part 8
note: 17+ rated, please be a smart reader :)
"Turun ke parkiran dulu aja Dav." Perintah Andrea saat mereka sudah tiba di lobi Apartmentnya.
Davin menurut meski belum paham kenapa dia harus menurunkan Andrea di parkiran sementara dia bisa turun di lobi seperti biasa.
Andrea mengarahkan selama perjalanan di basement untuk meletakkan mobilnya di salah satu parkiran kosong yang dihimpit oleh dua mobil lainnya. Seperti layaknya parkiran apartment, tidak terlalu banyak orang dan mobil yang berlalu lalang di sana kecuali pemilik apartment.
"Kenapa, Drea?"
Andrea memutar pinggulnya dan menarik pundak Davin sampai tubuh besar itu mendekatinya. Kemudian merangkulnya sambil memiringkan kepalanya melumat bibir di hadapannya. Hanya beberapa detik sebelum memberikan jarak dua senti untuk memandang mata itu sambil berbicara, "kita belum melakukan ini hari ini, Davin. Lo belom boleh pulang sebelum itu."
Davin bukannya lupa. Dia ingin. Sangat ingin. Tapi melihat Andrea menguap lebar sepanjang kencan mereka hari ini tidak akan tega membuat Andrea menjadi penyaluran nafsu egoisnya. Tapi karena Andrea yang mempeloporkan, jelas tidak mungkin Davin menolaknya.
Didorongnya punggung wanita itu semakin masuk dalam rangkulannya sambil membalas lumatan bibir mereka. Beberapa kali lenguhan depresi kuat dikeluarkan dari mulut Andrea saat bibir yang dilumatnya itu membuatnya semakin penasaran. Tangannya yang sebelumnya melingkar di leher Davin mulai tidak sanggup hanya menganggur menyaksikan bibir mereka bermain. Tangan Andrea meraba, mencengkram, menjambak apapun yang ditemukannya di sekujur tubuh bagian belakang pria yang memberikannya kenikmatan itu.
Davin juga sama depresinya untuk meraba punggung wanita itu dan berusaha masuk ke balik lapisan untuk mendapatkan sentuhan langsung di kulit mereka. Jari-jarinya terus naik berusaha menjelajah dan mendapati sebuah tali yang dikenalnya. Yang selalu menonjol di balik busana bodycon Andrea tanpa berani disentuhnya. Kini saat kaitan itu sudah berada ditangannya, sedikit cubitan dilakukan dengan sepasang ujung jarinya dan terlepas begitu mudah.
Andrea menggeram dibalik ciuman mereka, tahu apa yang telah dilakukan tangan jahil di punggungnya itu. Geramannya itu bukan geraman kemarahan, melainkan geraman depresi atas ketidaksabarannya menunggu sesuatu yang lebih dari itu.
Davin memutar kedua pergelangan tangannya untuk mengitari kulit mulus di sekujur tulang rusuk Andrea dengan jari-jarinya. Menemukan sebuah kawat penyangga yang sudah berhasil ditaklukannya dan menyerah disana. Jarinya masuk semakin ke atas untuk mendapati daging kenyal yang telah dilewatkannya dengan penuh penyesalan kemarin. Dan penyesalan kemarin sudah menjadi keberhasilan hari ini yang sudah berada si genggaman kedua tangannya. Ditekannya sedikit daging kenyal itu dengan jarinya yang entah bagaimana membuat napas wanita itu memburu dengan cepat.
Andrea kehilangan akal. Sentuhan kecil tadi membuatnya meminta berkali-kali lipat lebih, "Damn you!" Makian itu keluar bagai desisan di sela-sela pergumulan bibir mereka. Dadanya naik turun kehabisan napas. Andrea membusungkan dadanya kejari-jari yang dimakinya tadi dengan penuh permohonan.
Dan tanpa perlu permohonan itu pun, Davin mengabulkannya untuk kepuasan pribadinya. Kedua tangannya meremas kedua gundukan daging yang entah kenapa semakin mengeras.
Satu lenguhan lagi terdengar dari sudut pita suara yang merespons gejolak dadanya. Mata dan bibirnya menikmati sensasi momen tersebut sampai kehilangan tenaganya untuk mengulum benda manis yang dari tadi diperebutkannya.
