-Sembilan belas-
Malam ini aku gak cuma mengundang Antony, tapi juga Irene, gosh kangen banget aku sama Irene.
Dan sekarang, mereka berdua lagi ada di bawah, gak dibolehin masuk sama satpam, harus aku yang jemput.
Emang sih ini kostan bebas, cewek-cowok campur, tapi ya tetep, yang masuk gak bisa sembarangan.
"Mereka temen saya Pak, Irene sama Antony," Kataku saat turun, melihat Irene dan Antony berdiri di depan pos satpam.
"Nih ingetin ya Pak, Antony, bakal sering soalnya ke sini." Ujar Antony, bikin aku heran.
"Yaudah Neng, kalo ini temennya, boleh dibawa ke atas." Ujar Mang Deni, si satpam yang berjaga.
"Yok, ajakku!"
Aku berjalan duluan, Irene menyusulku sehingga kami bergandengan, dan Antony ada di belakang.
"Ciye!" Bisik Irene pelan, nadanya menggoda, aku cuma menggeleng padanya.
Membuka kunci kamar, Irene langsung heboh melihat kamarku.
"Anjir La, cakep juga ini kostan."
"Ini jatohnya paviliun kali, orang terkenal kok," Sahut Antony.
"Gak tahu deh, dipilihin Bunda, gue juga sreg jadi ya ambil aja deh."
"Lu orang kaya ya La?" Tanya Irene. Tentu saja aku langsung menggeleng.
"Iya Ren, orang dia nak jaksel!"
"Kalian apaan sih? Ayok duduk!"
Karena gak ada kursi ya kami jadinya duduk di karpet bulu berwarna hitam milikku. Ini bukan bagian dari kostan, ini aku disuruh Bunda bawa, biar kalau mau belajar di lantai jadi nyaman.
"Berapa ni kostan sebulan?" Tanya Irene.
"Eh gak tahu, Bunda gue langsung bayar setahun katanya, biar dapet diskon."
"Widihhh, cakep amat!"
"Gak ada hiburan nih kostan lo?" Tanya Antony.
"Eh? Itu ada TV." Kataku.
"Lha, dikata gue anak SD, permainan gitu apa?"
"Ih apa dong? Gue gak punya." Aku langsung kepikiran, iya juga ya, aku gak punya mainan kaya monopoli, uno dan lainnya.
"Ribet banget lu Ton, segala nyari permainan, kan ini kostan bukan markas kumpul kali, kaga penting ada permainan." Ujar Irene.
"Hemmm, iya juga sih, cuma... ngapain dong ini?"
"Lo liburan ngapain aja La?" Tanya Irene.
"Di rumah, nganter jemput adek, anjir lah adek gue itu, pergaulannya udah gilak." Kataku.
"Adek lo kelas berapa?" Tanya Antony.
"Baru kelas 1 SMA, tapi dia tuh yang internasional school gitu, ampe pusing gue liat kelakuannya."
"Kenapa emang?"
"Ya kan sekolahnya gak pake seragam kan? Tiap minggu minta beli baju, anjir gue yang kuliah aja gak ada tuh beli baju tiap minggu, paling sering ya 3 bulan sekali." Jelasku.
"Wedew, sekolah di mana dia?" Tanya Antony. Langsung kujawab dengan singkatan nama sekolahnya Gina.
"Lo tajir banget berarti ya ampe bisa sekolah di sana." Ucap Irene.
"Kaga setajir itu anjir, adek gue maksa pengin masuk sekolah itu, gue sama Abang gue aja dulu SMA Negeri biasa. Lo kemana Ren liburan?" Aku gantian nanya, biar topiknya gak aku lagi.
"Gue deket sama cowok baru hahah, gak baru sih, ini temen gue di SMP gitu, deket lagi gara-gara proyek idul adha kemaren, gue dimasukin jadi remaja mesjid anjir buat nyari hewan kurban, mentang-mentang kuliah gue peternakan. Eh taunya supplier hewan kurbannya ni cowok, jadi cakep deh dia, ganteng banget, beda sama pas SMP dulu, yaa meskipun sekarang agak bau kambing." Aku dan Antony tertawa mendengar itu. Seneng juga aku kalau Irene sudah move on dari Arman dan segala drama yang pernah terjadi itu.
