-Tiga puluh lima-

Kayaknya ini kali pertama, aku tidur sama cowok, bangunnya gak pelukan. Dan tidurnya pun beneran tidur. Gak ada satu pun hal macem-macem yang terjadi.

Febri masih terlelap, padahal ruangan ini sudah terang, cahaya matahari sudah menerobos masuk dari kisi-kisi di atas jendela.

Aku mengusap wajahku, lalu tanganku terulur ke bawah kasur, meraih tas miliku, mengeluarkan ponsel.

Ketika membukanya, banyak sekali panggilan tak terjawab dari Gina, Aaron dan satu nomor asing.

Gosh! Rasanya aku pengin lari aja dari semua masalah ini.

"Hay! Selamat pagi!" Aku menoleh ketika mendengar sapaan lembut itu.

"Hay!"

"Kok mukanya kusut lagi?" Tanya Febri.

"Gak apa, aku balik ya."

"Aku anter, yuk!"

"Aku kan bawa mobil,"

"Yaudah, pake mobil kamu, aku bisa suruh supirku buntutin kita."

"Yaudah," Kataku, kemudian aku turun dari kasur, merapikan bajuku yang sangat kusut ini.

Ya ampun, ini aku masih pake baju pesta semalem. Udah gilak!

"Kamu mau ganti dulu?" Tawar Febri, aku menggeleng.

"Yaudah, aku gini aja kali ya anter kamu? Apa harus ganti baju?" Tanya Febri.

"Gitu aja, kan di dalem mobil juga kan? Biar cepet."

"Oke!"

Kami berdua keluar dari kamar, singgah sebentar di ruang makan, Febri memberiku segelas air.

"Ada karet gak? Pengin kuncir rambut." Kataku setelah menenggak air.

"Mbak, iket rambut kamu siniin!" Febri berkata pada mbak yang standby memerhatikan kami berdua. Menunggu perintah sepertinya.

Kulihat mbak tersebut melepas ikat rambutnya dan memberikan pada Febri lalu Febri mengopernya padaku.

"Gak usah punya mbaknya, karet gelang aja. Cuma biar gak berantakan ini rambut."

"Udah ini ambil, gak apa kan Mbak?" Tanya Febri dengan nada mengintimidasi.

"Iya Mbak, gak apa, dipake aja."

"Sorry ya Mbak, makasi." Kataku, lalu mengikat rambutku seperti ekor kuda.

"Eh iya Mbak, tolong beresin kamar saya ya, semalem saya muntah, terus panggil orang yang buat bersihin kasur, sama kamar ke dua dirapihin, saya malem ini tidur situ."

"Baik, Pak!"

Setelah memberi perintah, Febri menggengam tanganku, mengajakku ke luar, tangan kanannya yang bebas sudah sibuk dengan ponselnya.

Begitu tiba di parkiran, Febri mengambil kunci dari tanganku.

"Aku yang nyetir,"

"Kamu beneran udah sober?" Tanyaku.

"Yapp!"

Aku mengangguk, kemudian masuk ke bangku penumpang. Saat mobil keluar dari basement parkiran, kulihat sebuah mobil hitam mengikuti kami. Kayaknya sih supirnya Febri.

Kami diam sepanjang jalan, well, Febri ngajak ngobrol sih, cuma aku jawabnya gak niat dan dia sepertinya mengerti kalau aku lagi gak mau ngomong.

Begitu tiba di rumah, pintu pagarku ternyata sudah terbuka lebar, jadi Febri langsung memasukan mobil ke dalam.

"Thanks ya!" Kataku sebelum keluar dari mobil.

"Aku yang makasi, kamu gak ninggalin aku pas aku mabuk."

"Ya gak lah, gila kali?"

Febri tersenyum, lalu ia membuka seatbelt-nya, aku melakukan hal yang sama kemudian turun dari mobil.

Ketika Febri berjalan ke arahku untuk memberikan kunci, kami berdua menoleh ketika mendengar langkah berisik dari dalam rumah. Dan seketika, jantungku mau lepas aja.

