Andreas sukses memberikan sekelumit sentilan.
"Walau tentu saja. Pada dasarnya aku berpikir kalau memiliki anak secantik dirimu pasti akan sangat menyenangkan."
Vlora tertegun.
"Bagaimana?" tanya Andreas lagi. Seringai miring di wajah tampannya kian melebar seiring godaan yang kembali dilancarkan. "Kita menikah dan sama-sama melihat. Apakah anak kita nantinya akan secantik dirimu atau justru setampan diriku?"
Vlora mengangkat wajah. Sayangnya hal yang langsung membentur tatapannya adalah ekspresi menggoda Andreas. Bukan hanya berpusat pada seringai miring, melainkan sorot nakal dan aura merayu yang terasa amat kental.
"Maaf, Pak. Saya pikir ini sedikit keterlaluan. Saya harap Bapak bisa memperhatikan sopan santun Bapak terhadap saya."
Ekspresi menggoda itu hilang sekejap mata. Andreas tersentak. Mata membesar dan umpatan menggema di benak.
Sial!
Kali ini Vlora benar-benar meraih tas kerja. Ia beranjak seraya berkata lirih, tapi penuh dengan penekanan.
"Saya bukan wanita yang seperti Bapak kira."
Ketukan demi ketukan yang berasal dari sepatu Vlora mulai terdengar. Ia benar-benar pergi dan meninggalkan Andreas yang frustrasi seorang diri.
Bagaimana bisa aku mengatakan hal itu? Lihat? Sekarang dia pasti akan semakin menjauhiku. Dasar sialan!
Andreas putuskan untuk turut pergi dari sana. Dalam langkah besar, pria bertubuh tinggi itu tak mengalami kesulitan sama sekali untuk menyusul Vlora.
Waktu yang tepat. Andreas berhasil menyusul Vlora ketika wanita cantik itu masuk ke dalam lift. Ia memutar tubuh dan kaget mendapati Andreas yang turut masuk serta langsung menutup pintu lift.
"Maafkan aku."
Andreas meminta maaf tanpa tedeng aling-aling. Bertepatan dengan lift yang mulai bergerak, perlahan turun.
"P-Pak."
Andreas maju. Ia dekati Vlora dengan tatapan intens. Langkah teraturnya sukses membuat Vlora mundur tanpa sadar.
"Aku minta maaf untuk caraku yang keterlaluan, tapi ..." Andreas memaku tatapan Vlora. "... aku tidak main-main dengan perkataanku."
Vlora tak bisa melangkah mundur lagi. Ada dinding dingin lift yang menahan punggungnya di belakang. Ia tak punya pilihan lain, selain menengadahkan wajah. Balas menatap dengan sikap penuh waspada.
"S-saya tidak bisa menerima tawaran Bapak."
Andreas meringis. "Tawaran? Oh, Vlo. Ini bukan tawaran. Ini lamaran."
"Lamaran?"
Sekarang Vlora yang syok. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan keadaan, tapi lamaran tentu akan selalu menjadi impian termanis setiap wanita pada umumnya. Pria pujaan hati datang dan mengajak ke jenjang pernikahan. Sayangnya, bukan lamaran dengan jenis seperti ini!
Vlora mencoba untuk tetap tenang dan terkendali. Ia menarik napas dan justru bergidik tatkala menyadari aroma maskulin Andreas menyapa tiap saraf penciumannya.
"Saya tidak melihat ada alasan yang tepat sehingga Bapak sampai berniat untuk melamar saya. Demikian pula dengan saya," ujar Vlora dengan nada datar. "Saya tidak melihat ada alasan mengapa saya harus menerima lamaran Bapak."
Andreas kembali meringis frustrasi. "Oh, kumohon. Jangan bersikap formal padaku, Vlo. Aku bukan atasanmu. Bagaimana bisa aku melamarku kalau kau justru menganggapku seperti Lucas? Sekali lagi aku katakan. Aku bukan atasanmu, oke?"
"Memang bukan, tapi Bapak adalah teman sekaligus rekan bisnis Pak Lucas. Itu berarti Bapak memiliki posisi yang sama dengan beliau."
"Sialan!"
