-Sembilan-

"Bau kuah bakso lo!" Seru Antony ketika ia menjalankan motornya di gang kostan.

Aku gak menjawab, aku masih tegang, sumpah.

"Gara-gara lo nih, gue gak jadi makan bakso, laper padahal." Nada suara Antony santai, sepertinya ia sedang ingin menenangkanku. Tapi... gak bisa, aku beneran tegang, takut, dan gak tau lagi deh. Gak siap aja Rizal yang biasanya manis tiba-tiba berubah kaya tadi.

Masih bengong, aku tersadar kembali karena ponselku bergetar, Irene menelepon dan langsung saja kuangkat.

"La? Masih sama Rizal?" Tanyanya.

"Eh? Kenapa?"

"Olive pingsan di kamar mandi, ini gue, Jingga sama anak-anak bawa balik ke kamar, kalo bisa lo minta Rizal ke sini, biar ada yang bawa Olive ke klinik, La." Aku baru sadar, suara Irene terdengar panik.

"Yaudah, ini gue di jalan balik kok. Kalo pake motor bisa emang?" Tanyaku.

"Ya dicoba, Olive dudukin di tengah terus satu orang jagain di belakang."

"Yaudah yaudah, bentar yaa!"

"Iya, cepet!" Seru Irene.

Begitu panggilan terputus, aku langsung menepuk pundak Antony, membuatnya ngerem mendadak sehingga kepalaku menyundulnya.

"Lo... apaan sih? Bikin kaget!" Serunya kesal.

"Sorry, tapi... bisa cepetan gak? Temen gue pingsan."

"Ada-ada aja ya permasalahan hidup lo!" Ia kembali menjalankan motornya.

"Eh ini juga temen lo tahu!" Seruku.

"Temen gue? Siapa?"

"Olive?"

"Ohhh Olive Destriana? Yang sekelas sama gue?"

"Iyeee, bawel! Cepeeet!" Seruku dan Antony pun makin kencang narik gas motornya, bikin aku refleks narik pinggiran bajunya.

Sekitar 5 menit, kami sampai di parkiran asrama.

"Ton, kalo nolongin bawa Olive ke klinik mau gak lo?" Tanyaku.

"Iyaa hayu, boleh masuk emang gue?" Antony menunjuk gedung asrama.

"Bisaaa!" Kataku, lalu ia pun mengangguk.

Kami bergegas masuk, menuju kamarku yang ternyata.. dari lorong aja udah rame.

Pas masuk, di dalam kamar penuh orang, banyak yang ngerubutin Olive yang pingsan.

"Yee gebleg! Pada keluar lu, orang pingsan malah dikerumunin, kaga dapet oksigen, bege!" Seru Antony.

"Emang iya?" Sahut Elma, penghuni kamar ujung deket kamar mandi.

"Sesek coy! Dah sana, bubar!"

Dan kerumunan pun bubar, nyisa Jingga dan Irene yang menunggui Olive.

"Kenapa Ren?" Tanyaku.

"Gak tahu, tadi dipanggil sama Risa, dia pingsan di depan kamar mandi. Bawa yuk? Ngeri." Jelas Irene.

Aku mengangguk, kemudian melirik Antony.

"Ton? Tolong dong," Pintaku.

"Okee, okee, minggir!" Serunya. Irene dan Jingga pun langsung menyingkir.

Antony mendekati Olive, lalu menyelipkan tangannya di bawah lutut dan lengan Olive, ketika ia akan mengangkat, eh Olive sadar, langsung bergerak mendorong Antony. Akibatnya, Olive jatoh lagi ke kasur, Antony kejedot kasur yang atas.

"Bener-bener lu!" Seru Antony.

"Kamu mau apa?" Tanya Olive.

"Liv, lo pingsan, ini kita tadinya mau bawa lo ke klinik." Jelas Irene.

"Engga! Aku gak apa-apa kok!"

"Gak apa-apa gimana Liv? Kamu pingsan loh!" Kataku pelan.

"Gak, udah aku gak apa, gak usah bawa aku ke klinik!"

"Yaudah gue pamit!" Seru Antony, ia berbalik dan keluar dari kamar.

Aku menoleh ke belakang, menyusulnya.

"Kenapa lo?" Tanya Antony ketika kami bersisian.

"Nganter lo ke bawah, nanti kalo lo jalan sendirian disangka mau macem-macem lagi, ini kan asrama putri."

"Yee sinting, gue gak ada niat bikin onar di kampus yee, sorry!"

Meski ia jawab begitu, tapi tetap, aku mengikuti langkanya untuk mengantar Antony sampai ke bawah, ke parkiran tempat motornya berada.

"Ton?" Panggilku.

"Nape?"

"Makasi ya, udah nolongin,"

"Santai, kan kaga jadi tuh gue bawa si Olive Oil ke klinik."

"Bukan cuma Olive, tapi yang sebelum itu." Kataku.

"Ohhh, lo kenapa sih? Laporin kalo dia emang macem-macemin lo!"

"Gak deh, gue gak mau bikin ribut. Ini tahun pertama gue di kampus, masa udah ada masalah aja? Lagian... gak apa-apa kok."

"Yaudah, terserah lo, gue caw ya?"

Aku mengangguk.