Gina, Aaron dan Antony keluar dari rumah, ketiganya menatapku dengan tampang heran, Aaron bahkan lebih parah, ia seperi sedang menghakimiku melalui tatapannya.

"Lo sama siapa La?" Tanya Aaron, nada suaranya kesal. Tapi aku malah menghadap Febri.

"Feb, kamu balik gih, makasi udah anter." Kataku.

"Gak apa nih kamu kutinggal?" Tanyanya.

Aku mengangguk.

"Okay, see you! Call me, La!" Katanya, dan lagi, aku mengangguk.

Aku masih berdiri di tempatku, bingung harus gimana menghadapi tiga orang di depanku ini.

Memberanikan diri, aku berjalan ke arah pintu rumah, ketika aku akan melewati ketiganya, tanganku ditahan, oleh Antony, membuat jantungku berhenti sekian detik.

"Kenapa?" Tanyaku pelan, nada suaraku bahkan pasrah.

"Kenapa? Kamu tanya kenapa La? Gosh! Kamu gak mau kasih tahu kamu dari mana? Bikin Gina panik, Aaron panik, terus pulang-pulang tampang kamu berantakan, sama cowok yang cuma pake pakean dalem doang pula! Kamu gak mau ngomong apa gitu?"

Kutarik tanganku dari cengkraman Antony, meliriknya sinis.

"Bukan urusan lo!" Kataku lalu masuk ke dalam rumah.

"Gamyla!" Itu suara Aaron, aku gak pernah mendengar nada suara semarah itu keluar darinya.

Tak menoleh, aku terus berjalan, naik tangga menuju kamarku, namun sialnya, kamarku terkunci.

Ketika aku membalik badan, tiga orang ini ada di depanku, berdiri di ujung tangga.

"Gak gini La," Ucap Aaron pelan.

"Apa? Gak gini apanya sih Ron?"

"Ya lo gak bisa pergi tanpa pamit, dicariin gak nyaut sama sekali, terus balik-balik begini tanpa penjelasan apapun."

Merasa lelah, aku duduk di lantai, bersandar pada pintu kamarku, menatap Aaron dengan tatapan bersalah. Ya, aku juga gak mau sebenernya begini. Karena apa yang aku rasakan, kekecewaan yang kurasakan, itu juga dirasakan oleh Aaron.

"Terus lo mau apa?" Tanyaku.

"Cowok tadi siapa?" Tanya Aaron,

"Dia Febri, temen gue!"

"Temen dari mana? Kok gue gak tahu?"

"Lo gak perlu tahu!"

"Kamu semalem sama dia La? Kamu tidur sama dia?" Tanya Antony, aku langsung meliriknya dengan tatapan kesal.

"Iya semalem aku sama dia, seharian kemarin aku sama dia!! Tidur sama dia??? Bukan urusan kamu, Ton!"

"La? Dia siapa? Lo gak punya temen yang tampangnya lebih tua begitu! Hey, kalo dia manfaatin lo gimana? Manfaatin keadaan lo!" Ucap Aaron.

"Kan gue udah bilang, dia temen gue! Terserah dia mau manfaatin gue atau apa! Yang jelas, dia bantuin gue saat gak ada satu pun yang bisa bantu gue!" Suaraku sedikit meninggi.

Aaron, berjalan mendekat, kemudian duduk di hadapanku. Ia memelukku, lama.

"Dia bantu apa? Apa yang bisa dia bantu sedangkan gue kan selalu ada La buat lo," Tanya Aaron. Ku dorong dia untuk melihat matanya.

"Sebulan lalu, gue telfonin lo berkali-kali, telefon nyokap lo, bokap lo! Gue sama Gina lagi susah-susahnya buat lanjutin hidup, gak ada satu pun dari kalian yang angkat telepon gue!" Kataku marah.

Ya, aku juga belum gila... kalau bisa minta tolong Aaron atau keluarganya, itu sudah pasti kulakukan sebelum aku memutuskan menjual diriku ke Febri.

"Kemana lo waktu itu? Lagi asik di Amerika? Iya??!!"

Aaron diam.

"Bukain ini!" Aku memukul pintu di belakangku keras sekali, kulihat Gina dan Antony tersentak karena kaget.

