part 7

Andrea di hari sabtu berbeda dengan Andrea di hari kerja. Dan Andrea di luar kantor berbeda dengan Andrea di kantor. Jauh berbeda.

Penampilan jelas berbeda, Andrea mampu menghilangkan setitik pun bukti pekerja kantoran dari caranya berpakaian. Dengan kaos sabrina kuning bodycon cropped yang mengeskspos sedikit celah di pinggang mungilnya, Mango high waist denim short, sepatu Wakai merah, dan sling-bag kecil Prada merah, serta ray-ban berframe kotak bercorak dengan lensa tortoise-brown dan rambut ikalnya yang dijepit, Andrea terlihat seperti model amatir yang sedang naik daun dan sebentar lagi akan tenar melihat kemampuan memikatnya yang begitu sulit ditolak.

Dia tidak pernah terlalu ingin mencolok sebenarnya, dan tubuhnya jelas tidak bisa berkompromi dengan itu. Pakaiannya yang seharusnya terlihat normal jika dipakai orang lain, tetap terlihat menantang saat melekat ditubuhnya. Bahkan short denim yang mengikuti bentuk pinggulnya dan membuat potongan sedikit naik di sisi luarnya itu membuat setiap kaum adam mengutuk karena godaan untuk mengecapnya.

"Yolo?" Ulang Davin mengeja tulisan di tengkuk Andrea yang dilihatnya sempat mencuat di balik kaos putihnya pertama kali mereka bertemu.

Andrea berdiri sejengkal lebih maju dan memunggungi Davin sehingga tattoo itu tampak jelas saat Andrea mengangkat rambutnya sesekali kegerahan. Dan feromonnya yang bercampur dengan parfum khasnya itu selalu berhasil menggoda naluri Davin, terutama saat jaraknya sejengkal seperti ini.

Davin mengutuk pandangan-pandangan itu lagi. Serigala kelaparan yang menatap daging kenyal menggiurkan di sampingnya. Andrea tidak salah. Dia hanya mengenakan pakaian sesuai dengan selera busananya dan kecintaannya akan fashion. Dan Andrea selalu menyesuaikan pemilihan pakaian dengan lokasinya sebaik mungkin. Kalau ditelaah secara objektif bahkan pakaian Andrea biasa saja di pantai pinggir Jakarta yang mereka datangi ini. Banyak kaum hawa lain mengenakan busana lebih, berlebihan maksudnya, dari Andrea. Tapi setiap lekuk tubuhnya itulah yang menyempurnakan semuanya.

Davin meletakkan jari-jarinya di lekukan pinggang Andrea, mengklaim kepemilikannya. Dan cara ini selalu berhasil mengurangi lebih dari setengah mata lapar sekitarnya itu.

Andrea berbalik saat mendengar goresan di tubuhnya dipanggil.

Tangan Davin masih mengikuti pintalan tubuh wanita itu saat dia memutar tubuhnya.

"You Only Live Once." Jelas Andrea, "artinya enjoy your live, with no regret. Moto hiduplah."

"Hmm, nice tattoo" Davin menanggapi, "Udah ada dari kapan?"

"Gue bikin pas kuliah. Ini tattoo pertama gue." Tukasnya bangga.

"Pertama? Ada berapa memangnya?"

"Tiga. Satu lagi ada di atasnya tulang ekor tulisan juga dan satu lagi.." Andrea memberikan jeda yang entah kenapa sungguh mengoda di antara kalimatnya. Apalagi saat ditunjuknya sendiri satu titik tengah di bawah kedua buah dadanya, ".. Disini, bentuknya kayak ukiran simpel doang sih."

"Ohh.." Tanggapannya singkat, berusaha terlihat tenang walau tiba-tiba rasa penasarannya mulai mengetuk, "Bikin dimana?"

"Kemang, gue ada kenalan. Lo mau?"

Davin menggeleng, "Nggak. Siapa namanya?"

Andrea mencium bau pertanyaan aneh, "Yudit. Kenapa?"

"Itu.. Cowok?" Tebaknya ragu, "atau cewek?"

Otak cerdas Andrea seketika tahu maksud di balik pertanyaan itu, "ya cewek lah, Dav." Kekehnya sambil melingkarkan lengannya di pinggang Davin yang terasa keras, "Lo kira gue tolol apa? Ya masa gue biarin mahluk-mahluk bajingan yang pandangannya nggak pernah bisa lepas dari sini nyentuh tubuh gue di bagian favorit mereka. Bagus kalo tuh otak lagi nggak migrasi ke selangkangan mereka, kalo iya mungkin badan gue udah bolong disolder pake tuh jarum."