Kini Andrea menatap mata itu. Mata yang baru saja menikmati pemandangan saat Andrea menikmati kepuasannya. Wajah Andrea merona, dadanya masih naik turun bergemuruh tapi dia mencoba mengeluarkan suaranya setenang mungkin.
"Davin, lo mau mampir? Ke apartemen gue." Ajaknya dengan nada penuh pinta. "Kan lo bilang nggak nyaman kalo di mobil, kita lanjut di atas aja."
Davin tersadar ajakan itu lebih dari sekedar hanya mampir atau bercumbu. Andrea menginginkan lebih. Sesuatu yang lebih yang sama depresinya untuk Davin inginkan. Tapi dia tidak bisa. Akal sehatnya kembali bersama dengan nyalinya yang ciut.
"Gue nggak Drea. Lain kali aja ya," elaknya, "lo istirahat malam ini. Besok pagi gue telepon."
Andrea bukan orang yang akan merendahkan diri memohon lebih dari apa yang seharusnya dia lakukan. Dia sudah memohon sekali. Dan memohon lebih dari itu sudah bukan menjadi dirinya sendiri. Davin pasti punya alasan mengapa dia harus pulang hari ini. Entah apa alasannya. Tapi itu hak dan pilihannya.
Davin mengaitkan lagi tali yang berhasil dilepasnya di punggung Andrea. Sedikit penyesalan bahwa kali ini dia tetap belum bisa melihat isi yang tadi sudah diraba dan diremasnya itu dan membuat pemiliknya melenguh seperti tadi. Semoga masih ada kesempatan lain untuknya di lain waktu.
Andrea merapikan pakaian dan rambut seadanya, kemudian melemparkan ciuman terakhir mereka. "Bye, Davin. See you on monday."
"Bye, istirahat ya." Tambah Davin.
Andrea mengangguk sambil menatap mata pria itu terakhir kali sebelum memutuskan keluar dari sedan tua itu.
***
"Nyet, Ta, tuh laki ganteng nyamperin kita deh kayanya." suara gemulai berjenis bariton itu bersemangat.
Andrea dan temannya, Thania yang dipanggil sahabat mereka itu menengok menuju satu titik yang ditunjuk Riyo dengan lirikan matanya.
"Nggak doyan gue yang begitu. Buat lo aja Nci. Bisa jadi yang doi samperin tuh elo." Andrea menarik napas panjang dari rongga filter rokoknya dan membuangnya ke udara saat berbicara dengan Riyo. Pandangan matanya yang sempat bertemu selama sepersekian detik dengan pria yang disebut Riyo 'ganteng' itu dilemparkannya ke tempat lain. Tidak tertarik sama sekali.
"Eh enak aja lo ngasih ke si banci, kalo yang kaya gini gue juga doyan kali," Thania membesarkan bola matanya berusaha membuat eye contact dengan sumber yang semakin dekat itu.
"Ya liat aja nanti doi sukanya elo apa laki juga." tukas Andrea lagi yang tidak ditanggapi kedua pihak di kanan dan kirinya sama sekali. Dilihatnya kedua mahluk itu sedang beradu. Berlomba siapa terlebih dahulu yang melakukan eye contact dengan mahluk tampan itu sebelum yang bersangkutan tiba di tujuan. Andrea mendengus nyinyir.
Riyo, yang selalu disebut Andrea dan Thania dengan 'Nci' dari kata banci yang tidak membuat Riyo keberatan karena membuatnya terdengar lebih feminim, adalah rekan satu kantor Andrea yang beda department. Dia berada di department Beauty, yang sering berhubungan dengan department Andrea. Riyo adalah satu-satunya jenis spesies dari mahluk bergender lelaki yang bisa menjadi sahabat Andrea, mengingat mereka tidak akan memiliki imajinasi liar saat bersama Andrea.
