-Tiga puluh delapan-

Hasil masakanku gak ancur-ancur amat, Febri dan Gina mau makannya dan menurutku juga rasanya lumayan.

"Eh iya, kalau Gina sekolahnya di mana?" Tanya Febri, kami masih duduk di kursi makan, mengobrol ringan sambil nyemil.

"Di JIS, Kak." Jawab Gina.

"Good, kelas berapa?"

"Ini tahun terakhir dia." Kataku.

"Mantap, sukses yaa!"

Gina mengangguk. Lalu kami mengobrol banyak hal soal sekolahnya Gina, Febri juga berbagi cerita tentang masa sekolahnya dulu, sampai akhirnya Gina pamit.

"Kak, gue mau tidur ya? Besok kan gue sekolah, lo juga jangan kemaleman tidurnya, kan anterin gue."

"Eh? Gina sekolahnya dianter Ila?"

"Iya lah Kak, masa aku nyetir sendiri? Kan gak boleh, terus kalau naik taksi mahal, kasian Kak Ila." Ujar Gina, iya lah mahal, dia mau naik taksinya Alphard.

"Ohh gitu, yaudah, kamu dianter supirku aja dek, besok kusuruh dia pagi ke sini, oke?"

"Ehhh?" Aku dan Gina terkejut mendengar itu.

"Gak usah Feb, repotin kamu." Kataku.

"Engga kok gak repot, kan bukan aku... tapi supir,"

"Beneran ya Kak?" Tanya Gina senang.

"Yap! Kamu mau apa mobilnya Alphard? Atau Mercy yang aku pake di depan? Atau SUV Lexus?" Tanya Febri.

"Alphard aja kak, standar."

Standar? Alphard standar?!
Kesel sendiri aku sama Gina, kenapa dia gak nolak sih? Kan kalo gini bebanku makin banyak.

Beban hutang budi ke Febri!

"Oke, noted!"

"Oke Kak Feb, aku masuk kamar yaa, good night!"

"Bye Gin!" Sahut Febri.

Begitu pintu kamar Gina tertutup, aku langsung menatap Febri kesal.

"Kamu kenapa nawarin itu ke dia?"

"Ya emang kenapa? Salah aku berbuat baik?"

Aku diam.

"Gosh! Terus aku harus bayar kamu pake apa Feb? Ini aja aku numpang di rumah kamu, aku belum dapet kerjaan juga, jangan bikin aku pusing."

"Aku udah nawarin kamu pekerjaan, tapi kamu gak mau." Katanya pelan.

Aku diam sejenak, memikirkan kapan Febri nawarin kerjaan, dan ketika ingat... aku dongkol.

Jadi role player buat dia dan teman-temannya, gosh! Belum siap aku.

"Aku gak bisa Feb kalau itu, gak kebayang aja nanti bakal gimana, apalagi kalau temen-temen kamu maunya aneh-aneh, ini kamu nyuruh jadi chef aja aku pusing."

"Emm gimana kalo gini, aku punya penawaran menarik."

"Apa?"

"Kita pacaran, resmi!"

"Hah?"

"Aku akan kenalin kamu ke publik sebagai pacar aku, dan sebagai gantinya, aku biayain semua kebutuhan kamu sama Gina, semua. Kamu gak usah mikirin apapun."

Aku? Jadi pacarnya Febri? Yang artinya... aku bakal dia gandeng kalau dia ada acara, atau kalau dia gabung sama pengusaha dan artis-artis. Dooh! Apa kata orang-orang yang kenal aku?

Apa kata Antony?

Gosh! Kenapa aku kepikiran Antony?

"Gimana?" Tanya Febri dan aku refleks menggeleng.

"Aku gak bisa Feb, aku gak bisa akting jadi pacar kamu, aku... aku gak sejago itu, dan kalau jadi pacar bukannya harus ada perasaan ya? Dan... maaf, tapi jujur, aku gak ada rasa sama kamu. Kamu baik banget, baikkkk banget, tapi untuk ke arah sana, perasaan itu belum ada."