Davin tidak tertawa mendengarkan kelakar itu. Hanya mengeluarkan "ohh" kecil sambil merenggangkan wajahnya yang tadi sempat menegang.

Andrea memandang geli wajah Davin yang mengalami transformasi lucu itu. Ditariknya tangan Davin yang tidak sedang merangkulnya dan menautkan jari-jarinya di antara jari-jari kaku dan besar yang bisa dirasakan di pinggangnya juga. Andrea mendapatkan kembali pandangan yang tadi sedang sibuk menerawang sendiri itu. "Cute," ejeknya dengan senyuman.

"Ha?" Davin tidak paham. Kini dia perlu berkonsentrasi merasakan jepitan lembut di sela jarinya .

"Katanya percaya sama gue. Tapi baru gini aja udah nggak tau deh tuh imajinasi sampe mana."

Davin terdiam sedang skak-mat. Dia tahu secara logika bahwa Andrea bukan wanita seperti yang ada di imajinasi liarnya barusan, yang memberikan tubuhnya disentuh lelaki sembarangan. Tapi gejolak bernama cemburu membuatnya kehilangan logika sesaat dan membuatnya berimajinasi di luar kendalinya.

"Tapi karena lo manis kaya gini, gue suka." Tambah Andrea dengan senyum menggodanya, "that's cute." Sesekali Andrea menabrakan tubuhnya ke dada bidang Davin untuk melepaskan kemanjaannya, yang tidak mungkin ditunjukkannya di kantor.

Davin kehilangan kemampuan bernapasnya selama beberapa detik karena kalimat itu, pandangan itu dan sentuhan Andrea. Sampai saat dia kembali tersadar kebutuhannya untuk bernapas dan melepaskan oksigen di dadanya.

Andrea tergoda menghirup aroma yang baru saja dirasakannya. Matanya turun melepaskan pandangannya dari mata Davin menuju ke hidung dan bibirnya. Sesaat Davin mengira dia akan mendapatkan ciuman di publik melihat gelagat Andrea, yang ternyata salah.

Andrea mendekatkan batang hidungnya ke celah leher di antara telinga dan bahu Davin untuk mengendus perlahan.yang membuat Davin sedikit bergidik. "Lo pake parfum apa?"

"Hugo boss, kenapa?"

"Wanginya enak." kata Andrea sambil menggigit bibirnya seolah siap mencicipi.

Ingin rasanya digigitnya bibir yang sedang menggodanya itu kalau tidak tiba-tiba kesadarannya kembali saat antrian di depan mereka sudah maju selangkah dan memberi jeda kosong di antara mereka. Davin merasakan pandangan yang berbeda kali ini dari sekelilingnya. Pandangan saat penasaran melihat kelanjutan film dewasa yang sedang mereka tonton.

"Maju, Drea." Infonya sambil membalik pinggang Andrea lagi untuk beriringan bersamanya maju selangkah. Davin berusaha menutupi rasa malunya mengingat dia hampir menjadi tontonan amoral di publik. Sementara Andrea terlihat tidak terlalu menanggapi.

Mereka hanya cukup menunggu lima menit sampai dibarisan terdepan.

"Dua cheese burger ala carte, satu french fries large, satu large cola.." Andrea mewakilinya berbicara dengan perempuan pelayan di restoran siap saji. "Lo mau ice cream?" Tolehannya mencari perhatian pria yang merangkulnya.

"Boleh," jawab Davin acuh.

"Berdua aja ya," ucapnya memastikan sekaligus memutuskan. "Satu sundae cokelat." Lanjutnya berbicara pada perempuan yang memandangnya kagum tanpa suara itu.

Sang pelayan mengulang semua menu yang disebutkan Andrea sebelumnya dengan tepat dan menyebutkan jumlah yang muncul di komputer hasil inputannya.

Andrea menolak Davin yang mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan lembaran uang dari tas Prada-nya untuk membayar. Dan setelah menunggu beberapa saat pelayan tadi mengisi nampan mereka sampai penuh, Andrea dan Davin yang membawa nampan berjalan bersama menuju salah satu pojok masih dalam cakupan restoran yang terletak outdoor.

Mereka duduk bersandingan menghadap ke arah pantai.

Andrea membuka bungkusan burgernya tanpa buang waktu segera setelah dia mengenyakan tubuhnya di kursi dan melahapnya.

"Laper?" Davin masih menikmati pemandangan di depan dan sampingnya bergantian.

Andrea mengangguk sambil mengunyah bersamaan, mulutnya sudah terlalu sibuk tapi dia tetap menyempatkan beralasan, "Gue belom makan hari ini."

"Kok bisa?" Nada cemas yang tiba-tiba terbentuk dalam dua kata yang diucapkan Davin.