Entah sadar atau tidak, nyatanya Andreas mengumpatkan satu kata itu dengan begitu kesal. Agaknya ia sedikit lepas kontrol tatkala Vlora benar-benar menyamakan dirinya dengan sang sahabat, Lucas Ferdinand—atasan sekaligus direktur utama di perusahaan berbasis teknologi informasi itu.
Sementara itu Vlora melirik nomor yang terus bertukar di teks berjalan pintu lift. Situasi itu mendorong ketidaksabarannya.
Mengapa lift ini terasa lebih lamban dari biasanya?"
"Baiklah."
Suara Andreas terdengar lagi. Perhatian Vlora kembali tertuju padanya bertepatan dengan satu tanya yang dilontarkan.
"Kau butuh alasan?"
Mata Vlora menyipit. "Apa maksud Bapak?"
"Aku akan memberimu satu alasan," ujar Andreas seraya mengangguk pasti sekali. "Aku ingin menikahimu karena kau satu-satunya wanita yang aku inginkan."
Sekarang mata Vlora justru membesar. Mulut membuka, tapi jari telunjuk Andreas lebih cepat bertindak. Ia mendarat di bibir berpulas lipstik merah itu demi mengenyahkan setiap argumentasi yang bisa diucapkan Vlora.
Astaga!
Andreas merutuk lagi. Kali ini ia benar-benar menyadari kebodohan yang telah dilakukan.
Terlepas dari sifat Vlora yang cenderung datar dan selalu menjaga sikap profesionalisme kerja terhadap Andreas, ia tetaplah seorang wanita. Setelan kerja hasil perpaduan celana dasar panjang dan jas feminin membuatnya terlihat penuh percaya diri. Kesan pintar dan tenang yang diciptakannya membuat Andreas menyadari sesuatu, Vlora adalah wanita yang unik.
Memikat dengan kecantikan dan sifat manja? Itu sudah pasaran. Memikat dengan kepintaran dan ketenangan?
Andreas menyeringai. Matanya menyurusi wajah Vlora dan tak sulit untuk menarik kesimpulan.
Ini baru wanita!
Samar kerutan muncul di dahi mulus Vlora. Sekelumit refleks yang timbul untuk keterkejutan yang dirasakan berkat perkataan Andreas.
"Bagaimana?"
Vlora tak akan membiarkan dirinya terintimidasi. Maskulinitas ataupun aura penuh percaya diri yang menguar dari tubuh Andreas tak bisa menghentikan dirinya untuk bertindak. Pelan, tapi pasti. Ia singkirkan jari Andreas dari bibirnya.
"Saya yakin Bapak bisa mencari wanita lain ketimbang menjatuhkan pilihan pada saya."
"Kalau kau tahu aku bisa mencari wanita lain maka sudah seharusnya kau merasa tersanjung," balas Andreas cerdik. "Karena di antara wanita lain, kau yang aku inginkan."
"Sayangnya keinginan Bapak tidak mendapat respon yang baik dari saya. Untuk itu saya rasa Bapak tidak akan menjatuhkan harga diri demi seorang wanita bukan? Tentu saja mengingat Bapak adalah seorang pria terpandang dan terpelajar."
Wow! Telak!
Balasan Vlora terdengar begitu tenang, tapi mampu menancap tepat pada sasaran. Ia yakin itu cukup untuk memukul mundur Andreas. Namun, siapa yang bisa menduga isi pikiran pria itu?
Lihat? Inilah yang aku inginkan. Beradu argumen dan berbalas melempar kata-kata. Wanita yang tidak ingin kalah. Wanita yang selalu percaya diri bahkan di situasi yang sulit.
Kerutan di dahi Vlora bertambah. Ia menangkap gelagat yang tak sesuai rencana. Dimulai dari seringai yang kembali muncul dan diikuti oleh naiknya satu tangan Andreas.
Tak sempat diantisipasi. Andreas bergerak cepat dan meraih pinggang Vlora. Menarik, lalu mendaratkan tubuh ramping itu di tubuhnya.
"Pak!"
Vlora mengangkat kedua tangan. Ia bermaksud untuk mendorong tubuh Andreas, tapi satu tarikan lain justru menyasar pada tengkuknya. Semua seruan yang mungkin saja akan dilontarkan Vlora seketika terbungkam. Semua lenyap dalam satu ciuman.