Kulihat Febri tersenyum, dia memang tipe orang yang sangat santai.

"Okay, tapi yang chef jadi ya?" Tanyanya memastikan.

Aku mengangguk, dan dibalas Febri dengan senyuman tipis.

"Oh iya, aku boleh berapa lama di sini? Biar aku bisa cari tempat tinggal lain."

"Eh gak usah, ini aku beneran niat nolongin kamu kok, kamu boleh tinggal di sini sesuka kamu aja, toh gak aku pake juga rumahnya. Daripada jadi sarang hantu kan?"

"Yaudah, aku sewa ya?"

"Gak usah, kamu juga belum dapet kerjaan kan? Just keep your money, honey!"

"Aku gak tahu lagi harus bilang makasi kaya gimana." Kataku.

"Udah ah santai, aku balik yaa! Besok kamu bangun siang aja, gak usah bangun pagi, Gina biar pak Jamil yang jemput, oke?"

"Oke Feb, makasi yaa!"

"Kamu kebanyakan bilang makasi!" Serunya, lalu ia turun dari kursinya, berjalan mendekat ke arahku, ketika ia memelukku, aku membalas pelukannya. Hanya pelukan singkat, sebelum Febri melepaskannya dan mencium pipiku.

"Makasi makan malamnya, aku balik yaa, bye!" Aku turun dari kursiku, mengantarnya sampai ke luar.

Setelah Febri pulang, aku bebersih rumah, cuci piring dan lain sebagainya.

Masuk ke kamar, aku gak bisa tidur, jadi kubuka laptopku, mencari profil tentang para chef wanita yang ada, lalu mempelajari gerak-geriknya dan sebagainya.

Yuk deh, riset lagi sebelum meladeni Febri.

********

Febri:
La, sorry
Hari ini cancel ya?
Aku harus pergi ke Bali, besok ada rapat

Pesan itu masuk ketika aku baru selesai mandi. Jujur, ada kelegaan saat aku membaca itu karena... yeah, aku gak harus gituan dengan orang yang aku gak suka. Well, bukan gak harus sih, tapi menunda, lumayan kan.

Me:
It's okay
Semangat rapatnya

Febri:
Thanks
Reschedule, okay?
Dan kayaknya ganti peran deh
😉😉😉

Me:
Eh maksudnya?
Aku udah belajar jadi Chef nih

Febri:
You'll gonna like this one
Gak perlu belajar

Me:
Apa?

Febri:
Nanti aku kasih tahu pas pulang dari Bali ya
Kamu mau sesuatu? Buat oleh-oleh

Me:
Gak dehh

Febri:
Coba tanya Gina
Kali aja dia mau sesuatu

Me:
Oke nanti aku tanya yaa
Aku baru kelar mandi

Tidak ada balasan dari Febri, tapi detik berikutnya panggilan video darinya masuk.

Tentu saja aku tak menjawab panggilan itu, lalu, muncul satu pesan masuk.

Febri:
Angkat dong?
Aku mau liat 😍

Aku menelan ludah membaca pesan tersebut, ketika akan membalas, panggilan video itu masuk lagi, kali ini kuangkat. Untungnya, aku masih pake handuk.

"Buka dong?" Pintanya.

"Malu,"

"Please, gak ada yang liat kali La, kenapa musti malu?"

"Kamu di mana?" Tanyaku.

"Kamar mandi bandara, hehehe, benar lagi aku terbang,"

"Malu, Feb."

"Pleaseee!" Pintanya.

Akhirnya ku sandarkan ponselku di meja rias, lalu aku membuka handuk yang menutupi tubuhku. Kulihat senyum Febri mengembang di sana.

"Bagus banget pemandangan aku." Katanya pelan.

Aku yang gak tau harus apa ya cuma bisa tersenyum kecil.

"Oke, makasi yaa! Aku harus masuk pesawat!" Katanya lalu sambungan pun terputus bahkan sebelum aku sempat menyahut.

Asli, Febri orangnya random banget ya?