"Baru bangun jam dua mandi beres-beres dan lo udah jemput." Tukasnya.

"Pulang jam berapa semalem emangnya?"

"Jam empat. Kepala gue masih pening nih makanya."

Tanpa sadar Davin kembali melingkarkan lengan ke pinggang Andrea dan mengusapnya, "Masih pusing? Kenapa keluar Dre? Tau gitu lo istirahat di rumah aja hari ini."

"Tidur terus malah bikin makin pusing. Segeran gini kan kena angin pantai. Makanya lo hebat banget sih bisa pas ajak gue ke pantai hari ini." Digigitnya lagi bantalan roti itu sambil memasukkan kentang ke mulutnya bergantian.

Davin baru membuka bungkusan cheese burgernya setelah puas melihat wanita itu menggigit seperempat sisanya.

"Jadi, apa tujuannya ngajak gue kemari?" Andrea mulai kembali berbicara setelah mulutnya kembali kosong dan pekerjaan berat itu sudah diambil alih oleh kerongkongan dan lambung.

"Nggak ada." Davin jujur, "cuma gue pikir kan seminggu ini lo mumet di kantor dan butuh refreshing dan udara segar. Apalagi semalem lo masih pulang malem juga kan urusin kerjaan kantor. Dan yang kepikir cuma disini yang paling deket."

Andrea berusaha mencari kejujuran itu di mata lawan bicaranya, dan beberapa saat dia memutuskan lawan bicaranya ini jujur dan mulai tersenyum. Andrea menangkap kembali tangan Davin yang tidak menyuapi dirinya. Diselipkannya kembali jari-jarinya ke antara jari besar itu. Digesekkannya jari-jari mereka dalam jepitan masing-masing dan menikmati sensasinya dalam diam.

Andrea menopang pipinya dengan tangannya yang lain dan memandang wajah pria itu dengan senyuman. Menikmati pemandangan yang lebih menarik dari pantai.

Davin memberikan pandangan "kenapa?"-nya salah tingkah.

"Udah lama gue nggak dapet perhatian kayak gini dari seseorang." Jelasnya, "I hate cheesy things, actually. Tapi kali ini boleh juga rasanya. Thanks Davin."

Davin harus menunduk memandang cheese burgernya sambil berharap mukanya tidak memerah mendengar kalimat Andrea.

Sisa sore dan malam itu dihabiskan mereka untuk berjalan perlahan menyusuri pantai tanpa arah. Berusaha memperpanjang waktu kebersamaan mereka supaya tidak berakhir sambil saling menyentuh bagian tubuh pasangannya, membuat getaran kecil di nadi lawannya.

Sampai waktu menunjukkan pukul delapan di mana Davin merasa wajib membawa wanita yang sudah menguap lebar beberapa kali itu untuk pulang. Mereka berjalan menuju mobil sedan tua Davin yang sebelumnya diparkirkan di deretan tempat parkir umum di pinggir pantai dan masuk setelah menemukannya. Jumlah mobil sudah mulai berkurang hanya tinggal beberapa mobil tersisa di sana termasuk milik mereka.

Davin berusaha memicingkan mata saat melihat salah satu mobil di sampingnya yang berjarak beberapa parkiran sedikit bergoyang. Awalnya Davin mengira dia terlalu lelah sehingga membuat pandangannya kabur, dan beberapa saat kemudian sadar bahwa bukan pandangannya yang bergoyang tapi hanya mobil di sampingnya.

"Tadinya gue pikir itu tujuan lo ajak gue kemari." Andrea bersuara setelah menyadari apa yang sedang diawasi Davin dengan seksama.

Davin gugup saat tahu apa yang dilihat wanita itu sedang dilihatnya. "Nggak lah!" Katanya panik mulai menyalakan mesin mobil dan memundurkan mobilnya.

"Normal buat laki-laki punya rencana kayak gitu Dav. Having sex in the car. Mungkin sensasinya beda buat cowok ya."

"Nggak juga," jawabnya setelah mulai menenangnya suara dan jantungnya, "mungkin buat sebagian cowok iya. Tapi menurut gue itu terlalu absurd, nggak pake pertimbangan, nggak ada kenyamanan dan terlalu mengambil risiko."

"Lo nggak suka melakukan itu di mobil?" Tanya Andrea lagi saat mereka sudah keluar dari kompleks pantai.

"Nggak pernah kepikiran, tapi banyak tempat lain yang lebih pribadi dan nyaman seharusnya dari pada di mobil." Tuturnya.

"Hmm.." Respon Andrea datar.

"Kita langsung balik ya, lo ngantuk kan?" Usul Davin yang disambut anggukan wanita itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top