part 2

"Itu, itu, lewat, bro!" bisik Bobby bersemangat. Sikunya memukul-mukulkan diri ke siku tetangganya, Davin, dengan pandangan mata tidak lepas mengikuti objeknya.

"Siapa?" Davin masih menunduk untuk memainkan Tab-nya tanpa terlalu menanggapi.

"Yang gue bilang waktu itu. Andrea, cewek seksi dari department fashion. Beruntung banget kita bisa liat dia hari ini."

"Ohh.." jawabnya sambil masih memainkan game RPG yang baru didownloadnya di kantor pagi tadi.

"Anjing tuh badan.." kali ini suara penuh pujian dan hasrat muncul dari seberang tempat duduknya, di meja yang sama.

Mendengar makian itu membuat Davin akhirnya mendongak, melihat si pemilik suara Stephan, rekan kerjanya seperti Bobby, yang pandangan matanya sudah mengawang di pojok lain lobi kantor seberang café tempat mereka duduk. Dilihatnya Bobby yang ternyata juga sedang berada di dunia awangan yang sama dengan rekan di depannya. Davin mengikuti garis lurus pandangan kedua rekannya itu, menolehkan kepalanya pada sumber makian kedua adam penuh hasrat tersebut.

Davin menemukan mahluk sempurna yang ditemuinya tadi pagi. Masih sama mempesonanya walau sembilan jam sudah berlalu dari terakhir dia melihatnya. Ternyata namanya Andrea, gumamnya dalam hati sambil mengawasi wanita itu bersama-sama dengan kedua rekannya. Wanita itu sedang berbicara dengan seseorang yang dia ketahui senior editor untuk majalah pria di kantor mereka.

Davin dan rekan-rekannya, dan juga Andrea, wanita itu, memang bekerja di perusahaan majalah high-end terbesar di Jakarta. Davin seorang web developer, sementara kedua temannya juga bekerja di departemen IT bersamanya namun dibagian berbeda. Sementara Andrea, seperti yang sudah dibahas Bobby sebelumnya, berada di department fashion.

"Menurut lo ukurannya apa bro?" Bobby membangkitkan lamunannya.

"Ha?" cengo Davin dengan bego.

"Toketnya, Vin, toketnya!" kata Stephan lagi dengan mendesis, takut kedengaran sekelilingnya, "Masa lo gitu aja nggak ngerti sih?" pandangan matanya tetap tidak lepas dari wanita itu, yang Davin sadari terpusat pada satu bagian yang baru saja disebutkannya, "Ef! Menurut gw itu pasti Ef!" serunya.

"Nggak segitunya kali!" sela Bobby, "Menurut gw D atau E lah!" katanya sok pintar.

"Itu gede, nyet! Lo nggak liat segede gitu! Nggak mungkin cuma D!" bantah Stephan.

Davin mendengarkan percakapan itu dengan malu. Malu dengan teman-temannya dan juga dirinya sendiri yang sembilan jam lalu melakukan hal yang sama tapi sendiri. Lagaknya sok pintar tapi tanpa pengetahuan dan keberanian. Dilihat dari point of view orang ketiga seperti.. nerdy.

Bobby tidak membalas perkelahian tidak penting itu, dan memutuskan bahwa yang penting saat ini adalah untuk menikmati setiap detik mahluk sempurna itu. Begitu juga dengan Stephan.

"Bangke.." maki Stephan lagi, kali ini dengan nada penuh gairah lelaki, "dilihat dari jauh aja udah bikin horny dia."

Davin lelaki. Dia tahu di syaraf terkecilnya pasti dia juga sempat memikirkan hal yang sama. Tapi perkataan rekannya itu tidak bisa untuk tidak membuatnya berekspresi jijik. Sedetik kemudian ditemukannya ekspresi yang sama pada seorang gadis di belakang Stephan sedang memandang ubun-ubun lelaki itu.

