-Tiga puluh satu-

Uang sekolah Gina sudah terbayarkan untuk satu tahun penuh, aku bahkan masih punya uang sisa untuk pegangan.

Setelah ini aku bingung, apa aku akan melanjutkan kuliah atau tidak. Karena bagaimana pun, Gina butuh aku di sini. Dia gak bisa kutinggal di rumah sendiri.

"Kak, kartu gue belum diisi duit." Ucap Gina,

"Kartu apa?"

"Kartu pelajar, gue makan siang kan nanti bayarnya pake kartu."

"Bawa bekel aja lah Dek."

"Lo bisa masak?"

Aku menggeleng.

"Biasanya Ayah apa Bunda yang isi kartu lo itu? Berapa?" Tanyaku.

"Gak tahu siapa, gak tahu juga berapa, gue sih selama gue makan dan lain-lain bayarnya lancar, ya gak pernah komen."

Aku menarik napas panjang. Astaga... bayar lebih dari 400 juta tapi tetep aja ngurus ginian.

"Yaudah nanti gue isi, gimana caranya?"

Gina lalu mengirim foto barcode yang ada di kartunya.

"Dek, lo tahu kan situasi kita lagi gimana. Gue juga gak kerja, jadi segala kehidupan hedon lo diskip dulu, oke?"

"Kalo gitu gue gak bergaul dong Kak?"

"Ya lo boleh bergaul, gue juga mau lo bergaul, tapi Dek, lo liat kondisi kita sekarang. Kita cuma berdua." Kataku.

"Bener kata Bang Jati, lo tuh bisanya cuma ngomel, bukan nyari solusi!" Seru Gina, membuatku marah.

"Gak usah lo sebut-sebut Bang Jati! Kaga pernah ada kontribusinya kan dia di hidup kita? Kita susah gini aja dia malah bawa kabur semua uang, gak mikirin kita! Lo bilang gue gak nyari solusi? Enak banget mulut lo ngomong gitu! Lo kira itu duit buat bayar sekolah lo turun dari langit apa?!"

"Bang Jati baik kak! Seenggaknya dia dulu selalu ada di rumah ini, gak kaya lo... pergi sama Aaron, ngikut dia party ke sana-sini! Terus kuliah lo ilang aja, gak ada buat gue! Bang Jati ada terus buat gue!"

Aku diam mendengar itu. Tapi karena masih merasa marah, ku bentak Gina.

"Yaudah, cari sana Bang Jati, minta dia buat isiin kartu lo itu!" Aku berbalik, masuk ke kamar sambil membanting pintu sekuat tenaga.

Di kamar, aku menangis. Gosh!

Bisa-bisanya Gina bilang aku gak ngasih solusi, dia gak tahu aku harus apa demi dapetin duit buat bayar sekolahnya.

Astaga.. aku nih kurang apa sih?

Meredam amarah, kuambil ponselku, mengirim uang untuk kartunya Gina senilai 5 juta, harusnya itu cukup buat bayar makan selama sebulan. Semoga.

Satu notifikasi masuk, aku terkejut melihat nama Febri di layar.

Febri:
Hay La?
Aku cerita soal kamu ke temenku
Mereka pada tertarik nyoba juga
Mau?
Tapi jangan mahal mahal lah

Ini bola mata kalo bisa keluar, keluar dah, anjir... apa-apaan? Ngapain Febri ngasih tau orang-orang? Aku gak butuh testimoni dari hal sialan kayak gitu!

Gak, gak, gak!

Aku sama Febri itu kesalahan, kepepet, you named it! Pokoknya gak boleh terulang lagi.

Aku nih sekarang harus kerja, kerja beneran, biar dapet penghasilan bulanan, biar aku dan Gina tetep bisa hidup walaupun cuma berdua.

*****

Aku bingung... sudah puluhan lamaran pekerjaan yang ku kirimkan namun tak ada satupun balasan.

Mungkin, karena aku gak memenuhi syarat-syarat yang diberikan. Untuk ukuran lulus SMA, aku yang 21 tahun ini dianggap terlalu tua, apalagi aku gak punya pengalaman bekerja sebelumnya.

Susah banget ya ampun.

Bel rumah menggema, membuatku terlonjak dan keluar dari kamar, turun ke lantai satu, berlari menuju pagar untuk melihat siapa yang datang.

Jantungku berhenti selama beberapa detik saat melihat Febri.

Membuka pagar, aku mempersilahkannya masuk.

"Ngapain?" Tanyaku heran.