Setelah sambungan telepon itu terputus, aku langsung berpakaian, lalu keluar kamar, bergabung dengan Gina yang sedang mengerjakan tugas di depan TV.

"Eh? Lo gak jadi keluar Kak?" Tanyanya ketika aku rebahan di sofa.

"Gak, Febri ke Bali, rapat! Dia tanya lo mau sesuatu gak?"

"Gak deh, mendingan ke Bali sekalian buat refresing, daripada cuma oleh-oleh."

"Heu," Hanya itu sahutanku.

"Lo sama dia pacaran Kak? Apa gimana? Cepet juga lo, putus dari Kak Antony langsung ada gantinya."

"Gak, gue sama dia gak pacaran, dan lo gak usah bahas-bahas Antony!? " Seruku kesal.

"Oke sorry! Terus lo sama si Kak Febri menuju pacaran tuh? Apa gimana? Dia belum nembak?" Tanya Gina.

"Engga, emang sama dia tuh dari awal ya temenan, dia nolongin gue, udah gitu aja." Aku gak bisa jelasin ke Gina detailnya gimana.

"Lo suka sama dia?"

"Kaga!"

"Bener? Entar kaya lo ke Kak Aaron lagi, cuma bisa mendem."

"Gue emang beneran gak ada rasa kalo sama Febri, ya Aaron kan beda lagi."

"Ya udah, Kak Febri gue gebet ya kak?" Ucapnya, bikin aku langsung melotot!

"Gak ya Gin! Jangan macem-macem lo! Lo baru mau 18 tahun, dia umurnya bentar lagi kepala 3!" Seruku panik.

"Ya emang kenapa? Kan kalo emang suka terus cinta gak mandang umur dong ya? Lagian, kayaknya Kak Febri asik, dia bisa memenuhi kebutuhan kita Kak."

"Dek, kalo gue bilang engga, engga yaa!"

Gina mendengus kesal. Ya aku panik dong anjir. Gila aja kali aku 'ngasih' Gina ke Febri.

"Gamyla?? Ginaa?" Terdengar seruan dari luar, suaranya sangat aku hafal, jadi aku bangkit dari sofa, membuka pintu depan.

Aaron langsung memelukku ketika pintu terbuka. Gosh akhirnya dia dateng juga.

"Masuk Ron," Kataku sambil mengurai pelukan ini.

Aaron masuk, langsung menyapa Gina yang sekarang sedang merapikan tugasnya.

"Sehat Gin?"

"Sehat, Kakak gimana?"

"Baik kok! Banyak tugas lo?"

"Udah kelar ini, kak... pinjem mobil!" Ucap Gina padaku.

"Mau kemana?"

"Ketemu temen Kak, bosen di rumah, gak ada hiburan."

"Itu, kuncinya di laci."

"Bagi uang!" Pintanya sambil mengulurkan tangan, ketika aku akan ke kamar, Aaron menahanku.

"Nih dek, pake kartu gue aja." Aaron mengeluarkan dompetnya lalu memberikan sebuah kartu pada Gina.

"Oke Kak makasi ya!"

"Sip, kodenya ulang tahun gue, tahu kan lo?"

"Tahu lah, pasti!"

"Sip!"

"Yaudah, gue berangkat ya Kak!" Gina masuk ke kamarnya, hanya sebentar untuk mengambil tas. Lalu, ia menarik laci mengambil kunci mobil.

"Hati-hati, Dek!" Seruku,

"Iya Kak!"

Gina keluar rumah, menutup pintu dari luar, meninggalkan aku dengan Aaron berdua.

Kulirik Aaron, dan wajahnya langsung menunjukan rasa lelah.

"Kenapa?" Tanyaku.

Aaron menarik napas panjang, mungkin mengambil ancang-ancang sebelum bercerita.

"Duduk lo, gue ambilin minum." Kataku. Langsung beralih ke dapur, mengambil sebotol soda dari kulkas dan dua buah gelas.

"Gimana Mama sama Papa?" Tanyaku.