Dan Thania adalah teman yang dikenal Andrea secara tidak sengaja dari tempat clubbing. Tidak semua mahluk berjenis kelamin perempuan juga mau menjadi teman Andrea. Mereka memilih untuk tetap berada di zona luar pertemanannya untuk dapat mencela dari belakang. Sulit menjadi teman seseorang yang berpotensi besar untuk disukai oleh pacar atau gebetan sendiri. Dan Thania adalah salah satu mutasi unik dari perempuan yang menikmati berada di zona pertemanan Andrea dan tetap dapat mencelanya terang-terangan. Pekerjaan utama Thania adalah mencari lelaki yang bersedia mengajaknya kencan dan memberikannya tambahan uang saku, dan pekerjaan sambilannya adalah menemukan di antara lelaki-lelaki tersebut, lelaki yang bersedia menikahinya dan membiayai hidupnya. Thania pernah sukses sekali. Dia menikah dengan lelaki paruh baya beristri dua yang punya perusahaan tambang lima tahun lalu. Namun sayang tidak lebih dari enam bulan dia memutuskan bercerai karena menjadi yang ketiga berarti tidak berarti apa-apa. Tidak ada yang tersisa untuknya. Oleh karena itu kini Thania melanjutkan pekerjaan utama dan sambilannya lebih tekun.
Lelaki yang mengenakan jeans dan t-shirt hitam bodycon yang menampilkan otot abdominalnya dan membuat Thania serta Riyo meneteskan air liur itu akhirnya tiba di depan mereka memamerkan senyum di wajahnya yang memang membuatnya bertambah tampan.
"Hai," sapanya dengan suara bassnya yang membuat Riyo berdebar, "boleh gabung?"
Tetesan liur dari mulut Riyo dan Thania terasa terserap kembali semua. Mata berbinar mereka kehilangan cahayanya meredup. Mereka kenal mata itu. Mata satu dari entah berapa banyak yang jatuh di magnet berlingkaran hitam milik Andrea. Bahkan mata itu memandang mereka saja tidak. Seolah Andrea hanya duduk sendiri dari awal di sana.
Andrea sendiri memandang ke arah jauh entah kemana, yang jelas tidak berniat memandang pria yang barusan berbicara dengannya. Dia menghirup batang rokok di tangannya kembali. Kedua sahabatnya sudah tahu cara ini, sudah sering mereka saksikan. Biasanya cara ini berhasil untuk menghadapi pria minder yang memiliki nyali jagung tapi entah bagaimana mendapatkan keberanian mengajak Andrea berbicara. Kelakuan angkuh Andrea itu akan bisa menghanguskan nyali jagung tadi.
Tapi Riyo berani bertaruh lelaki ganteng macam di depannya ini, yang tidak terbiasa mendapatkan penolakan tidak mungkin pergi hanya karena ini. "Jawab kali, Nyet." Riyo menyenggol sikunya karena pria itu tidak juga bergeming dari sana.
Andrea kali ini memandang lelaki bergaya tadi.
"Boleh gabung?" ulangnya lagi sambil tetap memamerkan senyumnya.
Dan Andrea tetap memberikan tatapan tajam tanpa berkata. Dia memilih untuk menghirup candunya lagi dibandingkan menjawab pertanyaan itu.
Dan senyum seribu dolar itu mulai memudar. Yang ada hanya kelakuan salah tingkah pria yang sudah tidak terlihat tampan lagi itu. "Sorry kalo ganggu." suaranya terdengar hampir seperti mencicit sekarang sambil berjalan menjauh dari meja Andrea dan sahabatnya.
Ternyata pria itu hanya level dua, mental ubi, pikir Riyo. Dia pernah melihat yang lebih nekat dari ini mendekati Andrea, entah sudah level berapa yang waktu itu, yang pasti mentalnya baja. Waktu itu Andrea sampai memanggil petugas keamanan karena merasa terganggu.
"Sinting lo emang, Nyet!" maki Thania setelah melihat badan menawan itu semakin menjauh.
"Yang sinting itu dia apa gue? Ngajak kenalan nggak mikir dulu." balas Andrea merasa terganggu.
"Iya, tolol sih gue bilang. Approach nya salah tuh, coba tuh laki deketin gue atau si onta dulu, kan sukses tuh doi duduk bareng kita." kekeh Riyo, "kasian kan usahanya jadi sia-sia gitu. Semoga nggak bunuh diri gara-gara lo ya Nyet."
"Kampret lo!" Andrea melemparkan bungkusan rokoknya ke Riyo, yang kemudian ditangkapnya dan mengeluarkan satu isinya.
Riyo menyalakan rokoknya dengan pematik di meja mereka dan menemani Andrea menikmati asap mereka.