Aaron kembali memelukku, tapi aku mendorongnya.

"Bukain gak kamar gue?!" Seruku.

"Gak, lo gak bisa dibiarin sendiri. Gue temenin lo, atau lo mau ditemenin Antony? Atau Gina? Pokoknya lo gak boleh sendiri!"

Aku menghembuskan napas kesal.

"Yaudah, gue balik lagi ke Febri aja." Kataku kemudian mencoba bangkit, namun Aaron menahanku.

"Bukain!" Seruku.

Kulihat Aaron mengeluarkan kunci dari saku celananya, lalu ia berikan padaku.

Membuka pintu kamar, aku langsung masuk, menguncinya kembali dari dalam.

Gosh! Kenapa jadi makin ribet gini sih?

*******

"La? Makan yuk!" Terdengar seruan suara Aaron dari luar.

Mengambil ponsel, aku mengirim pesan pada Aaron.

Me:
Gue gak mau keluar
kalau ada Antony!

Terkirim, dan langsung dibaca olehnya. Sumpah, aku gak berani ketemu Antony, liat dia aja tuh jantung serasa mau berenti. Denger dia ngomong langsung ngerasa bersalah, gak ngerti lagi deh aku, kenapa bisa kaya gitu.

Nasi Aaron:
Okay sayang
Wait a sec!

Kubiarkan pesan tersebut. Entah kenapa, aku juga jadi sebel sama Aaron. Kenapa sih harus pake sayang segala? Agak aneh sekarang denger Aaron nyelipin kata sayang tuh, apalagi sejak tahu kalau kita gak akan mungkin sama-sama, kaya... bikin hati makin sakit aja gitu ya ampun.

Sekian menit sejak chat Aaron, kudengar suara Gina memanggil.

"Kak? Yuk! Udah kosong kok rumah." Seru Gina,

Aku turun dari kasur, membuka pintu lalu berjalan pelan menuju tangga, tempat Gina menunggu.

Di meja makan, sudah tersedia berbagai jenis makanan kesukaaanku, syukurlah kursinya kosong, gak ada Aaron ataupun Antony.

"Yok makan!" Ajak Gina, aku mengangguk, mengambil ayam penyet sambel ijo dari sekian banyak menu yang ada.

"Kak... maaf ya kalau gue cuma bisa bikin lo susah selama ini." Ucap Gina tiba-tiba.

"Lo adek gue! Lo tanggung jawab gue, lo gak bikin gue susah kok!"

"Sorry, gue sempet bandingin lo sama Bang Jati,"

Aku mengangguk, enggan membahas Bang Jati.

"Gue mau kok pindah sekolah, Kak."

Aku meliriknya kesal.

"Gue udah susah payah cari duit biar lo bisa terusin sekolah di situ, lo sekarang enteng bilang mau pindah?!" Omelku.

"Ya abis gimana... emang sih lo udah bayar full setahun, tapi kan gue ada pengeluaran lain kak. Kartu gue, terus yang lain? Belum lagi taksi?"

"Lo lanjut sekolah di situ, I'll work my ass off so you'll get everything you want, okay?"

"Kak!" Ucapnya pelan lalu aku memotong apapun yang akan diucapkan Gina dengan mengangkat tanganku, menyuruhnya diam.

Kulanjutkan menghabiskan makananku.

"Kak, setelah tahu semuanya, gue ngerasa gak enak nyusahin lo, gue ngerasa gak layak aja." Ucap Gina ketika aku selesai makan, ia ternyata tidak menyentuh makanan sama sekali.

"Gak ada yang berubah, oke! Gue tetep kakak lo, dan lo tetep adek gue! Gue gak peduli tante Hilda bilang apa, suratnya Bunda bilang apa.... kita dibesarkan bersama, sama Ayah dan Bunda, kita kakak adek, itu gak berubah! Oke?!"

Kulihat Gina sedikit menangis, tapi ia mengangguk.

Ada bagusnya juga nih, semoga aja Gina bisa sedikit berubah, dan bisa maklum sama keadaan kami sekarang ini.

Biar tingkat pusingku berkurang.

******

TBC

Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top