Gilak, libur 3 bulan beneran banyak perubahan yaa. Kalau Antony, yang paling terlihat jelas sih badannya, dia jadi makin tinggi, terus wajahnya mulai ditumbuhi kumis tipis dan brewok tipis gitu, bikin dia kelihatan makin dewasa.
"Lo gimana Ton?" Tanya Irene.
"Gue sebenernya baru balik ini, dari Kalimantan jadi volunteer di yayasan perlindungan hutan gitu."
Aku dan Irene diam, dia doang yang liburannya berfaedah sekali. Dan, aku gak tahu kalau selama kami chat-chat Antony tuh ada di Kalimantan.
"Keren lu, dapet info dari mana bisa ke sana?" Tanyaku.
"Bokap, gue emang tiap tahun ke sana kok, jadi emang udah jadwal tahunan, cuma kalau SMA kesana gak bisa lama, sekarang lumayan, yaa jadi tambah pengalaman." Ujar Antony.
Aku dan Irene mengangguk.
"Eh iya La, gue gak bisa lama-lama ya? Axcel mau jemput gue."
"Axcel?" Tanyaku heran, siapa pula itu?
"Itu, si tukang kambing, namanya Axcel hahaha gaya banget kan?"
Aku nyengir.
Benar saja, tak lama kemudian Irene pamit, menyisakan aku dan Antony berdua di kamar.
Begitu Irene pergi, kulihat Antony membuka tas kecil yang ia pakai. Mengeluarkan sebuah gelang anyam.
"Nih, oleh-oleh, mau kasih tadi tapi gak enak ada Irene, cuma bawa satu soalnya." Ucapnya.
"Thanks, Ton." Kataku, langsung memakai gelang tersebut di tangan kiriku, bergabung dengan gelang besi berukir namaku, juga gelang dari tali pursik.
"Lo di sana ngapain aja?" Tanyaku.
"Emm, ikutan patroli kawasan hutan, ngambil memory dari kamera trap, masang kamera trap di atas pohon, gitu-gitu lah. Nanti kalau gue udah mulai mendalami kedokteran hewan, baru deh kayaknya gue boleh rawat hewan-hewan yang lagi proses rehabilitasi buat lepas ke alam liar lagi." Jelasnya.
"Seru yaa!"
"Lo ngapain aja? Gak mungkin kan cuma anter jemput adek lo doang?"
"Hahaha serius gue jadi supir, kadang nganter jemput Gina, kadang juga anter jemput Bunda, soalnya kan si Gina nih maksa pengin pake mobil, jadi ya gitu, Bunda relain mobilnya dipake anter jemput Gina, asalkan Bunda juga dianter-jemput. Terus ya ngurus kucing."
"Lo punya kucing?"
"Emmm, bukan punya gue sih, punya Aaron, cuma kan dia gak di sini buat rawat si Loki, jadi dititip di rumah, kebetulan adek gue suka kucing banget, jadi seringnya emang Gina yang rawat."
"Aaron yang sahabat lo itu?" Tanya Antony, aku mengangguk.
Sekarang ini, aku beneran ngerasa Aaron tuh cuma sahabat. Hubungan kami terlalu dekat dan aku gak mau merusak semua itu karena perasaan suka yang kupendam. Apalagi keluarga kami juga sangat dekat, jadi gak mau kalau gara-gara perasaan ini malah hancur hubungan persahabatan Bunda dengan Tante Hilda yang sudah terjalin puluhan tahun.
"Yang mana sih orangnya, gue kepo dong,"
Kubuka ponselku, membuka kontak Aaron lalu melihatkan profile picture-nya pada Antony.
"Ohh, cowok yang VC sama lo pas gue ngintil lo dulu yaa?!"
"Naah!"
"Gue kira dia cowok lo dulu."
"Mana ada, Aaron tuh sahabat, beneran sahabat."
Antony hanya mengangguk, ia tersenyum manis.
"Eh iya, lo belom makan malem ya?" Tanyanya.
"Udah, gue makan roti."
"Cukup?"
"Cukup kok, kenapa? Lo laper?" Tanyaku.
"Mayan."
"Ada mie, mau?"
"Boleh?"
"Ya boleh lah."
"Masak di mana?"