"Eh tunggu..." Ucap Antony, padahal dia sudah menyalakan mesin motornya ini, tinggal berangkat.

"Apa?"

"20 ribu sini... gantiin bakso gue yang lo pake mandi!"

"Jaaah?"

"Cepet!" Serunya dengan nada gak sabar yang dibuat-buat, pake senyum segala lagi nih kunyuk.

Kurogoh kantong di belakang celanaku, kebetulan banget nih ada sepuluh ribu dua lembar, ada lebih juga lima ribu selembar.

"Nih, buat bakso... sama ongkos ojek." Kataku.

Antony menerimanya dengan senyuman, lalu ia masukan ke saku celana depan.

"Senang berbisnis dengan Anda, Gamyla. Ciao~" Katanya kemudian menjalankan motornya, keluar dari asrama putri.

Aku tersenyum melihatnya. Bersyukur banget hari ini ketemu makhluk itu di situasi yang gak terduga.

Teringat Olive, aku langsung berbalik dan berlari, naik menuju kamarku.

Ketika sampai kamar, aku menemukan Irene dan Jingga yang sedang menenangkan Olive. Ia sedang menangis.

"Eh? Olive kenapa?" Tanyaku, ikut duduk di lantai bareng Jingga, karena Irene yang duduk di kasur, memeluk Olive.

"Gak tau nih, dari lo keluar dia nangis doang." Jawab Jingga.

"Liv? Kamu kenapa? Kamu cerita ayok," Kataku lembut.

"Iyaa Liv, ayok cerita. Di asrama ini, gue sama Ila sama Jingga tuh saudara lo, jangan sungkan sama kita." Ujar Irene.

"Aku.. aku malu... aku gak tahu bilangnya gimana," Ucap Olive, sambil terisak.

"Kenapa Liv? Cerita aja." Kataku.

"Lo dapet nilai D? Atau C? Atau apa? Kan nilai belum keluar Liv, baru juga kita kelar UAS," Sahut Jingga, ngawur.

"Bukan.. bukan soal nilai."

"Terus apa Liv?" Tanya Irene.

"Aku.. aku hamil, Ren." Ucap Olive bikin aku, Irene dan Jingga langsung ternganga.

Olive kan selama ini kerjaannya cuma belajar? Kapan dia ML-nya? Sa. A siapa?

"Hah? Kamu serius?" Tanyaku, dan isakan tangis Olive makin kencang.

"Udah, udah tenang. Lo hamil, lo yakin? Lo gak cuma kembung kebanyakan minum kopi atau gimana kan?" Tanya Irene.

"Aku udah gak haid 3 bulan, sebelum UAS aku sempet tespek dan hasilnya positif."

"Allahhu Akbar!" Seru Jingga.

"Lu kenapa takbir?!" Irene kesel kayanya sama Jingga, langsung aja itu kepala Jingga ditoyor.

"Sama siapa Liv? Kamu emang punya pacar?" Tanyaku.

"Udah, itu gak penting... sekarang gini, lo maunya gimana? Cowok lo tau gak lo hamil? Respon dia gimana?" Tanya Irene.

"Dia, dia tahu, dan katanya terserah aku. Tapi... aku belum mau punya anak Ren. Aku masih kuliah semester awal, aku gak mau bikin orang tuaku kecewa."

"Lo mau aborsi?" Tanya Irene tenang, bikin aku sama Jingga melotot.

"Astagfirullah, istighfar heh! Lu sekate-kate bilang aborsi, pembunuhan itu heh!" Seru Jingga.

"Ya terus gimana? Dia hamil dan dia belum mau punya anak kok!"

"Ya itu resiko, harus tanggung jawab dong! Dia ngewe gak pake pengaman ya hasilnya hamil, anak, ya masa iya dia ngewe hasilnya pempek kapal selem?"

"Udah, udah, Ngga, Ren, jangan ribut dulu. Tanya dulu Olive maunya gimana." Kataku.

"Ye tadi gue udah tanya, dia belum mau punya anak, budeg lo?" Irene masih nyolot.

"Liv? Gimana? Kamu mau aborsi?" Tanyaku.

"Emm, aku kepikiran itu, tapi aku gak tau caranya gimana."

"Gilak! Gue gak ikutan ya kalo Olive aborsi. Gue gak akan laporin dia, gak akan bilang orang-orang. Gue cuma gak mau terlibat. Ngeri dosanya!" Seru Jingga kemudian ia berdiri, keluar dari kamar. Membuat Olive menangis kembali.

"Ren? Gimana? Lo tahu? Gue gak tahu cara aborsi gimana." Kataku.

"Gue juga gak tahu, gak pernah. Tapi... gue kenal orang yang tahu dan pernah aborsi. Dah Liv, santai, tenang... kita beresin semuanya. Lo gak sendiri kok. Jingga gak apa pergi, itu pilihan dia. Tapi gue di sini kok, kita ada buat nemenin lo!" Seru Irene, dan kembali... Olive menangis tersedu-sedu membuatku jadi ikutan sedih.

Aku bangkit, duduk di sebelah Olive. Aku dan Irene pun memeluk Olive.

Yaudah, urusin dulu deh Olive, biar aku lupa juga soal masalahku dan Rizal..

Gosh!

******

TBC

Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top