"Gue kaya gak kenal sama Bokap, La. Udah gak tahu lagi. Bokap ngotot pengin nyari lo, tes DNA segala macem sampe mau ganti akte lahir lo dan lain sebagainya. Tapi ya Nyokap gak mau, katanya ya biarin aja kaya gini, sesuai pilihan Ila."

"Terus?"

"Ya, pokoknya mereka berantem, gue gak tahu kelanjutannya keluarga ini bakal gimana."

"Ron, sorry!" Kataku menyesal, sungguh.

"Bukan salah lo, La. Stop bilang sorry!" Aaron menempelkan tangannya di wajahku.

Aku diam.

"Kalau gue balik ke Amerika, lo gimana?" Tanya Aaron.

"Ya gak gimana-gimana, Ron. Tapi yang pasti sih gue gak mau dulu ketemu Papa sama Mama ya?"

"Iya, gue ngerti, gue juga pengin balik ke Amrik biar gak harus ketemu mereka La, gue capek, gue butuh waktu buat semuanya, ngurus kuliah juga. Bener kata lo, mereka udah dewasa, masalah mereka ya biarin mereka yang tanggung jawab."

Aku mengangguk setuju.

"Lo juga harus lanjutin kuliah lo ya La? Gue gak mau lo begini terus, oke?"

Lagi, aku mengangguk. Tapi entah kenapa, aku seperti tidak pernah siap kembali ke kampus.

Aku merbahkan kepalaku di pahanya Aaron, menatap kosong ke arah langit-langit, lalu terpejam ketika Aaron memainkan rambutku.

"Kangen jaman SMA gak sih? Hidup kayaknya santai banget jaman itu." Kataku, masih sambil terpejam.

"Iyesh! Harusnya masa kuliah juga nyenengin yaa? Tapi sayang... kita dipaksa dewasa oleh keadaan." sahut Aaron, membuatku mengangguk kecil.

"Di bantal aja gih, gue juga mau rebahan!" Seru Aaron, aku bangkit sebentar, lalu Aaron berbaring menyamping, setelah itu, aku juga melakukan hal yang sama, mengambil tempat di depannya dan ia memelukku dari belakang.

"Rambut lo wangi banget, sukak gue!" Katanya lalu terasa Aaron mengendus rambutku.

"Dari dulu juga wanginya itu Ron,"

"Iya emang?"

"Heem!" Hanya itu sahutanku.

Kami diam, Aaron gak banyak bicara dan aku pun memandangi TV yang menyala dengan tatapan kosong.

"Lo gak apa kalau gue tinggal ke Amrik?" Tanya Aaron,

"Iya gak apa kok Ron, gue masih cuti kuliah, ngurus Gina dulu lah."

"Gue gak nyangka La, kita gak bisa sama-sama."

Aku diam, tak menyahuti ucapan Aaron barusan. Karena... ya kalau bisa juga aku mau sama dia. Nasib baik kayaknya lagi bete sama aku, makanya hidupku jadi begini.

"Tiduran gini bentar gak apa ya?" Aaron mempererat pelukannya, membuat tubuh kami semakin menempel di atas sofa ini.

"Iya, istirahat ya lo, pasti dari kemarin-kemarin lo pusing." Kataku,

"He'em," Kurasakan wajah Aaron menempel di pundakku, dan tak lama setelah itu, kudengar nafasnya yang berhembus teratur, tenang.

Karena gak bisa tidur, aku meraih ponselku yang ada di meja samping sofa, ternyata ada pesan masuk.

Febri:
Besok siang ke kantor ya
I want you to act like a high school stu~ wearing a uniform
And do an interview with me
Okay?

Aku melongo, jadi anak SMA? Besok?
Astaga, permainan apa lagi sih ini??

********

TBC

Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo

***

Iklan yhaa

Yuk main ke akunku di apps

Dreame/Innovel

Di sana ada 8 cerita komplit yang bisa kalian baca secara gratis.

Dan, aku juga akan memindahkan beberapa ceritaku yang lainnya ke sana~

So, go follow my acc there, and dont forget to leave a ❤

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top