"Ya kan ada dapur di luar, bentar yaak!" Aku berdiri, kuambil mie dari laci meja, lalu sebuah telur dari kotak telur yang disediakan Bunda.
Setelah itu aku keluar kamar, belok ke kiri menuju ujung koridor tempat ada dapur umum yang disediakan, di sana ada juga meja makan, TV ukuran besar dan sofa santai. Jadi kaya tempat buat kumpul-kumpul para penghuni kostan gitu.
Mengambil panci air yang tersedia, aku langsung menyalakan kompor.
"Asik La, kostan lo." Ujar Antony, ia ternyata ikut nimbrung, duduk di salah satu kursi di meja makan.
"Iyaa, syukur lah dapet kostan begini."
Masak mie hanya sebentar, jadi gak pake lama mienya udah jadi.
"Mau makan di sini? Apa di kamar?" Tanyaku.
"Di sini aja." Ujar Antony, jadi kuberikan mangkok berisi mie itu padanya, lalu menarik kursi untuk duduk juga.
Antony mulai memakan mienya, anjir, aku jadi ikutan laper, tapi males balik lagi ke kamar buat ambil mie, jadi... cuma bisa main HP sambil sesekali liatin Antony makan.
"Enak La mie bikinan lo."
"Heu? Itu kan bumbunya udah diracikin,"
"Yaa tapi beda aja gitu, telornya pas setengah matengnya, gak yang masih cair gak keras juga. Terus kuahnya juga pas, jadi gurihnya enak."
Aku hanya mengangguk, mungkin karena dibikinin kali ya? Makanya bilang enak, soalnya mie instan tuh kalo dibikinin orang rasanya jadi lebih enak.
Antony langsung mencuci piring setelah makan, dia juga cuci panci bekas masak tadi, dan menyusun ke tempatnya semula.
"Yuk!" Ajakku, mau balik ke kamar aja lah, biar duduknya bisa santai.
Antony mengangguk dan kami pun berjalan ke kamarku.
Ini sudah jam 8 malem, aku bingung ngapain, bener kata Antony, kamarku gak punya hiburan selain TV.
"Lo tadinya SMA mana La, di Jakarta?"
"SMA 3 gue, lo?"
"Sama gue juga SMA 3, Bogor tapi."
"Iya lah, masa rumah lo di Bogor sekolah lo di Jakarta, hehehehe."
"Eh iya, terus kenapa lo ambil sivikultur, emang suka pengelolaan hutan produksi?" Tanyanya, aku menggeleng.
"Kaga hahaha, itu pilihan kedua gue, tadinya gue mau kedokteran UGM tapi gak keterima, SVK itu tuh pilihan kedua deh. Bokap malah tadinya nyuruh gue tunda, les aja dulu, tahun depan kejar UGM, lha gue gak mau, udah lah yang ada aja."
"Terus kenapa malah ke sivikultur? Kaga kedokteran hewan gitu? Kan jadi bisa satu departemen kita."
"Heeeee, gak kepikiran sumpah. Lo emang terencana ya Ton? Mau ambil kedokteran hewan?"
Antony mengangguk.
"Gue pernah pas SMP ikut bokap ke Kalimantan, terus pas lagi eksplorasi gitu ada orang utan jatuh, terus tim bokap tuh ada yang dokter hewan kan, sama dia dirawat dong, yang selama kita eksplorasi tuh dia gendong kemana-mana, sampe kita kelar, si orangutannya sembuh, pas mau pisah gimana... orangutannya peluk si Bapak itu lama banget deh, di situ gue langsung... anjirrrr gue harus jadi dokter hewan! Gue mau juga disayang sama binatang, karena menurut gue, cintanya binatang tuh pure, mereka gak munafik, kalau sayang ya sayang, dan mereka akan sayang ke yang baik sama mereka. Udah, bahasa cinta mereka gitu doang. Goals gue sih itu."
Aku tersenyum mendengar penjelasan Antony. Terbayang juga gimana Antony yang masih SMP diajak masuk hutan sama Ayahnya. Keren sih, aku gak pernah bonding begitu sama Ayah.
Malam ini, aku banyak bertanya soal Antony dan dengan santai ia menjawab semua pertanyaanku. Dari jawaban-jawabannya, aku bisa nilai sih, Antony nih baik banget.
Banget!
****
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top