"Nganter baju, eh iya.. mobilku di parkir di depan situ gak apa?"

"Gak apa sih kalo sebentar." Kataku.

"Oh iya, aku ambilin dulu baju kamu."

Aku cemas, aku takut kalau Febri ke sini bukan cuma buat anter baju tapi ada agenda terselubung. Gosh, aku gak mau!

Aku menunggu Febri di teras rumah, duduk di kursi yang selalu diduduki ayah saat malam sambil minum teh.

Tak lama, Febri kembali dengan sarung baju... aku tahu, dia nyucinya di laundry mahal tuh.

"Nih La, udah semua."

"Makasi ya repot-repot banget sampe kamu anterin. Kan bisa padahal pake ojek,"

"Gak apa, ada waktu kosong, boleh duduk?"

"Eh iya, ayok duduk!"

Kami duduk di teras, senyum Febri mengembang seperti ada maksud lain atas kunjungannya ke sini.

Gak! Engga! Enggak!

Aku butuh kerjaan, tapi bukan yang begini... ya Tuhan!

"La, kamu baca kan chat terakhir aku itu? Kenapa gak dibales?" Tanyanya.

"Kamu gila ya, ngapain bilang-bilang ke temen kamu?"

"Yaa, aku kan sharing experience, La."

"Gak sex experience juga yang kamu sharing, Feb! " Seruku kesal.

"It was great... kenapa sih? Temenku gak nganggep itu aneh kok, mereka malah mau coba."

"Aku gak ada niat jadi roleplayer buat para pebisnis muda macem kalian, Feb. Sorry! Aku... Aku sama kamu tuh kepepet! Aku butuh duit cepet, dan sekarang itu selesai, thanks for that! Tapi gak, aku gak bisa gitu lagi, aku sekarang bisa cari kerja biasa untuk dapet uang."

"Kerja tuh capek, kalau kamu setuju, kamu kerja enak La, santai, nanti aku bisa bantu kamu manage semuanya, kamu bisa pilih dalam sebulan kamu mau berapa orang, tapi ya itu... jangan mahal-mahal lah."

Aku menggeleng, tak habis pikir dengan tawaran yang diberikan Febri. Udah gila kayaknya dia.

"Permisi!" Seru seseorang dari luar, aku langsung berdiri, meletakkan laundryan baju di meja, lalu berjalan ke arah luar.

Seorang bapak-bapak berdiri di depan pagarku,

"Iya Pak, ada apa?"

"Rumahnya Pak Bagus kan?"

Aku mengangguk.

"Mau ingetin, tagihan listriknya belum bayar 2 bulan, kalau sampai tanggal 20 ini belum dibayar juga, bakal dicopot."

"What?!"

"Iya Mbak, coba dicek yaa, dikasih tahu ke Pak Bagus."

"Oke... oke makasih Pak!"

Astaga... iya sih sebulan kemarenkan aku sama Gina di Purwakarta sampai 3 minggu, dan sekarang... sudah masuk bulan baru.

Aku gak pernah kepikiran begini sebelumnya.

Kembali ke rumah, aku duduk di teras, di sebelah Febri.

"Kenapa La?"

"Bukan apa-apa,"

"Muka kamu kusut banget itu."

"Masalahku gak akan pernah kelar kayaknya, heran! Sumpah!"

Sebuah mobil berhenti di depan rumahku, saat akan mengeluh lagi... ternyata cuma Gina yang datang, pulang sekolah. Ya, dia setuju untuk berangkat sekolah sendiri tapi ya itu... naik taksi. Gak mau dia naik ojek.

"Kak, di depan mobil siapa? Keren banget?" Seru Gina.

Aku langsung melirik ke sampingku.

"Ohhh, yaudah deh, gue masuk ya Kak!"

Aku mengangguk.

"Kamu gak mirip ya sama adeknya?" Ucap Febri. Gosh! Aku gak butuh komentarnya.

"Gimana nih La? Mau?"

"Aku gak bisa jawab sekarang." Kataku, heran pada diri sendiri kenapa gak langsung bilang enggak aja sih?

"Kaaak! Antony chat gue nanyain lo lagi nih!" Teriak Gina dari dalam, gosh, harus banget ya dia teriak gitu?

Entah itu keberapa kali Antony mencariku lewat Gina, karena nomornya sendiri sudah ku blokir. Aku gak sanggup menghadapi Antony, aku takut.

"Kapan kamu mau kasih jawaban?" Tuntut Febri.