Mata membelalak. Vlora berusaha mendorong Andreas sekuat tenaga, tapi tak ada sedikit celah pun yang tercipta.
Andreas bergerak. Mendorong. Mendesak.
Vlora tersudut tak berdaya. Ia terjepit di antara dinding lift yang dingin dan dada Andreas yang panas.
Tangan Andreas menjaga mantap posisi tengkuk Vlora seraya menahan tubuhnya. Satu-satunya peluang yang dipunya untuk meredam semua kata-kata Vlora, tak akan ia sia-siakan begitu saja.
Bibir Andreas bergerak. Diawali oleh pergerakan mendayu layaknya tengah memijat pada kedua belah bibir Vlora.
Perlahan. Pelan-pelan. Andreas berikan sentuhan dalam irama yang mampu mengganggu napas Vlora. Berikut lumatan yang sukses membuat Vlora semakin kacau.
Sekelumit senyum penuh kemenangan terbit di bibir Andreas. Semua persis seperti yang diduganya. Terlihat keras, tapi justru menyimpan kelembutan sedemikian rupa.
Bibir Vlora sukses menghadirkan pancingan yang membuat Andreas kian bergejolak. Sisi primitifnya tergugah. Bangun dalam geliat yang memanas.
Andreas memagut. Berulang kali. Disisipi kecupan yang mendarat di sudut bibir Vlora dan lantas ia julurkan lidah.
Belaian lidah Andreas menyapa kedua belah bibir Vlora. Naluri terpancing dan Vlora bergidik. Tangan yang semula naik untuk mendorong pun sekarang justru meremas jas Andreas tanpa sadar.
Andreas cukupkan belaian hangat lidahnya. Ia berhenti tepat di antara bibir Vlora dan mengambil posisi. Lantas menyusup demi memasuki celah tersebut.
Vlora memejamkan mata serapat mungkin. Lagi dan lagi. Ia tak mengantisipasi apa yang bisa dilakukan oleh Andreas. Nyatanya pria itu bukan hanya ahli dalam bermain kata-kata, tapi juga lidah.
Lidah Andreas masuk. Ia rasakan kehangatan di dalam sana dan langsung menyapa lidah Vlora. Layaknya tamu yang dengan senang hati memperkenalkan diri pada tuan rumah, Andreas melakukan sentuhan intim tersebut tanpa cela.
Manis. Basah. Hangat yang mendidih. Semua membuat Andreas tak mampu menahan diri.
Andreas mengisap. Kenyal lidah Vlora menjadi sasarannya. Ia lumat dan mengakhirinya dengan satu gigitan kecil.
Tak cukup sampai di sana. Berkat tarikan Andreas di pinggangnya membuat Vlora merasakan sesuatu yang janggal. Asing dengan kesan keras yang mengganjal.
Vlora membuka mata. Kesadaran kembali bertepatan dengan Andreas yang melepas lidahnya.
Ciuman terurai. Kecupan intim berakhir. Sayangnya disusul oleh pendaratan jejak basah di leher Vlora.
Kewarasan terancam. Napas Vlora semakin payah. Remasan tangan menguat dan ia berusaha mengumpulkan tenaga demi mengakhiri itu semua.
"Berhenti," lirih Vlora dengan suara parau dan terbata. Ia pejamkan mata rapat-rapat demi menarik tiap tenaga yang masih tersisa. Nyaris, itu cukup membuktikan bahwa ia hampir tak mampu mengendalikan diri sendiri. "Andreas."
Cumbuan Andreas berhenti tepat di lekuk leher Vlora. Ia tertegun dan perlahan membuka mata dengan napas kacau. Tatkala menarik diri maka ia dapati Vlora yang putus asa di dalam rengkuhannya.
Mata beralis tebal itu menutup. Pipi tirusnya merona. Bibir merah membengkak.
Seringai Andreas timbul. Bersamaan dengan mata Vlora yang membuka, ia pun bertanya dengan nada penuh kemenangan.
"Jadi dengan cara ini aku bisa membuatmu menyebut namaku?"
Vlora membeku. Tak berkutik.
"Dengan menciummu?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top