-Tiga puluh tiga-
Aku terbangun lebih dulu daripada Aaron, melepas pelukannya, aku langsung turun dari kasur, masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Selesai mandi pagi dan berganti, aku keluar kamar, turun menuju dapur dan melihat Tante Hilda sedang menyiapkan sarapan.
"Bikin apa Ma?" Tanyaku.
"Telur orek nih, kalian makan sama sandwich aja ya, gak apa kan?"
"Gak apa Ma, sini Ila bantuin yaa."
"Itu aja kamu ambil piring yang udah Mama cuci tadi, lap biar gak basah terus susun di meja ya sayang."
"Siap Ma!"
Aku melakukan yang disuruh Tante Hilda, ketika sedang menata meja, Aaron turun, masih muka bantal, belum mandi.
"Kenapa gak bangunin gue?" Tanyanya.
"Lo baru tidur bentar, istirahat aja sana."
"Ya sama kali kita tidurnya!"
"Ya lo kan pasti capek kan habisss--" Aku sengaja tak menyelesaikan kalimatku.
"Ya gak gitu juga lah, Laa!"
Aku hanya mengangkat bahu, lalu kembali ke dapur untuk membawa telur orek, sosis goreng dan selada yang sudah disiapkan Tante Hilda.
Tak lama, Gina turun dari kamarnya, sama seperti Aaron, masih muka bantal. Lalu, Om Fauzi yang entah dari mana, bergabung juga bersama kami.
"Aaron punya berita baik, Ma, Pa!" Seru Aaron saat kami asik makan.
Berita baik? Berita apaan nih?
"Apa sayang?" Tanya Tante Hilda.
"Aku sama Ila pacaran!" Tiga pasang mata langsung melirik kami bergantian. Gina dan Om Fauzi terlihat senang, tapi Tante Hilda mukanya panik.
"Apaan?!" Aku langsung berseru, Aaron gak bisa dong seenaknya bikin pengumuman gitu, aku kan belum setuju atas hubungan ini.
"Kalian... kalian gak bisa pacaran sayang." Ucap Tante Hilda lembut.
"Kenapa Ma? Bukannya Mama yang gak setuju Aaron sama mantannya? Terus bilang juga kalo cari cewek kaya Gamyla, ya kan? Bagus dong kalau mereka pacaran, apalagi sampe serius, kita bakal jadi keluarga beneran. Kenapa gak bisa?" Tanya Om Fauzi, suaranya terdengar bingung, dan Aaron pun memasang mimik muka yang sama.
"Coz basically, they're twins!" Ucap Tante Hilda takut-takut, perkataannya itu, membuat kami semua menghentikan sarapan, menuntut penjelasan lebih.
"Maksudnya apa Ma?" Tanyaku.
Kulihat Tante Hilda melirik frustasi ke Om Fauzi, wajahnya tampak merasa bersalah. Apa sih ini? Kenapa dibilang kembar? Aku sama Aaron kan lahirnya beda 3 hari, dia duluan. Dan lagi, kami lahir dari dua orang tua yang berbeda.
"Maksudnya kembar apa Ma?" Tanya Aaron.
Tante Hilda terlihat panik, ia seperti ingin menangis.
"Harusnya Kenanga ada di sini, kita sama-sama janji akan bilang rahasia ini pada waktunya."
"Kamu ngomong apa sih?" Om Fauzi bingung.
"Sebenernya, Ila itu anak kita, Pa. Aaron itu anak Kenanga sama Bagus."
Kami semua melotot mendengar itu.
"Ma, jangan becanda!" Kataku pelan.
"Mama gak bohong, sayang... kamu boleh cari berkas Bunda, dan pasti kamu nemuin perjanjian kita. Kalau kita sepakat buat tukeran anak."
"Maksudnya apa? Kamu jangan ngawur!" Om Fauzi kini sudah tidak sabar, ia berdiri dari kursinya.
"Keluarga kamu Mas... selalu membanggakan anak laki-laki, apalagi untuk jadi anak pertama. Kamu liat Kakak kamu, Sarah dia gak pernah dianggep sama keluarga kamu, selalu kamu yang diutamakan... Terus anak pertamanya perempuan juga, dan Naomi gak pernah dianggep sama sekali sama orang tua kamu, malah adeknya Naomi, Najmi yang disayang banget! Aku gak mau anakku gak dianggep kaya gitu! Di keluarga kamu, anak perempuan sama sekali gak dilirik."
"Terus dengan gampangnya kamu tuker gitu?!"
"Gak gampang buat aku bujuk Kenanga mau melakukan ini, Mas. Tapi saat aku yakinkan kalau dia udah punya anak laki-laki, dan aku janji kalau aku akan merawat anaknya dengan baik... dia mau. Kamu kira gampang buat aku mengikhlaskan anak yang aku lahirin dibesarkan oleh orang lain?"
Aku berdiri, meninggalkan meja makan, terus berjalan ketika mendengar Tante Hilda menyerukan namaku. Naik ke lantai atas, aku menuju kamar Ayah dan Bunda, menguncinya dari dalam lalu segera membongkar lemari, mencari surat yang katanya berisi sebuah perjanjian.