"Menjijikkan!" kata Dhea mengekspresikan apa yang dirasakannya pada Stephan. Tangannya membawa nampan berisi empat gelas kopi yang kemudian diletakkannya dimeja. Dia mendudukkan dirinya di samping Stephan, walau terlihat keengganannya setelah mendengar kalimat barusan dari mulut lelaki sebelahnya. Dhea juga rekan mereka yang bekerja di department IT, satu dari jarang wanita yang bersedia bekerja di department tersebut.

Stephan terkesiap melihat rekannya yang sejenak sempat mereka lupakan karena mengawasi mahluk hawa lainnya. Kemudian dia memutuskan untuk berargumen membela diri, "Semua cowok mikir begitu kali, Dhe! Lo liat tuh muka mupeng depan gue sama sebelahnya. Cuma bedanya gue mengutarakan dan mereka nggak aja."

Dhea melemparkan pandangannya kepada Bobby dan Davin mencari pembenaran yang terbukti terkhianati. Mereka berdua mengalihkan pandangannya. Davin tidak bisa berbohong dengan kenyataan bahwa dia memang tergugah melihat Andrea.

"Bahkan elo juga Dav?" kata Dhea dengan pandangan kecewa, "Emang semua cowok tuh sama aja!"

"Itu tahu!" tambah Stephan dengan bangga atas kebenaran fakta yang disampaikannya.

Seperti besi yang menemukan magnet, sedetik kemudian semua bola mata lelaki itu kembali mengarah kepada tubuh elok Andrea. Kembali mengawasi gerakannya.

Dhea mengawasi rekan-rekannya dengan kesal. Kecemburuan terhadap sesama wanita terbakar dimatanya. Menumpulkan hati nurani dan akal sehatnya sesaat kemudian mengeluarkannya melalui pita suaranya.

"Gue denger dia cewek nggak bener." Kata Dhea akhirnya mengeluarkan kata-kata pelampiasannya. Dia senang mendapatkan kembali perhatian ketiga lelaki itu, walau hanya sesaat, karena ketiganya kembali lebih tertarik memandang mahluk yang dibicarakan itu, "Cowoknya selalu ganti-ganti dan mereka selalu ketemunya di clubbing atau hotel. Gue denger ini dari temen gue dari department lain, katanya dia pernah lihat Andrea lagi di hotel sama cowok." Tambahnya untuk memperkuat bukti-bukti dengan saksi mata.

Stephan terganggu dengan celotehan wanita disampingnya itu. Dia memutar bola matanya sampai pandangan mereka bertemu, "Nggak usah bawel deh, Dhe."

Baru Dhea mau membuka mulutnya untuk menambahkan bahwa dia tidak bohong, Stephan memotongnya, "Hal-hal kayak gitu nggak usah sampe dicari buktinya juga gue tau kali!"

"Maksud lo?" Dhea menyernyitkan keningnya dengan bodoh.

"Badan sintal kayak gitu, toket kayak gitu, menurut lo kenapa bisa ada hah? Kalo bukan bantuan dari tangan-tangan cowok." Jelasnya vulgar yang disepakati oleh Bobby dengan anggukan.

Dhea melebarkan rongga di mulutnya tanpa sadar.

"Lo terlalu naif, Dhe!" tambah Bobby dengan nada penyesalan walau dia tidak menyesali apapun. "Dunia lo terlalu jauh berbeda dengan Andrea. Dan kenapa harus lo yang jadi teman kita sih? Bukan Andrea?" kali ini nada penyesalannya tulus.

Dhea terhenyak dan tersinggung. "Karena kalian tuh nggak layak jadi temen dia. Kastanya beda jauh!! She's out of your league!" balasnya penuh dendam sambil menyeringaikan senyum penuh kemenangan.

Mau tidak mau Davin mengangguk dalam hati. Menyetujui fakta yang sudah diketahuinya dengan jelas. Andrea itu idaman semua lelaki, bahkan terlihat dari lirikan mata di setiap pelosok di lobi ini. Semua mata lelaki memujanya dan semua mata wanita mencacinya. Dan Davin satu dari puluhan mata itu. Tidak lebih.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top