Mereka bertiga memang selalu menghabiskan waktu mereka bersama di hari minggu malam. Di bar penuh hingar bingar seperti ini, untuk saling berbagi cerita seminggu ke belakang, dan kalau beruntung bisa mendapatkan teman kencan juga. Tapi yang pasti mereka tidak menggunakan hari sabtu mereka untuk berkumpul karena hari itu digunakan masing-masing untuk masalah pribadi dan percintaan.
Walaupun bersahabat, masing-masing dari mereka memiliki pilihan kaum adam dengan tipe yang berbeda. Riyo jelas. Dia punya segmennya sendiri yang tidak akan terbagi dengan wanita selain dengan kaumnya. Yang pasti kriterianya adalah badan seksi dengan otot abdominal minimal enam pak. Kriteria yang lainnya dia tidak terlalu ambil pusing, bahkan sifat sekalipun. Pria brengsek dengan badan six-pack pun tetap akan dia terima.
Sementara Thania, dia memang suka dada bidang juga, tapi itu bukan kriteria utamanya. Nomor satu itu rupawan tentunya. Hidung mancung, alis tebal, rahang keras itu kriteria utama tipenya. Walaupun untuk teman kencannya, Thania tetap memilih yang sanggup mengeluarkan semua biaya dengan tambahan uang saku.
"Selera lo tuh yang paling blunder di antara kita, Nyet," tukas Riyo, "Gue bingung tau kadang lo suka yang kaya gimana."
Andrea mengambil Whisky Cola-nya dengan tangan yang tidak memegang rokok, meneguknya beberapa kali. Malas menjawab pertanyaan yang sudah beberapa kali dijawabnya.
Thania membantunya, "Doi kan sukanya yang nggak suka ama toketnya, yang nggak napsu liat dia."
"Siapa?! Kaum gue?" Sahut Riyo kesal, "Mana ada yang kayak begitu. Semua laki normal doyanlah ama badan lo. Kalo nggak doyan itu impoten kalo nggak ya kaya gue."
"Bukan, tolol!" Caci Andrea, "Gue suka ama cowok yang liat mata gue waktu ngomong, bukan toket atau selangkangan gue."
"Ya, sama aja kali," sahut Thania. "Nggak ada lah laki kayak gitu. Mau nemu dimana?"
Andrea diam tidak menyahut. Tidak lama senyumnya merekah simpul, "gue ada tipe baru, anyway."
"Apa?" Thania dan Riyo penasaran. Mungkin yang baru ini lebih bisa diterima akal sehat.
"Gue suka cowok yang kaku-kaku perhatian, sok tenang tapi cemburuan, kalo digoda mukanya salting. Yang lucu gitu deh," Andrea mendeskripsikan mendetail sambil mengulum senyum. Menghindari kedua temannya menyadari dia membayangkan sesuatu.
Riyo dan Thania melempar badannya lemas ke sofa yang mereka duduki. "Yah elah, gue kira tuh otak udah bener. Masih aja," celetuk Riyo gemas, "Cari dimana Nyet? Cari dimana?" Ulangnya.
Andrea menegak Whiskynya lagi sudah semakin malas menghadapi keduanya.
Tiba-tiba handphone Andrea bergetar. Panggilan masuk dari Davin.
"Siapa nyet? Kerjaan? Tumben malem gini, minggu lagi." Riyo melirik penasaran.
Andrea tidak mengindahkan pertanyaan itu dan menjawab panggilannya, "Ya? Iya gue di luar.. Lagi di kemang ama temen-temen gue.. Minum.. Enggak banyak biasa aja.. Iya nanti pulang gue telepon, lo dimana?.. Hmm.. Iya bye.."
Riyo dan Thania menganga mendengar pembicaraan singkat itu.
"Anjing, bulu kuduk gue berdiri, merinding gue. Lo kesetanan Nyet?" Riyo membelalakan matanya lebar.
"Gue baru tau omongan lo pernah disekolahin juga ya?" Thania menambahkan, "Santun banget bahasa lo."
"Tai lo!" Andrea menatap kesal ke-berlebihan itu.