Tanganku bergetar ketika aku menemukan sebuah kertas yang terlihat lusuh. Di bagian bawah, kulihat tanda tangan Bunda dan tante Hilda.
Membaca surat itu dengan seksama, air mataku turun begitu saja.
Jadi? Aku bukan anaknya Bunda?
Apa itu alasannya Bunda selalu memperlakukan aku berbeda dari Gina dan Bang Jati?
Aku mengusap wajahku beberapa kali, masih tak percaya kalau apa yang dibilang tante Hilda adalah kebenaran.
Jadi.... selama ini aku tinggal bukan bersama keluargaku? Tapi... aku sangat menyayangi mereka, aku sayang Ayah, aku sayang Bunda, aku sayang Gina, bahkan aku juga menyayangi Bang Jati.
Aku keluar dari kamar Bunda, berlari menuju kamarku sendiri dan menguncinya.
Tuhan, aku gak ngerti, kenapa semua masalah ini datangnya bertubi-tubi? Kenapa?
Aku tak menahan air mataku, ku tumpahkan semuanya, menangis sekencang yang aku bisa. Di luar sana, aku mendengar keributan, suara Om Fauzi, Tante Hilda dan Aaron bersautan, sampai akhirnya mendadak hening.
"La, Ila? Buka pintunya!" Kudengar suara Aaron dari luar, namun aku bergeming, aku tak ingin diganggu.
"Gamyla? La? Buka please!" Pinta Aaron, namun aku tetap tak bergerak dari kasur.
Aku gak tahu, ini kesakitan macam apa lagi yang kurasakan. Yang pasti... dadaku sesak sekali.
Kupijat kecil kepalaku yang mulai pusing, entah kenapa semua tubuhku jadi mendadak sakit. Kepalaku pusing, dadaku sesak, tubuhku terasa lemas, bahkan tanganku sudah tidak bertenaga.
Aku terkejut ketika jendela kamarku mendadak terbuka, dan Aaron menyelinap dari luar, masuk ke kamarku.
Astaga... kenapa dia pake manjat segala sih?
"La, Ila please jangan nangis!" Aaron menghampiriku yang terbaring di kasur, ia menarikku untuk duduk lalu memelukku erat.
"Gue juga kaget... asli gue gak tahu harus percaya apa engga. Tapi Mama udah sumpah demi Tuhan kalau semua yang diomongin tadi bener."
Aku tak bereaksi, menatap wajah Aaron dengan pandangan putus asa. Dah, aku udah gak mau mikir lagi. Aku udah gak mau hidup lagi.
Gina... tante Hilda dan Om Fauzi pasti akan mengurusnya kan nanti?
"La, please... say something, don't act like a corpse!"
"Lu mau gue bilang apa?" Tanyaku.
"Itu gak bener kan? Nyokap gue bohong kan?"
Kudorong Aaron pelan, lalu mengambil surat Bunda yang tadi kutemukan, lalu kuberikan padanya.
"Itu bener semua Ron, we're twins! Lo dilahirin Bunda, tapi ASI-nya dari Mama, gue sebaliknya, the blood that's running in our body, it's same!" Jelasku.
"Gak! Gak mungkin! Gue udah punya rencana buat kita La, kita harus sama-sama!"
"Iya bisa sama-sama, ya tapi jadi saudara."
Aaron masih menggeleng, ia tidak terima dengan kebenaran yang terkuak.
"Engga La, gak bisa begitu! Gue tahu lo sayang sama gue, dan sama... gue juga sayang sama lo! Just let love win this time, La, okay? Kita bisa bilang sama Mama." Ucap Aaron dengan semangat, ia bahkan menggenggam tanganku.
Kulepas genggaman itu, aku gak mau terlalu halu sama Aaron. Aku tahu sejak lama, kalau hubunganku dengan Aaron pasti tak berhasil, karena kami tidak pernah dapat kesempatan untuk bersama. Mungkin Aaron bisa bilang kalau dia memang sengaja... save the best for the last, tapi menurutku, kami gak bersama karena semesta yang tidak pernah merestui kami.
Aku turun dari kasur, berjalan ke luar kamar dengan sisa tenaga yang kumiliki.
Di bawah, aku tak melihat Tante Hilda, Om Fauzi ataupun Gina. Mobil Om Fauzi bahkan sudah tidak ada, jadi memudahkanku untuk mengeluarkan mobil.
Menyetir tanpa arah, aku sudah berniat menabrakkan diri ketika ponselku berdenting, satu pesan masuk dan aku langsung membukanya.
Febri:
La? Bisa ketemu?
Ada yang mau aku omongin
Tanpa berfikir panjang, aku langsung membalas pesan tersebut.
Me:
Share lokasi
Aku samperin kamu sekarang
Ya, ditengah kegilaan yang ada, sepertinya aku butuh hal yang lebih gila lagi dari ini semua.
Aku butuh pelarian.
*******
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
Ps: syok gak? Heheheheh
****
Iklan yaaa
Yok mampir ke akun Dreame//Innovel aku
Ada 8 cerita lengkap yang bisa dibaca secara gratis~
Jangan lupa follow dan tinggalin love yaa xx
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top