"Aku gak tahu Feb, untuk saat ini ya aku gak bisa."

"Yaudah, aku pulang deh, kamu kayaknya lagi gak asik diajak sharing, tapi pikirin baik-baik ya La, kapan lagi... kamu dapet uang cepet!" Seru Febri sebelum pulang.

Aku diam di tempat, bahkan gak punya cukup tenaga untuk nganter Febri sampai depan gerbang. Untungnya, Febri menutup pagar rumahku dari luar, jadi aku gak perlu jalan lagi ke depan.

Bangkit, aku masuk ke rumah dan melihat Gina sedang asik menonton TV.

Aku naik ke lantai dua, meletakkan baju yang baru dikembalikan Febri, lalu setelahnya ke kamar Ayah dan Bunda, mencari kode atau nomor pelanggan tagihan listrik.

Membuka lemari, aku mengambil satu map dan langsung ketemu. Asli sih, aku belum sempat merapikan berkas-berkas orangtuaku.

Membuka aplikasi e-commerce, kemasukan id-pelanggan, lalu muncul lah sejumlah nominal tagihan yang membuatku terkejut.

12 juta... hanya untuk listrik selama dua bulan?

Gosh! Aku penasaran sekarang, berapa penghasilan Ayah dan Bunda selama bekerja. Aku baru tahu pengeluaran-pengeluaran kami ternyata banyak.

Keluar dari kamar, aku turun ke lantai satu, tempat Gina sedang menonton.

"Dek, gue perlu ngobrol sama lo." Kataku.

"Apa?"

"Kita belum bayar listrik 2 bulan. Kalo sampe tanggal 20 gak dibayar, bakal dicopot."

"Hah? Lo ada uang kan Kak? Bayar kak, sekarang!"

"Lo tahu berapa bayar listrik kita?" Tanyaku, gak mau langsung bayar, biar Gina tahu tanggungan kami segimana. Ya, kami... ini bukan cuma tanggunganku aja kan?

"Engga, berapa emang?"

"Untuk dua bulan ini, 12 juta sekian." Kataku.

"Hah?"

Aku mengangguk.

"Beneran lo Kak?"

"Ya masa gue bohong dek? Kita lagi begini udah gak sempet drama. Ini gue sebelum bayar gue mau bilang sama lo dulu."

"Ya udah bayar Kak! Nanti lupa, ini udah tanggal 18, Kak."

"Iyaa tahu, sabar dulu, gue mau ngobrol dulu sama lo."

"Kenapa lagi?" Tanyanya.

"Lo hemat-hemat ya pake listrik, AC kamar gak usah nyala terus, kalo lo masuk baru dinyalain, terus ini AC tengah juga, kalo kita di kamar, ya matiin aja."

"Ya ampun Kak, kalo gitu nanti ruangannya sumpek dong?"

"Ya kan cuma sebentar dek sumpeknya, kita ada ya baru dinyalain. Terus TV kamar lo, jangan 24 jam dek."

"Kak, lo tahu gue gak bisa tidur kalo sepi, takut."

"Yaudah tapi kalo lo berangkat sekolah matiin."

"Okeh, okeh!"

"Terus dek..."

"Apalagi sih Kak?"

"Kulkas pake satu aja ya, yang gede, di dapur, yang di ruang makan kita cabut aja."

"Lha? Ngambil minum jadi jauh dong?"

"Cuma beda lima langkah doang dek! Jangan lebay lu!"

"Hemmm, yaudah oke!"

"Menurut lo gimana kalau satu mobil kita jual? Kita punya 2 ribet dek, gak kepake juga dua-duanya."

"Yaudah, tapi mobil Bunda aja yang dijual, mobil Ayah jangan."

"Oke!"

"Lo setuju kan?"

"Iya, biar cepet! Biar punya duit! Tapi gue minta yaa hasil jual mobil itu!"

Aku mengangguk.

Dah lah, untuk duit pakai yang ada dulu aja. Sambil terus usaha cari kerja, sisanya... liat nanti deh.

******

TBC

Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo

Ps: happy weekend~
Ntr aku double update yaa agak maleman buat nemenin kalian yang di rumah aja 🤗

****

Iklan yhaa eheheheh

Yuk yang mau baca ke 4 cerita di atas bisa langsung meluncur ke apps/play store kalian

Ke4nya bisa di download dan full deh baca ceritanya lengkap dengan ekstra part xx

Keyword: kadallilah

Atau tulis aja judul bukunya xx

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top