"Nah itu bisa ngomong normal," Riyo terlihat lebih tenang, "kenapa tadi bisa kesetanan gitu sih Nyet?" Matanya tiba-tiba membelalak lagi sadar sesuatu, "itu siapa Nyet? Ngaku lo?"
Andrea memamerkan senyum dengan penuh kebanggaan, "laki gue."
"Tuh kan bener kan!" Riyo seru sendiri, "gue tau kan ada yang nggak beres!"
"Ihh, tai banget sih lo Nyet!" Tambah Thania, "kok nggak bilang-bilang? Sok rahasia-rahasian sih sekarang. Janjinya mau ngomong."
"Sejak kapan?" Riyo menghentikan pengaduan Thania karena saat ini yang lebih penting adalah interogasi, mengorek informasi sedetail mungkin.
"Baru seminggu."
"Orang mana?" Tanya Thania.
"Kantor."
"Gue kenal??" Seru Riyo
"Nggak sih kayanya."
"Oh, nggak cakep dong." Tambah hinaan Riyo.
"Department apa?" Tanya Thania lagi.
"IT."
"IT? IT?! Sarang manusia cupu gitu?" Hinaan selanjutnya dari Riyo.
"Temen-temennya cupu, doi enggak."
Riyo memutar otaknya, membuka memory seleksi pria tampan kantor mereka, "di ingatan gue nggak ada cowok oke dari IT deh." Riyo tiba-tiba menutup mulutnya berlebihan, "Oh my God Nyet! Ternyata selera lo tuh nerdy-nerdy kayak gitu ya? Pantes aja lo nongkrong di tempat kayak gini nggak pernah nemu yang lo suka. Mending lo cari jodoh di warnet deh banyak tuh jodoh lo."
"Anjing banget sih lo! Dasar banci!" Andrea kembali melempar pematik di meja ke arah Riyo, "Laki gue nggak cupu ya. Doi tuh seksi, charming dan smart. Jangan sampe lo liat naksir!"
"Siapa namanya coba kasih tau gue? Besok gue cari tau di IT biar ketauan beneran ganteng atau selera lo emang nggak beres." Tantang Riyo.
Andrea menggeleng, "Banci kayak lo pasti comelnya kemana-mana. Gue tau lo pasti bakal ribut di IT dan buat satu kantor tau. Nggak akan gue kasih tau lo dulu."
"Bagus dong, kalo gue sebarin, nanti semua penggemar lo di kantor bertumbangan semua, lo yang happy kan."
"Kasian laki gue nanti kebawa-bawa. Dia nggak biasa tau jadi pusat perhatian. Kalo ngedate ama gue aja suka panik sendiri dia liat cara serigala pada mandangin gue," Andrea menahan senyum mengingat Davin, "Lucu doi. Nanti kapan-kapan gue kenalin ke dia. Nggak sekarang."
"Tuh kan," Riyo bersemangat menemukan bukti yang memperkuat dugaannya, "Nggak biasa jadi pusat perhatian itu ciri-ciri cowok cupu, Nyet."
"Au ah," sahut Andrea kesal.
"Udah nggak usah ngomong ama si banci." Kali ini Thania yang mewawancarainya, "jadi kalian udah ngapain aja?"
Andrea kembali mengulum senyumnya sambil sesekali menggigit bibirnya. Thania mengakui bahkan dirinya yang wanita saja berdebar melihat perilaku Andrea yang selalu membuatnya menggoda.
"Make out?"
"Engga lah, Ta. Baru satu minggu gue." Tepisnya buru-buru.
"So, just kissing?" Thania tampak terkejut, "biasanya kan laki yang ngajak lo ngedate aja udah langsung ke hotel dalam satu hari."
"Kan doi beda." Nada Andrea terdengar lebih congkak.
"Yang lo sebutin tadi kan? Kaku, cemburuan dan suka salting?"
Andrea mengerucutkan bibirnya. Entah kenapa yang diingat hanya fakta jeleknya saja oleh Thania. Kalimat yang seharusnya pujian jadi seperti ejekan.
"Jadi lo udah siapin kondom belom?"
"Nanti gue beli," Andrea menghisap rokok di tangannya lagi.
"Suru laki lo yang beli aja kali, Nyet." Tambah Riyo.
"Cadangan aja takut dia nggak siapin." Andrea menenggak habis Whisky nya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top